“Sepertinya aku harus berulang kali mengatakan permintaan maafku padamu, Ayse,” ucap pria itu yang membelakangi tubuhnya, sibuk di atas kompor dan menyiapkan malam malam sederhana dengan bahan yang ada di kulkas.
Ayse tertawa kecil mendengar gerutukan Can. “Jika saja pikiranku tidak tertuju dan menggebu untuk sampai di unitmu. Mungkin kita bisa singgah ke minimarket terdekat, membeli beberapa bahan tambahan dan bukan sekadar memanfaatkan bahan sisa ini.”
“Tenanglah Can ...”
“Meskipun hanya spaghetti, aku bahagia bisa makan malam bersamamu,” ucapnya dengan tulus, menyusupkan kedua lengannya dan menautkan jemari tangan Ayse ketika berada di depan perut yang tercetak jelas ketika Can membuka pakaiannya.
Sayangnya, mereka masih memakai pakaian lengkap, kecuali Can yang sudah menanggalkan jas dan menyingsingkan lengan kemeja panjangnya hingga sebatas siku.
Pria itu mengembuskan napas kasar, lalu mengangg
Iskander menenggak wine begitu tenang meskipun indera pendengarannya menangkap langkah kaki seseorang.“Kakak ... Ada apa kau menyuruhku pulang?!” teriakan itu berasal dari pintu utama dan pria dewasa itu tetap menunggu suara yang familier.Ia duduk di ruang keluarga, menonton film action.“Kakak?”Pria itu menoleh ke arah pintu, menerbitkan senyum hangatnya, “Hai, Ilker ...”“Bagaimana perjalananmu dari Istanbul ke sini? Apakah menyenangkan?”Dengkusan pelan dan bibir mencebik itu justru di dapatkan Iskander. Tanpa peduli jika saudaranya akan tersinggung, Ilker—pria berusia dua puluh tiga tahun—itu mengumpati Iskander, mengambil duduk di sampingnya.Ia pun melirik sekilas minuman Iskander. Pria itu sangat santai menyambut kedatangan dirinya yang sebenarnya penuh dengan amarah. “Kenapa kau menyuruhku untuk pul
“Sampai jumpa, Can. Bekendaralah dengan kecepatan normal,” ucap Ayse sedikit berjinjit dan mencium pipi kanan dan kiri pria itu sekilas.Can menatap lekat Ayse. Keduanya berada di luar unit perempuan itu dan mengantar Can untuk pulang sebatas pintu. Tapi, Ayse mengernyitkan kening mendapati sorot lain dari Can.“Ada sesuatu yang ingin kau katakan?” tanyanya tepat sasaran ketika Can mengerjap.Pria itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Malam belum terlalu larut dan ia memang harus pulang dengan jam yang telah mereka sepakati dalam pesan singkat tadi. Sayangnya, Can seolah tidak ingin merusak momen mereka dengan pernyataannya kali ini. Namun, ia harus tetap mengatakannya dan mendapati respons apa pun yang dilontarkan Ayse.“Akira memintaku untuk mengabulkan permintaannya,” cetus pria itu menatap lurus Ayse.Sesaat ia melihat keterdiaman Ayse. Kemudian dengan pelan ia bertanya, “Per
“Akira sayang ... Bibi merasa jika kau sudah lama tidak pulang ke rumahmu, Nak.”Akira terkekeh kecil, membiarkan paras cantiknya terangkum dalam kedua telapak tangan Nyonya Erdem. Ia merasakan kehangatan saat bibir wanita itu menempel di keningnya. Penuh kasih sayang.“Ayo, masuklah, Nak.”Can mengulum senyum dan mengikuti keduanya masuk ke dalam rumah Akira. Rumah dari mendiang Keluarga Muammer, orangtua Akira yang dijaga—dirawat—oleh Paman dan Bibi Akira.Nyonya Erdem adalah Adik dari mendiang Tuan Muammer. Wanita itu pun tidak dikaruniai seorang anak, bahkan diusianya yang akan mendekati usia lima puluh tahun. Jadi, sebagai gantinya, wanita itu merawat sepenuh hatinya pada Akira Muammer.“Jadi, kalian akan berpindah ke mari sementara waktu?” tanyanya melihat tas jinjing yang dibawa Can, diletakkannya di atas sofa.“Tidak, Bibi,” sahut Akira menoleh pada wanita yang m
Ayse membeliak dengan napas tercekat, mendapati Can sudah duduk di sofa dengan pandangan lurus ke arah teve menyala. Pria itu menoleh datar, tidak seperti biasanya dan membuat Ayse merasakan dadanya bergemuruh cepat.“Dari mana saja?” tanyanya beranjak berdiri.“Nyaris sepuluh kali aku meneleponmu dan tidak ada satupun balasan yang kuterima. Ini hari libur, bukan?”Ayse mengangguk ragu, lalu berjalan mendekati Can setelah menutup pintu. “Can ... Aku baru pulang dari minimarket,” lirihnya dengan takut menunjukkan kantung berisi belanjaan.Sebelah alis pria itu terangkat. “Ponselmu akan mengusik aktifitasmu jika kau memang menghidupkannya, Ayse.”Ayse tertegun. “Aku ... Mematikan suara ponsel dan sengaja melakukannya.”Can sedikit kaget, tapi ia berusaha mengendalikannya. “Ada apa? Apa hubungan ini membuatmu lelah, Ayse?”Perempuan itu tersinggung dan menatap tajam Ca
“Kenapa akhir-akhir ini Can suka sekali untuk membawa baju ganti?” gumam Akira mengulum senyum.Ia mendengkus pelan melihat helaian dari lengan panjang kemeja itu keluar dari keranjang berisi pakaian kotor.Setelah sampai di rumah, Can segera masuk ke kamar dan mendapati Akira tengah melakukan telepon bersama temannya. Ia hanya memberikan senyuman manis sebagai kode dan langsung menuju kamar mandi setelah menaruh asal pakaian kotornya.Perempuan itu terdiam saat tidak jadi memasukkan utuh pakaian tersebut. Ia melihat bekas tepung terigu bersarang di bagian dada dan sedikit area lengan bawah, tepat di pergelangan tangan kemeja marun Can.Ia berdiri, mencoba merapikan dan menelisik jika kemeja itu memang kotor. “Apa yang dilakukan Can?”Tatapannya beralih ke arah pintu kamar mandi yang belum menampilkan Can.Dadanya bergemuruh kuat, merasakan sesuatu yang aneh karena memang sejak bebe
The Gritti Palace.Manik coklat Akira berbinar, melihat keindahan kanal di Venice dan bangunan megah, menakjubkan lainnya. Ia berdiri di arah balkon dari ruang tengah. Perasaannya menghangat sekaligus berlibur untuk menyenangkan hatinya.“Bagaimana view dari sini?” Can berdiri di samping Akira, ikut mendapati pemandangan dari Kanal Besar.Akira menoleh, menyunggingkan senyum manisnya dan mengangguk semangat. “Ini sangat indah sejak awal kedatangan kita, Can. Para staf yang menyambut, lalu interior yang begitu menakjubkan. Penginapan mewah dan berkelas ini sangat membuatku puas.”Can terkekeh pelan. “Kita baru sampai di sini dan kau sudah merasa puas di saat kita belum menjelajah secara keseluruhan?”Perempuan dewasa itu bersemu. “Setidaknya, aku selalu percaya apa yang kau pilihkan akan tetap membuatku merasa bahagia.”Can menerima dekapan Akira. Ia mencium puncak kepala perempuan i
Seharusnya di saat Can menaiki Gondola, ia bisa merasakan atmosfer yang sangat menyejukkan hatinya. Menyusuri kanal-kanal di bagian kota dari Venice, lalu melewati Grand Canal juga Rialto Bridge dengan perahu air berkapasitas maksimal enam orang. Ia memilih menuruti Akira untuk hanya mereka berdua saja yang memesan.Perempuan itu mengatakan ingin menyusuri kanal tanpa ada orang lain yang ikut bersama mereka.Can mengembuskan napas panjang.Ayse dari batas pinggiran kanal melihat dirinya dan Akira yang menaiki perahu. Can tahu, jika Ayse akan memilih kembali ke unitnya yang sebenarnya berada di lantai sama seperti Can. Perempuan itu hanya mengambil unit yang berada paling ujung. Cukup jauh dari unit yang ditempati Can.Seandainya perempuan yang berada di sampingnya adalah Ayse, ia akan jauh lebih bahagia.“Can! Foto kita yang aku upload di sosial media cukup banyak mendapatkan respons publik!” seruny
Bunyi bel menginterupsi sentuhan bibir Akira yang akan kembali melumat bibir Can. Keduanya saling berpandangan dan dalam hatinya, Can mendapatkan sedikit oksigen. Waktu yang tepat, pikirnya.“Siapa yang bertamu malam-malam?” tanya Akira, berada di atas tubuh Can, mengurung pria itu dengan memakai handuk pendek berwarna putihnya.Ia tidak mampu lagi mengendalikan hasratnya. Kedatangan mereka untuk bulan madu, bukan? Lalu, di saat ia sudah cukup menahan diri, tidak pernah disentuh lebih jauh selain malam kali pertama mereka melebur, Akira merindukan sentuhan Can.Akira ingin dimiliki kembali pria itu dan ketika Can lengah ... terbaring di atas ranjang sambil memainkan ponsel, ia langsung merangsang dengan sentuhan kecil dan bermain cukup lama di bibir tipis suaminya.Can tertawa kecil, memecahkan kebingungan Akira sekaligus detak jantung pria itu yang memburu. Akira sangat pandai mengambil kesempatan dan jika saja ia