"Sungguh, ibunda lebih baik mati daripada harus melihatmu menikah dengan pria yang berumur pendek. Jadi jangan lakukan hal ini untuk menyelamatkan ibunda, Nak," pinta ibunda Shangguan Mai dengan menangis tersedu-sedu saat melihat putri kesayangannya berdandan dan bersiap untuk pergi ke istana.
Shangguan Mai langsung berlutut dan menggenggam tangan ibundanya dengan lembut, lalu menatapnya dengan sendu. Panglima cantik itu berusaha untuk menenangkan ibundanya yang sejak tadi menangis dan merengek padanya agar tidak pergi ke istana. "Aku hanya akan menikah bukan pergi berperang. Kenapa Ibunda harus khawatir seperti ini? Padahal selama ini Ibunda selalu melihatku pulang dengan tubuh penuh darah." Shangguan Mai memeluk ibundanya dengan erat sambil menghapus air matanya. "Kenapa hari ini Ibunda malah tidak yakin kalau aku akan baik-baik saja? Padahal aku tidak sedang menghadapi situasi yang serius seperti biasanya." Ucapan Shangguan Mai ini malah semakin membuat ibundanya menangis. Wanita paruh baya itu langsung memukul punggung Shangguan Mai dengan keras. "Dasar gadis bodoh! Kepergianmu kali ini malah jauh lebih menakutkan daripada peperangan." "Benar sekali, ibunda lebih memilih melihatmu pulang dengan tubuh penuh darah daripada menyaksikanmu menikah dengan pria yang tidak memiliki masa depan dan harus hidup dalam penderitaan," ujar ibunda Shangguan Mai sambil membelai lembut wajah anaknya, kemudian memalingkan wajahnya sejenak untuk menenangkan diri. Namun, ibunda Shangguan Mai tetap tidak mampu menahan air matanya meskipun telah berusaha untuk menunjukkan keberanian dan ketegaran. Bahkan ketika dia memalingkan wajahnya, tetesan air mata masih tetap mengalir, semakin deras. Dia sungguh tidak sanggup melepaskan anaknya untuk menikah dengan Pangeran kesembilan yang terkenal bodoh dan memiliki usia yang pendek. "Apa kamu tahu, Nak? Hari ini ibunda merasa lebih seperti mengantarmu ke pemakaman daripada sebuah pernikahan. Ibunda macam apa aku ini yang mengorbankan anaknya seperti ini," sesal wanita paruh baya itu dengan suara parau sambil memukul dadanya. Pernikahan yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah dipenuhi dengan kesedihan dan air mata, karena pernikahan ini menjanjikan penderitaan bagi Keluarga Shangguan. Lebih tepatnya, penderitaan akan dirasakan oleh Shangguan Mai, yang mungkin akan terikat dalam pernikahan yang tidak diinginkannya dengan Pangeran Xiao Zhi. Peluang masa depan cerahnya bisa sirna. "Ibunda tenang saja hidupku tidak akan sengsara hanya karena aku menikahi pria yang berumur pendek," ucap Shangguan Mai sembari memberikan hormat untuk terakhir kalinya pada ibundanya karena utusan dari istana sudah datang menjemputnya. "Selama ini hidupku tidak pernah bergantung pada pria manapun bahkan seringkali aku mengungguli mereka dan melawan takdirku sebagai wanita. Jadi Ibunda tidak perlu khawatir dengan hidupku karena sekali lagi aku akan melawan takdirku," ucap Shangguan Mai lagi sebelum keluar dari kamar dan meninggalkan ibundanya yang masih menangis. *** "Apa kamu benar-benar akan menikah dengannya?" tanya Su Yan Li yang menjadi utusan istana untuk menjemput Shangguan Mai. Su Yan Li adalah kepala balai neraka yang tengah mengusut dan memeriksa ayahandanya terkait kematian Pangeran kedelapan. Keputusan yang diambil oleh balai neraka ini berpotensi besar memengaruhi nasib Jenderal Shangguan di masa depan karena segala keputusan yang dikeluarkan oleh balai neraka akan menjadi final dan mengikat bagi Kaisar. Balai neraka merupakan departemen detektif yang dibentuk dan dipimpin secara langsung oleh Kaisar. Tugas utama balai neraka adalah menginvestigasi kasus-kasus misterius dan aneh yang terjadi di dalam maupun di luar istana yang tidak dapat diselesaikan oleh departemen kehakiman istana. Bahkan kematian Permaisuri sendiri masih menjadi bahan penyelidikan secara rahasia oleh balai neraka. Metode kerja balai neraka terbilang unik dan misterius karena meskipun investigasinya terlihat terbuka dari luar, tetapi sebenarnya sangat tertutup dan penuh rahasia. Ternyata, Su Yan Li yang dikenal sebagai kepala balai neraka sebenarnya bukanlah sosok yang memegang jabatan tersebut secara resmi. Kepala balai neraka yang sesungguhnya hanya diketahui oleh Kaisar dan bekerja secara tersembunyi. Para anggota balai neraka, termasuk Su Yan Li sendiri, bahkan belum pernah bertatap muka langsung dengan kepala balai neraka yang misterius tersebut. Hingga saat ini, mereka hanya berkomunikasi melalui perantara. Identitas sebenarnya dari pria misterius tersebut masih menjadi misteri, tetapi yang jelas kalau dialah yang merancang seluruh skema dan skenario yang digunakan dalam balai neraka. "Tentu saja, kenapa kamu masih menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah pasti? Ah, seperti orang bodoh saja," jawab Shangguan Mai dengan kasar sambil memasuki kereta, langsung membuat Su Yan Li menjadi kesal. Sebenarnya dulu Shangguan Mai dan Su Yan Li sempat bertunangan, bahkan hampir menikah. Namun, di hari pernikahan Shangguan Mai justru membatalkannya karena dia lebih memilih untuk pergi ke perbatasan utara. Untuk menggantikan kakaknya yang gugur di medan perang. Su Yan Li masih ingat betul bagaimana dulu Shangguan Mai berbuat kekacauan dan menantang Keluarga Su hanya untuk menggagalkan pernikahan. Gadis pemberani itu mengobrak-abrik aula pernikahan dan menyobek perjanjian pernikahan mereka di hadapan para tetua. Namun, di mana keberaniannya sekarang? Kenapa gadis yang ia kenal sangat berani dan tidak kenal aturan bisa menerima pernikahan ini dengan mudah? Apakah keberaniannya yang luar biasa itu hilang setelah berhadapan dengan Kaisar? Itulah yang dipikirkan Su Yan Li saat ia melihat Shangguan Mai memakai gaun pengantin. Ia pikir Shangguan Mai akan membuat kekacauan seperti dulu lagi. Namun, ternyata tidak, gadis itu menerimanya dengan lapang dada. "Aku hanya tidak menyangka kalau wanita sombong yang dulunya pernah menolak menikah denganku. Kini malah akan menikah dengan pria bodoh yang tidak berguna. Apa sekarang kamu merasa menyesal karena sudah menyobek perjanjian pernikahan kita dulu?" tanya Su Yan Li setengah mengejek Shangguan Main, tetapi wanita itu malah tertawa. "Untuk apa aku menyesalinya justru aku bersyukur karena pernah menggagalkan pernikahanku denganmu. Kalau tidak, aku sekarang tidak akan menjadi panglima dan menantu Kaisar," jawab Shangguan Mai sambil membuka sedikit tirai kereta agar bisa melihat wajah kesal Su Yan Li dengan jelas. Sejak Shangguan Mai membatalkan pernikahan dengan Su Yan Li lima tahun yang lalu. Hubungannya dengan pria dingin itu memang berubah menjadi musuh yang sulit untuk didamaikan, tetapi juga teman yang saling memahami. Bahkan saat Shangguan pulang ke ibukota untuk melapor ke istana minggu lalu. Ia sempat membantu Su Yan Li untuk melenyapkan para pembunuh Sungai Kegelapan yang suka menculik para pejabat istana. Entah, apa yang diinginkan oleh para pembunuh itu dengan menculik para pejabat istana. Mereka selalu bungkam dan memilih untuk mati saat tertangkap daripada harus mengungkapkan tujuannya dan siapa tuan mereka. Su Yan Li langsung tersenyum miring sambil menarik tali kekang kudanya untuk mempercepat laju kereta. "Ucapanmu yang sombong itu memang selalu bisa membuatku membencimu dan ingin membunuhmu, tapi entah kenapa aku sekarang malah senang mendengarnya karena aku jadi tahu kalau kamu tidak menyerah. Kamu sudah punya rencana sendiri kan untuk pernikahan ini," ucap Su Yan Li yang langsung bisa mengerti alasan kenapa Shangguan Mai mau menikah dengan Pangeran kesembilan. "Begitulah, mana mungkin aku membiarkan ayahandaku difitnah dan diperlakukan seperti pendosa. Dengan pernikahan ini aku akan mencari pembunuh yang sebenarnya," ucap Shangguan membuat Su Yan Li tersenyum dengan lega karena dia tadi sempat mengira Shangguan Mai sudah menyerah. "Baiklah, jika itu keinginanmu maka aku akan membantumu dan aku juga berjanji kalau aku tidak akan memperlakukan ayahandamu seperti tahanan meskipun sekarang aku yang sedang menginterogasinya," ucap Su Yan Li langsung membuat Shangguan Mai tersenyum pahit dan menghela napas. "Jangan lakukan sesuatu yang akan membuatmu terseret dalam masalah besar karena mungkin saja masalah ini masih ada hubungannya dengan keluarga istana. Jadi aku tidak ingin kamu melakukan hal yang bodoh untuk membantuku," ucap Shangguan Mai membuat Su Yan Li langsung tertawa. "Kamu sungguh percaya diri, A Mai. Aku membantumu bukan karena aku peduli padamu, tapi karena aku adalah ketua balai neraka yang dipercayai oleh Kaisar untuk menyelidiki kasus ini." "Kamu juga tidak terlalu paham dengan cara kerja balai neraka kan. Kelihatannya saja kasus kematian Pangeran kedelapan ini sudah ditutup oleh balai neraka, tapi nyatanya kasus ini baru saja dibuka oleh balai neraka. Kamu lihat saja nanti kalau aku akan membantumu untuk menyelesaikan masalah ini, " tegas Su Yan Li yang lagi-lagi mempercepat laju keretanya agar cepat sampai ke istana. ***Sementara itu, Zhaoyang dan Cui Xing melakukan perjalanan menuju Huanxi, melintasi pedesaan kecil dan sungai yang berkelok-kelok. Setelah perjalanan panjang dari Dacang, mereka akhirnya tiba di Desa Linhua, sebuah desa terpencil yang seakan-akan terputus dari dunia luar. Jarak ribuan kilometer memisahkan mereka dari Kota Jianghu. Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka terasa berat—Zhaoyang tetap membisu, meskipun Cui Xing beberapa kali mencoba membuka percakapan. Keheningan itu menegaskan jarak emosional di antara mereka.Sikap dingin Zhaoyang terasa hampir tak terjangkau, seolah-olah ia menarik diri ke dalam benteng pertahanan yang sulit dihancurkan. Cui Xing bisa merasakan ketegangan itu, tetapi tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam pikirannya. Kekesalan Zhaoyang terhadap dirinya mungkin sudah cukup jelas. Dia tahu Zhaoyang tak pernah setuju dirinya ikut dalam misi ini. Baginya, perjalanan ke Huanxi penuh bahaya, dan Cui Xing mungkin hanyalah tambahan beban yang tidak p
Di Paviliun Mingyue Mudan, Selir Agung terbenam dalam keputusasaan. Wajahnya yang cantik tampak lesu, dan matanya penuh lingkaran hitam menandakan bahwa ia tidak tidur semalaman. Air matanya tak tertahankan. Jeritan putrinya, Shen Ling Long, mengisi setiap sudut ruangan, menggema seperti melodi duka yang tak kunjung berhenti. Aroma bunga peony layu dan obat-obatan menyelimuti udara, menciptakan suasana yang menyesakkan, sementara rasa sakitnya semakin menguat. Dalam pikirannya yang kacau, Selir Agung berharap bisa menggantikan penderitaan putrinya.Ketika suasana semakin mencekam, suara Kaisar tiba-tiba memecah keheningan. "Tenanglah, selirku. Aku telah menemukan tabib yang andal untuk putri kita," katanya, menggenggam tangan Selir Agung dengan lembut. Sentuhan hangatnya menciptakan ilusi harapan dalam kegelapan, meskipun ketegangan masih menyelimuti mereka. "Aku yakin Ling Long kita pasti bisa bangun," lanjutnya, tatapannya beralih ke Wu Yan yang berdiri dengan tenang di sampingnya.
Kondisi di Huanxi kini terasa seperti medan pertempuran sunyi, bukan dengan senjata tajam, melainkan dengan pikiran dan ketegangan yang tak nampak. Setiap tabib yang melangkah maju untuk mencoba mengobati Putri Ling Long menghadapi ujian yang lebih dari sekadar keahlian—nyawa mereka dipertaruhkan. Di sekitar istana, angin dingin semakin berdesir, membawa serpihan salju yang menari di udara, namun tak mampu menyelimuti suasana mengerikan. Aroma herba yang tajam dan asap dupa samar-samar menyusup ke udara, bercampur dengan bau darah segar dari mereka yang dihukum. Puluhan tabib telah gagal. Wu Yan tetap berdiri diam di tengah aula istana yang beku, tubuhnya tegak meski kaki lainnya gemetar. Ia menyaksikan tangan-tangan yang dulu piawai meracik ramuan kini tergeletak di tanah, beku oleh salju dan kehilangan fungsi. Rasa takut dan panik merambat dalam kerumunan, tetapi Wu Yan tetap tenang. Dia menutup matanya, membiarkan hawa dingin merambat di kulit wajahnya, salju yang lembut menyentu
Keesokan paginya, ibukota Huanxi diselimuti musim dingin yang menggigit. Langit kelabu menekan rendah di atas kota, seakan-akan mendekatkan berat musim dingin kepada setiap orang di bawahnya. Udara dingin yang begitu tajam seakan menampar wajah siapa saja yang berani keluar. Setiap napas yang dihembuskan berubah menjadi kabut tipis yang melayang sejenak sebelum hilang di udara beku. Butiran salju turun perlahan, tapi pasti, menumpuk seperti selimut putih tebal di jalanan ibukota yang kasar, berderit di bawah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru.Sisa-sisa perayaan beberapa hari lalu terlihat suram. Lentera-lentera merah yang dulu menyala terang kini tergantung lemas di rumah-rumah warga, terbungkus salju dan angin, cahayanya padam. Jejak-jejak dekorasi dan kertas perayaan yang tersisa terkubur di bawah lapisan salju, mengaburkan kenangan kegembiraan yang kini terasa seperti kenangan jauh yang dingin. Di pasar raya yang biasanya ramai, derit roda gerobak yang ditarik pelan terdenga
Dua hari kemudian, di Kerajaan Huanxi... Di dalam Istana Jinhe, Kaisar Shengzong duduk terpaku di kursinya, terjebak dalam kenangan pahit yang menyelimuti ruangan dalam kabut kelabu. Lampu-lampu lentera bergetar lembut, memantulkan cahaya samar yang menari di dinding batu marmer putih. Aroma dupa cendana yang terbakar bercampur dengan wewangian bunga kering, menghidupkan kembali memori akan cinta yang telah hilang. Di hadapannya, sebuah lukisan besar menggantung, memancarkan kesedihan yang mendalam—potret Wei Yong Luo, wanita yang ia anugerahi gelar Rengsheng karena telah menerangi relung hatinya dengan kelembutan dan cinta. Kecantikannya benar-benar abadi dalam warna-warna lembut, seolah senyum manisnya masih dapat terasa meski ia telah lama pergi. Kaisar memejamkan mata sejenak, membiarkan bayangan suara lembut Ratu Rengsheng berbisik di telinganya, seolah menenangkan jiwanya yang resah. Namun, angan-angan itu segera sirna, tergantikan oleh dentingan keras arak saat gelas yang ia
Sementara di tempat yang jauh, Yu Wen terhuyung, setiap langkahnya terasa berat. Telinganya berdengung, ribuan jeritan terus bergaung. Melodi seruling Zhaoyang masih merasuki, siap menelan kesadarannya. Racun menggerogoti tubuhnya, menimbulkan rasa sakit tajam di perut dan bahunya. Setiap detik terasa seperti belati, menusuk lebih dalam. Luka yang menganga, bekas belati Cui Xing, berdetak seirama dengan denyut nadi yang semakin lemah. Dengan napas yang tersengal, Yu Wen terjatuh di atas ranjang, punggungnya terasa dingin, seolah kasur yang seharusnya memberi kenyamanan malah menjadi batu dingin yang menusuk tulang-tulangnya.Cahaya rembulan menembus jendela jeruji Paviliun Fengyu, menorehkan garis perak di lantai yang gelap. Sinarnya begitu redup, terasa dingin dan jauh, seakan hanya menambah kekosongan hatinya. Di dalam ruang sunyi itu, hanya desahan napasnya yang terdengar, begitu berat dan terputus-putus. Hatinya tercekam oleh ketakutan yang merayap, dingin seperti es yang menembu