Share

Bab 4

Butuh beberapa detik untuk Jhonny sadar jika apa yang dilihat dengan mata yang sedari tadi tak berkedip bukan fatamorgana. Butuh beberapa menit untuk polisi itu sadar jika sedari tadi ada sesuatu yang terasa sesak dalam dadanya. Butuh beberapa saat juga untuk pria itu menyadari jika suara yang dikeluarkan sebelumnya terdengar bergetar. Dia tak tahu alasan logis apa untuk kondisinya saat ini, karena yang jelas gejala ini merupakan gejala-gejala yang terasa asing baginya.

"Jessica, Jessica ini kamu, kan? Jessica. Ini benar kamu, kan?"

"Iya, iya, iya, iya...." sang gadis dibalik tudung yang dipanggil Jessica menghela nafas sejenak. "Apa itu menjawab semuanya?"

"Iya, kecuali satu."

"Yes I am Jessica, Why?" balasnya dengan nada geram.

Di tempatnya Jhonny tak bisa untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Pria itu sendiri tak tahu kenapa dia harus bertingkah berlebihan seperti ini. Tangannya bahkan tanpa sadar sudah melepaskan tangan gadis itu yang sedari tadi dikunci. 

"Apa aku lagi mimpi?" gumamnya sendiri.

PLAAAKKK

Sang polisi menoleh mengikuti arah tamparan wanita di depannya. Pipinya memanas merasakan tamparan tersebut.

"That's the answer."

Polisi berpangkat AIPTU itu tak bisa untuk menahan lengkungan di bibirnya. Merasakan kebas dipipi setelah di tampar mengindikasikan bahwa semua ini bukan mimpi yang akan berakhir dengan dirinya yang terbangun di atas meja di ruang kerjanya. Mengingat mimpi dan tidur, dia jadi teringat Sandy. Entah kenapa ia ingin berterima kasih pada pemuda itu karena telah membawanya memimpin inspeksi ini, karena secara tidak langsung Sandy membawanya menemui Jessica, wanita yang sudah ditunggunya sejak lama.

Bahkan matanya tak bisa untuk melepas bayangan sosok wanita itu seakan jika dia berpaling sejenak saja Jessica akan kembali hilang. Jhonny tak ingin mengeluh akan cara wanita itu menjawab pertanyaannya tentang ini mimpi atau bukan, karena dia sadar sebuah tamparan belum cukup untuk membayar tindakannya yang nekat dengan membuat wanita itu jatuh dari sepeda dengan cara menerjangnya.

"Kamu tahu berapa lama aku cari kamu?"

"Ya?"

Jhonny tak ingin menjawab atau mengulang kalimatnya. Pria itu tanpa berpikir panjang langsung berhambur memeluk si gadis erat dalam dekapannya.

"Akhirnya aku bisa menemukan kamu."

"Saya masih di sini, dan gak ke mana-mana. Bisa tolong lepas?"

Rasa malu seketika menjalar membuat Jhonny salah tingkah dan hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Maaf. Itu refleks."

"O-oke, asal jangan terlalu sering."

"Jessica, kamu masih ingat sama saya?" sang polisi bertanya antusias.

"Hmmm?" gadis itu tak langsung menjawab. Butuh beberapa detik sebelum sebuah kalimat keluar. "Ahhh, t-tentu. Kamu.... Jhonny, kan?" lanjutnya setelah melirik singkat papan nama diseragam sang polisi yang dikenakan.

Jhonny mencoba menahan senyumnya. Pria itu sedikit tak menyangka jika setelah sembilan tahun lamanya, gadis itu masih mengingatnya. Entah kenapa, itu menjadi satu kebahagiaan tersendiri. Tak ingin terlihat memalukan dengan terlalu menunjukkan rasa bahagia yang membuncah, sang polisi memilih beranjak bangun dan mengambil sepeda yang tergeletak di atas rumput. 

"Ayo!" ajaknya sambil menuntun sepeda tersebut. Sadar jika sang gadis masih tak bergeming, Jhonny kembali melanjutkan dengan mengutarakan maksudnya. "Ayo kita kembalikan sepeda ini."

Untuk pertama kalinya di malam itu, malam kelam tanpa cahaya bulan dan bintang yang menandakan akan datangnya hujan mengguyur kawasan di bawahnya, Jhonny yang rasional merasa jika malam yang kelam tiba-tiba terasa terang untuknya.

"Kamu sedang apa di balapan tadi?" sang polisi mencoba buka suara lebih dulu guna memecah kebisuan yang ada setelah beberapa langkah mereka lalui.

"Hah? Siapa? Oh, saya ada urusan sama seseorang di sana."

"Terus kenapa kamu lari?"

"Maaf, tapi kalau kamu lupa, kamu yang mengejar duluan." 

Harus diakui jika itu memang benar. Apa yang dikatakan Jessica merupakan kenyataan di mana memang Jhonny yang bersalah. Jika dia tak melakukan pengejaran, mungkin dirinya tak akan berakhir dengan membuat gadis itu jatuh kesakitan di atas rumput. Meski begitu tuhan mempunyai caranya dan Jhonny tak ingin mengeluh karena dengan seperti itu mereka bisa dipertemukan kembali.

"Maaf soal kejadian tadi. Apa ada yang sakit?" sang polisi bertanya khawatir.

Lewat ekor mata bisa dilihatnya jika gadis itu menggeleng pelan sebagai jawaban. Tak lama setelah keduanya berjalan bersisian, dari arah berlawan seorang pria tambun berlari kepayahan dengan napas tersengal.

"Nah ini sepeda saya. Makasih pak sudah bantu kejar sama tangkap pencurinya." 

"Mohon maaf, Pak. Ini kesalahpahaman, dia tidak mencuri. Sekali lagi saya minta maaf." Jhonny menengahi dan hanya bisa tersenyum kaku mendengar jika Jessica dituduh sebagai pencuri.

"Ya sudah. Sekali lagi terima kasih. Dan kasih tahu untuk lain kali jangan bawa barang orang sembarangan"

Jessica di sampingnya yang sadar tengah disindir menunduk sambil menggumamkan kata maaf. Rasanya sangat lucu jika mengingat apa yang barusan mereka alami. Apa yang dibilang warga sipil itu memang benar tentang membawa barang orang sembarangan. Rasanya Jhonny sendiri sudah lama kehilangan sesuatu yang dicuri gadis itu. Hatinya, masih dimiliki orang yang sama. 

"Kalau begitu saya permisi." pamit warga sipil yang diketahui tengah bersepeda tersebut.

Setelah kepergian sang pemilik sepeda, Jessica berniat pergi dengan memutar tubuhnya tanpa sang polisi sadari. Namun bertepatan dengan itu, suara HT yang tersampir di sabuk pinggang lelaki tersebut berbunyi. Tanpa menoleh, sang polisi mengangkat alat komunikasi itu dan mulai berbicara.

"Jessica, bisa kamu tunggu sebentar. Saya jawab ini dulu."

Sang polisi tengah sibuk mendengarkan laporan dari tim yang telah selesai melakukan razia dan tengah menunggu perintah, dan Jhonny tahu itu artinya dia juga harus kembali ke TKP untuk ikut memimpin razia. Namun kakinya seolah kelu dan keras untuk pergi. Saat itu, tepat saat seseorang menanyai arahan yang ditunggu, Jhonny menolehkan kepala ke belakang tepat di mana Jessica masih setia berdiri. Gadis itu tengah sibuk dengan kepala menengadah ke atas, seolah tengah fokus mengamati langit kelam di atas sana tanpa ada hal menarik yang bisa diamati. Helaan napas berat dikeluarkan menyadari situasinya saat ini di tengah kebimbangan. Jhonny yang patuh, Jhonny yang penurut, Jhonny yang teladan, semua itu ialah sosoknya yang dikenal banyak orang. Tapi kali ini, hanya sekali ini saja dia ingin bertindak egois untuk dirinya sendiri. Hanya untuk sekali ini saja, biarkan dia menciba mencari kebahagiaannya seperti yang dikatakan Sandy. 

"Fajar, tolong kamu urus semuanya. Saya ada urusan."

Hanya sepenggal kalimat penyerahan wewenang tanggung jawab yang bisa diucapkan. Tak ingin mendengar keluhan, Jhonny sesegera mungkin menutup sambungan komunikasinya. Membalikkan badan pria itu mulai melangkah pelan mencoba mendekati sesosok gadis yang masih saja tak menyadari kehadirannya.

"Gak ada bintang di langit. Sepertinya akan turun hujan." cetus pria itu ikut mengamati langit.

"Kamu sudah mau pergi?" tanya Jessica antusias. "Kalau begitu sampai jumpa lagi."

"Enggak. Saya antar kamu pulang."

"Saya bisa pulang sendiri." tolaknya halus.

Gadis itu sedikit terkejut mengetahui niatan sang polisi. Namun seolah memang tak menghiraukan penolakan, polisi bernama Jhonny itu sudah berjalan lebih dulu dan bertanya santai mengenai alamat tempat tinggalnya.

"Rumah kamu di mana?" 

Sang AIPTU sengaja untuk tak langsung kembali ke markas. Dia sadar jika keputusan itu menyangkut-pautkan masalah pribadi, dan dirinya sadar jika ia tengah bersikap tidak profesional pada pekerjaannya hanya untuk mengantar seorang wanita pulang. Tapi Jhonny tak peduli dan tak akan berpikir dua kali. Jessica lebih dari sekedar pekerjaan untuknya, gadis itu sudah menempati posisi sebagai prioritas utamanya sedari dulu. Meski bukan siapa-siapa, atau lebih tempatnya belum menjadi siapa-siapa. Wanita itu tetap saja sosok dari masa lalu yang tiba-tiba muncul kembali dan berhasil membuat hatinya kacau.

Sambil menyelam minum air, mungkin itu pribahasa yang sesuai untuk menggambarkan aksi yang tengah dijalankan. Niat untuk menawarkan mengantar pulang memiliki maksud lain untuk mengetahui di mana wanita itu tinggal. Sambil berjalan untuk menjalin kembali kedekatan, Jhonny berharap dengan ini kata berjumpa lagi yang dikatakan wanita itu akan benar-benar terwujud baik secara kebetulan atau dengan disengaja.

Namun semua tak berjalan sempurna, hujan turun tanpa diminta mengguyur tanpa tahu situasi. Jika ini akibat dari kata-katanya akan hujan yang dikabulkan oleh tuhan, maka Jhonny menyesal karena itu hanya sekedar basa-basi semata. Sang polisi yang tak berpikir dua kali langsung menarik lengan gadis di sampingnya. Membuat Jessica yang tak siap mau tak mau harus menyesuaikan langkah lari mereka demi menghindari guyuran hujan. 

Sebuah pohon yang cukup rindang di pinggir jalan dipilih sebagai tempat berteduh. Jhonny yang khawatir tak bisa untuk tidak memastikan keadaan wanita di depannya yang sudah basah kuyup. Namun mungkin Jessica menangkap maksud lain hingga mata indah itu memelototinya dengan sorot memperingati.

"Jangan mesum." ancam gadis itu dengan sorot menajam. 

Bukannya merasa terancam, Jhonny lebih merasa terhibur mendengar hal tersebut. Tak pernah sedikit pun terlintas pemikiran kotor di kepalanya pada gadis itu. Bahkan dia tak sempat memperhatikan lekukan tubuh yang dimiliki Jessica dalam keadaan basah kuyup, apa lagi berniat mesum. Dia hanya, khawatir. Murni semedar rasa khawatir semata. 

Keheningan yang diisi suara gemercik hujan yang menetes membasahi bumi membuat dua orang itu menjadi canggung. Meski begitu, hujan setidaknya sedikit membantu dalam membunuh kebisuan di antara mereka.

BRUUUSSS

Tak cukup dengan hujan yang merusak ajang jalan-jalan malam santainya, kini tanpa di minta sebuah mobil dari arah berlawanan tiba-tiba melaju pesat menciptakan cipratan dari genangan air di jalanan berlubang membuat mereka untuk kedua kalinya harus berpelukan. Meski hal yang sama berlaku sebagai alasan seperti kejadian sebelumnya -yaitu di mana Jhonny hanya bergerak sesuai naluri dan insting seolah tubuhnya memang bergerak sendiri dan sudah diprogram sedemikian rupa untuk melindungi gadis itu- Jhonny tak peduli pada tindakannya, bahkan tanpa memikirkan apa akibat yang dia dapat.

Matanya dengan tak tahu malu menatap mata lain beriris hitam pekat itu. Jantungnya serasa berdegup lebih cepat, dan saat ini dia tidak berbohong dan harus jujur jika posisi mereka yang intim sedikit mempengaruhi pikiran kotornya. Bukan lagi sekedar melihat, tangannya yang lancang bisa merasakan lekukan tubuh gadis itu. Suasana dinginnya hujan malam juga seakan mendukung semua yang terjadi. Seolah memberikan kenyamanan akan kehangatan yang didapat dalam sebuah pelukan. Meski ini bukan hal yang direncanakan. Tapi Jhonny sangat bersyukur. Sekali lagi, prinsip sambil menyelam minum air dia pegang teguh.

"Ah, maaf." Pria itu lekas sadar, dia tak bisa mempertahankannya lebih lama saat raut Jessica sendiri seolah mengisyaratkan jika gadis itu meminta dilepaskan. Alhasil dengan enggan lelaki itu melepaskan pelukannya. 

Bisakah semua menjadi lebih romantis, semisal adanya adegan menerjang derasnya hujan di bawah satu jaket atau payung. Tapi Jhonny tak membawa dua benda tersebut. Apa perlu dia melepas seragamnya untuk memayungi mereka menerjang derasnya hujan.

"Hujannya kayaknya bakal awet. Kamu tunggu di sini, saya ke minimarket dulu beli payung!"

Namun saat pemuda itu hendak pergi. Tanpa di duga tangannya dicekal dari belakang. Sang polisi menoleh dan mendapati Jessica yang menggeleng pelan. 

"Kita lari saja, terobos hujannya. Itu kalau kamu masih berniat mengantar." 

"Emm, oke."

Jhonny yang dulu jelas tak akan memilih pilihan tersebut. Lelaki remaja yang kaku dan realistis tersebut jelas akan memilih untuk lebih rasional dengan tidak membiarkan hujan mengguyur tubuhnya dan berakhir dengan sakit yang akan diderita. Bahkan Jhonny sempat berpikir apa alasan beberapa orang begitu senang bermain hujan dengan senyum yang melengkung di bibir padahal tahu jika setelahnya tubuh mereka akan terserang sakit. Itu jelas sangat tidak logis. Namun kini semua berubah, Jhonny yang dulu tidak sama seperti yang sekarang. Kini pria itu baru menemukan jawaban dari pertanyaan kenapa orang bisa tersenyum saat bermain hujan. Ternyata hanya alasan yang sangat sederhana sebagai jawaban yang selama ini selalu dipertanyakan. Itu karena mereka bahagia, dan kini dia merasakan itu. Mungkin memang benar mengenai definisi tentang bahagian itu sederhana, tergantung bagaimana seseorang memaknai dan mensyukurinya. Tak pernah sedikitpun terbesit dipikirannya bahwa menerjang derasnya hujan dengan bergandengan tangan akan terasa semenyenangkan ini.

Tak butuh waktu lama untuk mereka mencapai kediaman gadis itu, bahkan dalam radius beberapa meter matanya kini sudah bisa melihat sebuah gedung apartemen bertingkat yang Jessica tunjuk sebagai tempat tinggalnya.

"Makasih."

"Nggak masalah. Sana masuk, kamu kedinginan."

Tak ada percakapan lagi karena setelahnya gadis itu berbalik badan dan benar-benar pergi. Melihat punggung itu dari belakang perlahan berjalan menjauh meninggalkannya, sedikit memberi kesan yang sangat menyesakkan di hati. Dia seolah kembali terlempar ke masa lalu di mana gadis itu juga meninggalkannya sendirian. Namun Jhonny hanya bisa mengepalkan tangan dan mengetatkan rahang kuat-kuat sekedar mencegah mulutnya untuk mengatakan hal memalukan dengan mencoba menahan gadis itu untuk tidak pergi. Jessica bisa sakit jika tidak segera masuk dan mengeringkan badannya dari pada menghadapi lelaki bodoh yang ketakutan dengan kenangan masa lalunya.

Jhonny tahu dia yang meminta Jessica masuk dan mengakhiri segala percakapan yang mungkin ada jika mereka tetap bersama. Tapi entah kenapa, dirinya sendiri yang saat ini merasa kecewa melihat gadis itu pergi. Bahkan Jessica tak repot menawarkannya mampir sekedar sebagai bentuk tatak ramah, meski sudah jelas sekali pun ditawari Jhonny masih tahu diri untuk menolak dengan alasan norma. Namun mungkin ekspektasinya terlalu tinggi, dan itu memang tak terjadi dengan Jessica yang tetap pergi tanpa menoleh lagi.

Di guyur hujan di malam hari memang tidaklah mengenakkan. Hawa dingin yang dibawa angin malam menerpa tubuh yang basah terasa sangat menusuk di kulit. Sementara itu, Jhonny terdiam dengan memasang senyum terakhirnya sebelum Jessica pergi masuk ke dalam lift dan menghilang dibalik pintu besi. Saat pintu lift yang perlahan tertutup, Jhonny sadar jika dia kembali sendirian. Pemuda itu mengarahkan matanya menuju jalanan yang masih diguyur hujan deras. Tangan yang sudah keriput kedinginan mengambil HT yang tersampir di satu sisi pinggangnya. Namun saat mencoba untuk menyalakan benda tersebut, polisi itu sadar jika benda dalam genggamannya itu tak akan berfungsi mengingat jarak frekuensi yang terbentang. Niatnya untuk menghubungi Sandy atau siapa pun di kepolisian gagal. Jhonny tak mungkin kembali berlari menerjang hujan menuju markasnya atau langsung pulang ke rumah mengingat jarak dari posisinya saat ini terbilang cukup jauh. Di tambah tubuhnya yang kini menggigil tertiup angin malam.

Mungkin menunggu hujan reda atau taksi lewat hanyalah satu-satunya pilihan tersedia yang dimiliki. Apalagi ia sadar sedang tidak membawa ponselnya yang tertinggal di dalam mobil saat melakukan oprasi. Hanya saja sang AIPTU tak pernah tahu rencana apa yang disiapkan Tuhan padanya, karena berselang beberapa menit lelaki itu harus dikejutkan saat sebuah handuk putih tiba-tiba tersampir di bahunya begitu saja. Menolehkan mata, pria itu mendapati kembali Jessica di belakangnya dengan baju yang kini sudah berganti dan tentunya kering.

"Seperti yang kamu bilang 'Hujannya kayaknya bakal awet'. Jadi kalo mau, kamu bisa berteduh dulu di tempat saya."

Tanpa senyum sang polisi sukses mengembang dengan sempurna tak bisa untuk tertahan. Dia tak pernah berharap jika ada pilihan lain untuknya selain menunggu hujan reda atau taksi yang lewat. Tapi sekali lagi, ia tak pernah tahu rencana Tuhan. Di beri pilihan lain yang sangat-sangat menggiurkan tentu tak akan polisi itu tolak. Dengan mantap Jhonny mengangguk melupakan tekadnya untuk menolak segala tawaran untuk singgah sejenak dengan alasan norma. Entah ke mana rasa percaya diri dan keteguhannya itu, dan kenapa pula dia menjadi tidak berpendirian seperti ini.

Jhonny tak tahu harus bersyukur seperti apa lagi mendapat keberuntungan beruntun seperti ini. Tak henti-henti senyumnya terukir menggambarkan betapa bahagianya pria itu sekarang. Matanya mengedar memperhatikan interior apartemen Jessica yang lebih terkesan elegan dengan didominasi warna putih. Berbeda dengan bayangannya jika rumah seorang wanita mungkin akan didominasi warna pink dan warna-warna feminin. Tak berselang lama sang pemilik apartemen datang kembali dengan membawa pakaian ganti.

"Kamu bisa ganti sama pakaian yang kering ini."

Sang polisi hanya menerimanya dengan patuh sambil tersenyum. Namun senyum yang sebelumnya mengembang -bak adonan kue yang dimasukkan baking soda- itu sesaat kemudian berubah menjadi kecut dengan wajah masam menahan kesal. Berbeda dengan Jessica yang tak bisa melepas matanya dari sosok sang polisi yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis itu terkekeh pelan menyembunyikan tawanya.

"Apa nggak ada baju lain?" Hal pertama yang diutarakan Jhonny ialah sebuah protes akan apa yang dikenakan.

"Nggak ada."

Jhonny yang tetap dengan wajah masamnya hanya bisa menarik napas mencoba mempertebal muka, sedangkan saat ini dirinya menjadi bahan tawa sang gadis. Polisi itu merasa risih pada apa yang kini dipakai, meski seharusnya dia bersyukur diberi sebuah pakaian yang layak untuk dikenakan dari pada seragam yang basah oleh air hujan, tapi tidak dengan buah kaos sempit berwarna merah jambu dengan sablon besar kepala Mickey Mouse di tengahnya. Membayangkan seorang lelaki memakai itu saja sudah menggelikan dan kini mendapati dirinya yang harus mengenakan hal memalukan tersebut membuat Jhonny pasrah untuk menerima kenyataan bahwa dirinyalah lelaki malang yang menggelikan itu. Turun drastis sudah harga dirinya. Jangan lupakan celana jins model hot pants yang bahkan tak bisa menutupi setengah pahanya. 

"Boleh saya pinjam ponsel? Tenang saja, saya cuma mau menghubungi seseorang untuk minta jemputan." tanya sang polisi mencoba mengalihkan pembicaraan dari rasa malu.

"Oke." gadis itu menyerahkan apa yang diminta.

Beberapa menit dibutuhkan oleh sang AIPTU untuk berbincang dengan Sandy di seberang sana. Namun setelah mengakhiri percakapan, polisi itu lebih dulu menambahkan kontaknya dan mengetikan sebuah pesan untuk dikirim pada nomornya. Dia tahu ini perbuatan licik, tapi jika menyangkut perkembangan kisah asmaranya, Jhonny tentu tak akan berpikir dua kali. 

Apa baru saja dia berpikir tentang kisah asmara? Mengingat dia yang sebelumnya menentang keras untuk memiliki relationship dengan yang namanya wanita, rasanya sangat aneh sendiri mendengar itu. Tapi jika menjalani hubungan dengan gadis di sampingnya kini. Mungkin Jhonny tak akan peduli. Pria itu rasa memikirkan perihal asmara harus jadi salah satu prioritasnya mengingat usianya yang juga sudah dalam performa matang.

"Terima kasih" Sang polisi mengembalikan ponsel tersebut. "Itu... Em. A-aku..."

"Ya?"

"Apa aku boleh tunggu di sini sampai jemputannya datang?"

Jessica tampak menautkan alis membuat sang polisi ragu jika gadis itu akan mengizinkannya untuk menetap sejenak. Masalahnya akan sangat memalukan jika dia menunggu dilobi apartemen dengan penampilan seperti ini.

"Terserah saja."

Namun pada kenyataan berbeda, Jessica memperbolehkan yang seketika membuat senyuman kembali terukir di wajah sang AIPTU. Tak berhenti di situ kebahagiaan menyambut, Jhonny sudah bersyukur atas apa yang terjadi hari ini. Di mulai dengan pertemuan mengejutkan yang tak di sangka. Lalu sang gadis yang menawarkannya untuk singgah karena hujan, dan sekarang bahkan Jessica mengajaknya untuk makan malam bersama. Meski hanya sekedar mie instan, Jhonny tak pernah mengeluh akan makan. Sebuah makanan akan terasa sangat berarti jika dinikmati dengan orang yang berarti, dan kini sang AIPTU tengah menikmati itu. Asal bisa makan dengan orang yang spesial, sebuah makan sederhana sekalipun bisa memiliki arti.

Tapi kebahagiaan itu sedikit berkurang saat satu orang pengganggu tiba-tiba datang. Dia Sandy, anggota timnya yang datang di waktu yang tidak tepat. Bukannya Jhonny tak mengharap kehadiran pria itu, jelas pemikiran itu salah karena dia yang menelepon memintai untuk dijemput. Hanya saja sang Kanit menyayangkan kehadiran Sandy di waktu yang tidak tepat. Alhasil, kini Sandy dengan kurang ajarnya tengah menatap penuh kagum dan tersenyum lebar pada Jessica dengan mangkuk mie instan di depannya.

"Jadi kamu polisi?" tanya Jessica.

Belum sempat Jhonny menjawab pertanyaan Jessica yang ditunjukkan padanya, Sandy dengan tidak tahu diri menyahuti terlebih dulu. 

"Iya, kita polisi."

Hal itu sedikit membuat Jhonny sedikit kesal dan menimbulkan sebuah niatan untuk membuang anggota timnya satu itu ke antah berantah. Namun dia sadar jika dirinya tak bisa benar-benar melakukan hal tersebut, tidak di depan Jessica, karena bisa langsung hancur citranya di hadapan gadis itu sebagai lelaki yang baik. Hanya sebuah senyum tipis dan anggukan lemah yang bisa dia berikan untuk menyetujui pernyataan Sandy.

"Tuan Jhonny ini kepala unit tim Aligator yang sedang berusaha memberantas mata rantai pengedaran narkoba, dan saya salah satu anggota timnya."

"Benar, kah?"

Jhonny terus mengamati. Matanya tanpa sadar mendapati Jessica yang seolah tertarik akan apa yang dituturkan Sandy. Bahkan Jessica yang hendak menyuapkan sendok yang mie harus menundak kegiatannya dengan gadis itu yang mempertanyakan kebenaran pernyataan Sandy sebelumnya. Apa ini sebuah pertanda jika mereka berjodoh, terbukti dari gadis itu yang sudah menyukai pekerjaannya.

"Iya. Saat ini kami sedang dalam tugas rahasia untuk menyelidiki bandar besar narkoba..."

"Ehemm..." 

Jhonny mencoba mengintrupsi dengan cara berdehem cukup keras untuk menghentikan juniornya berbicara. Sudah jelas jika titel dalam kalimat tersebut ialah tugas rahasia, lalu kenapa pula mau dibocorkan ferguso. Sang kepala tim hanya bisa menghela napas sambil menggeleng pelan untuk menghentikan penjelasan Sandy yang bisa makin merembet ke mana-mana. Bukan maksud tak ingin membiarkan  Jessica mengetahui apa yang hendak di sampaikan Sandy, hanya saja itu tak pantas untuk dibicarakan dengan orang asing yang merangkap kenalan sekolah menengah atas. Jessica juga tak punya kepentingan apa-apa untuk wajib mengetahui hal tersebut, jadi lebih baik menghindari pembahasan yang tidak penting, meski dia tahu niat Sandy itu berusaha untuk menyombongkan diri.

"Kamu sendiri?" Jhonny balik bertanya. Saat ini yang lebih penting ialah mengorek informasi mengenai Jessica sendiri. Apa gadis itu masih sendiri atau sudah memiliki tambatan hati.

"Aku hanya karyawan kantor biasa."

Setelah menghabiskan makanannya, sang AIPTU lebih memilih untuk langsung pergi mengingat Sandy bisa saja berbicara apa pun. Ia hanya berupaya menghindari kemungkinan terburuk jika juniornya yang satu itu bisa saja sampai mengumbar aibnya. Tidak, tidak akan dia biarkan. Tidak di depan Jessica.

"Makasih buat semuanya. Aku pamit tapi bukan berarti kita nggak ketemu lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status