Rae Catalina, malam ini gadis itu sedang berada disebuah tempat dimana ia bisa menemukan mangsa buruannya. Tugasnya kali ini memang berbahaya, namun Rae sangat menyukai tantangan dan ia berjanji akan kembali dengan membawa kepala musuhnya.
Tampil sebagai seorang waiters, tentu saja membuat gadis itu nampak berbeda. Tanpa kacamata dan hanya menggunakan pakaian mini dengan logo khas yang dipasang pada pakaiannya. Matanya terus saja berpedar mencari sosok yang setiap malam selalu melakukan transaksi barang berharga diclub malam ternama ini.
Info dari Aldric benar-benar akurat, bahkan beberapa orang yang turut datang malam ini sesuai dengan perkataan kakaknya itu. Sudut bibirnya sedikit terangkat saat siapa yang ia tunggu datang dengan pengawalan begitu ketat.
Mungkin ini yang ditakutkan oleh Aldric, tapi sayangnya hal ini sama sekali tidak membuat niat Rae untuk menumbangkan pria itu lenyap. Justru sebaliknya, hasratnya begitu menggebu saat ia melihat penjagaan untuk pria itu sangatlah ketat.
Sejak kecil, ia sama sekali tidak pernah takut meskipun ajal datang menjemput, dan mungkin dalam misinya kali ini ia justru akan menjemput mautnya sendiri. Siapa tahu, karena Al begitu keras melarangnya untuk menyelesaikan misinya.
‘Aku mohon, mundurlah! Aku sangat sayang padamu, Rae, jadi berhentilah sebelum semuanya terlambat.’
Perkataan Al itu terus saja terngiang ditelinganya, dan menjadi penyemangat tersendiri untuk gadis itu. Meskipun ia tahu bagaimana kasih sayang Al yang selama ini tidak pernah ia tunjukan, tapi dalam hati ia juga mengatakan hal sama. Kasih sayang mereka murni, dan rasa takut kehilangan adik tercinta begitu menyiksa Aldric.
“Aku juga sayang padamu, Al. Tapi misi ini harus cepat aku selesaikan dan tidak mungkin aku mundur. Jika aku memang harus selesai sampai di sini, itu artinya tugasmu untuk menjaga Papi dan memimpin Venosa,” gumam gadis itu di tengah hingar bingar club malam yang semakin ramai dengan dentuman musik yang semakin menggila.
“Haii... Lin, jangan melamun!” tegus bartender senior yang ada di sampingnya.
“Sorry, tadi ada mantan pacarku lewat, jadi gagal fokus,” Rae tersenyum kaku, bersembunyi atas nama mantan yang sama sekali tidak nyata.
“Oke, siapkan Anggur terbaik dan bawa menuju ruang VVIP,” jelas sang Senior, “Ingat! Apapun yang bos besar itu minta dari mu, lakukan dengan benar.”
Rae hanya mengangguk dan bergegas menuju tempat penyimpanan anggur terbaik dengan harga selangit. Senyumnya seketika mengembang, tapi kali ini ia tidak gegabah. Kamera CCTV terpasang di setiap sudut dan itu sangat membuat gadis itu tidak bisa melancarkan aksinya dalam ruangan ini.
“Nikmati waktu mu Tuan Gerardo Ignacio, karena tidak lama lagi neraka akan menjadi tempat terbaik untukmu,” ucapnya pelan dengan berjalan membawa minuman dan gelas mewah tersebut.
Rae menujukan botol-botol mahal itu pada seniornya, dan hanya anggukan kepala yang ia berikan. Setelah memastikan apa yang ia bawa adalah benar, Rae berjalan menuju ruang VVIP dengan gaya yang begitu seksi, bahkan membuat para pria tak bekedip saat melihatnya.
Pakaian mini yang ia kenakan sangat menunjukan betapa tubuh indah itu pantas untuk dipuja dan diberikan sebuah belaian penuh hasrat. Tanpa mereka ketahui apa yang ada dibalik rok mini dan pakaian terbuka yang dikenakan Rae.
“Stop!! Ada tidak boleh masuk, ini tempat VVIP,” tergas dua bodyguard yang datang bersama Gerardo.
“Saya hanya ingin mengantarkan minuman ini atas perintah pria itu,” Rae menujuk senior yang sedang sibuk menyiapkan beberapa minuman yang diminta oleh para tamu.
Kedua pria perawakan tinggi besar itu melirik satu sama lain, dan akhirnya mereka menghubungi sang Tuan yang ada di dalam ruangan khusus tersebut melalui earphone.
Tanpa menunjukan rasa kesal ataupun bosan, Rae bersabar dan tetap berdiri dengan tegak dengan kedua tangan yang memegang baki besar itu. Dan akhirnya, tidak berselang lama gadis cantik pembunuh berdarah dingin itu diberikan akses untuk memasuki ruang VVIP tersebut.
Sudut bibirnya kembali terangkat, kali ini ia tunjukan pada kedua pria itu dengan kerlingan mata nakal yang menyiratkan sebuah makna.
‘Ayo kita bersenang-senang,’ itulah yang mereka artikan dari senyum nakal yang Rae berikan.
Dengan sedikit membusungkan dadanya, ia berjalan dengan anggun dan menunjukan pesonanya sebagai seorang waiters. Tentu saja ia melakukan hal itu untuk bisa menggoda mereka dan duduk dalam ruangan VVIP tersebut. Semua rekaman telah ia siapkan, bahkan belati kecil dengan racun pada ujungnya sudah ia siapkan dengan rapih dibalik pakaian mininya. Berjaga-jaga, jika mereka berulah sebelum ia beraksi.
Tanpa berkata apapun, Rae mendekati meja dan meletakan botol-botol itu dengan gerakan yang luwes dan penuh godaan. Sesekali ia tersenyum manis dan kembali menunjukan wajah datarnya untuk menarik perhatian salah satu dari mereka. Dan akhirnya apa yang ia inginkan terjadi.
Rae sudah berajak menuju pintu keluar dengan gaya berjalan yang semakin menggerakan bagian belakangnya yang berisi dan begitu kekar menggoda.
“Tunggu!” panggil pria yang tidak lain ada Gerardo.
‘Umpanku telah disambar ikan yang aku inginkan!’ seru Zeze dalam hati.
Rae menghentikan langkahnya, tanpa berbalik. Sudut bibirnya terangkat seketika, namun detik berikutnya ia kembali menormalkan wajahnya dan menampilkan wajah manja dan menggoda pada mereka—pria hidung belang dan pecinta gadis muda.
“Anda memanggil saya, Tuan?” Rae berbalik dan menatap Gerardo dengan nakal.
Tidak ada jawaban dari pria itu, hanya sebuah gerakan jari telunjuknya yang mengatakan dan meminta Rae untuk mendekat dan duduk di atas pangkuannya. Rae tentu saja mengerti dan langsung kembali menghampiri pria itu dan berdiri di sampingnya.
Gerardo menelanjangi tubuh gadis itu hanya dengan tatapan tajamnya. Setiap inci dari gadis itu seakan berhasil membuat pria itu tergoda dan terlihat nyata dalam balutan pakaian yang dikenakannya.
“Siapa nama mu?” suara barithon Gerardo benar-benar mendominasi ruangan tersebut.
“Lin Catalina...” jawabnya dengan tegas.
“Lin Catalina? Apa kau tahu siapa aku?” tanya Gerardo. Tentu saja Rae menggeleng dengan cepat.
‘Tentu saja aku tahu! Kau adalah pria yang harus aku habisi,’ batin gadis itu.
Dengan cepat, pria itu berdiri tepat di hadapan Rae, menatap wajah cantik itu dengan tajam dan membelai wajahnya dengan lembut. Sentuhan itu benar-benar membuat Rae menahan napasnya dan tidak lama kemudian gadis itu meringis kesakitan saat tangan kekar Gerardo mencengkram rahang Rae dengan kuat, tanpa melihat kesakitan yang di tunjukan Rae padanya, pria itu justru semakin memperkuat cengkramannya dan melihat sejauh mana Rae mampu bertahan.
‘Jika aku tidak memikirkan langkahku selanjutnya, detik ini juga aku habisi pria ini. Tapi aku akan tetap bersabar sampai misi ku selesai,’ batin Rae.
Rae terus saja menunjukan wajah memelas dan meringis dengan rasa sakit yang diterimanya. Ia adalah gadis yang pandai bersandiwara, sampai akhirnya pria itu melepaskan cengkramannya dengan kasar.
“Sudahlah Gerard, dia hanya seorang pengantar minuman jadi lupakanlah prilaku buruknya. Dia hanya wanita murahan dan tidak berpendidikan,” ucap seorang pria yang sedang duduk menikmati minumannya.
Rae melirik pria yang baru saja bicara. Matanya hampir saja terbelalak, namun dengan cepat ia kembali menormalkan wajah terkejutnya saat melihat pria yang benar-benar tidak asing untuknya.
“Aku ingin wanita ini diam dan melayaniku!”
DEG
‘Melayani? Aku sungguh tidak sudi untuk melayani mu, jangan pernah berharap lebih Tuan Gerardo Ignacio... Nikmati malam ini, sebelum esok kau tidak bisa menikmati semua ini,’ makinya dalam hati.
“Apapun untuk Anda, Tuan.”
Lagi, lagi dan lagi, Rae dibuat terkejut dengan kenyataan yang ia temukan malam ini. Bukan mengenai kemewahannya, namun karena jarak antara Mansion Gerardo dan kediaman di mana wanita itu berada tidaklah sejauh yang Rae bayangkan.“Jangan berusaha untuk mengecohku! Ini bukanlah tempat yang akan kau datangi bukan?” Rae menekan urat leher pria itu dengan senjata kecil. Sangat kecil, tapi dengan racun yang memastikan.“Ti-tidak! Ini adalah kediaman Nona dan aku memang diminta untuk membawamu ke tempat ini,” jelasnya. Tapi Rae tetap tidak percaya begitu saja.Diam-diam, pria itu meraih ponselnya dan berniat untuk mengabari Nona tetunya, namun Rae bukanlah wanita bodoh yang tidak mengerti mengenai trik murahan seperti ini.“Jadi kau ingin bermain-main denganku? Cepat hubungi dia dan loud speaker!”“Ba-baik …”Sikap pria di hadapannya ini sangat mencurigakan untuk sekelas penjahat. Ya, dia ter
“Gerard! Rae berlari mengejar sebuah mobil,” beritahu Dante.Tanpa berpikir Panjang, Gerardo bergegas keluar menggunakan mobil. Ia melaju dengan kecepatan tinggi dan setelah puluhan meter ia menemukan Rae yang sedang berjalan dengan langkah gontai.“Apa yang kau lakukan di sini, Nona Catalina? Apa kau sudah gila?” Gerardo berteriak, menghakimi Rae tanpa tahu apa yang membuatnya berlari begitu jauh seperti orang bodoh. Gerardo turun dan segera menopang tubuh Rae yang hampir saja jatuh.Rae dibawa ke dalam mobil dengan cepat, napasnya tersengal-sengal, ia lelah. “Kejar dia, Tuan Gerard! Dia orangnya. Wanita itu …”“Rae, tenangkan dirimu!” Gerardo menangkup wajah Rae, membuat istrinya itu sadar di mana mereka berada saat ini. “Tenang! Jangan terpancing,” bisiknya pelan.“Aku melihatnya! Di-dia adalah …”“Sstttt … Aku tahu dia adalah wanita itu.&rd
Dua hari telah berlalu, Rae terus saja mempersiapkan diri dengan segala senjatanya yang mematikan. Ia bahkan kembali melatih tubuhnya saat malam tiba dan terlelap saat menjelang pagi. Gerardo berusaha untuk membuat Rae istirahat, namun istrinya itu tidak pernah ingin diatur.“Jangan seperti ini, Nona Catalina! Kau bisa jatuh sakit,” Gerardo mencekal tangan Rae yang berniat ingin kembali memukul samsak, dan satu tangannya mencegah benda itu agar tidak mengayun pada tubuh Rae.“Cukup! Simpan tenagamu.” Gerardo kembali melunak. “Kita tidak tahu kapan, dari mana dan bagaimana mereka menyerang.”“Itulah alasan kenapa aku tetap seperti ini. Aku harus terjaga!”Gerardo mengerti apa yang Rae maksud, namun jika terus dibiarkan Rae bisa tumbang sebelum berperang.“Pergerakan mereka terhenti! Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ini begitu mencurigakan,” jelasnya kemudian.Rae terdiam,
Dua pekan kepergian Alex masih menyimpan banyak luka untuk Gerardo dan Kalia. Ada dendam yang belum terbalaskan dan ini begitu menyiksa.Kemana, di mana dan pada siapa mereka harus meluapkan semunya? Tidak ada jawaban pasti.“Jaga Mansion ini, aku mungkin kembali satu pekan lagi,” ujar Gerardo pagi ini.“Tidak! Aku tidak ingin memikul beban yang berat. Jaga sendiri Ibumu!” Rae berkata ketus. Bukan tidak ingin, namun Rae takut jika harus menjaga Kalia. Apapun bisa terjadi dan Rae tidak bisa menduga itu.“Kau tidak ingin menolongku, Nona Catalina?” suara Gerardo terdengar marah, ini bukan masalah besar untuk Rae.“Ya! Aku takut jika terjadi sesuatu dan aku harus kembali kehilangan. Aku tidak bisa!”Gerardo menarik napas dalam, apa yang Rae katakan begitu mengusiknya. Rae Catalina sudah terlalu sering merasa kehilangan dalam hidupnya dan sekarang ia menolak, hatinya takut untuk mengalami hal yang
Panggilan itu terputus, lebih tepatnya Alex yang mengakhiri perbincangan dengan Kalia. Posisinya sudah terlalu terjepit, artinya Alex tidak memiliki banyak waktu sekarang.“Maafkan aku, Kalia, tapi ini yang terbaik untuk menebus semua dosa-dosaku.”Alex menaikan kecepatan mobilnya dan melesat meninggalkan dua mobil yang terus berusaha untuk mencelakainya. Sampai di sebuah jalanan sepi, Alex menghentikan mobilnya. Pria tua itu berdiri di depan mobil dengan membawa senjata laras Panjang. Ia menantang mereka.‘Inilah waktunya. Selamat tinggal, Kalia.’“Kau masih punya nyali yang besar ternyata,” cibir anak buah Nona.“Aku tidak akan pernah takut! Karena ini sudah waktunya bagiku berhenti dan mati.”“Ahaha … Jika itu yang kau mau, aku akan mengabulkannya dengan senang hati pak tua.”“Tunggu! Tanyakan dulu apa keinginan terakhirnya?” ujar salah satu dari anak bu
Gerardo menuruni tangga dengan wajah yang sedikit gelisah. Apa yang Rae katakan mengenai situasi yang tiba-tiba saja berubah sepi. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi, termasuk penyerangan lebih besar dan menggila. Namun pikiran itu buyar seketika saat ia mendengar suara yang tidak asing di telinganya.“Apa kabarmu, anakku?” Alex berdiri, ia menatap putranya dengan mata yang berembun.“Aku baik-baik saja,” jawab Gerardo saat mereka berhadapan.“Gerard …” suara Alex tiba-tiba saja tertahan, rasa kecewa pada dirinya sendiri tiba-tiba menyeruak dan membuat pria tua itu sesak. “Maafkan ayah, Gerard.”Untuk pertama kalinya Gerard melihat sikap Alex selemah ini. Pria itu yang sejak lama mengajarkannya untuk selalu bersikap kuat tanpa mengenal kata lelah dan menyerah. Namun hari ini, pria yang sama bahkan mengucapkan kata maaf itu dengan suara begitu pelan.“Kenapa?” tanya Gerardo. &ldquo