Share

05.

Nakula mengeryitkan dahinya saat menyadari keadaannya saat ini yang tak memakai sehelai benang pun. Mata itu menyusuri pakaiannya yang berserakan di lantai. Segera dia memungutnya dan mengenakannya. Saat ia akan beranjak dari kamarnya, ia mendapati ada noda bercak darah yang tertinggal di ranjangnya. Nakula semakin mengernyitkan dahinya. Ia mencoba untuk mengingat apa yang sudah terjadi. Matanya terbelalak sesaat ia mengingat sedikit kilasan-kilasan kejadian kemarin malam. Nakula segera beranjak dari kamarnya dan menuju kamar Sakya, menggedor pintu kamar tersebut dengan kuat.

"Sakya. Sakya apa kamu di dalam?"

Namun, tak ada jawaban yang keluar dari dalam kamar itu.

"Sakya. Tolong buka pintunya. Kita perlu bicara."

Tetap tak ada sahutan dari dalam kamar. Dengan terpaksa, Nakula membuka paksa pintu kamar yang tidak terkunci itu. Namun sayang, ia tak menemukan Sakya berada di dalam sana.

"Di mana dia?" tanya Nakula yang lebih mengarah pada dirinya sendiri.

Suara dering telepon mengalihkan perhatian Nakula dari ketiadaan Sakya di apartemennya. Ia melihat nama sang penelepon. Dengan segera ia mengangkat teleponnya.

"Hallo."

"Kenapa kau susah sekali mengangkat telpon?"

"Ponselku ada di kamar. Ada apa?"

"Kau tanya ada apa? Harusnya kau tanya kabarku dulu. Itu baru benar. Lama tidak bertemu membuatmu melupakanku."

"Ck, dasar agen rahasia gila. Apa kabar Pak Kapten?"

"Nah itu baru benar. Kabarku baik dan aku yakin kabarmu juga baik. Terdengar dari suaramu itu. Kau di mana sekarang?"

"Aku ada di apartemenku."

"Jangan bohong, Nal. Aku sudah berdiri di apartemenmu sekarang ini. Sejak tadi aku membunyikan bel, tapi kau tak kunjung membukakan pintu untukku."

"Jangan bercanda kau, Ka."

"Aku serius. Aku sudah 15 menit di depan pintu apartemenmu."

"Sedang apa kau di situ?"

"Aku datang untuk minta uang jajan padamu."

"Apa?"

"Tentu saja untuk menemuimu."

Nakula menghela napasnya dalam sembari memutuskan sambungan teleponnya. Ia berjalan menuju pintu depan untuk membukakan pintu bagi tamu tak diundangnya tersebut. Saat ia membuka pintu apartemen, Nakula melihat sosok Raka yang sudah berdiri dengan tangan kiri berkacak di pinggangnya dan tangan kanan bersandar di dinding pintu sedang menatap dalam ke arah Nakula.

"Lama sekali kau membukakan pintunya," ucap Raka yang langsung melangkah masuk ke dalam apartemen Nakula tanpa sang tuan rumah menawarinya untuk masuk.

"Kau juga yang salah kenapa pagi-pagi sekali kau datang kemari."

"Aku baru selesai bertugas karena teringat Ibu bilang kau pulang, jadi aku memutuskan untuk mampir," kata Raka yang sudah mengambil duduk di sofa yang ada di ruang tamu tersebut.

Nakula memilih berjalan menuju dapur membuatkan kopi untuk mereka berdua. Sepanjang ia membuat kopi, ia hanya memilih diam. Ia masih sibuk dengan pemikirannya. Peristiwa yang terjadi kemarin malam membuatnya hampir frustrasi. Dia yakin telah melakukan tindakan bodoh. Ditambah lagi keberadaan Sakya yang tidak berada di apartemennya saat ini.

"Ke mana dia? Apa yang sudah aku lakukan padanya? Apa aku sudah ...."

"Hey. Kau dengar tidak apa yang aku katakan?"

"Heh? Oh. Iya."

Raka memperhatikan sikap Nakula yang tampak sedikit aneh pagi ini.

"Nal. Aku pinjam charger ponselmu. Ponselku lowbatt."

"Ada di meja dekat TV. Kau pakai saja."

Raka mencari benda yang dikatakan oleh Nakula tadi. Namun, ia tak menemukan benda itu di sana.

"Tidak ada, Nal."

"Coba kau lihat di kamarku. Mungkin ada di dalam."

Raka berjalan menuju kamar Nakula. Ia membuka pintu kamar Nakula yang tampak sedikit berantakan. Saat tengah sibuk mencari benda yang ia maksud, matanya menangkap sesuatu yang aneh pada kamar tersebut terutama pada bagian ranjang. Raka mengerutkan sedikit dahinya. Dari dalam kamar ia melihat ke arah Nakula yang sudah duduk di sofa. Setelah menemukan benda yang dicari ia pun keluar dan memilih duduk di sofa berseberangan dengan Nakula.

Nakula yang tengah menikmati kopi buatannya sembari berpikir tak memperhatikan Raka yang terus menatapnya aneh. Raka meneguk kopi yang dibuat oleh Nakula. Kemudian tatapan matanya kembali menatap ke arah Nakula mencoba meminta kejujuran dari Nakula, walau itu merupakan privasi bagi Nakula.

"Kenapa ngeliatin aku begitu?"

"Kau ada masalah?"

Nakula mengalihkan tatapannya dari Raka yang mencoba mencari tahu mengenai apa yang terjadi padanya. Ia tahu, saat ini Raka tengah mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya.

"Enggak. Enggak ada masalah apa pun."

Namun, Raka tak percaya begitu saja. Ia hanya menatap Nakula dengan lekat sampai akhirnya Nakula kalah akan tatapan Raka yang seolah mengintimidasi dirinya.

"Oke. Oke. Aku memang tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu."

Raka hanya diam. Ia masih menatap Nakula dengan lekat.

"Iya, aku punya masalah."

Raka menaikkan satu alisnya.

"Hubunganku dengan Nesya sudah berakhir."

"Apa?" ucap Raka sembari mengerutkan dahinya seolah tak percaya apa yang diucapkan Nakula.

"Ya ... aku putus. Nesya memilih karirnya dan dia juga akan bertunangan dengan pria lain."

"Nesya lebih memilih karirnya?" Nakula mengangguk. "Dan kau bilang apa tadi? Dia akan bertunangan dengan pria lain?" tanya Raka untuk meyakinkan dirinya kalau dia tidak salah dengar.

"Hmm. Sepertinya aku harus merelakannya."

"Benarkah? Maksudmu Nesya berselingkuh saat kalian masih menjalin hubungan?”

Nakula menghela napas dalam. Tanpa Nakula menjawabnya pun Raka sudah mendapatkan jawaban itu.

“Sebenarnya bukan itu yang ingin aku dengar, Nal."

"Lalu?"

Raka hanya diam. Namun, kedua matanya memberi isyarat pada Nakula ke arah kamarnya. Nakula membelalakkan kedua matanya saat menyadari kebodohannya. Ia yakin Raka sudah melihat keadaan kamarnya yang berantakan dan pastinya keadaan ranjang yang tentu saja meninggalkan sebuah jejak di sana.

"Kau tidak ingin cerita padaku?"

Nakula menghembuskan napasnya dengan dalam dan berat.

"Aku bingung harus memulainya dari mana, Ka. Sekarang sepertinya aku telah menimbulkan masalah baru."

"Ya, kau hanya perlu menceritakan semuanya saja dari awal. Memangnya masalah baru apa yang telah kau timbulkan?"

Nakula hanya diam tak bergeming.

"Maaf kalau aku lancang dan ingin tahu. Tapi dari apa yang aku lihat sepertinya kau sudah melakukan tindakan bodoh."

Kembali Nakula menarik napasnya dengan dalam. Lalu menghempaskannya dengan kasar. Ia usap wajahnya dengan kedua tangannya.

"Itu dia yang jadi masalah baruku. Aku mabuk dan aku enggak sadar apa yang udah aku lakukan."

Raka mengernyitkan dahinya menatap Nakula.

"Saat aku bangun keadaannya sudah terjadi. Saat aku ingin menemuinya dan meminta penjelasan dia sudah tidak ada di sini."

"Maksudmu ... Nesya?"

"Bukan."

"Kau ... membawa wanita lain ke apartemenmu? Dan kalian …."

"Begitulah."

"Bagaimana bisa kau membawa seorang wanita ke sini?"

"Ceritanya panjang."

"Lalu ke mana wanita itu?"

"Aku tak tahu. Dia menghilang begitu saja. Aku rasa setelah kejadian ini dia pergi, padahal aku ingin bertanya banyak hal soal ini. Aku rasa dia tak ingin aku melakukan apa pun untuknya."

"Bagaimana mungkin kau melakukan itu, Nal? Kalau sampai Bunda tahu aku yakin Bunda pasti akan sangat kecewa padamu."

"Aku tahu. Aku juga berpikir seperti itu. Tapi aku benar-benar nggak sadar saat melakukannya, Ka. Aku mabuk."

Raka menatap Nakula lekat.

"Aku rasa dengan dia pergi semua permasalahan mungkin dia anggap selesai."

"Apa kau juga berpikir seperti itu?"

Nakula mengangguk ragu.

"Kau salah. Permasalahan yang sebenarnya baru akan dimulai."

Nakula mengerutkan dahinya saat mendengar Raka. Kemudian tertawa pelan mendengar ucapan Raka seakan tahu ke mana tujuan ucapan Raka.

"Maksudmu dia akan hamil?"

Raka menganggukkan kepalanya.

"Yang benar saja. Itu tidak mungkin. Kami melakukannya hanya sekali dan aku ...," ucapan Nakula terhenti saat ia menyadari satu hal. Dia mulai mengingat ulang peristiwa kemarin malam.

"Sudah kuduga. Kau pasti tidak menggunakan pengaman."

Nakula tampak berpikir. Ia diam membatu di tempatnya.

"Apalagi saat aku melihat ada noda darah di ranjangmu, sudah pasti dia masih perawan. Dan bisa saja dia dalam masa suburnya saat kalian melakukan hal itu. Kau harus tahu tidak jarang hubungan yang baru dilakukan walau hanya sekali membuahkan hasil."

"Enggak mungkin, Ka."

"Menurutmu itu tidak mungkin dan tidak akan terjadi. Tapi semua itu bisa saja mungkin, Nal. Persentasenya lima puluh berbanding lima puluh. Kak Ara pernah mengatakan hal itu. Jadi kalau hal yang tidak diinginkan terjadi, kau harus bersiap-siap untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Satu hal yang harus kau ingat, wanita itu masih perawan. Dan kau sudah memperawani seorang wanita yang aku yakin dia pasti wanita baik-baik."

Nakula terdiam membeku di tempatnya.

"Boleh aku tahu seperti apa wanita itu?" tanya Raka saat Nakula hanya diam tak bergeming.

Sementara itu, Sakya terduduk di halte bus dengan wajah muram. Ia bingung harus ke mana saat ini. Tak ada tempat untuk ia tuju saat ini. Menemui kakaknya sama saja dengan menjerumuskan dirinya ke dalam lembah gelap. Tetap tinggal dengan Nakula, itu juga tidak mungkin mengingat peristiwa yang baru saja ia alami membuatnya tak ingin bertahan di sana. Ia takut hal itu akan terjadi lagi. Sakya menundukkan kepalanya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ke mana aku harus pergi?" gumamnya.

Seorang wanita turun dari motor yang ia kendarai. Ia menatap sosok Sakya yang tengah duduk dengan menundukkan kepalanya. Ia mendekat dan menatap sosok wanita itu di hadapannya. Matanya membulat saat melihat Sakya.

"Kya? Ini benar-benar kamu Kya?" ucap wanita tersebut yang langsung membuat Sakya mendongakkan kepalanya untuk melihat sosok wanita tersebut.

"Alin? Ini kamu Alin?"

"Iya, Kya. Ini aku. Alin. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya wanita tersebut yang tak lain adalah Alin sahabat sedari kecil Sakya.

Sakya hanya diam dengan air mata membasahi wajahnya. Alin yang melihat Sakya menangis mengambil duduk di sisi Sakya lalu memeluk wanita itu dengan erat. Ia tahu saat ini Sakya pasti dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Apa yang terjadi, Kya?"

Sakya tak menjawab. Ia masih saja terus menangis dalam pelukan Alin.

"Kamu ikut aku sekarang. Kita ke kontrakanku," ajak Alin. Sakya hanya menundukkan kepalanya. Alin langsung memacu motornya berlalu dari tempat tersebut yang terletak tak jauh dari letak apartemen Nakula.

Nakula menceritakan ciri-ciri Sakya pada Raka. Raka terlihat mengerutkan dahinya. Ia memutar memori dalam otaknya. Mengingat saat menuju apartemen Nakula, ia melihat ada seorang wanita yang tampak berjalan lemah dengan penampilan yang sedikit berantakan sembari menangis.

"Kau bertemu dengannya?"

"Hmm. Ciri-cirinya sama seperti yang kau ucapkan tadi. Saat aku akan menuju kemari, aku melihat dia dari kejauhan yang tampak keluar dari hunianmu ini."

Nakula bangkit dari duduknya lalu berlari keluar menuju parkiran dan pekarangan sekitar apartemennya. Namun sayang, Sakya sudah tak tampak di sana.

"Arrrghhh ... kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi Raka?" ucap Nakula frustrasi saat ia tak menemukan Sakya di sana.

"Kau juga tidak mengatakan apa pun padaku sejak awal, sampai akhirnya aku yang harus bertanya padamu."

Nakula hanya menggaruk kepalanya dengan frustrasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status