Share

06.

"Kamu kenapa enggak bilang kalau ada di kota ini? Bukankah aku sudah memberikan nomor ponsel dan alamatku padamu?" tanya Alin saat ia dan Sakya kini sudah berada di kontrakannya. Ia memberikan segelas teh pada Sakya yang tampak sangat kacau sekali.

Sakya hanya diam duduk di tempatnya menerima gelas yang diberikan Alin padanya.

"Lalu bagaimana, apa kamu sudah bertemu dengan Kak Sandi?"

Sakya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Alin yang melihat sikap Sakya mengerutkan dahinya. Biasanya Sakya akan sangat bersemangat sekali jika membicarakan mengenai satu-satunya kakak lelaki yang dimiliki Sakya.

"Lalu?"

Sakya kembali menangis saat Alin terus bertanya. Melihat Sakya yang menangis membuat Alin jadi bingung. Ia mencoba menerka apa yang terjadi pada Sakya dan Sandi, kakaknya.

"Kamu kenapa, Kya? Kalau kamu sudah bertemu dengannya harusnya kamu senang dan tidak berada di tempat tadi dengan duduk sendirian seperti ... maaf. Gembel," ucap Alin dengan pelan di akhir katanya.

"Kak Sandi jahat, Lin. Kak Sandi jahat," ucap Sakya kembali terisak.

"Memangnya apa yang terjadi?"

Sakya menatap lekat Alin. Ia harus cerita pada sahabatnya itu. Ia tak bisa menyembunyikannya karena memang tak ada hal yang bisa ia sembunyikan dari Alin.

"Saat aku sampai di Jakarta Kak Sandi memang menjemputku. Tapi ...."

Alin masih menunggu kelanjutan cerita Sakya.

"Tapi Kak Sandi berniat menjualku di rumah bordil. Aku enggak mau, Lin. Aku enggak mau."

"Apa? Kak Sandi ingin menjual mu di rumah bordil? Apa dia sudah gila!!" pekik Alin yang geram saat mendengar cerita Sakya.

Sakya mengangguk dan semakin menangis terisak saat mengingat peristiwa yang dialaminya termasuk kejadian kemarin malam yang merenggut harta berharganya.

"Kurang ajar Kak Sandi. Apa dia tidak punya hati sama sekali? Apa dia sudah gila ingin menjual kamu, adiknya sendiri untuk di berikan pada pria hidung belang!!" pekik Alin dengan geram.

Sakya hanya diam.

"Lalu selama beberapa hari ini kamu tinggal di mana? Dan sekarang kenapa kamu bisa ada di tempat tadi?"

Sakya menatap lekat Alin.

"Kya. Ayo cerita. Kamu tinggal di mana selama beberapa hari ini. Dan bagaimana bisa kamu lolos dari Kak Sandi."

"Saat Kak Sandi membawaku ke tempat itu dan hendak menyerahkanku pada salah satu pria hidung belang aku melarikan diri. Dan saat itu ada seseorang yang datang menolongku. Selama beberapa hari aku menumpang di tempatnya."

"Lalu kenapa aku melihatmu di sana dan penampilanmu ...."

Sakya hanya menatap Alin dengan lekat. Melihat Sakya yang sepertinya tak ingin menjelaskan apa pun saat ini membuat Alin mengerti.

"Ya sudah, mulai saat ini kamu tinggal denganku saja."

"Tapi, apa aku tidak merepotkanmu?"

"Tentu saja tidak, Kya. Kamu kan sahabat aku, mana mungkin kamu ngerepotin aku."

Sakya menatap Alin dengan lekat kemudian, ia menyunggingkan senyuman terbaiknya pada Alin. Ia akan melupakan peristiwa yang sudah dialaminya. Ia yakin bersama Alin ia mampu melewati masa-masa sulit hidupnya.

"Makasih ya, Lin."

Alin hanya mengangguk.

"Oh iya. Aku harus berangkat kerja. Kamu enggak apa-apa kan aku tinggal di sini sendiri?"

"Tidak apa-apa, Lin."

"Baiklah. Aku pergi dulu. Kalau kamu lapar, kamu masak saja. Aku sudah menyediakan bahan-bahan makanan di kulkas. "

Sakya mengangguk.

"Dan untuk pakaianmu tidak usah khawatir. Kamu pakai saja pakaianku. Kita bisa memakai pakaiannya secara bergantian, karena tubuh kita juga tidak terlalu beda."

"Iya. Terima kasih ya."

"Sama-sama. Ya sudah, aku berangkat kerja dulu ya."

"Iya. Hati-hati ya?"

Alin hanya tersenyum menjawab ucapan Sakya. Ia pun berlalu dari kontrakannya menuju tempat kerjanya. Sementara Sakya, ia memilih untuk membereskan kontrakan Alin yang cukup sedikit berantakan.

* * * * * * *

"Katanya Raka kemarin main ke apartemen kamu?" tanya Farhan saat ia dan keluarganya tengah menikmati makan malam bersama.

"Iya, Yah. Dia datang pagi-pagi sekali kemarin."

"Ayah salut sama dia. Dengan kesibukannya dia masih menyempatkan waktu buat ketemu sama kamu."

"Raka sudah punya pacar belum?" tanya Andini.

"Nala enggak tahu, Bunda. Raka enggak cerita apa pun untuk hal itu. Walau semuanya hampir dia ceritakan, tapi untuk yang satu ini, Raka enggak bilang apa pun. Mungkin memang dia belum memiliki pacar, Bun."

"Sayang sekali kalau dia belum memiliki pacar. Dia kan tampan. Punya pekerjaan juga cukup bagus. Masa sih tidak ada wanita yang mau dengannya?"

"Udah ada kok, Bun. Tapi, emang belum diperkenalkan saja sama Bunda. Mungkin menunggu waktu yang tepat buat diperkenalkan ke Bunda dan juga Ayah," ucap Arya.

"Benarkah?"

"Iya, Bunda. Waktu Ayah dan Ibu ulang tahun, Raka membawanya ke rumah dan memperkenalkannya pada kita semua," ucap Anaya membenarkan ucapan suaminya.

"Waahhh ... itu artinya dalam waktu dekat ini ibu Kinaya akan memiliki menantu baru."

"Aamiin. Doakan saja ya, Bunda," ucap Arya.

"Nal, kamu kapan akan melamar Nesya?" tanya Farhan yang sukses membuat Nakula tersedak makanannya sendiri.

"Kamu itu pelan-pelan dong makannya," ucap Andini yang langsung memberikan segelas air putih pada Nakula.

Nakula bingung harus menjawab apa atas pertanyaan ayahnya, sementara dirinya dan Nesya sudah tidak memiliki hubungan apa pun karena Nesya yang memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

"Ayah dan Bunda sudah tidak sabar ingin melihat kamu dan Nesya menikah," ucap Farhan.

"Benar kata Ayah. Mengingat hubungan kalian juga sudah cukup lama terjalin. Bunda rasa enggak ada salahnya kalian membicarakan masalah hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius lagi," ucap Andini.

Anaya menatap dalam Nakula. Ada hal yang ingin ia ungkapkan tetapi, tertahan karena lain hal. Raut wajahnya juga sedikit berubah dari sebelumnya.

"Nanti akan Nala bicarakan dulu sama Nesya," ucap Nakula.

Ia pun bangkit dari duduknya karena merasa sudah menyelesaikan makannya, walaupun masih ada tersisa sedikit sisa makanan di piringnya. Andini menatap kepergian putranya tersebut dengan penuh pertanyaan. Ia yakin putranya menyembunyikan sesuatu hingga membuat dirinya terlihat merasa tidak nyaman seperti itu.

Nakula duduk di balkon kamarnya. Malam ini kembali ia termenung mengingat kenangan indahnya saat masih bersama dengan Nesya. Namun sayang, semua kenangan indah itu sudah tidak akan bisa terulang kembali dan akan hilang bersama dengan Nesya yang telah pergi darinya. Sekelebat bayang-bayang kejadian malam itu melintas di pikirannya. Ia masih memikirkan kejadian di mana ia sudah merampas kesucian seorang wanita yang tak bersalah karena kesalahannya sendiri yang terlalu larut akan perpisahaannya dengan Nesya.

"Arrrggghhh ... kenapa aku begitu bodoh saat itu? Kenapa kau begitu gegabah, Nala?" gumam Nakula frustrasi sembari mengacak-acak rambutnya.

"Memangnya apa yang sudah membuat kamu begitu gegabah. Hmm?" ucap Andini saat melihat putranya itu terlihat dipenuhi dengan banyak masalah.

"Bunda?" ucap Nakula terkejut saat dirinya tak menyadari kehadiran Andini didekatnya. Andini hanya tersenyum.

"Tidak apa-apa, Bunda. Hanya saja saat ini Nala sedang banyak pikiran."

"Mengenai Nesya?"

Nakula diam.

"Kamu sama Nesya sedang bertengkar?"

Kembali Nakula masih diam. Andai bundanya tahu kalau dia dan Nesya bukan hanya sekadar bertengkar tetapi, memang sudah tidak bisa untuk bersama lagi. Ia yakin bundanya pasti akan sangat kecewa sekali mengingat bundanya menyukai dan menyayangi Nesya.

Namun, yang membuat kepalanya semakin terasa sakit adalah saat ia memikirkan apa yang akan terjadi jika bundanya tahu bahwa ia sudah meniduri seorang wanita yang tak bersalah sama sekali. Ia yakin bundanya sudah pasti akan sangat membenci dirinya.

"Bunda paham kalau kamu memang belum mau cerita ke Bunda. Tapi Bunda harap kamu tidak membuat kesalahan yang fatal yang akhirnya membuat hubungan kamu dan Nesya nantinya berantakan."

Nakula mengangguk kecil.

"Ya sudah sebaiknya kamu istirahat. Bukankah besok kamu akan bertugas kembali?"

"Iya, Bunda."

"Ya sudah kamu tidur ya. Bunda tidak mau kamu kelelahan dan akhirnya akan berujung pada pekerjaan kamu. Ingat. Semua dipertaruhkan di pundakmu," ujar Andini yang langsung mendapat anggukkan kepala dari Nakula. Andini pun berlalu dari hadapan Nakula.

* * * * * * *

Sakya dan Alin sedang menikmati makan malam mereka. Menu sederhana yang dibuat Sakya membuat Alin terlihat melahap makanannya dengan penuh semangat.

"Lin, pelan-pelan."

"Jangan melarangku, Kya. Kamu tahu, aku sudah sangat rindu sekali dengan makanan-makanan ini. Sudah lama sekali aku tidak memakannya. Habisnya di sini tidak ada yang menjual makanan seperti ini. Dan aku bosan sekali rasanya memakan makanan yang selalu aku beli di warung."

"Memangnya kamu tidak memasak Lin?"

"Aku tidak punya waktu."

Sakya menatap Alin menunggu sahabatnya ini melanjutkan ucapannya.

"Kamu tahu, aku pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang dari tempat kerjaku jam 7 malam. Belum lagi aku harus jalan membawa motorku membelah kota yang semakin hari semakin macet saja dan baru sampai di rumah tepat jam 9 malam. Bagaimana mungkin aku bisa memasak. Tidak ada waktu. Sampai di rumah aku lebih memilih untuk segera mandi, makan dan langsung tidur. Besok akan terulang lagi seperti itu."

"Kamu pasti sangat lelah sekali setiap hari harus selalu begitu."

"Mau bagaimana lagi. Aku harus melakukannya. Kalau tidak dari mana aku akan hidup dan kalau aku bermalas-malasan, mana mungkin aku bisa bertahan. Kota ini cukup kejam."

Sakya diam. Apa yang dikatakan Alin memang benar. Kota ini cukup kejam. Tidak. Bukan hanya cukup kejam, tetapi sangat kejam termasuk pada orang-orang kampung sepertinya. Kalau tidak bisa menjaga diri dengan baik maka kehidupan baik tidak akan berpihak padanya. Saat ini itulah yang tengah terjadi padanya. Ia sudah berusaha menjadi baik agar orang-orang tidak berbuat jahat padanya, tetapi kejamnya orang-orang yang tinggal di kota ini tak menghiraukan hal itu.

"Aku mau tambah lagi. Habisnya ini enak sekali. Aku semakin rindu pada masakan dan makanan khas di kampung kita."

"Aku tahu. Makanya aku membuatkannya untukmu."

"Terima kasih ya. Kamu memang sahabat terbaikku. Kamu tahu apa yang sangat aku sukai."

Sakya tersenyum mendengar ucapan Alin.

"Lin."

Alin yang masih sibuk mengunyah makanannya menatap Sakya.

"Apa kamu bisa membantuku untuk mencarikan pekerjaan untukku?"

"Kamu ingin bekerja?"

"Tentu saja. Aku tidak mungkin terus-terusan bergantung padamu Lin."

"Tapi Kya, aku rasa lebih baik kamu di rumah dulu saat ini."

"Aku tidak bisa diam saja Lin. Kamu sudah susah payah bekerja keras untuk kehidupanmu sementara aku sudah menumpang padamu masa aku harus terus bergantung padamu. Aku tak ingin merepotkanmu terus, Lin."

Alin menatap Sakya dengan lekat.

"Apa pun pekerjaannya. Aku akan bekerja keras untuk kehidupan kita, Lin. Aku tak ingin kamu sendirian yang berjuang. Aku juga ingin berjuang bersamamu."

"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan bantu carikan pekerjaan untukmu. Aku akan tanya pada bos di tempatku bekerja. Siapa tahu mereka membutuhkan tenaga pegawai baru."

"Benarkah?"

"Hmm. Tapi aku tidak janji kalau kamu bisa bekerja di tempat yang sama denganku."

"Tidak apa-apa Lin. Apa pun pekerjaannya asalkan halal aku akan lakukan. Aku butuh pekerjaan Lin."

"Baiklah. Secepatnya aku akan carikan pekerjaan untukmu," ucap Alin sembari tersenyum.

"Terima kasih ya, Lin. Kamu memang sahabat terbaikku," ucap Sakya sembari tersenyum senang.

"Jangan berlebihan. Kita kan sahabat jadi wajar jika aku membantumu."

Keduanya pun tersenyum bersama. Mereka melanjutkan makan malam mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status