Tringgg tringgg tringgg...
Suara alarm yang berbunyi sejak 30 menit yang lalu ternyata tak membuat Lisa terbangun dari tidur lelapnya. Padahal Mamanya pun sudah sejak tadi mengomel tidak jelas di dapur karena tak kunjung melihat anak perempuan satu-satunya itu keluar dari kamar tidurnya.
“Sayang, udah jam berapa nih ? hari inikan hari pertama kamu sekolah. Gimana sih. Makanya kalau malam tuh tidur jangan main game mulu, repotkan jadinya. Niat sekolah nggak sih Lis? Papa kamu udah dari tadi nungguin tuh.”
Mendengar gedoran pintu kamarnya dari luar, Lisa secara spontan terbangun dan melihat jam yang ada di handphonenya. “Ha ? gue telat bangun lagi, aduh gawat nih. Mana hari pertama gue sekolah lagi. Dasar dodol lo Lis.”
Tanpa pikir panjang Lisa berlari ke kamar mandi untuk segera bersih-bersih seperlunya. Bukan mandi, tapi hanya mencuci muka, gosok gigi dan membersihkan seperlunya. Untuk mandi dengan sangat singkat pun, rasa-rasanya sudah tidak keburu lagi.
“Ya elah hari pertama gue sekolah malah nggak mandi. Ampun deh gue. Tapi ya udahlah daripada gue telat. Kalau udah mandi parfum gini, entar udah enggak bau lagi kok. Pokoknya masa bodo dah, yang penting gue sekolah dulu aja. Enggak ada yang tahu juga kok,” ucapnya kepada diri sendiri. Lisa pun mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja belajarnya lalu berlari menuju ke tempat Papanya sedang menunggu.
“Lis sarapan dulu gih!” ucap Mamanya saat melihat Lisa yang melintas tiba-tiba di depannya.
“Aduh nggak usah Ma, ini Lisa udah telat banget,” omel Lisa sambil memasang kaos kaki dan juga sepatunya.
“Yah udah, kamu bawa bekal aja kalau gitu. Mama siapin yah.”
“Please Ma, Lisa tuh udah gede, pokoknya nggak ada bekal-bekalan. Kayak anak TK aja nih si Mama. Aku ambil roti aja deh nanti makan di mobil, okey.” Lisa menarik wajah mamanya agar mendekat kepadanya. Dengan sangat terburu-buru ia menyempatkan untuk mengecup pipi Mamanya.
“Ya udah kalau gitu, kamu hati-hati gih.”
“Iya iya nyonya Aldian. Lagian yang hati-hati tuh Papa, kan Lisa tinggal duduk cantik aja di dalam mobil. Udah ah Lisa berangkat ya ma. Eh, tapi Papa dimana Ma ?”
“Ada tuh di depan, udah nunggu dari tadi. Kam...” belum sempat Mamanya melanjutkan pembicaraannya, Lisa sudah menghilang dari pandangan matanya.
“Hemmm, dasar tuh anak, bukannya bangun pagi malah kesiangan. Padahal kan hari pertama sekolah.
Untungnya hari ini belum banyak kendaraan yang lalu lalang. Alhasil Lisa bisa sampai di depan gerbang sekolah dengan tepat waktu. Setelah mobil Papanya berhenti di depan gerbang sekolah, Lisa bergegas keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam pelataran sekolah sebelum bel masuk berbunyi.
“Pa, Lisa sekolah dulu yah, Papa hati-hati di jalan. Oh iya, entar enggak usah jemput Lisa yah. Lisa rencananya pulang bareng Jenni aja.”
“Jadi nggak usah Papa jemput nih?”
“Iya Papaku sayang. Udah yah Lisa udah hampir telat nih, bye Papa.” Lanjut Lisa sambil mencium punggung tangan Papanya. Setelahnya ia berlalu meninggalkan mobil Papa dan berlari memasuki sekolahnya.
Dengan langkah pasti, Lisa menyusuri jalanan dengan penuh semangat. Tak ada yang benar-benar baru di mata Lisa, meskipun hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah sebagai siswa kelas sebelas di tempat ini. Baginya segala sesuatu yang terjadi dan ia alami hari ini hanyalah lanjutan dari hari sebelumnya. Sepuluh ataupun sebelas tetap sama saja di matanya. Iya, sama sebab masih akan ada siswa nakal, siswa rajin, guru-guru killer, atau guru-guru humoris, dan masih ada kantin tempatnya sering bolos mata pelajaran tentunya.Yang harus Lisa lakukan hanya membiasakan diri dengan teman-teman kelas yang baru yang beberapa diantaranya belum pernah ia temui sebelumnya di kelas yang lalu. Dan tentunya dia pun harus mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar yang baru pula.
Setelah lelah berjalan, Lisa akhirnya sampai di depan kelas XI IPA-3. Karena kelasnya termasuk kelas yang paling ujung, sehingga membuat nafasnya terengah-engah untuk bisa sampai di tempat tujuan.
“Akhirnya sampai juga nih kelas. Harusnya tuh yang buat sekolah mesti nyiapin kereta khusus buat siswa, biar nggak ngos-ngosan gini tiap pagi. Untung gue nggak mandi, jadi nggak rugi deh. Udah harum-harum eh ujung-ujungnya keringatan juga.” Lisa menyeka keringatnya menggunakan tissu yang kebetulan tersimpan di saku bajunya.
“Whattt ??? Lo nggak mandi Lis. Idihh jorok banget sih. Pantesan aja bau-bau acem sejak tadi. Ihhh, iyyuwww.” seru Jenni yang tiba-tiba muncul dari belakang Lisa.
“Ihh Jenni, nggak harus teriak juga kali, malu tau. Enak aja lo ngatain gue yang jelek-jelek.” Lisa membungkam mulut Jenni dengan menggunakan tangan kanannya.
“Habisnya lo jorok. Masa hari pertama sekolah nggak mandi sih. Cantik-cantik kok malas mandi. Dasar kebo lo. Pantesan aja sampe sekarang masih jomblo aja,” Jenni mengejek tiada henti dan diselingi dengan tertawaannya yang menggelegar di depan kelasnya. Seolah puas melihat tampan malu-malu Lisa.
Lisa hanya tersenyum tanggung menyaksikan tingkah Jenni yang kerap kali mengomelinya.
“Daripada ngurusin lo yang ketawa nggak jelas mending gue masuk kelas aja deh. Gue mau nyari teman baru, males temenan sama lo terus,” cetus Lisa.
“Ya elah Bu jangan marah-marah gitu dong nanti cepat tua lo. Kalau udah tua terus malas mandi cucu-cucunya bakal kabur semua, abisnya neneknya bau sihh. Udah peyot, bau, hidup lagi. bikin penuh-penuh bumi aja. Hahaha.”
“Awas ya lo, gue tampol gorengan mau ?”
“Sekalian dengan minumnya bu. Hahahaha,” jawab Jenni masih dengan tertawaan yang amat kencang.
Bel tanda masuk baru saja berbunyi. Sontak Lisa dan Jenni berlari masuk ke ruang kelas XI IPA-3 dan segera mencari kursi untuk duduk. Dari arah sudut kanan belakang ruangan tersebut, tampak Rose sedang melambai kepada keduanya, Jenni dan Lisa. Seolah memberi arahan jika kursi di sampingnya masih kosong.
“Hei kursi ini masih kosong, kayaknya sisa ini sih soalnya yang lain sudah keburu diambil anak-anak yang lain. Lagian kalian tuh ngapain aja sih kok lama banget datangnya. Udah tahu kalau hari pertama masuk sekolah. Masih kebawa suasana liburan yah,” jelas Rose saat kedua temannya tiba di depan matanya.
“Tau nih si Jenni, ngajak berantem mulu di depan. Jadinya terlambat masuk kelas deh.”
“Ya duduk di belakang lagi, kapan pintarnya kalau gini terus dari SMP sampai SMA eh malah kebawa sampe kelas XI segala lagi. huhhh,” keluh Jenni sambil menggeser kursinya agar bisa duduk.
“Idih, lo ma duduk di mana aja juga nggak bakal ngaruh Jen. Kalau otak ngepas ya ngepas aja. Nggak usah nyari-nyari alasan. Sok-sokan banget lo. Sekali otak udang yah tetap aja otak udang dodol. Hahahaha.”
Hari jumat adalah hari nerakanya bagi siswa dan siswi SMA NUSANTARA. Di sekolah telah ditetapkan aturan baru. Untuk hari jumat di adakan kegiatan bersih-bersih. Atau istilah kerennya adalah jumat bersih. Setiap siswa dan siswi di haruskan untuk membersihkan kelas dan juga halaman sekolah sebelum melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler sekolah.Dan untuk hari jumat kali ini Rey dan juga Vie mendapatkan tugas untuk membersihkan kelasnya. Keduanya tengah memegang sapu di tangannya masing-masing. Dengan telaten Vie menyapu lantai kelasnya itu. Rey pun mencoba untuk membantu.Melihat Vie yang begitu semangat membersihkan membuat sikap jail Rey bangkit. Dengan jailnya ia berjalan mengikuti cara berjalan doraemon, mendekat ke arah Vie dan menunjuknya dengan menggunakan sapu yang di pegangnya tadi.“Sapu kejujuran. Pertanyaan kali ini terkait dengan klub basket. Yahh pemain fenomenal Vie. Gue dengar lo berubah pikiran yah dengan turnamen yang gue bilang tempo hari ? apakah itu benar adanya ?”Vi
Jenni menyantap mie ayam pesanannya. Hari ini ia benar-benar sangat lapar karena kelelahan berolahraga tadi pagi dan belum sempat makan. Istrahat kali ini ia hanya bersama dengan Rose. “Lihatlah, Lisa lagi lagi melewatkan makan siangnya dan hanya tertidur. Gue jadi sebbel sendiri kalau liat dia akhir-akhir ini tahu nggak Rose. Bukan apa-apa sih tapi gue khawatir dia kenapa-napa.”“Itu karena dia kelelahan aja Jen.”“Bukan kelelahan Rose tapi karena dia terlambat tidur dan harus bangun pagi-pagi. Dia seharusnya tidur terlambat dan datang terlambat juga. Jadi tidak mengantuk gitu di sekolah.”“Tapi Lisa kan nggak mau telat lagi Jenn.”Tidak, tidak se...”Pembicaraan Jenni berhenti ketika ada seorang siswa lelaki yang datang menghampirinya.“Jenni!”“Apaan sih, bikin kaget aja lo.”Lelaki itu lantas duduk di kursi samping tempat duduk Rose, berhadapan dengan Jenni.“Ini tentang temanmu itu lo.”“Siapa ? dia ?” menunjuk Rose dengan matanya.“Bukan, bukan dia. Temanmu yang satu lagi.”“Ohhh
"Kenapa tidak ?”“Pokoknya tidak ada alasan apapun,” ucap Vie tegas.“Ayolah aku mohon,” ucap Rey dengan wajah yang memelas.“Gue nggak mau pergi Rey. Lo maksa mulu yah.”“Lo kan udah janji sama gue Vie. Gimana sih. Lo ngeselin deh lama-lama,” ucap Rey kesal dengan sikap acuh Vie kepadanya. “Untuk memberitahu gue kenapa lo main basket sendirian,” lanjutnya.Vie menoleh, melihat ke arah Rey. Menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Kapan gue berjanji.”Ucapan Vie barusan sontak membuat Rey melihat ke arah Vie dengan ekspresi kaget. Matanya melotot sempurna. “Astaga! Lihatlah orang ini. Sekarang malah pura-pura lupa segalanya.” Rey menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan tingkah Vie.“Gue sebenarnya nggak suka tim,” jawab Vie akhirnya.“Apa ?”“Gue nggak suka tim. Ada batasan dan semuanya benar-benar rumit. Lo harus siap untuk bersaing diantara teman lo sendiri,” ucapnya sambil terus fokus dengan buku yang terletak di mejanya.“Hei, itu hanya sebuah klub. Itu bukan dunia mereka sendiri.
Pukul 07.15 pagi, Lisa sudah berjalan memasuki gerbang sekolahnya. Sedangkan Vie menunggunya di lapangan. Berbeda dari hari sebelumnya, kali ini ia datang lebih awal. Malahan, sangat awal dari biasanya. Berkat Vie yang menerornya pagi-pagi sehingga Lisa yang biasanya telat bangun hari ini dapat datang ke sekolah lebih cepat dari sebelumnya.Dengan sedikit lari-lari kecil, ia menghampiri Vie yang tengah duduk di kursi taman sekolah. Menyadari keberadaan Lisa, membuat Vie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menyelaraskan langkah dengan Lisa.Kali ini Vie tidak langsung menuju ke kelasnya. Ia mengikuti Lisa yang masuk ke kelasnya. Meliriknya yang sembari duduk di kursi. Lisa yang menyadari dirinya sedang diperhatikan, akhirnya mencoba melihat ke arah lain. Bertingkah biasa saja.Lima menit telah berlalu, namun Vie tetap saja bolak balik di dekat papan tulis kelasnya. Mencoba melihat-lihat isi ruangan itu. Dan jika tak di perhatikan oleh Lisa, ia mencuri-curi pandang hanya untuk meny
“Mungkin akan lebih keren lagi jika kalian berdua dicap sebagai siswa yang putus sekolah,” Rey pun ikut nimbrung. “Benar juga, putus sekolah kayaknya terdengar bagus, Rey. thanks yah untuk saran yang lo kasih buat kita,” ucap Lisa sambil menunduk melihat ujung sepatunya. Rey menunjuk Lisa dengan telunjuknya, melihat ke arahnya. “Kayaknya lo harus berangkat sekolah dengan Vie. Dia kan tidak pernah terlambat. Bahkan sekalipun tidak pernah.” Menyadari dirinya sedang disebut-sebut sontak membuat Vie menoleh ke arah Rey dengan mata melotot. Namun Rey hanya tersenyum manis seolah tak membuat kesalahan sedikit pun. “Oh ya ? emang iya Vie ?” tanya Lisa penasaran sambil menatap Vie dengan begitu serius, seolah menunggu jawaban darinya. Vie hanya menganggukkan kepala, malu dengan tatapan mata Lisa barusan. “Pak disiplin gitu lo,” puji Rey lagi. pelan-pelan ia menepuk bahu Vie. Lisa yang mendengar hal itu hanya tertawa kecil, lucu melihat Vie yang tampak begitu malu-malu padanya. Sungguh l
Pertanyaan Jenni sontak membuat Vie terdiam sejenak. Mencoba mencari alasan yang tepat. “Komputer di rumah lagi di pake sama kakak gue, makanya gue akhirnya memutuskan untuk main di sini aja.” “Lo punya kakak ?” ucap Rey dan juga Jenni kompak sambil melototkan matanya. Kaget. Vie berpaling, melihat ke samping menyaksikan temannya yang begitu heboh. Dengan lugunya Vie menganggukkan kepala. “Ya,” jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban, Rey akhirnya mengadari tindakannya barusan. Mendadak ia baru ingat kekesalannya kepada Vie, dengan cepat ia beralih fokus ke komputernya dan melanjutkan permainan. “Ehem.” Menyadari kecanggungan antara keduanya. “Vie lo masuk yah, udah gue undang.” “Sudah gue bilang, biar gue yang kerumah tingkat dua itu,”ucap Rey kesal. “Pokoknya siapa cepat dia dapat,” Jenni membalas dengan ketus. “Oke pistol mitraliur.” Sambil tertawa tanggung Rey kembali mengejek Jenni. “Lo suka sampah yang seperti itu ?” ucapnya. “Lalu, apa yang udah lo temuin.” Sambil menoleh
“Sorry yah karena gue sudah memasukkan orang yang begitu amat hebat ke dalam tim. Gue selalu membiarkan kalian tiap kali menjailiku...” Belum sempat Rey menyelesaikan ucapannya, Vie langsung mendonggakkan kepalanya, pandangannya melihat ke arah Rey. “Lo pikir gue bakal diam aja ? Lo nggak bisa dengar yah ? Diam bangsat,” teriak Vie sambil berjalan maju mengampiri Rey dan menarik kerah bajunya dengan kasar. Baru saja Vie akan melayangkan tinjunya ke wajah Rey, tiba-tiba guru olahraga datang menengahi perkelahian itu. “Hei apa yang kalian lakukan ?” teriaknya sambil berlari memisahkan Rey dan juga Vie yang sudah emosi. “Ada latihan futsal, berkemaslah. Ini bukan tempat untuk uji kekuatan tinju,” lanjutnya. Vie akhirnya meninggalkan ruangan itu, Jimmi mengejarnya dari belakang. Sedangkan Rey bersiap untuk latihannya. Jimmi berlari menghampiri Vie yang sedang duduk di taman sekolah sambil meminum kopi dinginnya. Dengan senyuman khasnya ia mencoba menghampiri, duduk di samping Vie
Dengan langkah cepat Vie berjalan menuju ruang guru. “Permisi pak!” ucapnya setelah membuka pintu dengan pelan. Sambil melihat ke sekeliling ruangan, ia lalu berjalan menuju meja guru olahraga di mana guru yang sedang sibuk dengan pekerjaannya yang menumpuk di atas meja. “Hei, ada perlu apa ?” tanya guru olahraga yang tengah sibuk menulis laporan ujian siswa. Dengan penuh keyakinan Vie akhirnya mengucapkan kalimat yang sudah lama dikonsepnya ketika dalam perjalanan menuju ke ruang guru itu. “Hapus namaku dari daftar tim futsal Pak!” ucapnya dengan begitu terburu-buru. Hening. Guru itu hanya memandangi Vie dengan ekspresi kebingungan. Begitu lama berpikir hingga guru itu memberikan respon. “Ya nggak bisa lagi, harusnya sebelum di kumpulkan itu harus di hapus jika memang tidak mau ikutan. Daftrar pemainnya sudah bapak kumpul ke panitianya. Memang apa masalahnya dengan itu ?” tanya guru penasaran. “Jadi saya harus ikut pertandingan pak ?” ucapnya dengan nada yang semakin menurun. “Iy
Kini ujian telah benar-benar berlalu. Banyak cerita suka dan duka yang membekas di sana. Namun di antara semua yang berlalu itu tentu takkan bisa kembali lagi. Hanya bisa di simpan di dalm ingatan untuk kemudian menjadi sebuah pengalaman hidup. Kita, takkan pernah percaya betapa hebat dan kuatnya kita, sebelum melewati segalanya sendiri. Dan kini Lisa percaya bahwa pelajaran terbaiknya selama menjadi manusia adalah pengalaman hidup. Rey baru saja keluar dari ruang guru, baru saja habis menemui guru olahraga. Satu minggu kedepan akan diadakan PERSENI sekolah. Sekumpulan perlombaan olahraga antar kelas. Kali ini Rey mendaftarkan diri untuk ikut kompetisi futsal. Rey tersenyum entah kepada siapa. Ia berjalan pelan sambil bersiul ria menuju kelasnya. Ternyata belum banyak siswa yang datang. Dengan entengnya ia menarik kursinya dengan menggunakan kaki kanannya. Lalu kemudian duduk. Dengan senyum manisnya Rey memutar punggungnya dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Tampak jelas di