Sementara Jenni yang merasa sedang diolok-olok oleh Lisa hanya menggerutu kesal. Ia tahu Lisa hanya bercanda dengan semua ucapannya, namun ia tetap saja kesal juga akhirnya.
“Lo pasti senang kan, kan lo bisa tidur kapan aja lo mau. Gue ma udah tau otak busuknya situ. Dasar lo tuti,” ucap Jenni akhirnya. Ia berusaha menjatuhka Lisa kembali.
“Nah ini nih kebiasaan, selalu nyari-nyari kesalahan orang lain. Gue ma kayaknya dimana-mana selalu aja salah ya Rose. Nasib gue kok sial amat gini yah. Salah apa gue di masa lalu,” keluh Lisa dengan mimik wajah sedih yang ia buat-buat. “Oh iya Jen gue mau ke toilet nih, lo mau nitip nggak ?” lanjut Lisa.
“Ya kali ke toilet aja pake acara nitip-nitip ? lo kate kantin. Kalau mau ditemenin bilang aja Bu. Nggak usah pake acara nitip-nitip segala.”
“Eh gue ikut dong,” sambung Rose.
“Nggak ada yah ikut-ikut, gue cuman nerima nitip,” cetus Lisa sambil memandang Rose dengan tatapan sinisnya.
“Ya kali gue minta persetujuan lo. Hahahaha” Jawab Rose dan Jenni bersamaan. Keduanya tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kaget Lisa mendengar tertawaannya yang bersamaan.
Ketiganya pun menuju toilet bersama. Ada begitu banyak perbincangan yang mengisi perjalanan mereka hingga akhirnya kembali lagi ke dalam ruang kelasnya.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Benar-benar seperti satu kali kedipan mata saja. Hari pertama di sekolah kali ini hanya di isi dengan sesi perkenalan yang di pandu oleh wali kelas kemudian dilanjutkan dengan bersih-bersih ruangan. Hari yang cukup melelahkan dan juga cukup menyenangkan alasannya selalu saja sama. Alasan khas anak sekolahan, karena hati ini tidak ada jadwal mata pelajaran yang memusingkan.
Lisa dan Jenni pulang bersamaan karena memang sebelumnya mereka sudah berjanji untuk pulang bersama-sama. Keduanya menuju halte bus tempatnya untuk menunggu kendaraan umum datang menjemputnya. Sementara Rose mengambil jalan terpisah dengan keduanya. Sebab ia memiliki tujuan yang lain dengan Jenni dan juga Lisa.
Hanya butuh 20 menit saja untuk akhirnya sampai di rumahnya. Karena kebetulan bus yang di tumpanginya hanya berhenti di depan lorong kompleknya, Lisa terpaksa harus berjalan kaki untuk dapat sampai di depan rumahnya.
Bukan kali pertama ia melakukannya. Lisa sudah sangat terbiasa berjalan kaki menuju ke rumahnya sejak ia bersekolah di bangku SMP hingga kini. Karena kesibukan Papanya, Lisa terkadang hanya mengandang bus sekolah untuk sampai ke rumahnya. Dan tak jarang pun Lisa sendiri yang meminta agar ia pulang bersama dengan Jenni menggunakan bus sekolah saja.
“Ma, Lisa pulang. Papa udah balik Ma ?” ucapnya saat sudah sampai di dalam rumahnya.
“Belum tuh, katanya mau ketemu klien dulu. Mungkin pulang setelah makan malam. Kenapa emang ? mau nitip sesuatu ?” jawab mamanya saat mendapati Lisa sudah duduk di sampingnya.
“Mau nitip buku catatan. Tadi rencananya sih mau singgah di toko dekat sekolah bareng Jenni, eh tapi kata Jenni dia lagi ada acara keluarga gitu jadi nggak sempat singgah-singgah dulu. Nggak asyik juga kan kalau misalnya mau nimbrung sendiri ke toko.”
“Ya udah entar mama w******p Papa deh. Ya udah kamu ganti baju terus makan gih sana. Eh tapi mandi dulu, tadi pagi kan nggak sempat mandi. Masa cantik-cantik jorok. Bikin malu mama aja.”
“Iya iya bu negara. Bawel amat sih.”
Lisa pun menuruti semua perintah mamanya itu. saat tiba di kamarnya ia langsung melepas tasnya dan menuju ke kamar mandi. Rasa lelah seharian, dan bau parfum yang sudah bercampur dengan keringatnya, membuat badannya sudah berbau asem.
Setelah melakukan ritual mandinya, ia pun melesat ke ruang makan untuk dan menyantap makan yang sudah sedari tadi di siapkan oleh mamanya. Lisa melahap dengan penuh semangat. Makanan yang mengisi perutnya sewaktu siang tadi di kantin sudah lenyap karena berjalan kaki menuju ke rumahnya.
Perutnya telah kenyang, badannya pun sudah segar dan kini yang ia butuhkan hanya rebahan. Lisa bergegas ke ruang tengah untuk lanjut bermain game FreeFirenya lagi. Namun belum sempat Lisa masuk ke aplikasinya, mendadak handphonenya rame dengan chat grup di w******p. Dan tak lama kemudian panggilan masuk Jenni pun muncul di layar handphonenya.
“Lis Lis Lis lo dimana,” ucap Jenni di balik panggilan teleponnya.
“Ya di rumah lah bambang, mau dimana lagi. tadi perasaan kita pulang bareng. Lo lupa yah.”
“Lo udah periksa w******p grup kelas nggak.”
“Ya kali gue periksa grup nggak jelas, mendingan gue main game aja. Udah ah Jen gue mau main nih. Lagi seru-serunya nyerang.”
“Eits entar dulu dong. Ini tuh ada yang penting banget Lis. Katanya nih yah si Vie, Vie itu pacaran sama Rose. Tadi ada yang ngepost di forum sekolah gitu, nggak tau deh siapa abisnya pake nama anonim gitu. Seriusan deh, nggak nyangka gue. Terus abis itu kok Rose nggak cerita yah sama kita. Padahal kan kita teman dekatnya dia. Eh tapi kalau gue perhatiin Rose tuh lebih dekat dengan Jimmy deh dibanding sama si Vie. Kok bisa sih mereka pacaran. Ahh pokoknya gue nggak percaya,” cetus Jenni tanpa jeda.
“Udah ngomelnya ?”
“Aishh lo nggak asyik, gue serius nih ngocehnya. Emang benner yah Rose jadian sama Vie ?”
“Ahh nggak tau gue, udah yah gue mau main nih. Mendingan lo tanyain langsung ke Rose aja. Ngapain nanya-nanya ke gue. Kalau gue mah mana tahu urusan pribadi mereka. Okey, Byebye bambang.”
Tuttt tuttt tuuttt...
Belum sempat Jenni membalas ucapan Lisa, panggilannya langsung dimatikan sepihak oleh Lisa. Sontak membuat Jenni kesal. “Benar-benar nih anak yah kalau lagi main game, semua serba diabaikan. Entar kalau udah punya pacar gimana nih anak. Bisa stress setiap hari tuh pacarnya. Pusing, pusing, pusing deh gue.” Keluh Jenni.
Setelah mematikan telepon dari Jenni, Lisa berencana melanjutkan niatan awalnya untuk bermain game. Tapi ketika hendak membuka aplikasinya tiba-tiba tangannya malah masuk ke aplikasi f******k dan melihat forum sekolahnya. Tanpa disadarinya Lisa membaca kiriman yang menandai Rose dan Vie tersebut. Sekalipun didepan Jenni ia ogah mengurusi Rose dan V namun pada kenyataannya jiwa kekepoannya juga sangat tinggi dan meronta-ronta.
“Hei kok gue malah buka ini sih, tadi kan mau main game,” batinnya
Lisa berkali-kali mengomel dengan dirinya sendiri dan akhirnya memutuskan untuk mematikan dan meletakkan handphonenya di meja lalu menuju ke kamarnya untuk istrahat. Berkat ocehan Jenni, mendadak Lisa kehilangan moodnya untuk bermain game dan akhirnya lebih memilih untuk tiduran di kamarnya saja.
Rasa cemas hadir dan berulang kali diagung-agungkan oleh siapapun itu, seakan memberi bentang tanya yang amat sulit untuk dipecahkan. Berangkat dari perilaku tidak biasa yang sebenarnya memiliki arti bahwa tidak ingin menjadi biasa saja. Terlalu banyak pengharapan untuk menjadi luar biasa, menjadi sempurna dan tak terkalahkan namun justru makin banyak pula kekalahan-kekalahan yang menghampiri. Menjadikannya tak berdaya hingga berujung pada keputusasaan yang tak berujung. Tapi itulah kehidupan, hadir dalam kecemasan hingga berakhir dengan segenap cemas yang bertumpuk pula. Selayaknya timbunan sampah yang membusuk. Benar-benar busuk. Dan rasa cemas adalah kawanan sampah yang harus di buang jauh-jauh. “Lisaaa, Lisa lisa...!”. teriak Jenni dari arah parkiran sekolah. Sontak membuat Lisa berbalik arah dan tersenyum lebar ke arah Jenni. Dengan cekatan Jenni berlari dan menghampiri Lisa. “Lihai ! artinya Lisa hai!” ucap Jenni dengan wajah sok imutnya. Ia sengaja meletakkan kedua jari telunj
Semakin aku berusaha untuk menjadi yang terbaik, semakin aku tertinggal jauh. Seperti kawanan burung-burung yang kehilangan jejak temannya. Menyebalkan, pasti. Tapi aku bisa apa ? selain merutuki diri sendiri. Kehidupan, kekejaman, hingga berujung pada kekecewaan. Saat tiba di dalam kelas, mata pelajaran tidak langsung di mulai. Harus butuh beberapa menit hingga guru bidang studi datang ke ruangan. Nampak Pak Edo dengan membawa penggaris kayunya serta satu buku pelajaran matematika. “Selamat pagi semuanya !” sapa pak Edo saat tiba di kursi guru. “Pagi pak,” jawab siswa yang ada di ruangan itu secara serentak. “Silahkan buka halaman 53 di buku masing-masing. Hari ini kita akan belajar mengenai sudut dan macam-macamnya.” Siswa yang ada di ruangan itu serentak membuka buku mata pelajarannya dan mulai memperhatikan penjelasan pak Edo di depan kelas. “Sudut khusus (sering pula disebut dengan sebagai sudut istimewa) adalah suatu sudut dimana nilai perbandingan trigonometrinya dapat dit
Di kelas XI IPA-3, Jenni sedang sibuk dengan selfie di kamera handphonenya. Salah satu kebiasaannya disaat waktu jeda seperti sekarang ini. mengumpulkan foto selfie untuk diupload dan dijadikan story di laman instagramnya. Di samping kanannya ada Rose yang sedang asyik mengulang pelajaran matematika yang berlangsung beberapa menit yang lalu. Serta tersisa Lisa yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bertumpu pada mejanya sendiri. Benar-benar kebiasaan buruk Lisa yang sangat sulit untuk di hilangkan. Selang beberapa menit setelahnya nampak dari arah pintu kelas terlihat Jimmy, Vie dan Rey yang perlahan menghampiri mereka bertiga. Jimmy tiba-tiba mengagetkan Rose yang tengah berkonsentrasi belajar dengan duduk tepat dihadapannya. “Katanya lo di marahi yah?” ucap Jimmy kepada Rose. Pandangannya kini fokus pada kedua bola mata Rose. Mendengar gesekan kursi yang di timbulkan dari tingkah Jimmy spontan membuat Lisa jadi terbangun dan lanjut memperhatikan Jimmy yang tengah menatap Rose seolah
“Astaga, tuh kan mati lagi,” keluh Rose sambil menarik nafas panjang. “Padahal hari ini benar-benar materi favorit gue. Gue jadi nggak bisa ikutan karena harus memperbaiki handphone gue dulu,” lanjutnya. “Yang namanya hidup ya gitu Rose. Nggak ada yang benar-benar mudah. Selalu saja ada begitu banyak masalah yang entah datang dari benua mana.” “Eh tapi bukannya orang dewasa bakalan ketawa kalau dengar anak belasan tahun ngomong kayak gitu,” Rose menanggapi perkataan Lisa sambil tertawa bahagia. “Iya juga sih, kok bisa-bisanya anak sekolahan mengkhawatirkan banyak hal.” Lisa pun ikut tertawa, tepatnya menertawai ucapannya yang sok bijak itu. “Oh iya gimana kalau gue temenin lo ke tukang service aja. Setelah itu baru kita ngumpul bareng di tempat biasa.” “Oke deh. Cuss lo hubungi Jenni biar ikutan sekalian, nanti suruh nunggu di tempat biasa aja.” “Oke deh, wait.” Sambil mengirimkan pesan singkat ke Jenni. “Lo lapar nggak Rose? Gimana kalau kita singgah makan dulu.” “Em lo mau maka
Bel sekolah berbunyi berulang kali menggelegar di setiap sudut ruangan kelas. Pertanda bahwa waktu belajar telah usai dan saatnya untuk segera berkemas pulang ke rumah masing-masing. Di dalam kelasnya kini, Lisa, Jenni dan juga Rose sedang membereskan buku-buku dan alat-alat menulis lainnya yang nampak sangat berantarakan di meja mereka masing-masing. Guru yang mengajar dijam terakhir pun pamit dengan para siswa lalu bergegas keluar dari ruang kelas XI IPA-3. Melihat guru telah keluar, Lisa dan teman-temannya pun segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar dari sana. Situasi yang sudah sejak tadi ia impi-impikan. Hari ini ketiga sejoli itu memiliki agenda untuk nongkrong di salah satu cafe tempat yang biasa mereka singgahi sebelum kembali ke rumah masing-masing. Salah satu ritual yang kerap kali mereka lakukan sebelum akhirnya sibuk dengan ujian maupun tugas-tugas sekolah. Tentu saja di tempat tersebut mereka menghabiskan dengan canda dan tawa bahagia. Ketiganya
Suara riuh kantin menjelajahi setiap sudut-sudut ruangan. Segerombolan pemuda pemudi nampak sibuk berbincang sambil meneguk minumannya serta memakan makanan yang sudah tersedia di depan meja masing-masing. Jam istrahat memang sudah berlangsung sejak 10 menit yang lalu. Tidak kalah dengan kawanan yang anak lainnya, kini Lisa dan gengnya pun sudah duduk santai di tengah-tengah kursi makan yang ada di kantin itu. Makanan mereka sudah nampak habis tak bersisa. Hanya beberapa sampah saja serta piring kotor yang tergeletak sembarangan di sisi meja panjang itu. Setelah menikmati makan siangnya di kantin sekolah, Jimmy, Vie, Rey, Jenni, Rose beserta Lisa langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu. di tengah terik mentari yang membakar kulit, mereka akhirnya memutuskan untuk duduk-duduk santai di sekitaran lapangan basket sekolah. Selain tempat di sana lumayan teduh, mereka pun masih enggan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sebab jika berada di dalam kelas yang akan mereka rasakan ha
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp
Banyak hal di dunia ini yang terkadang ingin diceritakan kepada orang lain namun tertahan oleh ketidaksanggupan bibir untuk mengucapkannya. Karena terkadang bahkan kebanyakan mereka tidak mengerti ketika kita mengatakan “Aku ingin”. Dan hal itu membuat orang yang merasakannya menjadi cemas dan berujung pada kata percuma yang selalu lebih mampu menemukan kata-kata untuk mereka kenakan. Bagi yang setengah-tengah atau yang berada di tengah-tengah, keinginan hanya menjadi jembatan yang seolah-olah ada. Sedangkan banyak hal yang terengah-engah, tidak mampu menyeberang keluar ke ujung lidahnya hingga terpaksa menjadi rahasia dan itu justru membuatnya merasa bersalah. Hari ini adalah jadwal konseling untuk siswa kelas XI IPA-3. Seperti biasa, siswa menunggu giliran untuk di panggil ke ruangan yang cukup menegangkan itu. Dan justru banyak siswa yang menghindar agar tidak masuk ke ruangan konseling atau biasa disebut oleh sebagian siswa sebagai ruang kandang macan. Alih-alih menghindar, tetapp