Share

7

Bel sekolah berbunyi berulang kali menggelegar di setiap sudut ruangan kelas. Pertanda bahwa waktu belajar telah usai dan saatnya untuk segera berkemas pulang ke rumah masing-masing.  Di dalam kelasnya kini, Lisa, Jenni dan juga Rose sedang membereskan buku-buku dan alat-alat menulis lainnya yang nampak sangat berantarakan di meja mereka masing-masing. Guru yang mengajar dijam terakhir pun pamit dengan para siswa lalu bergegas keluar dari ruang kelas XI IPA-3. Melihat guru telah keluar, Lisa dan teman-temannya pun segera memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan bergegas keluar dari sana. Situasi yang sudah sejak tadi ia impi-impikan.

Hari ini ketiga sejoli itu memiliki agenda untuk nongkrong di salah satu cafe tempat yang biasa mereka singgahi sebelum kembali ke rumah masing-masing. Salah satu ritual yang kerap kali mereka lakukan sebelum akhirnya sibuk dengan ujian maupun tugas-tugas sekolah. Tentu saja di tempat tersebut mereka menghabiskan dengan canda dan tawa bahagia.

Ketiganya telah sampai di depan salah satu cafe internet yang dekat dengan perpustakaan umum. Berhubung karena hari ini adalah hari sabtu sehingga cafe itu cukup ramai dikunjungi orang. Ketika masuk ke dalam cafe, hanya tersisa satu kursi yang belum terisi dan kursi tersebut berada pada ujung kanan pojok yang dekat dengan bagian dapur. Selain tak ada pilihan lain terpaksa mereka mengambil tempat duduk tersebut.

Saat telah tiba di tempat duduknya, Lisa segera memanggil pelayan dan segera memesan makanan beserta minumnya. Setelah memesan minuman dan makanan mereka pun duduk dan meletakkan tas masing-masing di dekat kursi tempat duduk mereka.

“Hari ini padat banget yah, sumpek gue,” keluh Jenni seraya mejatuhkan badannya di kursi.

“Iya nih. Banyak warga asing yang nongol,” jawab Lisa.

“Ya banyak lah, orang hari ini hari sabtu. Banyak makhluk-mahkluk kasmaran yang gentayangan,” lanjut Rose.

“Sumpah yah hari ini gue kesal banget, dasar bajingan-bajingan sialan. Berani-beraninya mereka menilai orang seenak jidat. Dasar berandalan itu...” belum sempat Jenni melanjutkan ucapannya, Lisa langsung mengeluarkan beberapa gantungan tas yang lucu-lucu sehingga membuat fokus Jenni beralih pada gantungan tersebut.

“Tadaaa,” ucap Lisa sambil meletakkan gantungannya di meja.

“Astaga lucu banget, mirip gue Lis, emmm cuuukaaa!” ucap Jenni dengan manja sambil memeluk Lisa karena bahagia dengan hadiah gantungan yang diberikan kepadanya.

“Apa ini Lis,” sambung Rose penasaran.

Belum sempat Lisa menjawab pertanyaan Rose, Jenni pun langsung bereaksi mengambil semua gantungan yang terletak di meja. “Kalian kok menggemaskan sekali sihh, gue harus ambil yang mana nih.”

“Gue beli buat kita bertiga, biar samaan lagi. Cantik kan ?”

“Seriusan Lis buat gue ?”

“Nggak jadi deh, buat Rose sama gue aja. Yang satunya gue mau kasi ke mba yang anter makanan aja,” ucap Lisa sengaja menggoda Jenni agar bertambah jengkel.

Dengan semangat Rose meraih gantungan tas yang sedang di pegang Jenni. “Gue mau yang ini Lis,”

“Aaahhh Lisssa lo jahat banget sih, kok gue nggak dikasi beneran. Ah nggak asyik banget lo.”

“Hahahaha, nih buat lo nyonya bawel,” sambil menyodorkan satu gantungan ke Jenni.

Sambil melirik gantungan yang diambil Rose, Jenni pun segera mengambil gantungan yang diberikannya itu. “Gue suka yang ini kok. Makasih yah Lisa sayang”

“Oh iya Lis kemarin gue abis beli lipstik baru, soalnya lipstik yang lo kasi ke gue tempo hari udah habis. Sumpah gue suka banget sama warna lipstik ini. Makasih banget lo buat hadiahnya tempo hari, gue jadi ada rekomendasi lipstik yang bagus untuk gue pake sehari-hari,” ucap Rose sambil mengeluarkan lipstik yang disimpannya di dalam tas milikinya.

Mendengar hal itu membuat Lisa tersenyum riang kepada Rose, namun tiba-tiba terhenti ketika mengingat pembicaraan teman kelasnya tadi di toilet. Lisa pun memperhatikan barang-barang yang terletak di meja. Ada beberapa barang mereka yang mirip karena memang ia sengaja membelinya agar bisa samaan dengan ketiga temannya itu.

“Lipstik itu benar-benar lagi populer sih, kakak gue aja yang udah kuliah malah pake lipstik merek yang kayak gitu. Tapi memang bagus sih menurut gue soalnya bisa membuat wajah jadi cerah gitu kalau abis pake lipstik. Kakak gue juga ngomong kalau lipstik itu susah banget didapatnya karena selalu habis terjual. So thanks banget yah Lisa sayang udah beliin gue sama Rose lipstik itu. Jadi makin sayang deh.”

“Jadi lo masih pake lipstik ini juga Jen?” tanya Rose.

“Yoi dong kan rekomendasinya Lisa juga” jawab Jenni sambil menunjuk menggunakan dagunya ke arah Lisa.

“Bagus bukan ?” sambung Lisa.

Keduanya pun menganggukkan kepala tanda setuju dengan ucapan Lisa. “Mungkin ada bagusnya kita bertiga nanti daftar kuliah bareng aja biar bisa kuliah sama-sama, gimana?” ucap Jenni dengan sangat antusias.

“Iya, mari kuliah bareng aja yah nanti,” jawab Rose dengan penuh semangat.

“Eh tapi bagaimana bisa lo ngomong kayak gitu, gue nggak percaya kalau seorang siswa berprestasi barusan ngomong ke gue tentang hal-hal tak senonoh kayak yang gue dengar  tadi,” jawab Jenni sambil memperagakan cara bicara pak Edo yang sangar.

Lisa hanya tersenyum mendengar lelucon Jenni yang kerap kali membuat ricuh diantara ketiganya.

“Bukannya lo mau jadi perenang profesional Jen? Pokoknya kalau umur kita 20 tahun nanti kita bakal jadi teman sekamar dan kuliah bareng di universitas ternama. Keren kan ?” ucap Rose sambil tersenyum seolah meyakinkan kedua temannya.

Mendengar hal itu tiba-tiba ekspresi wajah Jenni berubah menjadi murung. “Entahlah, gue nggak yakin Rose. Gue nggak tahu gimana nanti kedepannya. Gue nggak tahu apakah ibu gue bakal ngizinin buat masuk kuliah dan ngambil jurusan olahraga biar gue bisa mewujudkan cita-cita gue ataupun menjadi teman sekamar dengan kalian. Gue benar-benar nggak yakin soal itu. Oh iya, besok ada konseling lagi bukan. Gue benar-benar pusing dengan itu. Ahhh beranjak dewasa ternyata serumit ini.”

“Setidaknya, lo punya cita-cita Jen!” jawab Rose menyemangati.

Mendengar hal itu membuat Lisa yang tadinya tunduk langsung menoleh ke arah Rose, dirinya seolah menemukan harapan baru.

“Apa bedanya coba, bagaimanapun tingginya cita-cita gue tetap aja gue nggak bisa melakukan apapun itu.” Jawab Jenni putus asa.

“Menurut lo lebih buruk mana, nggak melakukan apa yang lo mau atau lo mau melakukan sesuatu yang tidak bisa lo lakukan sama sekali?”

Mendengar pertanyaan Lisa yang tiba-tiba seserius itu membuat Jenni dan Rose terdiam dan seolah berpikir akan jawaban dari pertanyaan tersebut.

“Bukannya itu sama aja Lis,” jawab Jenni memecah keheningan. “Apa ada sesuatu yang ingin lo lakuin Lis?” lanjutnya lagi.

“Emm nggak kok.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status