Share

Behind The Entertainment
Behind The Entertainment
Penulis: Rafaiir

Kisah Semasa Kecil

Malam itu, angin berhembus sangat kencang di sekitar rumahku. Aku memandang lewat jendela kamar yang terbuka, seorang gadis tengah duduk di atas balkon rumah besar di depan rumahku yang hanya terhalang jalan raya. Ia duduk dengan mengenakan mantel tebal dan tengah memeluk sebuah boneka yang hampir seukuran tubuh mungilnya tersebut.

Nama gadis itu Sara, Putri kedua dari orang tua seorang politikus terkenal di Bandung. Tak heran, berkat kekayaan kedua orang tuanya Sara bisa hidup nyaman dan berkecukupan.

Aku hampir tidak pernah melihat raut ekspresi kesedihan dari wajah Sara, itulah yang entah kenapa sangat aku sukai, senyumnya, aku bicara soal senyumnya.

Lalu aku sendiri? Namaku Rafael, aku hanya anak laki-laki biasa yang tumbuh di keluarga yang sederhana, Ayah seorang guru dan Ibu seorang pedagang. Kesederhanaan ini juga yang membuat aku tersadar, takdir dan alur hidup orang-orang ternyata berbeda.

Tak jauh perbandingan tersebut, melihat kehidupan aku dengan Sara saja sudah berbeda, bahkan jika level game, aku masih level satu sedangkan dia sudah sepuluh tingkat di atasku. Cukup tinggi, tapi tidak mustahil untuk kudekati.

***

“Rafa, apa kamu mau keluar hari ini?” tanya ibuku.

Ia keluar dari dapur membawa adonan bumbu berwarna merah, siang itu ia harus berangkat untuk berjualan seblak di sekitaran sekolah menengah di pusat kota. Ia selalu berangkat menggunakan motor bebek tua keluaran tahun 2008 yang masih elok untuk dipakai.

“Iya, aku mau main ke rumah Sara.”

Kumatikan tv yang sedang kutonton dan pergi membantu Ibu untuk mempersiapkan barang dagangan, diantaranya seperti mie, sayur, hingga ayam.

Satu yang membuatku kagum, Ibu sama sekali tidak pernah mengeluh tentang pekerjaannya, meski aku sering melihatnya berpeluh keringat di wajah dan tubuhnya, ia selalu saja melakukan semua pekerjaannya dengan sebuah senyuman. Aku memang masih kecil, tapi melihat hal itu membuat hatiku ikut terenyuh.

“Jangan lama-lama mainnya, yah? Kamu juga jangan sampai merepotkan keluarga Pak Sanjaya,” pesan dari Ibu, ia selalu mengatakan demikian ketika aku hendak pergi bermain, entah kenapa tapi sedari kecil aku selalu diberi petuah-petuah tentang etika bertamu yang baik dan beradab.

Persiapan sudah selesai, Ibu segera berpamitan dan pergi melaju dengan motor tuanya meninggalkanku sendirian di rumah.

Tak hanya Ibu, tapi kedua orang tua Sara pergi dari rumah besar tersebut, pintu gerbang terbuka dan keduanya pergi menggunakan mobil hitam mewah. Aku lihat dari balik gerbang, Sara dan Kak Margaret yang melambaikan tangan tanda perpisahan kepada mereka.

Letak rumahku dengan Sara memang berhadapan, jadi tak ayal keluargaku atau keluarga Pak Sanjaya selalu bertegur sapa, berlebaran bersama, bahkan piknik bersama.

“Rafa, ayo main. Ada sesuatu yang ingin kutunjukan padamu,” pinta Sara, tangannya yang kecil nan halus melambai kearahku, senyum merekah mengambang membuatku senang dengan ajakan tersebut.

Aku langsung berangkat setelah mengunci pintu rumah, Kak Margaret juga menyambut hangat diriku, bahkan ia tak sering membuatkan minuman dingin untukku dan Sara.

Biasanya aku selalu bermain dengan Sara di halaman belakang, berisi taman dan kolam ikan yang selalu suka aku beri makan. Entah kenapa ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari selalu saja membuatku tenang dan nyaman.

“Rafa, lihat! Bagaimana pendapatmu?” tanya Sara, ia menunjukan sebuah patung yang terbentuk dari mainan berbentuk seperti tanah liat berwarna warni.

Patung tak berbentuk itu membuat mataku terpukau, pasalnya aku tidak pernah melihat permainan itu sebelumnya. Aku duduk di lantai dan memutar patung buatan Sara dengan perlahan, teksturnya kasar dan baunya cukup wangi.

“Bagus, bagaimana kamu—”

Patung itu hancur ketika aku menyentuhnya beberapa kali. Aku panik, tubuhku seketika menegang seolah-olah disetrum oleh ribuan listrik bertegangan tinggi. Aku hanya terdiam sambil menatap Sara, mencoba meminta maaf dengan tatapanku saja.

Gadis itu masih terdiam melihat patung buatannya hancur dan rubuh, ia kemudian menatapku dan secara mengejutkan tersenyum kecil.

“Rubuh, deh.”

Eh … apa kamu tidak marah?

“Ayo sekarang kita buat lagi bersama-sama. Kita buat yang lebih besar dan bagus,” ucap Sara dengan antusias, ia malah dengan sengaja mengacak-acak patung buatannya hingga tak berbentuk lagi.

Aku masih terdiam, tak lama Sara mulai mengajakku dan menyuruhku untuk membuat di bagian lengan dan kaki sebelah kanan. Aku mengangguk dan mulai mengambil tanah liat bagianku.

Aku menyelesaikan bagian tangan dan kaki dengan cepat, tinggal menunggu bagian badan untuk disatukan. Sara tampak kesulitan, beberapa kali tanah liat yang ia gunakan hancur ketika tengah dibentuk.

Aku harus membantunya.

Kuraih tanah itu dan mulai membentuk dengan bantuan jemari Sara, jadi seolah-olah dia sendiri yang tengah membuat. Tak lama, patung itu selesai dan Sara senang bukan main, patung buatan aku dengannya lebih bagus dibandingkan patung awal tadi.

“Lebih bagus ternyata,” ucap Sara, terkagum.

Kak Margaret datang membawakan minuman untuk kami, ia terpesona melihat patung besar hampir berukuran 30cm berdiri tegak di halaman belakang rumah.

“Buatan siapa itu?” tanya Kak Margaret.

Sara menarik tanganku dan mendekatkan tubuhnya kepadaku, ia rangkul tangannya melingkar di leherku seolah-olah sohib sehidup semati.

“Kami berdua yang buat. Bagaimana? Kakak bisa buat yang kaya gitu, gak?” tanya Sara.

Kak Margaret berdiri dan mengusap pelan rambut Sara dan rambutku juga, “Wah, kayanya gak bisa, soalnya itukan keahlian kamu, Sara.”

“Ayo minum dulu, pasti capek buat patung kaya gitu, kan?” ajak Kak Margaret, ia menarik tanganku dan tangan Sara untuk duduk di ayunan yang ada di halaman tersebut.

Minumannya sangat enak, manis dan ada sedikit asam, warnanya juga beraneka ragam. Aku meminum perlahan agar bisa menikmatinya dengan lama.

“Rafa umur berapa sekarang?” tanya Kak Margaret.

Sembari menghitung jari, aku ingat-ingat kembali tanggal ulang tahunku yang sudah lewat beberapa bulan lalu, “6 tahun.”

“Wah, lebih muda dari Sara, yah? Dia mau beranjak 7 tahun bulan ini.”

“Sudah mau masuk sekolah dasar, yah?” tanyaku dengan antusias, wanita dewasa di sampingku hanya mengangguk seraya tersenyum, kutaksir umur dari Kak Margaret berbeda jauh dari Sara, sekitar umur 15 tahun.

“Iya, nanti kamu juga belajar di sekolah yang sama dengan Sara, yah?”

Aku mengangguk, aku memang ingin selalu bersama dengan Sara, entah karena sejak balita kami sudah dekat atau memang ada perasaan khusus dariku padanya.

Kak Margaret beralih menatap Sara yang duduk di sampingnya, “Sara, gimana kalau kakak jodohin kamu sama Rafa?”

Air menyembur dari mulut gadis itu, terkejut mendengar apa yang kakaknya katakan. Ia langsung menatapku dan menelisik mulai dari bawah hingga ke atas.

“Aku maunya sama artis tampan, yang kulitnya berwarna putih dan rambutnya pirang.” Sara memalingkan wajahnya, dan ucapannya itu termasuk penolakan halus terhadapku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu karena memang tidak mengerti.

“Ah, yakin? Kenapa gak yang ada di depan mata aja?” tanya Kak Margaret, aku semakin dibuat tak mengerti dengan ucapan keduanya.

Minumanku habis, dan waktu mulai beranjak petang. Sudah waktunya aku berpamitan kepada Kak Margaret dan Sara.

“Kak Margaret, aku mau pulang dulu, yah?” tanyaku polos.

“Loh, mau pulang? Yaudah lagian udah sore juga. Ayo kakak anter,” balas Kak Margaret, dengan senang hati ia mengantarku hingga pintu gerbang, sedangkan Sara mulai berjalan masuk ke kamar.

“Salam ke Ayah dan ibumu, yah,” pesan Kak Margaret, aku menyebrang dan masuk ke dalam rumah, sedangkan Kak Margaret mulai menutup pintu gerbang.

Aku mulai merebahkan tubuhku di atas kasur dan menatap langit-langit kamar, sebuah kalimat masih terngiang di kepalaku terkait pembicaraan antara Kak Margaret dengan Sara. Perjodohan, apa itu perjodohan? Dan kenapa Sara bersikap aneh seperti tadi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status