Share

Impian darinya

***

Lima tahun berlalu.

Aku dan Sara masih dekat, seperti tidak ada yang berubah. Kami masih sering bertemu, meskipun aku sudah cukup jarang bermain di rumahnya. Ia lebih sering mengajakku main keluar, baik ke taman bermain atau timezone.

“Apa kamu tahu kalau aku ikut lomba menyanyi?” tanya Sara, ia berjalan di dekatku sambil memakan eskrim di dalam cup.

“Aku mengetahuinya dari Kak Margaret,” balasku datar.

Informasi mengenai lomba menyanyi yang diikuti Sara memang sangat mengejutkan, pasalnya sejak kecil Sara tidak pernah tertarik dengan perlombaan menyanyi, ia hanya ingin menyanyi untuk menghibur dan membuat orang disekitarnya senang.

“Benarkah? Lalu bagaimana pendapatmu?” tanya Sara.

Dia terlihat lebih cantik dengan senyuman itu, aku ingin mempertahankan senyuman itu lebih lama lagi.

“Bagus, itu bisa menjadi kesempatanmu untuk menunjukan kalau kamu yang terbaik,” balasku.

Aku bersikap sebagai supporter bagi Sara, apa pun yang Sara lakukan aku akan selalu mendukungnya. Impiannya yang ingin menjadi seorang Selebritis tinggal selangkah lagi jika ia berhasil menjuarai lomba menyanyi itu.

“Terima kasih. Mereka juga mengatakan hal yang sama seperti kamu kepadaku,” ungkap Sara.

Mereka? Ah, aku tidak perlu cemburu. Wanita secantik dan seimut Sara pasti memiliki banyak laki-laki yang mengejarnya, sedangkan aku di matanya hanya sebatas teman masa kecil.

“Baguslah, semakin banyak yang mendukungmu, semakin mudah kamu menggapai mimpimu,” ucapku.

Penyemangat dari teman semasa kecilnya pasti akan sangat membantu Sara, dibandingkan dengan mereka laki-laki baru yang datang ke hidupnya, aku lebih memahami sikap dan perilaku Sara seperti apa.

“Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu tetap ingin mengejar mimpimu sebagai seorang dokter?” tanya balik Sara, matanya memandangku seraya terus menyuap sesendok demi sesendok eskrim ke mulutnya.

“Iya, karena uang tidak cukup, aku harus belajar giat agar mampu masuk melalui jalur beasiswa,” ungkapku, rencana matang yang sudah kususun sedemikian rupa agar impian menjadi dokter bukan angan belaka.

“Padahal keluargaku bisa membantumu, kenapa tidak bilang sejak awal?”

“Aku hanya ingin berusaha dengan tanganku sendiri. Maafkan aku, bukannya aku mau—”

“Bagus.”

Sara memujiku, wajahnya tersenyum mendengar berbagai pernyataan terkait impianku. Dengan tiba-tiba, tangannya merangkul tanganku dan berjalan bersamaan layaknya sepasang kekasih.

“Sara…?”

“Aku cukup kagum denganmu, keterbatasan ekonomi tidak menghalangimu mencapai impian yang kamu inginkan,” ucap Sara.

Harum, lembut, dan hangat. Hanya ketiga itulah respon yang kudapatkan ketika Sara merangkulku erat, tangannya masih sibuk memakan eskrim yang tinggal sedikit. Kini, kami dalam perjalanan pulang dari taman bermain.

Berpelukan, saling rangkul, dan menatap mesra. Kami sudah tidak risih dengan tatapan orang-orang yang menganggapku aneh. Sudah sedari dulu aku dan Sara melakukan ini, dan tidak ada alasan kenapa kami harus menghentikannya.

Sampailah kami di depan rumah kami masing-masing, perjalanan siang itu layaknya sebuah kencan yang tak akan pernah kulupakan. Perasaan suka kepada Sara mulai timbul sejak gadis itu beranjak dewasa, kecantikannya hampir mirip dengan Kak Margaret yang sudah masuk dunia perkuliahan.

Itulah momen manis dua hari sebelum hal menyedihkan terjadi.

Iya, dia pergi.

***

Malam hari, aku masih menunggu di jendela kamar, menatap balkon yang sedari dulu target pandanganku setiap malam, akan ada seorang gadis yang duduk di sana dengan boneka besarnya.

Tapi, hari ini hingga seterusnya. Hal itu tidak akan bisa kunikmati lagi, gadis dengan boneka besar itu akan pergi ke Jakarta untuk merintis karir sebagai seorang Artis. Aku senang, jika dibandingkan teman-temannya, akulah yang paling senang dari semuanya.

Impiannya bisa terwujud, aku sampai mengingat momen ketika Sara berlarian datang ke rumahku dan langsung memelukku hangat. Saat itu, ia meneteskan air mata seraya menunjukan sebuah surat hasil seleksi. Isi surat mengatakan kalau Sara lolos bagian seleksi dan berhak melaju ke bagian utama.

Aku yang masih terkejut hanya bisa tersenyum simpul sambil mengusap pelan rambut calon artis di depanku, ia melompat-lompat kegirangan bersama surat yang masih ia peluk dalam-dalam. Kedua orang tuaku sama bahagianya dengan Sara, mereka turut memberikan selamat kepada gadis tersebut.

“Rafa, ayo ke depan. Sara udah mau pergi,” panggil Ibu, ia mengetuk pelan pintu kamar dan langsung kubuka dengan wajah lesu.

“Rafa, apa kamu baik-baik saja?” tanya Ibu, ia pasti khawatir melihat kondisi anaknya yang muram dan lesu.

“Entahlah, aku hanya merasa … kesepian,” balasku, terbata-bata.

Ibu memelukku dengan erat dan mengusap rambut kepalaku dengan perlahan, ia juga membisikan kata-kata penyemangat dari mulutnya dengan merdu, membuat tubuhku perlahan hanyut dalam kenyamanan pelukan seorang Ibu.

“Jangan bersedih, setiap pertemuan pasti ada perpisahan, kamu akan bertemu dengannya lagi jika kamu belajar dengan giat dan berkuliah di Jakarta,” bisik Ibu.

Kata-kata yang simple dan singkat. Namun, sangat bermakna bagiku. Sebuah kata-kata yang bisa kujadikan rencana hidup untuk berkuliah di Jakarta sembari mengejar impianku.

Pintu rumah terbuka, muncul dari dalam Kak Margareta yang mencari keberadaanku. Aku bisa melihat raut wajah kesedihan dari Kak Margareta juga timbul karena perpisahan ini.

Ibu melepaskan pelukannya dan membiarkan aku pergi bersama Kak Margareta. Wanita dewasa itu mengajakku untuk bertemu Sara, mungkin untuk perpisahan.

Di depan rumah Keluarga Sara, sudah menunggu mobil SUV hitam yang pintunya terbuka. Di dalam itu, aku bisa melihat barang dan perlengkapan Sara untuk pergi sudah kumplit dan lengkap. Wanita itu masih memeluk erat kedua orang tuanya dalam linangan air mata.

“Lihatlah, ia menunggumu di sana.”

Ibu Sara melepas pelukan anaknya tersebut dan meminta Sara untuk membalikan badan. Ia mengangguk sembari mengucek bola mata kirinya yang memerah karena tangisan, aku tersenyum dan melangkah mendekatinya.

“Yaampun, aku tidak menyangka perpisahaan kita akan datang secepat ini,” ujarku.

Kini tubuhku berada tepat di depan Sara, gadis itu masih tertunduk sambil menyeka air matanya yang jatuh dan membasahi aspal jalan. Aku elus kepala Sara dan mulai menyemangatinya, aku juga berjanji akan bertemu dengan Sara ketika sukses nanti.

“Jangan lupakan impianmu, bukankah kita akan bertemu ketika sukses nanti, Pak dokter?” tanya Sara dengan senyum yang merekah, rona merah di pipinya mengembang membuatku tak kuasa menahan tangis kesedihan.

“Aku pergi dulu, nanti aku akan kabarimu lagi,” pamit Sara, ia masuk ke dalam mobil dan segera pergi menjauh dari tempat itu.

Ketika keluarga Sara dan keluargaku sudah masuk ke rumah masing-masing, hanya aku sendiri yang masih berada di pinggir jalan, duduk di atas trotoar berharap kalau semua yang terjadi adalah kebohongan belaka.

Namun, dua jam sudah aku menunggu. Sara tidak datang lagi dan malam semakin larut. Tubuhku tidak bisa mengimbangi dingin yang mulai menyeruak masuk pori-pori. Aku segera masuk dan melihat kedua orang tuaku tengah bersama di ruang tengah, Ayah memintaku mendekat.

“Jangan bersedih, semua akan pergi pada waktunya, tinggal kamu tentukan saja apa ingin tetap di Bandung atau pergi menyusul Sara ke Jakarta,” ucap Ayah, profesinya yang sebagai guru membuatku segan tehadapnya.

Ibu juga sependapat dengan Ayah, ia lebih memilih aku untuk belajar dengan rajin agar bisa ke Jakarta dengan mudah. Ia juga akan bekerja dengan keras membantuku mencapai impian.

Sungguh, kalian baik sekali. Aku ingin terus hidup dan berada di dekat kalian.

Aku peluk keduanya dan mulai meneteskan air mata dengan hebat, kesedihan yang selama ini kutahan, kutumpahkan di antara mereka yang selalu ada untuk menghangatkan hati yang dingin karena sepi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status