Yayuk mengerutkan kening melihat Sri yang penampilannya tidak seperti yang diharapkannya. Kemeja lusuh yang warna putihnya sudah menguning dan terlihat kebesaran di tubuh Sri. Sama sekali tidak menarik bahkan terkesan aneh.
Yayuk mematikan motornya, kemudian berjalan mendekati Sri yang juga menuju ke arahnya. Sedangkan Sri tersenyum tak enak. Dia mengetahui pandangan Yayuk berupa pandangan protes."Mana baju yang aku pinjami kemaren?""Mas Aryo tak mengizinkan pakai baju itu, Yuk. Katanya terlalu ketat.""Lah ini? Bikin kamu kayak tukang sapu." Yayuk memegang kerah baju yang dipakai Sri sekilas.Sri menunduk memandang tubuhnya sendiri. Memang, baju itu kebesaran dan modelnya juga ketinggalan zaman."Ini hari pertamamu, hari pertama akan memberi kesan pada semua orang yang berjumpa denganmu, kalau kamu memberi kesan buruk, orang akan menganggapmu begitu untuk seterusnya.""Terus bagaimana, Yuk?" Sri mulai bimbang."Ya terserah padamu! Kau mau memberi kesan seperti apa. Lagi pula, suamimu itu terlalu kolot, tak mungkinlah kau bekerja dengan daster yang longgar atau kebaya tradisional."Sri berfikir sebentar."Ya sudah, aku ganti saja.""Nah begitu, punya tubuh bagus kok ditutup sama baju jelek." Yayuk tersenyum. Sri minta izin untuk menukar bajunya di rumah Yayuk.Beberapa saat kemudian Sri muncul, gelagatnya tidak percaya diri, bahkan dia berusaha menutup dada dengan ke dua telapak tangannya."Jangan terlihat norak, Sri." Yayuk melepaskan tangan Sri sambil geleng-geleng kepala."Tidak semua perempuan memiliki apa yang kau miliki."Sri hanya bisa pasrah.***Sri berada dan beberapa puluh orang lainnya yang juga merupakan karyawan baru dikumpulkan dalam sebuah ruangan. Wajah-wajah sumringah dan begitu semangat tak lepas dari mereka semua. Rata-rata mereka berusia belasan dan dua puluhan, masih muda dan cantik-cantik. Sri memilih duduk paling depan supaya bisa mengikuti acara ini dengan seksama."Hai, aku Warni. Kamu?"Teman di sebelah Sri menyodorkan tangan untuk berkenalan, Sri menyambut ramah."Aku Sri.""Dari mana?" tanyanya lagi."Dari desa yang tak jauh dari sini. Kamu?""Aku dari Surabaya. Jadi nge-kost dekat pabrik. Tak jauh, tinggal jalan kaki, sampai deh.""Oh!" Sri tersenyum ramah.Percakapan mereka terhenti saat moderator memberi aba-aba agar mereka berdiri dan menunjukkan posisi siap."Itu direkturnya," Warni berbisik. Sri mengikuti kemana mata Warni, ke arah pintu masuk ruangan itu.Semua wanita di dalam sana menatap takjub sosok yang berjalan percaya diri dan sesekali melempar senyum ramah kepada mereka."Ganteng banget ya, Sri," Warni berbisik kembali."Iya," jawab Sri tak begitu berminat. Dia malah membayangkan, andaikan Mas Aryo yang memakai stelan jas dan sepatu mengkilat seperti bos mereka itu, pasti Aryo tak kalah ganteng, walaupun kulitnya menghitam di bakat sinar matahari."Masih muda pula, aduh! Siapa wanita yang beruntung yang akan mendapatkanya ya, dengar-dengar dia masih lajang," bisik Warni lagi.Sri hanya tersenyum tanpa berminat menimpali.Bisik-bisik wanita yang berada di dalam ruangan itu terhenti saat Pak Direktur yang tak tau namanya itu naik ke atas podium. Seperti sebelumnya, tersenyum kelewat ramah."Selamat datang, di perusahaan sepatu Jaya Perkasa. Selamat kepada anda yang diterima bekerja dan sudah resmi menjadi karyawan perusahaan kami.""Suaranya merdu sekali, Sri." Warni berbisik lagi. Sedangkan Sri tak begitu tertarik meladeni, dia lebih fukos mendengar apa yang akan disampaikan bosnya itu.***Hari pertama, mereka belum langsung bekerja. Mereka dibawa berkeliling pabrik, mengenalkan denah lokasi, serta semua ruangan yang berada di sana.Setelah diajak berkeliling oleh supervisor, mereka lalu diajarkan sekilas menggunakan alat-alat pembuat sepatu. Mereka juga dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok memiliki pemandu sendiri.Tak terasa seharian sudah Sri berada di sana. Dia cukup puas, banyak hal yang didapatkannya hari ini, bagian-bagian yang penting sudah dicatat di buku kecilnya."Mau pulang, Sri? Mampir ke kos aku, yuk!" Warni muncul belakang, saat ini Sri berada di parkiran motor menunggu Yayuk."Lain kali aja, War. Sudah terlalu sore.""Oke. Pulang sama siapa?""Sama Yayuk.""Oh, baiklah! Sampai jumpa besok ya." Warni melambaikan tangan. Gadis itu berlalu bersama teman-temannya. Seiring dengan itu, Yayuk muncul di pintu ke luar."Ayo!" Yayuk memasang helmnya dan menyalakan motor matic-nya.***Aryo tersenyum lega, saat melihat istrinya berjalan menuju pondok mereka. Azan Maghrib berkumandang dari mushala yang berada tak jauh dari pondok.Sri membalas senyum lega suaminya, tapi sebelum itu tak lupa mampir ke rumah Yayuk dan mengganti baju kemeja sempit milik Yayuk dengan kemeja lusuh yang dipinjam Aryo."Dek." Aryo memeluk istrinya yang bahkan belum sempat masuk ke dalam pondok. "Seharian tak jumpa, Mas rindu." Aryo mencubit hidung istrinya. Sri hanya tersipu dan menggandeng lengan Aryo."Pasti lelah ya, Dek.""Sedikit, Mas.""Adek mandi dulu, Mas sudah masak makan malam. Tadi istri Pak Maman belikan sembako lengkap, Sri. Kita tak perlu cemas dengan kebutuhan dapur selama beberapa hari kedepan. Ada ikan segar-segar juga." Aryo bersemangat.Sri tersenyum, suaminya itu begitu gampang bahagia dengan hal-hal sederhana.Setelah shalat Maghrib dan makan malam, mereka duduk bersama sambil berbincang-bincang kecil."Bagaimana hari pertamamu, Dek? Mas yakin cukup berat.""Nggak kok, Mas. Aku menikmati, banyak teman sebaya yang berasal dari berbagai daerah. Mereka rata-rata dari luar kota. Tau nggak Mas, aku punya teman baru bernama Warni.""Oh ya?" Aryo ikut bahagia mendengar cerita istrinya."Iya, dia orang yang baik. Bahkan ngajak ke kosannya, tapi kami baru keluar kerja jam lima sore.""Mas senang, kalau kamu senang, Sri."Sri tersenyum, lalu memeluk manja suaminya."Beberapa jam tak bertemu, aku rindu kamu, Mas." Sri mendekatkan wajahnya, mengecup sekilas pipi suaminya."Kita belum shalat isya, Dik." Aryo mengerti apa yang Sri mau. Tapi mereka butuh waktu lama untuk saling melepas rindu."Iya sih, Mas." Sri menghela nafas pasrah."Sabar, ya! Sebentar lagi Isya."Sri mengangguk, Aryo tersenyum senang, dia mengusap puncak kepala istrinya yang masih dibungkus mukena.Menikah dengan Sri walaupun sudah lima tahun, mereka masih seperti pengantin baru."Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan
Marisa muda menyandarkan bahunya yang ramping ke sandaran tempat tidur. Matanya yang sembab melirik laki-laki yang tertidur pulas di sampingnya, seperti biasa, pulang dalam keadaan mabuk minuman keras.Dia dipapah oleh wanita malam yang mengumpati Marisa. Bahkan percakapan hina itu tak mampu dielakkan."Besok aku akan datang lagi ke sini, lakimu belum membayar setelah aku melayaninya, kalau aku tau dia adalah laki-laki kere, dari awal aku sudah menendangnya saat masuk ke dalam kamar. Ternyata apa ini? Gubuk reyot mencerminkan penghuninya yang melarat. Bodohnya aku masih mau mengantar pria payah ini ke rumahnya." Wanita itu menjatuhkan suaminya begitu saja. Marisa tak menjawab. Ini entah yang keberapa kalinya, suaminya diantar oleh pelacur yang berbeda.Marisa melirik pria yang sudah terlelap dalam tidurnya. Dia sudah tak sanggup, tak ada lagi alasan baginya untuk bersama pria itu. Marisa bangkit, kemudian duduk di depan kaca buram yang terdapat di lemari yang sudah tanggal pintunya. D
Dua manusia yang saling berhadapan, saling memandang satu sama lain. Yang satu berwajah datar terkesan bosan, yang satu lagi wajah Briyan yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan dia memutar-mutar pulpennya beberapa kali. Terkesan mengabaikan lawan bicaranya."Pak!" sapa wanita yang tak lain adalah Sri. Sudah beberapa menit dia duduk di hadapan pria itu, tapi Briyan terkesan tak peduli."Sebut namaku!" seru Briyan, dia merasa terganggu dengan sapaan resmi itu, sehingga sekat dan jarak di antara mereka semakin jauh."Baiklah! Briyan." Sri menjawab pasrah.Briyan tersenyum tipis, tatapan lembutnya menyapu wajah cantik yang digilainya itu. Kedatangan wanita itu pasti tak jauh dari rencana pengunduran dirinya.Sri memakai blouse merah maroon dan celana panjang warna hitam, rambutnya dikuncir kuda menampakkan anak-anak rambut di kening dan tengkuknya. Bibir mungilnya dipoles dengan warna pink lembut. Wanita sederhana ini selalu sukses memukau setiap laki-laki yang memandangnya."Ini hari t
Kaki keriputnya berjalan terseok. Baju bewarna merah itu sudah berubah warna menjadi kecoklatan karena kotor. Celana hitamnya penuh debu dan kotoran, sedangkan celana bagian kiri sengaja dipotong agar tak mengenai luka yang sudah membusuk. Terlihat luka itu cukup parah, bahkan lalat yang meninggalkan telurnya di sana, telah berhasil membuat telurnya menetas berubah menjadi belatung yang menjijikkan.Dia menyeret kakinya yang terseok. Siapa pun yang berpapasan dengannya menghindar sambil menutup hidung. Pria itu sebenarnya belum terlalu tua, hanya saja rambutnya panjang tak terurus serta sudah memutih. Kalau diamati lebih dekat, bisa dipastikan dia dulunya adalah laki-laki yang rupawan.Dia berjalan terseok-seok, mendekati kerumunan orang-orang yang tengah asik memilih baju obral di kaki lima. Sontak sebagian besar orang itu menghindar, bahkan ada yang tak bisa menahan mual.Pedagang kaki lima itu menjadi kesal karena pembeli pergi gara-gara pria kumal itu."Kau lagi! Pergi!" Bentak p