Share

7

Sri dan Yayuk sudah siap dengan tas mereka masing-masing. Hari ini hari Minggu, tentu saja mereka bisa menghabiskan waktu di rumah masing-masing. Sri tidak memiliki rencana apa-apa hari ini, yang dia butuhkan adalah tidur, mungkin karena tak terbiasa tidur dengan AC, dia merasa tubuhnya meriang.

Sri baru saja menerima helm dari Yayuk, ketika mereka dikejutkan dengan suara klakson mobil di samping mereka.

"Mobil Pak Bos tuh!" Yayuk menunjuk dengan dagunya.

Benar, Novan menurunkan kaca mobil, tersenyum hangat pada Sri.

"Ayo, Sri! Saya antar."

"Eh?! Nggak usah, Pak. Saya sama Yayuk saja."

"Pergi sana!" Yayuk malah mendorong bahu Sri, dan dapat hadiah pelototan.

"Kamu tak keberatan pulang sendiri kan, Yuk?" tanya Novan.

"Ya enggaklah Pak. Lagian saya ada keperluan juga ke rumah saudara. Duluan ya, Sri." Tanpa menunggu Sri, Yayuk sudah kabur duluan dengan motornya.

Tinggal Sri yang kebingungan.

"Cepat masuk! Orang akan semakin curiga melihat kamu." Novan membantu membuka pintu, Sri bagaikan robot, hanya menurut saja.

"Setelah ini, belok ke mana?"

"Eh? Kanan, Pak." Sri tergagap, dia meremas jemarinya gugup. Novan ini terlalu banyak kejutan, setelah memberi hadiah kalung, sekarang mengantarnya pulang.

"Apa tidak apa-apa, Pak? Saya tadi jadi pusat perhatian."

"Ah, santai saja! Saya juga sering memberi tumpangan pada karyawan lain yang kebetulan bertemu dan satu arah."

"Oh." Sri hanya menanggapinya singkat. Novan melirik Sri, tuhan sungguh tak adil menciptakan wanita secantik ini. Bahkan Novan tak sabar menunggu pagi agar bisa bertemu dengan Sri.

"Kamu, tinggal sama siapa?"

"Oh, saya, sama ....kakak." Sri mengutuk dirinya yang telah berbohong.

"Orang tuamu?"

"Dua-duanya sudah meninggal, Pak."

"Maaf." Novan menunjukkan wajah bersalah.

"Tidak apa-apa, Pak. Sudah sangat lama."

"Oh ya, sebelum kerja di sini kamu kerja dimana?"

"Eh?" Sri mengerjap lagi, kerja dimana? Dia tak mengerjakan apa pun, selain mengurus suaminya.

"Nggak ada, Pak. Hanya di rumah." Sri  semakin merasa bersalah, terbayang wajah Aryo yang selalu memperlakukannya dengan penuh cinta.

"Setelah ini kita belok mana?"

"Ke kiri, Pak."

Tak ada percakapan lagi di antara mereka. Baru kali ini Sri naik mobil mewah yang begitu nyaman. Memang enak menjadi orang kaya. Sri hanya menghela nafas.

Setelah beberapa menit berlalu, Sri meminta Novan menurunkannya di perbatasan desa. Dia tak mau jadi bahan gunjingan orang.

"Di sini saja, Pak."

"Loh, rumah kama yang mana?"

"Di sana, Pak."

"Biar saya antar,"

"Nggak usah, Pak. Di sini saja."

"Kamu nggak berencana membawa saya mampir?"

"Aduh, jangan sekarang, Pak."

"Baiklah, hati-hati." Novan memberi senyum tulus.

Sri mengangguk. " Terimakasih, Pak. Tumpangannya."

***

Sri mengerutkan kening, melihat motor terparkir di halaman pondoknya yang sempit. Apakah ada tamu? Tapi siapa yang datang sepagi ini?

"Dek?" Aryo muncul, dari arah belakang yang merupakan kamar mandi seadanya milik mereka. Rambutnya basah, tubuh kekar berotot yang terbentuk secara alami. Handuk menggantung rendah di pinggulnya. Bagaimana pun, suaminya itu lebih tampan dari siapa pun.

"Ayo masuk!" Aryo menggandeng tangan istrinya, membawa wanita itu tidak sabaran.

"Akhirnya kamu pulang juga." Aryo membuka lemari kayu, mengeluarkan  pakaiannya dan memakainya dengan santai di depan Sri.

"Kan dah aku bilang , cuma semalam."  Sri meletakkan tasnya.

"Mas nggak sanggup pisah lama-lama dari kamu." Aryo duduk di samping Sri, setelah menyisir rambutnya. "Gimana acaranya semalam?"

"Menyenangkan, Mas. Banyak tamu yang datang, bahkan hiburannya berasal dari artis Ibu kota, banyak makanan enak. Pokoknya seru." Sri bercerita dengan semangat. Aryo hanya tersenyum tipis.

Tiba-tiba Aryo menangkap benda berkilauan yang melingkar indah di leher istrinya yang jenjang.

"Sri? Kalung itu baru Mas lihat pagi ini."

"Oh, ini?" Sri tergagap.

"Kapan dibelinya? Pakai uang siapa lagi?" Kali ini Aryo tak bisa menyembunyikan rasa tak enak di hatinya.

"Ini hadiah, Mas. Katanya karena aku bekerja dengan baik selama seminggu ini."

"Terdengar aneh bagi Mas. Walaupun Mas bukan orang berpendidikan, namun memberi hadiah pada karyawan yang baru seminggu bekerja terdengar mustahil."

Sri merasa hatinya mulai deg-degan, mudah-mudahan Aryo tak bertanya lebih jauh. Dia tak mungkin menceritakan bahwa bosnya juga memasangkan kalung itu di lehernya.

Sri bangkit, dia harus mengalihkan topik pembicaraan.

"Motor siapa, Mas?"

Wajah Aryo yang mulanya penuh curiga berganti cerah, dia menarik tangan istrinya keluar pondok. Menepuk jok motor tua itu dengan bangga.

"Dulu, ini motor Pak Maman, sekarang ini jadi milik mas."

"Ooo," jawab Sri. Aryo sedikit kecewa dengan tanggapan istrinya itu, Sri bahkan tak menunjukkan reaksi apa pun, terlihat biasa saja. Padahal Aryo tak sabar menunjukkan benda itu pada Sri pagi ini.

"Kita nyalakan, ya?" Aryo merogoh kunci motor dari saku celananya. Sedangkan Sri masih memandang biasa ke arah benda itu.

"Motornya memang sudah tua, tapi mesinnya oke kok. Jadi kita tak kan kesusahan jika mau pergi kemana-mana. Ayo naik!" Aryo mengajak Sri untuk membonceng di belakangnya.

"Lain kali aja lah, Mas. Aku capek." Sri  membalikkan badan lalu masuk kembali ke pondok. Aryo mematikan motornya, senyum cerah yang tadi begitu merekah, langsung surut di bibir pria itu. Benar, istrinya telah berubah. Dia tak bisa menyangkalnya lagi, biasanya istrinya itu selalu bahagia dengan hal-hal sederhana.

Sri melihat perubahan wajah Aryo. Dia mengenal Aryo luar dalam, laki-laki itu tampak menghembuskan nafas kasar sambil menyalakan rokoknya.

Sri bangkit dari ranjang, niat untuk kembali tidur sirna sudah.

"Mas? Mas tidak apa-apa?"

Aryo tak menjawab.

"Mas, aku cuma capek, Mas. Kita coba motornya lain kali saja, ya?" bujuk Sri. Aryo menatapnya tajam.

"Apa saja yang telah diajarkan Yayuk sama kamu, Dek?" Wajah Aryo menegang.

"Maksud, Mas?" Sri mulai cemas.

"Kau bukan lagi Sri yang Mas kenal, gaya berpakaianmu, rambutmu, caramu berdandan, ini bukan dirimu, Sri."

"Mas, penampilan menarik dibutuhkan di kantor."

"Oh ya? Memangnya kamu kerja apa? Sampai-sampai harus berpenampilan menarik, apa kamu teller bank? Manager perusahaan atau direktur? Walaupun mas nggak sekolah, kamu hanya karyawan biasa yang bekerja di pabrik, bukan wanita kantoran. Mas rasa tak perlu berpenampilan berlebihan."

"Mas merendahkan pekerjaanku? Aku melakukan ini untuk mas juga, untuk keluarga kita, aku tak ingin kita terus-terusan begini." Sri meninggikan suaranya, dia merasa tersinggung.

"Mas tak pernah menuntutmu bekerja,"

"Tapi aku butuh uang, Mas." Suara Sri terdengar serak hampir menangis.

"Mas bisa bekerja lebih giat untuk memberimu uang."

"Bagaimana caranya? Apa Mas punya ijazah? Bekerja sebagai buruh tani bahkan tak cukup membuat kita makan enak."

"Sri?" Aryo tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Sudahlah, Mas. Aku capek, aku mau tidur." Sri langsung masuk ke dalam selimut.

Aryo mengusap wajahnya kasar. Bahkan, sebelumnya tidur di pagi hari adalah pantangan bagi Sri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status