Sri dan Yayuk sudah siap dengan tas mereka masing-masing. Hari ini hari Minggu, tentu saja mereka bisa menghabiskan waktu di rumah masing-masing. Sri tidak memiliki rencana apa-apa hari ini, yang dia butuhkan adalah tidur, mungkin karena tak terbiasa tidur dengan AC, dia merasa tubuhnya meriang.
Sri baru saja menerima helm dari Yayuk, ketika mereka dikejutkan dengan suara klakson mobil di samping mereka."Mobil Pak Bos tuh!" Yayuk menunjuk dengan dagunya.Benar, Novan menurunkan kaca mobil, tersenyum hangat pada Sri."Ayo, Sri! Saya antar.""Eh?! Nggak usah, Pak. Saya sama Yayuk saja.""Pergi sana!" Yayuk malah mendorong bahu Sri, dan dapat hadiah pelototan."Kamu tak keberatan pulang sendiri kan, Yuk?" tanya Novan."Ya enggaklah Pak. Lagian saya ada keperluan juga ke rumah saudara. Duluan ya, Sri." Tanpa menunggu Sri, Yayuk sudah kabur duluan dengan motornya.Tinggal Sri yang kebingungan."Cepat masuk! Orang akan semakin curiga melihat kamu." Novan membantu membuka pintu, Sri bagaikan robot, hanya menurut saja."Setelah ini, belok ke mana?""Eh? Kanan, Pak." Sri tergagap, dia meremas jemarinya gugup. Novan ini terlalu banyak kejutan, setelah memberi hadiah kalung, sekarang mengantarnya pulang."Apa tidak apa-apa, Pak? Saya tadi jadi pusat perhatian.""Ah, santai saja! Saya juga sering memberi tumpangan pada karyawan lain yang kebetulan bertemu dan satu arah.""Oh." Sri hanya menanggapinya singkat. Novan melirik Sri, tuhan sungguh tak adil menciptakan wanita secantik ini. Bahkan Novan tak sabar menunggu pagi agar bisa bertemu dengan Sri."Kamu, tinggal sama siapa?""Oh, saya, sama ....kakak." Sri mengutuk dirinya yang telah berbohong."Orang tuamu?""Dua-duanya sudah meninggal, Pak.""Maaf." Novan menunjukkan wajah bersalah."Tidak apa-apa, Pak. Sudah sangat lama.""Oh ya, sebelum kerja di sini kamu kerja dimana?""Eh?" Sri mengerjap lagi, kerja dimana? Dia tak mengerjakan apa pun, selain mengurus suaminya."Nggak ada, Pak. Hanya di rumah." Sri semakin merasa bersalah, terbayang wajah Aryo yang selalu memperlakukannya dengan penuh cinta."Setelah ini kita belok mana?""Ke kiri, Pak."Tak ada percakapan lagi di antara mereka. Baru kali ini Sri naik mobil mewah yang begitu nyaman. Memang enak menjadi orang kaya. Sri hanya menghela nafas.Setelah beberapa menit berlalu, Sri meminta Novan menurunkannya di perbatasan desa. Dia tak mau jadi bahan gunjingan orang."Di sini saja, Pak.""Loh, rumah kama yang mana?""Di sana, Pak.""Biar saya antar,""Nggak usah, Pak. Di sini saja.""Kamu nggak berencana membawa saya mampir?""Aduh, jangan sekarang, Pak.""Baiklah, hati-hati." Novan memberi senyum tulus.Sri mengangguk. " Terimakasih, Pak. Tumpangannya."***Sri mengerutkan kening, melihat motor terparkir di halaman pondoknya yang sempit. Apakah ada tamu? Tapi siapa yang datang sepagi ini?"Dek?" Aryo muncul, dari arah belakang yang merupakan kamar mandi seadanya milik mereka. Rambutnya basah, tubuh kekar berotot yang terbentuk secara alami. Handuk menggantung rendah di pinggulnya. Bagaimana pun, suaminya itu lebih tampan dari siapa pun."Ayo masuk!" Aryo menggandeng tangan istrinya, membawa wanita itu tidak sabaran."Akhirnya kamu pulang juga." Aryo membuka lemari kayu, mengeluarkan pakaiannya dan memakainya dengan santai di depan Sri."Kan dah aku bilang , cuma semalam." Sri meletakkan tasnya."Mas nggak sanggup pisah lama-lama dari kamu." Aryo duduk di samping Sri, setelah menyisir rambutnya. "Gimana acaranya semalam?""Menyenangkan, Mas. Banyak tamu yang datang, bahkan hiburannya berasal dari artis Ibu kota, banyak makanan enak. Pokoknya seru." Sri bercerita dengan semangat. Aryo hanya tersenyum tipis.Tiba-tiba Aryo menangkap benda berkilauan yang melingkar indah di leher istrinya yang jenjang."Sri? Kalung itu baru Mas lihat pagi ini.""Oh, ini?" Sri tergagap."Kapan dibelinya? Pakai uang siapa lagi?" Kali ini Aryo tak bisa menyembunyikan rasa tak enak di hatinya."Ini hadiah, Mas. Katanya karena aku bekerja dengan baik selama seminggu ini.""Terdengar aneh bagi Mas. Walaupun Mas bukan orang berpendidikan, namun memberi hadiah pada karyawan yang baru seminggu bekerja terdengar mustahil."Sri merasa hatinya mulai deg-degan, mudah-mudahan Aryo tak bertanya lebih jauh. Dia tak mungkin menceritakan bahwa bosnya juga memasangkan kalung itu di lehernya.Sri bangkit, dia harus mengalihkan topik pembicaraan."Motor siapa, Mas?"Wajah Aryo yang mulanya penuh curiga berganti cerah, dia menarik tangan istrinya keluar pondok. Menepuk jok motor tua itu dengan bangga."Dulu, ini motor Pak Maman, sekarang ini jadi milik mas.""Ooo," jawab Sri. Aryo sedikit kecewa dengan tanggapan istrinya itu, Sri bahkan tak menunjukkan reaksi apa pun, terlihat biasa saja. Padahal Aryo tak sabar menunjukkan benda itu pada Sri pagi ini."Kita nyalakan, ya?" Aryo merogoh kunci motor dari saku celananya. Sedangkan Sri masih memandang biasa ke arah benda itu."Motornya memang sudah tua, tapi mesinnya oke kok. Jadi kita tak kan kesusahan jika mau pergi kemana-mana. Ayo naik!" Aryo mengajak Sri untuk membonceng di belakangnya."Lain kali aja lah, Mas. Aku capek." Sri membalikkan badan lalu masuk kembali ke pondok. Aryo mematikan motornya, senyum cerah yang tadi begitu merekah, langsung surut di bibir pria itu. Benar, istrinya telah berubah. Dia tak bisa menyangkalnya lagi, biasanya istrinya itu selalu bahagia dengan hal-hal sederhana.Sri melihat perubahan wajah Aryo. Dia mengenal Aryo luar dalam, laki-laki itu tampak menghembuskan nafas kasar sambil menyalakan rokoknya.Sri bangkit dari ranjang, niat untuk kembali tidur sirna sudah."Mas? Mas tidak apa-apa?"Aryo tak menjawab."Mas, aku cuma capek, Mas. Kita coba motornya lain kali saja, ya?" bujuk Sri. Aryo menatapnya tajam."Apa saja yang telah diajarkan Yayuk sama kamu, Dek?" Wajah Aryo menegang."Maksud, Mas?" Sri mulai cemas."Kau bukan lagi Sri yang Mas kenal, gaya berpakaianmu, rambutmu, caramu berdandan, ini bukan dirimu, Sri.""Mas, penampilan menarik dibutuhkan di kantor.""Oh ya? Memangnya kamu kerja apa? Sampai-sampai harus berpenampilan menarik, apa kamu teller bank? Manager perusahaan atau direktur? Walaupun mas nggak sekolah, kamu hanya karyawan biasa yang bekerja di pabrik, bukan wanita kantoran. Mas rasa tak perlu berpenampilan berlebihan.""Mas merendahkan pekerjaanku? Aku melakukan ini untuk mas juga, untuk keluarga kita, aku tak ingin kita terus-terusan begini." Sri meninggikan suaranya, dia merasa tersinggung."Mas tak pernah menuntutmu bekerja,""Tapi aku butuh uang, Mas." Suara Sri terdengar serak hampir menangis."Mas bisa bekerja lebih giat untuk memberimu uang.""Bagaimana caranya? Apa Mas punya ijazah? Bekerja sebagai buruh tani bahkan tak cukup membuat kita makan enak.""Sri?" Aryo tak percaya dengan apa yang didengarnya."Sudahlah, Mas. Aku capek, aku mau tidur." Sri langsung masuk ke dalam selimut.Aryo mengusap wajahnya kasar. Bahkan, sebelumnya tidur di pagi hari adalah pantangan bagi Sri.Sampai menjelang sore, Aryo dan Sri masih belum bertegur sapa, bahkan Aryo tak menyuruhnya membuat kopi seperti biasa. Memang, Sri belum sempat memasak hari ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia tak mencegah Aryo pergi ke pasar dengan motornya, membawa beberapa ikat sayur dan beberapa jenis lauk.Bahkan Aryo tak menunggu semua bahan mentah itu diolah oleh Sri, dia mengerjakan sendiri, membersihkan ikan dan memasaknya. Bahkan makan sendiri tanpa menunggu dihidangkan.Sri tau, Aryo tengah mengabaikannya. Suaminya itu, jika sudah marah akan mengunci mulutnya dan takkan menatapnya sama sekali. Sri pun sedang tidak mood untuk memberi penjelasan.Namun, sudah menunggu beberapa lama, Sri mulai jenuh diabaikan."Mas," Sri mendekati Aryo yang tengah melahap nasi di depannya. Dia tak menyahut, hanya memandang Sri sekilas, kemudian kembali dengan aktifitas makan siangnya walaupun ini sudah sore."Mas masih marah sama aku?""Kamu sudah dewasa, bisa menyimpulkan sendiri, ap
Sri hanya melongo menerima sebuah kotak yang tak tau apa isinya itu, Yayuk sengaja menghampirinya pas makan siang di kantin."Nih, ada titipan." Yayuk mencomot kentang goreng milik Sri. Kening Sri berkerut."Apa ini, Yuk?""Nggak tau, buka saja.""Siapa yang ngasih?""Pak Bos." Yayuk sedikit berbisik. "Aku mau ke meja yang di sana dulu ya," Yayuk bangkit. Sri mengangguk.Sejenak, Sri mengamati kotak yang dibungkus dengan kertas kado bewarna pink itu. Kemudian, dia membukanya hati-hati, mata Sri membola, sebuah Smartphone model terbaru. Mata Sri juga menangkap secarik kertas yang ditulis begitu rapi."Aku rasa, kamu butuh ponsel baru, karena ponsel lipatmu sepertinya sudah tak layak pakai. Tidak usah berterimakasih, karena aku hanya ingin kau mau ku antar pulang setelah bekerja. Novan."Sri buru-buru melipat kertas itu kembali, kemudian menyelipkan di dalam tas hitamnya. Tas itu juga diberikan Novan tiga hari yang lalu. Sri membuka segel kotak tersebut, kemudian tersenyum sumringah m
Sri baru sampai di pondok setelah azan Maghrib. Sudah tiga hari berturut-turut dia diantarkan oleh Novan setiap kali pulang bekerja. Sejauh ini, dalam pikiran Sri, Novan adalah laki-laki yang baik dan ramah. Dia tidak seperti orang kaya pada umumnya, Novan tidak sombong, dia tak membedakan status sosial karyawannya. Dan diakui oleh Sri, dia mulai merasa nyaman dan kagum akan kerendahan hati bosnya itu.Seperti biasa, dia mendapati Aryo yang duduk di kursi kayu setiap kali dia pulang. Aryo masih memakai sarung dan peci, serta Al-Qur'an di tangannya. Aryo terbiasa menunggu Azan isya dengan membaca Al-Qur'an. Begitu juga dengan Sri dulu, kebiasaan itu telah berlangsung sejak mereka menikah. Setelah mereka shalat berjamaah, mereka akan tadarus bersama.Akan tetapi semenjak bekerja, Sri tak sempat melakukan itu. Tenaganya terkuras bekerja di pabrik, setiap hari Sri harus menyelesaikan target pekerjaannya.akhir-akhir ini, setelah mandi dan makan malam masakan yang dimasak Aryo, dia biasany
"Mau pesan apa?" tanya Novan sambil menyodorkan buku menu ke hadapan Sri. Wanita cantik itu tersenyum canggung, bahkan tak satu pun menu yang ada di buku itu yang dipahaminya. Isinya berbahasa Inggris semua."Saya sama kayak Pak Novan aja.""Oh, gitu ya? Oke." Novan mengamati menu itu satu persatu. Siang ini Novan sengaja mengajak Sri makan siang bersama, memang ini bukan pertama kalinya. Novan sekarang sedang gencar-gencarnya mendekati Sri. Sebuah kebahagiaan tersendiri baginya jika berdekatan dengan gadis lugu itu."Pak, sebenarnya saya merasa tak enak diajak makan siang dan diantar pulang. Orang-orang mulai heboh menggunjingkan saya. Dibilang saya wanita penggoda." Sri menyampaikan unek-unek dalam hatinya. Sebenarnya, dalam hatinya ada kenyamanan tersendiri setiap Novan memberi perhatian khusus padanya. "Santai saja, Sri. Tak semuanya harus dipikirin, orang akan berhenti ngomong kalau udah capek. Oh ya, boleh aku bertamu ke rumahmu, Sri. Ingin silaturrahmi dengan orangtuamu."Sri
Hujan turun makin deras, menyapa rumput yang tumbuh di sekitar pondok. Air yang mengalir di saluran irigasi bewarna kecoklatan dan keruh, bahkan melimpah masuk ke dalam sawah.Di dalam pondok, seorang wanita cantik jelita tengah memandang ujung jalan dengan gelisah, lampu lima Watt menerangi jalan setapak yang biasa mereka lalui setiap menuju jalan desa.Wanita itu adalah Sri, ketika dia pulang, dia mendapati pondok dalam keadaan gelap gulita, biasanya Aryo sudah duduk di kursi rotan sambil mengaji dan ditemani segelas kopi. Tapi, malam ini, suaminya itu tak ada di pondok."Kemana kamu, Mas?" Sri menggigit kukunya gelisah. Ini sudah jam delapan malam, bahkan suaminya itu tak pernah pulang ke pondok seterlambat ini.Seharusnya Sri membelikan suaminya itu handphone, sehingga dia tak perlu kebingungan.Benda pipih yang dinamakan ponsel pintar milik Sri bergetar. Novan, memanggilnya."Halo, Pak?""Hai, kok masih panggil "pak"?""Eh, iya. Mas." Sri tersenyum canggung."Udah di rumah kan? T
Matahari sudah merangkak naik. Cahayanya menyusup masuk ke jendela yang ditutup gorden tipis, jendela itu tepat berada di samping bangkar Aryo.Brenda muncul, dengan plastik berisi makanan di tangannya. Entah kenapa, wanita itu selalu membawa makanan setiap masuk ke ruang perawatan, padahal makanan yang dibeli semalam belum tersentuh. Bukannya tidak lapar, tapi melihat apa yang dibeli wanita itu, selera Aryo langsung surut. Pizza, mungkin enak bagi sebagian orang, tapi tidak baginya, lidahnya merasa asing saat pertama kali mencoba makanan itu beberapa tahun lalu. Tak hanya merasa asing, parahnya dia merasa perutnya bergejolak saat sebuah cairan dari makanan itu meleleh dalam mulutnya.Mungkin benar, lidah orang kaya berbeda dengan lidah orang miskin sepertinya, jika ditawarkan makan pizza atau makan singkong rebus, dia memilih makan singkong rebus. "Makanan semalam sudah dingin." Tanpa banyak kata, Brenda memasukkan makanan itu ke dalam tong sampah, Aryo hanya tak habis pikir, begit
Pagi menjelang siang, Aryo tak mempedulikan kakinya yang masih terasa nyeri karena bekas jahitan luka robek itu. Harapannya, agar dia cepat sampai ke pondok dan bertemu dengan Sri, dia akan meminta maaf karena tak pulang semalaman, pasti istrinya itu khawatir dengan keadaannya. Dia tau betul, betapa penakutnya Sri tinggal sendiri di pondok pada malam hari.Bahkan sesekali, telapak kakinya terpeleset ke dalam sawah, mengotori celana jins baru yang dibelikan oleh Brenda. Tapi, Aryo sama sekali tak peduli.Tak lama kemudian, Aryo sampai di pondok. Dahinya berkerut, ini hari Minggu, kenapa tak ada tanda-tanda Sri ada di rumah, pondok terkunci rapat dan lampu lima Watt masih menyala di halaman kecil mereka.Aryo tak bisa menyembunyikan wajah muram dan kecewanya. Dia berharap, bisa bertemu dengan Sri, bertanya secara langsung pada wanita itu, dan berharap dia salah lihat kemaren sore. Dia berharap, Sri memberi penjelasan dan pernikahan mereka baik-baik saja.Dengan lunglai, Aryo berjalan ke
"Apa kau tega meninggalkanku, Sri?" Laki-laki muda berbaju lusuh itu tak mampu menahan air matanya."Mas, Maaf!" jawab wanita cantik itu menunduk, air mata terus saja meleleh di pipinya."Pergilah!" Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Sri, bukan lagi wanita lugu yang dikenalnya. Wanita itu bersimpuh, memeluk kaki suaminya sambil terisak."Aku yang salah, aku yang salah, Mas.""Pergilah! mungkin laki-laki kaya itu yang akan membuatmu bahagia."Mimpi itu, ternyata terjadi di dunia nyata. Mungkin ini firasat baginya, bahwa istrinya itu telah berselingkuh.Aryo merasakan bagaimana rasa sakit yang menikam jantungnya, tak ada darah, tak ada benda tajam menghujamnya, namun Aryo merasa kesulitan bernafas karena dadanya yang terasa sesak menahan marah dan kesedihan."Kapan?" Aryo mendesis. Sri memucat, dia menyadari kemana mata Aryo memandang saat ini. Buru-buru Sri menutupnya kembali dengan rambutnya."Aku nggak ngerti pertanyaan, Mas?""Katakan padaku apakah bosmu pelakunya, kapan? Sudah sam