Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.
Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.
Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala perlengkapan yang menunjang pekerjaannya sebagai pemandu wisata. Salah satunya, ponsel pintar.
Seperti menemukan hobi baru, Yusuf sangat senang memotret pemandangan indah dan membagikannya di media sosial. Hamparan kebun teh bak permadani hijau, lukisan jingga di langit senja, indahnya air terjun, kegagahan Gunung Salak, apapun itu -yang memikat pandangan Yusuf- tak pernah luput dari jepretannya.
Yusuf tahu, ada sepasang mata yang menyorotinya entah dengan perasaan kesal atau perasaan lain. Terlebih melihat hubungannya dengan Pak Jajang yang semakin hari semakin kompak. Sepasang mata indah itu, adalah milik Lilis, gadis yang diam-diam masih menciptakan debaran di dada Yusuf.
Lilis sendiri, masih terus digelayuti perasaan tidak enak sebab pernah mengata-ngatai Yusuf dengan sangat kasar. Sudah enam bulan berlalu. Ia akhirnya sadar, ia telah keterlaluan. Waktu itu ia risih dan semakin berang ketika salah seorang temannya membuat lelucon tentang Yusuf.
Melihat sikap Yusuf yang berubah, tak lagi pernah mencuri-curi pandang padanya, dan hanya fokus bekerja sama dengan bapaknya, Lilis jadi penasaran dibuatnya.
Pembahasan bapaknya setiap malam tentang kemajuan dan semangat Yusuf belajar, sedikit banyak kerap mengusik hati Lilis. Bapaknya itu jadi semakin sering memuji Yusuf. Katanya, Yusuf mantu idaman bapaknya dan sangat berharap bisa berjodoh dengan Lilis. Dan kalimat bapaknya itu seperti sengaja diucapkan keras-keras untuk didengar oleh Lilis yang tengah rebahan di dalam kamar.
Lilis tak dapat menyangkal, ialah kini yang kerap mencuri pandang, mencari sosok Yusuf di sekitar rumahnya.
Perasaan bersalah karena telah pernah melukai hati Yusuf, terus menghantui dirinya yang tak jua berani meminta maaf. Meskipun Yusuf selalu ada di dekatnya, ia tak mau menyapa walau hanya sekedar basa-basi. Baginya, seperti ada tembok penghalang yang tinggi lagi kokoh yang berasal dari makiannya kepada pemuda kala itu.
Lilis, ia tak tahu bahwa roda hatinya akan berputar. Ia yang dulu teramat risih melihat Yusuf kini malah menanti-nanti kehadiran pemuda yang ia panggil ‘belewuk’ itu. Yusuf dari hari ke hari nampak mirip seperti bapaknya, pintar, bisa diandalkan dan… menarik.
Menurut pandangan Lilis, keadaan Yusuf sekarang sungguh kontras dengan dirinya yang tidak pandai dalam hal apa pun. Enam bulan menanti, belum juga ada kabar maupun panggilan dari manajer artis yang dulu sempat menunjukkan ketertarikan pada Lilis. Rasa bosan dan jengah tak dapat ia hindari. Dan di saat seperti itu, melihat Yusuf menjadi satu-satunya hiburan bagi Lilis yang kian didera rasa putus asa akan mimpinya.
“Inikah pemuda gagap, dekil dan miskin itu?” batin Lilis saat mengintip Yusuf di balik kaca jendela kamarnya.
Tubuh Lilis berdesir saat mendengar suara Yusuf datang, menyapa orang-orang atau menjelaskan berbagai macam tanaman dan buah di kebun wisata milik bapaknya kepada para wisatawan. Suara laki-laki itu semakin ngebass dan berat. Tubuhnya juga dengan cepat berubah tegap dan berbidang lebar.
Semakin hari semakin sulit Lilis menepis pikirannya tentang Yusuf. Hatinya terusik oleh getaran-getaran yang membuatnya terkadang sampai malas makan.
Perasaan was-was dan tak suka menghampiri Lilis saat melihat para gadis desa mulai banyak yang mampir ke kebun. Ada yang minta diajari bahasa Inggris, ada juga yang bar-bar minta difoto di antara bunga-bunga dan… ujung-ujungnya malah minta foto bersama.
Lilis merutuki dirinya yang semakin terbiasa dengan kehadiran Yusuf, dan jadi kehilangan saat lelaki itu pamit pulang.
Gadis itu takut,
ia malah akan jatuh hati dan termakan oleh karmanya sendiri.
Malam itu Yusuf duduk sendiri di batu besar di pinggir sungai, tempat ia biasa nongkrong sendiri, merenungi jalan hidupnya. Awan mendung di langit sesekali melontar cahaya kilat bergemuruh. Namun Yusuf, bersikukuh menghabiskan sebatang lagi rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu asap rokok dihembuskannya perlahan sembari teringat pada sosok Lilis.Sudah enam bulan berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik dan jelita. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, tinggi semampai dimahkotai rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat. Kulitnya bening bersinar dan mulus seperti gelas kaca.Yusuf takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat menyukai gadis itu. Ternyata, masih tersisa rasa rendah diri di hatinya. Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar dari bibir manis milik Lilis, anak semata wayang Pak Jajang.Yusuf harus jujur, ia gagal menghapus bayang-bayang Lilis di benaknya. Selama ini ia terus dipenuhi perasaan galau tak
Malam itu, di atas tempat tidurnya, Lilis tengkurap dengan kepala tegak menghadap layar ponsel. Bola matanya naik turun melihat slide demi slide kehidupan orang di berbagai tempat di belahan dunia. Dan seperti biasa, setelah Lilis lelah berselancar di dunia maya, Lilis akan merutuk pada dirinya sendiri bahwa betapa nahas kehidupannya.Terpenjara di sebuah desa, jauh dari pusat hiburan dan perbelanjaan membelenggu batin Lilis tiga tahun lamanya. Ada sebuntal hasrat yang tak mampu ia salurkan, dan rasanya setiap malam sebelum menutup mata, hasrat di dadanya semakin membuncah bak air bendungan yang sudah melebihi kapasitas dan bisa jebol kapan saja. Lilis tak menyadari, bahkan desa yang ia anggap sebagai penjara itu adalah surga yang dimimpikan banyak orang.Tap!Jempol Lilis berhenti mengusap layar ponsel, tertahan oleh sebuah video yang menampilkan seorang gadis cantik tengah berurai air mata. Kemudian datang seorang lelaki tampan, mengusap pipi
Trekking dimulai setelah Pak Herman memarkir mobil sport putihnya di sebuah lapangan kecil, khusus parkir wisatawan. Saat itu hari mulai terang dan aroma embun segera menyergap indera penciuman mereka.“Jadi, kamu di Indonesia untuk liburan?” tanya Lilis pada Rio. Di mobil, di sepanjang jalan menuju kawasan hutan, Lilis dan Rio banyak berbincang. Rio yang supel membuat mereka cepat akrab.“Ya, hanya satu bulan aku di Indonesia. Selanjutnya aku harus pergi lagi ke London,” jawab Rio sembari melakukan gerakan-gerakan stretching.“Wow… bagaimana rasanya tinggal di kota besar itu? Pasti menyenangkan sekali,” ucap Lilis.“Ya. Menyenangkan bisa main ke beberapa spot wisata favorit dunia dan berjumpa banyak orang dari berbagai macam latar belakang. But, sometimes I feel bad, saat banyak sekali tugas kuliah dan… saat kangen suasana kampung seperti ini,” tutur Rio ser
Good Morning, Loulia!Kau belum bangun?Lilis meraih ponselnya segera setelah ia membuka mata. Sebuah pesan masuk, pukul 07.00, dua jam yang lalu. Lilis mengerutkan kening demi membaca pesan tersebut saat kelopak matanya masih dipenuhi serpihan benda putih.“Rio?” gumam Lilis. Lilis bergegas bangkit dari tidurnya ketika mengetahui pesan itu dari pemuda yang ia kenal kemarin.Ya. Kemarin hari yang sangat melelahkan… dan badanku masih terasa sakit.Lilis menarik bantal ke atas pangkuannya. Ia kini bersandar di tepi tempat tidur. Kemudian dimulailah ritual harian Lilis, yaitu berselancar di dunia maya, mengintip kemajuan orang lain saat dirinya masih nyaman rebahan.No. I thought yesterday was awesome. Bagaimana aku bisa pergi dari surga seindah itu, dan… bidadari secantik kamu.Rio cepat membalas pesan.“Ish.” Alis Lilis terangkat sebelah. Ternyata kuli
“Hiiiy... Ucup belewuk!” teriak Lilis histeris. Segera diraihnya handuk yang tersimpan di atas batu. “Sedang apa kau di situ?” Lilis tergesa menutupi tubuhnya.“A-a-anu, aku tadi…” Tiba-tiba gagap Yusuf kumat lagi. Belum selesai ia menjawab Lilis kembali meneriakinya.“Jangan bilang sedari tadi kau mengintip! Hiy, dasar cabul!” cerca Lilis.“Ti-ti-tidak, aku hendak membetulkan selang air,” sergah Yusuf terbata.“Mengapa masih berdiri di situ? Cepat pergi!” usir Lilis sambil menampar air.“I-i-iya.” Yusuf segera berbalik dengan gemetar di sekujur tubuh. Baru selangkah, Yusuf kembali memutar tubuhnya. “Tapi kau tidak apa-apa sendirian?”“Apa?” Teriak Lilis tak percaya Yusuf bertanya seperti itu.“Kau tidak tahu?” tanya Yusuf dan Lilis semakin tak mengerti. “Di jam-jam segini, si Ikok sering muncul di sekit
Jantung Yusuf berdegup dalam tempo yang rapat, ramai seolah ada pesta di ruang hati. Mereka menari, menyalakan kembang api dan berkelakar ke sana-sini. Gadis pujaannya, mengembuskan angin segar pada jiwa yang semula gersang kering kerontang. Meski Yusuf tak tahu perasaan gadis itu, tapi dirinya teramat bahagia mengetahui Lilis tak lagi risih berdekatan dengannya.Dua jam Lilis menguntit Yusuf seperti ekor kucing. Kemana Yusuf berpindah, ia pun akan turut sambil mulutnya tak henti berceracau. Cocok sekali dengan karakter Yusuf yang kebanyakan diam, sehingga Lilis seakan punya tempat baru untuk meluapkan segala hal. Lilis bicara tentang jenuhnya hidup di desa, keinginannya jalan-jalan ke kota besar di dunia, mimpi menjadi artis terkenal, dan… apa tadi? casting? Kepala Yusuf berdenging mendengar kata asing itu.“Casting? Ke Jakarta?” tanya Yusuf mengulang ucapan Lilis.“Ya. Sudah lama aku menantikan kesempatan ini.”
Tiga tahun lebih bekerja sebagai tukang kebun, Yusuf paham bahkan daun kering pun akan jatuh sendiri ke tanah. Tangkai-tangkai stroberi yang tua dan layu harus dipangkas demi siklus pertumbuhan yang sehat. Begitu pula manusia, Tuhan mengganti manusia yang tua dengan yang muda. Karena itulah peradaban demi peradaban tercipta.Yusuf menatap nanar pada dua bola mata milik neneknya. Yusuf tak sanggup meski sekadar membayangkan. Yusuf tak ingin neneknya pergi. Nenek yang selama ini merawatnya saat ia kehilangan ibu bapak sedari kecil. Selain neneknya, Yusuf tak punya siapa-siapa. Di usianya yang ke dua puluh dua, Yusuf juga merasa masih jauh dari memiliki seorang istri, pendamping atau teman hidup.“Ni, sebaiknya Nini tidak usah bekerja lagi. Nini sudah sepuh. Nini istirahat wae di bumi keun usup nu gawe,” tutur Yusuf pada neneknya yang tengah terbaring di atas dipan kayu di ruang tamu.Ni Cicah menarik napas hendak membuka suara tetapi ter
Kelopak mata Lilis mendanau sebab terharu oleh pemandangan memukau di hadapannya. Sungguh ia tak menyangka, di belakang rumah Yusuf yang sederhana, terdapat keindahan bernilai tinggi melebihi apa yang ada di sekitar rumahnya.Sebenarnya di sana hanyalah kebun singkong dan pepaya, lalu apa yang membuat Lilis takjub? Ternyata, di sebelah pagar kebun singkong Lilis mendapati banyak tanaman stroberi, ditata di atas rak bambu yang memanjang dan bertingkat tiga. Tanaman stroberi itu berbuah lebat, sedang merah-merahnya.“Ini bukan stroberi biasa. Cantik sekali…” gumam Lilis.Tak lama Yusuf datang sambil memanggul dua ember berisi air sambil bertelanjang dada.Lilis terpesona, tetapi buru-buru ia tepis pandangannya dari tubuh pemuda itu. “Bagaimana?” Lilis langsung melempar Yusuf dengan pertanyaan saat ia sudah mendekat.Yusuf meletakkan ember lalu satu persatu menumpahkan airnya ke dalam gentong plastik besar di depan