Share

10

Penulis: Mala Anggi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-17 09:51:38

Enam bulan berlalu, dan Yusuf mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Hal itu terbukti ketika ada bule datang ke kebun wisata Pak Jajang atau minta diantar ke curug di sekitar kaki Gunung Salak. Yusuf tak canggung menemaninya. Berbekal keahlian barunya itu, Yusuf kini jadi seorang pemandu wisata yang kesohor di kawasan Taman Nasional Kaki Gunung Salak.

Decak kagum sering kali Yusuf dapatkan dari orang-orang kampung terkait perubahannya yang signifikan. Yusuf yang sekarang tidak lagi menunduk saat berpapasan dengan orang di jalan, tidak juga cengengesan saat sedang diajak ngobrol. Yusuf selalu menampakkan sikap percaya diri dan pembawaan yang tenang. Yusuf kini bahkan sudah tidak gagap berkat terapi yang ia dapatkan di tempat kursus publik speaking.

Yusuf yang semula cuek dengan penampilannya, kini lebih pandai merawat diri. Kesan lusuh, dekil dan bau tak lagi melekat. Yusuf sudah mampu membeli jaket, celana olahraga, kemeja, sandal gunung dan segala perlengkapan yang menunjang pekerjaannya sebagai pemandu wisata. Salah satunya, ponsel pintar.

Seperti menemukan hobi baru, Yusuf sangat senang memotret pemandangan indah dan membagikannya di media sosial. Hamparan kebun teh bak permadani hijau, lukisan jingga di langit senja, indahnya air terjun, kegagahan Gunung Salak, apapun itu -yang memikat pandangan Yusuf- tak pernah luput dari jepretannya.

Yusuf tahu, ada sepasang mata yang menyorotinya entah dengan perasaan kesal atau perasaan lain. Terlebih melihat hubungannya dengan Pak Jajang yang semakin hari semakin kompak. Sepasang mata indah itu, adalah milik Lilis, gadis yang diam-diam masih menciptakan debaran di dada Yusuf.

Lilis sendiri, masih terus digelayuti perasaan tidak enak sebab pernah mengata-ngatai Yusuf dengan sangat kasar. Sudah enam bulan berlalu. Ia akhirnya sadar, ia telah keterlaluan. Waktu itu ia risih dan semakin berang ketika salah seorang temannya membuat lelucon tentang Yusuf.

Melihat sikap Yusuf yang berubah, tak lagi pernah mencuri-curi pandang padanya, dan hanya fokus bekerja sama dengan bapaknya, Lilis jadi penasaran dibuatnya.

Pembahasan bapaknya setiap malam tentang kemajuan dan semangat Yusuf belajar, sedikit banyak kerap mengusik hati Lilis. Bapaknya itu jadi semakin sering memuji Yusuf. Katanya, Yusuf mantu idaman bapaknya dan sangat berharap bisa berjodoh dengan Lilis. Dan kalimat bapaknya itu seperti sengaja diucapkan keras-keras untuk didengar oleh Lilis yang tengah rebahan di dalam kamar.

Lilis tak dapat menyangkal, ialah kini yang kerap mencuri pandang, mencari sosok Yusuf di sekitar rumahnya.

Perasaan bersalah karena telah pernah melukai hati Yusuf, terus menghantui dirinya yang tak jua berani meminta maaf. Meskipun Yusuf selalu ada di dekatnya, ia tak mau menyapa walau hanya sekedar basa-basi. Baginya, seperti ada tembok penghalang yang tinggi lagi kokoh yang berasal dari makiannya kepada pemuda kala itu.

Lilis, ia tak tahu bahwa roda hatinya akan berputar. Ia yang dulu teramat risih melihat Yusuf kini malah menanti-nanti kehadiran pemuda yang ia panggil ‘belewuk’ itu. Yusuf dari hari ke hari nampak mirip seperti bapaknya, pintar, bisa diandalkan dan… menarik.

Menurut pandangan Lilis, keadaan Yusuf sekarang sungguh kontras dengan dirinya yang tidak pandai dalam hal apa pun. Enam bulan menanti, belum juga ada kabar maupun panggilan dari manajer artis yang dulu sempat menunjukkan ketertarikan pada Lilis. Rasa bosan dan jengah tak dapat ia hindari. Dan di saat seperti itu, melihat Yusuf menjadi satu-satunya hiburan bagi Lilis yang kian didera rasa putus asa akan mimpinya.

“Inikah pemuda gagap, dekil dan miskin itu?” batin Lilis saat mengintip Yusuf di balik kaca jendela kamarnya.

Tubuh Lilis berdesir saat mendengar suara Yusuf datang, menyapa orang-orang atau menjelaskan berbagai macam tanaman dan buah di kebun wisata milik bapaknya kepada para wisatawan. Suara laki-laki itu semakin ngebass dan berat. Tubuhnya juga dengan cepat berubah tegap dan berbidang lebar.

Semakin hari semakin sulit Lilis menepis pikirannya tentang Yusuf. Hatinya terusik oleh getaran-getaran yang membuatnya terkadang sampai malas makan.

Perasaan was-was dan tak suka menghampiri Lilis saat melihat para gadis desa mulai banyak yang mampir ke kebun. Ada yang minta diajari bahasa Inggris, ada juga yang bar-bar minta difoto di antara bunga-bunga dan… ujung-ujungnya malah minta foto bersama.

Lilis merutuki dirinya yang semakin terbiasa dengan kehadiran Yusuf, dan jadi kehilangan saat lelaki itu pamit pulang.

Gadis itu takut,

ia malah akan jatuh hati dan termakan oleh karmanya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   61

    “Selamat pagi!”“Pagi!”“Semangat!”“Semangat! Yes! Yes! Yes!”Sorak sorai penuh semangat membaur dengan cuitan burung-burung yang telah keluar dari sarang. Rona gembira menyibak kabut liar, elemen terbaik milik alam Cihejo di pagi hari. Mereka, gerombolan wisatawan dari kota, tujuh orang banyaknya, empat laki-laki dan tiga perempuan nampak begitu antusias menjajal wahana permainan air yang disebut river tubing. Di tepi sungai Harerang, setiap intruksi yang diberikan oleh pemandu mereka simak dengan baik, walaupun ada sebagian yang lebih asik bercanda dengan menggodai temannya.“Selamat datang di Harerang River Tubing!” Lilis sudah mengenakan pakaian sport muslimahnya saat menyambut mereka. Menjadi pemandu wisata air adalah pekerjaannya selain mengelola kebun wisata stroberi. Berkat tangan dinginnya, gadis itu berhasil menarik lebih banyak wisatawan dengan menawarkan beberapa paket wisata, river tubing ini salah satunya. Lima tahun lalu, Sungai Harerang hanyalah sungai alami milik w

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   60

    Seringkali Loulia membayangkan betapa suatu hari ia akan menjadi seorang bintang, melenggang anggun melintasi red carpet di tengah keranuman tatapan kagum. Pada saat itulah ia akan merasakan percikan lampu kamera menjadi lebih hangat dari ciuman pertama, dan keredap cahaya yang memantul dari gaun berwarna peraknya liar memikat selera semua mata hingga hanya tertuju padanya.“Sungguh, A! Aku selalu membayangkan hari yang ajaib itu datang mengetuk jendela kamarku, bersama kabut dan dingin yang saling berebut cahaya. Pada saat itulah ketika aku membuka jendela, seketika aku menjelma seorang bintang…” Loulia berbicara sembari memandang pada lembah yang terjamah basah. “Kemudian orang-orang berebut untuk berfoto bersamaku.”Yusuf yang mendengarnya, hanya tertawa. “Kalau Aa punya keinginan seperti kamu, Aa pasti memilih menjadi kabut.”“Kenapa?”“Biar Aa bisa dicumbui kamu persis saat kamu menyesap aroma kabut sampai matamu merem melek. Biar Aa bisa menyusup ke rongga paru-parumu, mendekam

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   59

    Desing suara mesin mobil pengangkut sayur yang beradu dengan gemeretak batu-batu kerikil yang digilas ban di halaman rumah berhasil mengalihkan pikiran Lilis sejenak dari ruwet pikirannya yang seperti benang kusut itu. Ia segera menyerbu pintu, persis anak kecil yang telah menunggu lama sang ayah pulang dari bekerja.Seorang laki-laki 40 tahunan turun dari mobil. Sambil mengelap peluh di wajahnya dengan handuk yang tersangkut di leher laki-laki itu berjalan menghampiri Lilis. Dari pintu mobil yang lain melompat seorang pemuda jangkung lagi kerempeng. Pemuda itu langsung menyalakan sebatang rokok setelah menemukan pojok yang pas untuk berjongkok.“Macet lagi, Pak?” tanya Lilis sambil menerima beberapa lembar nota dan kunci mobil yang disodorkan laki-laki itu.“Iya, Neng. Biasalah, kalau lewat pas lagi bubar karyawan pabrik pasti macet.”“Pak Asep, saya bikinin kopi ya,” seru Buk Martinah yang tergopoh-gopoh dari dalam rumah.“Nggak usah, Buk. Saya mau langsung pulang saja. Sudah kemale

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   58

    Tak! Tuk! Tak! Tuk!Bagi Farhan jarum jam yang berdetak di ruang pemeriksaan tak sekadar berjalan meniti waktu, namun terasa begitu tajam menusuk tempurung kepalanya. Dokter muda itu mengerjapkan mata berulang kali, juga mengatur napasnya yang kacau namun semampunya ia sembunyikan. Farhan tak ingin efek yang terjadi pada tubuhnya sebagai seorang lelaki dewasa normal disadari oleh gadis itu. Bahkan saat pasiennya itu melepas pakaian atasnya hingga terpampang nyata dua benda bulat berharga miliknya, Farhan masih bisa bersikap tenang.“Oke,” gumam Farhan setelah mengamati dua bukit kembar milik Erna. Lalu kembali menambahkan catatan di kertas yang ditopang papan dada. Seolah sedang melakukan pemeriksaan biasa, Farhan tak menampakkan reaksi berarti. Sikap datarnya itu justru memancing rasa penasaran Erna.“Apakah baik-baik saja, Dok?” Erna sengaja melembutkan suaranya seiring dengan sorot matanya yang mendalam pada dokter muda itu.&ld

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   57

    “Silakan…” Gadis itu masuk ke ruang pemeriksaan diikuti Farhan yang berjalan setengah gusar. Rupanya Farhan tak lupa pada sebuah batasan yang ia buat sendiri, sesuatu yang ia pegang demi menjaga kredibilitasnya sebagai dokter muda. Ia tak boleh menerima pasien perempuan di luar jam kerja, apalagi seorang diri tanpa ditemani perawat. Keputusan spontan yang ia ambil beberapa menit yang lalu kini mengganggu pikirannya. Entah mengapa ia tak kuasa menolak gadis itu, yang jika dilihat sekilas tak nampak kesakitan atau menderita cedera serius yang harus segera ditangani. Ketika gadis itu melewatinya, Farhan kembali mencium aroma memabukkan itu. Seketika darahnya berdesir, beruntung ia mampu menguasai diri sebelum gadis itu menoleh ke arahnya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” “Dengan Mbak siapa?” Farhan menarik pulpen dan mulai mencatat di atas secarik kertas. “Erna.” “Baik. Mbak Erna, kalau tidak salah siang tadi kita bertemu di… supermarket?” “Iya betul, Dok. Saya karyawannya calon i

  • Belenggu Asmara Tukang Kebun   56

    Melihat mulut Lilis terkatup rapat, dan serat-serat kelopak matanya terangkat, Buk Martinah tahu kalau anaknya tengah menanggung beban pikiran yang sangat berat. Sejumput sesal kemudian menghentak dada Buk Martinah. Bila saja ia bisa menyimpan pesan itu, paling tidak sampai suasana hati Lilis kembali riang seperti biasa, itu akan lebih baik mengingat gadis semata wayangnya akan menikah dalam waktu dekat. Tapi hati siapa yang tak terganggu dengan keluh dari seorang perempuan renta, yang siang tadi tetiba mengetuk pintu rumah Buk Martinah. Perempuan itu sudah sangat sepuh namun bersikukuh ingin menukar peluh dengan beberapa lembar uang, sayur, buah atau apa pun itu yang dapat menyambung hidupnya.Lilis yang duduk persis di samping Buk Martinah sejak sepuluh menit lalu terus memeluk gelas berisi teh manis hangat dengan telapak tangannya. Pandangannya mengambang setengah putus asa. Di teras rumah, suara jangkrik dan tonggeret mengiringi kesenduan batinnya; mengisi keheningan yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status