Share

Aku Ingin Hidupnya Hancur

***

Tiara akhirnya hanya bisa menerima. Iya, memang dirinya bisa apa? Memberontak? Melawan? Dia bukan orang yang bisa berlaku semaunya.

Ada satu titik rasa penasaran yang membuat si gadis lara itu menerima. Tiara masih penasaran, apa Arya sebenarnya mengetahui siapa Tiara yang dulu? Apa mereka sudah saling kenal sebelumnya?

“Nona Tiara,”

Tiara yang tadi melamun, dengan memeluk lututnya di lantai sembari menyender di bibir ranjang, sedikit terperanjat kaget saat pintu terbuka. Ah, dia masih belum terbiasa. Ketakutannya karena hampir dibunuh oleh Arya masih belum hilang. Sedikit lega saat mendapati sekretaris pribadi Arya— Kinan yang teryata memasuki kamar bernuansa gelap tersebut, dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.

“Tuan Arya sudah berangkat ke kantor, dan mungkin akan pulang malam.”

Tiara masih diam. Uh, dia tidak butuh informasi itu sebenarnya.

“Saya akan memenuhi kebutuhan Nona Tiara sebelum menyusul tuan Arya,” ujar Kinan kali ini dengan senyuman.

Tiara mengerjapkan mata. Apa dia bisa dipercaya? Masih skeptis, Tiara masih bungkam. Melihat Kinan kini meletakkan nampan yang ia bawa di meja kecil dekat tempat tidur.

“Saya sudah pesan beberapa baju untuk Nona, mungkin sebentar lagi sampai. Nona butuh yang lain? Mandi air hangat, atau—”

“Aku ingin pulang.”

Tiara lirih menyahuti ucapan Kinan, yang membuat sekretaris pribadi Arya itu tersenyum— miring. Cukup menakutkan bagi Tiara yang melihat.

“Saya akan kabulkan semua keinginan Nona kecuali yang satu itu. Nona tahu kalau itu akan membuat tuan Arya marah, kan?” ujar Kinan dengan tenang.

Tiara menunduk, mengangguk pelan. Dia paham benar, dia juga tidak mungkin berani menghadapi Arya yang mungkin akan kembali menodongkan pistol padanya, dan bisa saja Arya akan benar-benar membunuhnya.

“Lalu, aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan di rumah ini? Aku tidak melihat asisten rumah tangga, apa aku akan menjadi asisten rumah tangga di sini?” lirih Tiara bertanya.

Kinan menarik napas panjang. Melihat bagaimana Tiara yang serius dan tulus bertanya, sedikit banyak membuat Kinan bersimpati. Uh, sesama wanita, katakanlah begitu. Kinan mungkin akan sama  tertekannya jika dipaksa untuk tinggal bersama dengan orang yang tidak dikenalnya.

“Aku akan mulai bersiap untuk bersih-bersih rumah kalau begitu,” kata Tiara pelan kemudian beranjak dari duduknya— dia bahkan tidak berani untuk duduk di tempat tidur.

“Rumah ini tidak perlu asisten rumah tangga.”

Dan ucapan Kinan membuat Tiara kembali mengurungkan niatnya untuk melangkah keluar dari kamar.

“Nona Tiara tidak perlu bersih-bersih rumah, atau memasak, atau melakukan apapun itu,” imbuh Kinan.

“Lalu aku di sini harus apa?” cicit Tiara.

Gadis itu bingung, benar-benar bingung. Dia tidak boleh pergi, tapi dia tidak boleh melakukan apapun. Arya seolah benar-benar membuatnya seperti barang pajangan sekarang.

“Untuk Tuan Arya, apa lagi? Kenapa masih tanya?”

“Apa maksudnya?”

Tiara bertanya dengan senyuman hampa, ada alarm peringatan di kepalanya saat melihat Kinan tersenyum miring kepadannya.

“Kalau itu tanyakan saja pada Tuan Arya nanti.”

***

Hari semakin tinggi, Arya Karisma sekarang sedang disibukkan dengan berbagai laporan yang harus ia periksa. Sebagai pimpinan perusahaan, sekalipun sebenarnya Arya tidak suka berurusan dengan banyak berkas, Arya akhirnya juga mau tak mau sekarang berkutat dengan laptop dan tumpukan file.

“Segera atur rapat dengan divisi pemasaran,” kata Arya pada Kinan.

Sekretarisnya itu baru menyusul ke kantor sepuluh menit lalu setelah ditugaskan untuk mengurus segala keperluan Tiara.

“Baik, Tuan. Tapi yang ini…”

Kinan menggaruk pelan pelipisnya saat melihat bagaimana laporan yang baru saja diserahkan Arya untuk ia kerjakan. Mereka sudah ada di kantor, ngomong-ngomong. Kembali pada pekerjaan dan juga bisnis yang akan menguras otak— bagi sebagian orang, dan itu tidak berlaku untuk Arya.

“Maaf, Tuan Arya. Sepertinya ini bukan sesuatu yang baik untuk TMC Group, menjual hampir 5% saham dan—”

Ucapan Kinan terhenti saat melihat Arya yang tadi fokus dengan laptopnya, kini mengangkat wajah memandangnya dengan pandangan mata yang— ah, siapapun pasti akan berhenti bicara jika sudah dipandang seperti itu oleh Arya.

“Aku tahu apa yang aku lakukan, Kinan. Kamu pikir aku kehilangan saham 5% akan membuat sahamku yang lain juga hilang? Ini untuk tambahan proyek kita di Kanada,” sahut Arya lalu kembali memeriksa laptop di depannya.

“Ya tapi untuk apa, Pak? Kita tidak butuh dana untuk proyek di Kanada. Semuanya sudah maksimal dan tinggal eksekusi, kita hanya perlu melakukan deal dengan kolega di Kanada.”

“Kamu lupa kita masih ada tanggungan untuk menutupi kesalahan perusahaan Namira? Hanya jaga-jaga, setelah dilihat perusahaannya memang sudah busuk. Aku hanya tidak ingin kebusukannya merambah ke TMC Group.”

Kinan mengerjap pelan. Jujur, dia masih belum paham dengan apa yang dikatakan Arya. Dipandangnya lagi berkas  yang harus ia urus, dan itu semakin membuatnya pusing. Ah, padahal ini masih pagi tapi kepalanya sudah serasa mendidih.

TMC Group memang perusahaan yang begitu sukses, begitu besar dan begitu ciamik dalam masalah merajai bisnis. Namun kinerja Arya Karisma, pimpinan utamanya, kadang membuat Kinan geleng kepala.

“Oh, ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan pencarianmu?”

Kinan mengangkat wajah. “Maaf?”

“Nanda Rakala.”

“Ah, masih belum menemui hasil, Tuan.”

Arya tersenyum miring, melirik sekretaris pribadinya yang terlihat segan meminta maaf karena belum bisa memenuhi perintah sang atasan.

“Aku rasa, aku sudah tidak butuh Nanda Rakala,” tutur Arya pelan.

“Kenapa begitu?”

“Aku sudah punya anaknya, aku bisa balas dendam melalui anaknya, kan?”

Dan atas penuturan itu Kinan sedikit terperanjat, ekspresinya sedikit ngeri mendengarnya. Kinan  tahu bagaimana Arya yang begitu ambisius untuk balas dendam, Kinan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya Arya benar-benar melampiaskan itu semua pada Tiara.

“Tuan Arya yakin? Nona Tiara sama sekali tidak tahu apa-apa,” kata Kinan.  “Dia benar-benar seperti boneka, polos dan benar-benar tidak tahu apa-apa.”

Arya menghela napas panjang, menyenderkan punggungnya di kursi.

“Itu karena dia lupa ingatan dan aku tidak ingin dia ingat siapa dirinya. Aku ingin hidupnya hancur sepertiku, aku ingin dia benar-benar hilang ingatan selamanya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status