Share

You're Mine

Malam tiba, dan Tiara dibuat bingung oleh sikap ibu angkatnya. Pasalnya, bukan hal yang biasa jika Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah apalagi mengunjungi sebuah acara kantor tanpa menyuruhnya untuk berpenampilan rapi. Sangat jarang Bu Mira mengajaknya untuk keluar rumah jika bukan acara kantor, terlebih selarut ini. Tiara hanya mengenakan kemeja hitam tanpa riasan wajah yang berarti. Berbanding kontras dengan hari-hari sebelumnya dimana Bu Mira akan menuntut Tiara berpenampilan sesempurna mungkin.

"Mama, ini acara apa sebenarnya?" tanya Tiara hati-hati saat dirinya dan ibu angkatnya memasuki rumah black tone mewah.

Bu Mira hanya meliriknya sekilas, lalu melanjutkan langkahnya dengan lenggang menuju ruangan yang ditunjukkan seorang pekerja di rumah itu.

"Ma," panggil Tiara lirih masih belum mengerti.

"Silahkan duduk, Nyonya Mira. Tuan Arya sebentar lagi datang." kata seorang pekerja tadi yang melangkah keluar dari ruangan besar itu setelah mendapat anggukan singkat dari Bu Mira.

Tiara semakin bingung. Arya?

Tiara menatap sekeliling, rumah besar nuansa black tone itu membuatnya bingung sekarang.

Bukankah ibu angkatnya sangat melarang untuk berurusan dengan Arya?

Lalu untuk apa Bu Mira menemui Arya sekarang?

"Mama," panggil Tiara lagi.

"Diamlah, Tiara. Ini kerjasama baru untuk menyelamatkan perusahaan," jawab Bu Mira.

Tiara semakin bingung. Kerjasama? Membicarakan tentang perusahaan di malam selarut ini?

Entah mengapa perasaan Tiara menjadi tak karuan. Ia tak mengerti atas sikap ibu angkatnya. Sejak kemarin Bu Mira sangat sensitif karena keadaan perusaan yang semakin buruk. Bahkan beberapa wartawan mulai mendatangi perusahaan mereka, ada pula karyawan yang resign bersamaan.

Dan sekarang, Bu Mira bersikap seolah semua akan baik-baik saja. Kebiasaannya untuk membentak dan berseru kepadanya hari ini tak Tiara lihat.

"Maaf membuat anda menunggu, Nyonya Mira."

Bu Mira dan Tiara kompak menoleh kearah pintu. Arya nampak berjalan santai dengan Kinan di belakangnya membawa sebuah dokumen. Penampilan pemimpin perusahaan TMC itu terlihat sedikit tidak seperti biasanya. Lengan kemeja panjangnya digulungnya hingga siku, nampak kusut di bagian kerah. Rambut tebalnya juga sedikit tak teratur sedikit basah.

"Saya baru baru saja sampai." Bu Mira menjawab dengan senyuman.

Arya tersenyum sekilas lalu duduk disebrang Bu Mira. Mata elangnya sedikit melirik Tiara yang nampak masih bingung. Arya memberk isyarat pada Kinan, yang kini membuat Kinan meletakkan dokumen yang dibawanya di atas meja.

"Saya rasa kita sudah cukup membahas apa yang kita sepakati. Saya tidak ingin memperjelas lagi, saya sudah siapkan saham dan juga bantuan untuk anda keluar dari masalah ini,” ujar Arya menyodorkan dokumen dari Kinan.

"Saya juga tidak akan bertanya, Tuan Arya. Saya sudah cukup percaya dengan anda," jawab Bu Mira mengambil dokumen di atas meja.

Hanya Tiara yang diam tak mengerti, mencoba memahami kerjasama apa yang terjadi. Kenapa bisa tiba-tiba Arya membantu ibu angkatnya?

"Baiklah, saya tidak ingin basa-basi. Ini putri saya, Tiara, saya harap anda bisa menjaganya."

Tiara menoleh. Jantung Tiara seakan berhenti setelah mendengar ucapan sang ibu, sekian detik dia masih bisa menyangkal dugaan buruknya terhadap apa yang dilakukan ibu angkatnya. Namun itu runtuh saat Bu Mira memandangnya,

"Dan kamu Tiara, bersikaplah baik padanya mulai sekarang. Layani dia dengan baik."

"Mama…"

Arya hanya diam. Memandang dengan wajah tanpa ekspresi saat Tiara kini menahan tangan Bu Mira yang akan beranjak berdiri.

"Apa maksudnya ini?" lirih Tiara.

"Kamu belum mengerti?" kata Bu Mira balik bertanya dengan senyuman penuh arti.

Tiara diam, jantungnya berdegup kencang. Dalam hati dirinya masih berharap jika hal buruk yang ada dipikirannya tak terjadi. Matanya memanas menahan tangis saat Bu Mira kini tersenyum sembari melepaskan genggaman tangannya.

"Aku menyelamatkan perusahaan dengan kamu sebagai bayarannya."

Tiara tertegun. Usahanya untuk mengenyahkan pikiran buruk terhadap Bu Mira hilang sudah. Air mata yang ia tahan kini jatuh bebas dipipinya.

"Mama menjualku?" lirih Tiara tak percaya.

"Aku tidak bilang begitu, tapi mungkin iya."

"Mama—"

"Setidaknya ini bisa membantu perusahaan, Tiara. Mulai sekarang, jangan pernah kamu datang lagi ke rumah. Kita sudah tidak ada hubungan apapun, paham?"

"Aku tidak mau! Aku bukan barang yang bisa mama jual!" seru Tiara kini dengan nanar.

Bu Mira tersenyum remeh seolah seruan dari Tiara tak ada arti, dirinya justru beralih pada Arya yang hanya diam melihat.

"Aku permisi, Tuan Arya. Untuk kesepakatan selanjutnya akan aku urus besok."

Arya tak menjawab, hanya senyuman simpul tanda mengiyakan ucapan Bu Mira.

"Mama!"

Wanita modis itu beranjak. Tak mengindahkan Tiara yang kini mengikutinya, meraih tangannya sembari memohon meminta penjelasan.

"Mama, aku mohon, jangan seperti ini. Aku bukan barang yang bisa dijual!" kata Tiara dengan tangis.

Bu Mira menghentikan langkahnya, menghempaskan tangan Tiara yang masih saja menahannya.

"Kamu memang bukan barang, tapi aku juga tidak perduli denganmu! Kamu bukan siapa-siapa, Tiara! Kamu bukan anakku, kamu hanya menjadi bebanku selama ini!" seru Bu Mira.

Tiara memandang Bu Mira tak percaya. Sebenci inikah sosok wanita yang begitu ia segani ini kepadanya? Kadang Tiara masih berharap jika sikap ibu angkatnya akan berubah seiring waktu, bisa merasakan betapa Tiara sangat menghormati dan menghargainya sebagai ibu. Namun harapan itu sekarang runtuh sudah.

"Beban? Beban karena mama tidak bisa menikmati harta papa?" lirih Tiara

"Tutup mulutmu!" bentak Bu Mira mengangkat tangan hendak menampar Tiara namun terurung.

Arya yang sedari tadi diam kini menahan tangan Bu Mira. Tatapan netra hitamnya tajam kepada wanita modis yang nampak emosi tersebut.

"Cukup. Dia milikku sekarang."

Bu Mira menarik tangannya, tanpa berlama-lama terjebak dalam situasi panas, Bu Mira kini berjalan keluar dari ruangan besar itu tanpa memperdulikan Tiara yang memanggilnya dengan tangisan.

"Mama!"

"Biarkan dia pergi." Arya menahan tangan Tiara.

Tiara menggeleng lemah, "Aku bukan barang! Lepaskan aku!" seru Tiara mencoba melepas cengkeraman tangan Arya.

"Aku tidak menganggapmu sebagai barang atau wanita murahan. Aku mencoba menyelamatkanmu." Arya semakin kuat mencengkram tangan Tiara meski gadis itu memberontak.

"Dia ibuku, aku tidak mau di sini, aku mau pulang dengannya..." kata Tiara dengan tangis masih mencoba melepas cengkeraman tangan Arya.

"Dia menjualmu demi saham! Kau diperlakukan seperti budak! Kau masih menganggapnya sebagai ibu?!" seru Arya.

"Tidak, dia tetap ibuku. Aku mohon, aku ingin pergi bersamanya, aku mohon."

Pemuda bermata tajam itu hanya diam. Tak menjawab dan masih kuat menahan Tiara. Entah apa yang dipikirkannya, Arya hanya menatap Tiara yang menangis memohon seolah itu tontonan untuknya.

"Aku bukan perempuan jalang, aku tidak mau di sini, aku mohon."

Tiara kini merosot, berlutut dihadapan Arya dengan tangisan.

Arya menghela nafas panjang, ekspresi wajahnya yang dingin kini berubah menjadi kesal. Ia menoleh ke arah Kinan yang sedikit tertegun melihat Tiara yang demikian terpuruk. Feeling sesama wanita, katakanlah begitu. Namun tak berlangsung lama, saat sekretaris pribadi Arya Bagus Karisma itu menyadari tatapan tajam dari tuannya. Paham maksudnya, untuk menyuruh Kinan pergi. Kinan mengangguk pelan, berpamitan dengan nada pelan sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan.

"Kamu sudah dijual demi saham. Kamu paham artinya? Dia tidak menganggapmu anak. Dia hanya menganggapmu beban.”

“Tidak!”

Arya mendengus kesal. “Untuk apa kamu bertahan dengannya? Lihat wajahmu, lihat lengan dan kakimu! Banyak luka lebam karena dia, apa kamu ingin disiksa sampai mati olehnya?!" tutur Arya dengan geram.

Tiara diam. Dia tidak bisa menyangkal ucapan Arya karena itu memang benar. Namun dirinya juga tak bisa membenci seseorang yang sudah ia anggap sebagai keluarga di tengah kosongnya diri karena tidak bisa mengingat apa-apa. Perlahan gadis lara itu mengangkat wajah, memandang Arya yang hanya diam memandangnya dengan tajam. Ia tidak mengenal dengan baik pemuda ini. Kesan saat pertama kali bertemu tidak bisa dibilang baik. Tiara tidak tahu apakah hidupnya akan menjadi lebih baik atau semakin parah sekarang.

"Kamu bisa tinggal disini sekarang." Datar Arya berucap demikian.

"Aku tidak mau,"

"Kamu takut padaku?"

Tiara tak menjawab, melihat Arya seperti itu sungguh begitu menakutkan baginya. Apa yang bisa menjamin kalau pria dihadapannya ini adalah orang baik setelah 'membelinya'? Siapa yang bisa menjamin atas tindakannya nanti? Apalagi senyuman itu sangat memuakkan. Begitu meremehkan seolah pria itu adalah pria paling hebat sedunia.

"Terbiasalah untuk itu, kamu milikku sekarang."

"Aku bukan milik siapapun! Aku bukan barang!" seru Tiara.

Gadis lara itu mengusap kasar air sisa air matanya. Ia beranjak berdiri menghadap Arya yang kini diam memandangnya dengan tatapan tajam.

"Aku tidak akan tinggal disini untuk menjadi pelayanmu!" ujar Tiara.

Arya tak bersuara. Pria bermata tajam itu sama sekali tak menanggapi seruan Tiara. Namun sekian detik setelah Tiara berucap dengan lantang, tangan kekar pria itu menarik kasar tangan Tiara. Ia tarik dengan kasar gadis itu untuk mengikutinya dengan paksa.

"Lepaskan aku!"

Tiara meronta, memukul tangan dan bahu Arya namun sama sekali tak mengubah cengkeraman Arya, tenaganya sama sekali tak sepadan dengan pria bermata tajam itu. Tiara rasa ini adalah cengkeraman paling menyakitkan yang pernah ia terima. Berpuluh kali lipat lebih menyakitkan dibandingkan cengkeraman ibu angkatnya.

Terseok-seok Tiara mengimbangi langkah Arya. Jantungnya berdegup kencang saat Arya membawanya menuju lorong gelap dalam rumah bernuansa black tone itu. Firasatnya mengatakan jika ini bukan hal yang baik untuknya.

Dengan kasar Arya menendang pintu besar sebuah kamar hingga terbuka. Tiara semakin memberontak, namun nihil. Arya justru malah menariknya kedalam kamar gelap itu.

"Ahk…" rintih Tiara saat Arya mendorongnya ke tepi ranjang tempat tidur.

Pergelangan tangannya terasa sangat sakit. Dalam keremangan Tiara bisa memastikan jika tangannya kini merah. Dan dalam keremangan pula Tiara melihat sosok Arya kini tambah menyeramkan baginya. Jantung gadis lara itu terasa semakin berdegup kencang dengan perasaan takut.

"Kamu tidak punya banyak waktu sekarang. Cepat mengaku siapa dirimu sebenarnya." suara Arya terdengar lirih.

"Apa maksudmu?" ucap Tiara bingung.

Gadis itu berdiri sembari memegang lengan kanannya yang masih terasa sakit, mencoba menetralkan perasaan takutnya sendiri.

"Kamu ingin bermain-main sekarang?"

Tiara semakin tak mengerti, ia kembali menyeka air matanya yang mengalir tanpa diminta. Perasaan takutnya semakin menjadi saat kini Arya menarik langkah mendekat kearahnya.

"Aku tidak tahu apa maksudmu, izinkan aku pergi, aku mohon.." kata Tiara pelan menahan kakinya yang sedikit gemetar.

Tangannya kini menahan bahu Arya yang kini semakin menghapus jarak di antara keduanya.

Matanya kembali terasa panas ingin menangis karena rasa takut yang semakin menjalar. Tak lagi berani gadis lara itu memandang Arya yang semakin menatapnya dengan tajam seolah Tiara adalah mangsa yang tidak akan bisa lolos dari terkamannya sekarang.

"Katakan padaku siapa kamu sebenarnya."

"A-aku—"

"Lihat aku, baby fox!" Bentak Arya sembari menarik dagu Tiara.

Tak lagi dapat tangisan itu tertahan. Sesaat lalu Tiara mungkin sedikit berharap jika dirinya memang benar telah diselamatkan dari orang yang kejam, tapi nyatanya tidak.

Rasa takut itu diberikan dari orang yang berbeda. Rasa sakit yang dideritanya terasa bertambah saat dirinya menemui fakta jika ada orang lain yang bisa memberinya luka.

Meski sebenarnya dia tidak paham dengan panggilan ‘baby fox’ dari Arya.

"Katakan padaku untuk apa kamu melakukan ini semua?" tanya Arya dengan suara pelan mengimintidasi.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, aku mohon lepaskan aku..." lirih Tiara gemetar memegang tangan Arya yang masih mencengkeram dagunya.

Arya masih diam, matanya tajam terlihat meski sedikit berkaca-kaca melihat sosok gadis lara yang kini menangis memohon kepadanya. Meski hatinya teriris melihat wajah ayu yang tercoreng dengan segala kesedihan dan raut wajah yang sayu karena lelah, Arya belum melepaskan cengkraman.

"Ini jawabanmu atas semuanya?" lirih Arya bertanya.

"M-maafkan aku, aku sungguh tidak tahu apa yang kamu bicarakan, Tuan Arya..."

Arya melepas cengkramannya, membuat Tiara kini menunduk menangis terisak tak berani memandangnya.

"Kamu..." lirih Arya kini beralih menyentuh pipi Tiara.

Gadis lara itu sedikit menjauh, menghindari tangan Arya. Ketakutannya terhadap Arya membuatnya sedikit gemetar.

"Maafkan aku, tapi aku tidak melakukan apapun, sungguh. Aku bukan orang pemberani yang bisa bertindak sesuka hati, aku mohon biarkan aku pergi," lirih Tiara masih dengan tangisnya.

Arya masih nyaman dengan posisi diam dan melihat Tiara yang memohon seolah itu adalah tontonan untuknya. Gadis itu sama sekali tak berani memandangnya.

"No. You’re mine. Kamu tidak bisa pergi lagi, baby fox.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diajheng WD
maksudnya apa yaa tentang baby fox ini.. tegaa amat...emang udh tegaa sih yaa Bu Mira... menyakiti menyiksa Tiara aja udh hal biasa apalagi menjadikan Tiara jaminan juga menjualnya itu udh lumrah buat diaa...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status