Share

Yang Paling Bodoh

***

Tiara mengerjap pelan, ekspresinya sedikit terkejut saat menyadari jika dirinya berada di tempat yang asing. Ah, dia hampir lupa jika masih berada di rumah Arya Karisma. Semalam dirinya hanya duduk menyender di bibir ranjang, tanpa ada niatan untuk tidur di kasur besar di kamar temaram itu. Menangisi nasib, berdoa semoga Arya kembali dan mengeluarkannya, ternyata sia-sia, dan akhirnya Tiara tertidur karena lelah menangis.

“Oh, kamu sudah bangun?”

Suara berat itu membuat Tiara menoleh ke arah pintu yang baru saja dibuka. Sosok Arya terlihat di sana, membuat kamar yang temaram itu mendapat sinar dari ruang lain.

“T-tuan,” lirih Tiara kini beranjak dari tempatnya, mendekat ke arah pintu tapi Arya lebih dulu mencekal tangan Tiara sebelum gadis itu benar-benar keluar dari kamar.

“Kamu pikir aku ke sini untuk melepaskanmu?”

Tiara menelan salivanya. “Ini sudah pagi dan aku harus pulang.”

“Siapa yang menyuruhmu pulang? Memang di mana rumahmu?”

“Tuan—”

“Dengar, baby fox.” Arya menyahuti dengan suara pelan. Tangannya membawa Tiara untuk lebih dekat dengannya. “Aku tidak punya kesabaran yang baik, kamu tahu itu kan?”

Tiara mengernyit samar, memandang si tampan yang menatapnya dengan tatapan tajam penuh ancaman. Dia masih belum paham dengan maksud Arya yang seolah mengenalnya dengan baik. 

“Jadi, katakan padaku, apa maksudmu untuk pura-pura amnesia? Kamu nggak ada kesempatan untuk lari, nggak ada orang yang bisa mengeluarkanmu dari rumah ini selain aku.”

Tiara menghempaskan tangan Arya— yang sia-sia, karena memang tenaganya tak cukup untuk melawan cengkeraman Arya.

“Harus berapa kali aku bilang kalau aku tidak berbohong? Untuk apa aku berpura-pura?!” kesal Tiara.

“Untuk ayahmu.”

“Aku bahkan nggak ingat siapa nama asliku,” kata Tiara dengan bibir bergetar.

Untuk pertama kalinya, Tiara berani memandang Arya sama tajamnya. Gadis itu sudah benar-benar muak. Tidak ada yang bisa membantunya, maka dirinya akan mencoba lepas dan pergi dengan usahanya sendiri. Melawan orang yang mungkin saja bisa menjadi sumber rasa sakitnya yang baru.

“Aku bukan orang yang anda maksud, Tuan Arya. Tolong, lepaskan aku. Biarkan aku pergi.”

Namun senyuman miring yang Arya perlihatkan sekarang. Si tampan itu mendekat, mencengkeram dagu Tiara. Sungguh, jantung Tiara rasanya jatuh ke perut. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Arya sekarang, tapi sungguh semuanya membuatnya takut.

“Sungguh, kamu bukan baby fox milikku?” lirih Arya tepat di depan wajah Tiara.

Tiara diam, mati-matian menahan air matanya yang menandakan jika dirinya benar-benar ketakutan. Oh, sungguh, Arya Karisma dengan aura dominannya sungguh membuat siapa saja bertekuk lutut. Seperti ada kekuatan tersendiri yang menandakan jika dirinya memang berkuasa, atas semuanya— termasuk Tiara.

“Aku bukan orang yang anda maksud,” lirih Tiara tertahan, menjawab dengan mati-matian menahan takut.

Tangannya berusaha menahan dada bidang Arya, tapi percuma. Si tampan itu masih bisa membuatnya tanpa jarak.

“Oke.”

Arya menurunkan tangannya, melepas cengkeramannya, membuat Tiara kini sedikit bernapas lega—

“Kalau begitu aku akan membunuhmu.”

—atau mungkin tidak.

Tangan kanan Arya mengambil sesuatu dari saku celananya, dengan cepat kini sebuah benda dingin bisa Tiara rasakan menyentuh dahinya. Iya, sebuah pistol. Tiara membeku.

Astaga, apa separah ini hidupnya? Haruskah di sini dirinya mengakhiri perjalanan hidupnya?

“Untuk terakhir kalinya, Mutiara Shima, mengakulah.”

Tiara diam. Jantungnya berdetak dengan cepat karena menahan takut. Sebuah pistol benar-benar ada di dahinya sekarang, Arya terlihat dingin memandangnya bersiap untuk menekan pelatuk, siap melubangi kepala Tiara.

“Tuan Arya, berhenti!”

Seruan terdengar, membuat Arya kini melirik ke arah pintu yang kini terbuka dengan sempurna. Di sana ada Kinan yang terlihat baru saja sampai, menghampiri atasannya dengan napas yang cukup tersengal. Di tangannya ada sebuah map biru.

“Berhenti, jangan bunuh nona Tiara!” seru Kinan.

Arya mengangkat satu alisnya, masih belum menurunkan pistol yang ia todongkan pada Tiara, memandang Kinan dengan tatapan menuntut penjelasan. Kinan menarik napas dalam, sebelum akhirnya menunjukkan map biru yang ia bawa.

“Ada yang perlu Tuan tahu,” kata Kinan dengan pelan.

“Tentang?”

Kinan menelan salivanya dengan tercekat. Mendapati atasannya dalam mode yang menekan terlebih menodongkan pistol pada Tiara, cukup membuat Kinan takut juga. Tak langsung menjawab, ekor mata Kinan hanya melirik Tiara. Dan seolah mengerti dengan maksud sekretaris pribadinya, Arya menurunkan pistol dari dahi Tiara.

“Kalau tidak penting, aku juga akan melubangi kepalamu, Kinan.”

Suara Arya terdengar mengancam, mengambil map biru dari Kinan. Si sekretaris pribadi Arya tak menjawab, beralih mendekat pada Tiara yang terlihat sedikit syok karena mendapat ancaman dari Arya.

“Nona tidak apa-apa?” tanya Kinan pada Tiara.

Tiara tak menjawab, hanya air matanya yang mewakilinya. Arya yang sudah membaca isi map yang dibawa Kinan kini menoleh pada Tiara, membuat si gadis lara melangkah mundur, tubuhnya gemetar menahan takut.

“Kinan, aku minta penjelasan soal ini nanti. Aku mau siap-siap untuk ke kantor.” Masih dengan dingin, Arya berucap demikian. Namun matanya belum lepas dari memandang Tiara.

“Baik, Tuan,” jawab Kinan patuh.

Arya menutup map biru di tangannya, hendak melangkah keluar tapi tangan kanannya kini ditahan oleh Tiara. Gadis itu sedikit gemetar, mencoba menetralkan rasa takutnya, membuat langkah Arya terhenti.

“T-tunggu,” lirih Tiara. “Anda memanggilku baby fox, anda menyebut Mutiara Shima, apa… apa itu namaku? Apa anda kenal denganku sebelumnya?”

Arya tak langsung menjawab, matanya yang tajam kini bersirobok dengan mata teduh milik Tiara yang masih memandangnya dengan air mata yang merembang. Sungguh, tidak ada kebohongan di sana. Hanya ada ketulusan bercampur ketakutan. Gadis lara yang malang.

“Aku benar akan membunuhmu jika berpura-pura bodoh,” sahut Arya.

“Aku tidak pura-pura bodoh! Aku memang tidak tahu apapun!” seru Tiara kesal.

Gadis itu benar-benar frustasi sekarang, dihadapkan dengan lingkungan baru, bukan menjadikan Tiara lebih baik tapi justru tertekan. Arya bersikap begitu dingin, menekannya untuk mengaku padahal Tiara juga tidak tahu apapun yang dimaksud Arya.

“Selama delapan tahun ini aku tidak bisa mengingat apapun, tidak ada yang memberitahu siapa aku. Aku hanya ingin hidup tenang, sungguh, aku hanya ingin hidup tanpa luka,” lirih Tiara kini jatuh terduduk.

Tangisnya yang sedari tadi ia tahan kini tumpah sudah. Tiara menangis pilu, menyadari bagaimana hidupnya selama ini yang begitu menyakitkan. Tidak ada teman, tidak diperbolehkan bertemu dengan orang lain, tidak boleh bertanya tentang masa lalu atau siapapun dirinya. Tiara, benar-benar sendirian.

“Tiara.”

Tiara perlahan mengangkat wajah, memandang Arya yang masih memandangnya dengan dingin dan tajam. Sekian detik berikutnya, si tampan itu menariknya untuk berdiri.

“Aku akan memanggilmu demikian. Kamu nggak perlu tahu siapa kamu sebelum ini, tapi yang jelas—”

Ucapan Arya menggantung, si tampan itu kini menangkup kedua pipi Tiara, mengecup lembut bibir pucat Tiara sekilas.

”—kamu hidup denganku sekarang. Kamu milikku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status