Share

Aku Akan Membunuhnya

Tiara tidak berani bicara sama sekali. Untuk banyak alasan, dirinya membenci kenapa dirinya berada di situasi yang tidak bisa melawan sama sekali. Entah itu pada ibu angkatnya, ataupun orang lain.

Baby Fox, begitu Arya memanggilnya.  Membuatnya hanya diam, bingung sekaligus takut. Ah, ini lebih menakutkan dibanding bentakan dari bu Mira, sungguh.

“Aku menunggumu sampai besok, apa masih berani kamu bersembunyi lagi. Pura-pura amnesia, padahal kamu tahu siapa aku.”

Dan ucapan Arya semakin membuat kepala Tiara pusing. Pura-pura amnesia, katanya.

“Untuk apa aku melakukan itu?” lirih, Tiara menimpali dengan bibir bergetar.

Arya tersenyum miring. Memilih diam kali ini, Tiara yang memandangnya dengan takut-takut dengan isakan tertahan, agaknya cukup membuat hatinya tercubit pelan. Gadis itu benar-benar tidak akan mengaku ternyata.

“Jangan berlaga bodoh, dari awal aku sudah tahu siapa kamu.”

“Aku tidak mengerti…” lirih Tiara menggeleng pelan, berbarengan dengan air matanya yang kembali hadir.

Ah, jangankan mengerti apa yang dikatakan Arya, dirinya bahkan belum sepenuhnya mencerna bagaimana nasibnya sekarang. Apa ibu angkatnya benar-benar menjualnya demi perusahaan?

“Lakukan semaumu, kita lihat berapa lama kamu bertahan dengan amnesia bodohmu yang—”

“Aku tidak pura-pura!” seru Tiara.

Gadis itu muak, air matanya kembali hadir, bahunya naik turun karena napasnya yang sedikit tersengal.

“Aku bahkan hampir gila karena berusaha mengingat siapa aku sebenarnya selama ini, untuk apa aku pura-pura amnesia?”

Pelan, tapi terdapat keputusasaan di nada bicara Tiara. Namun sayangnya sama sekali tak membangkitkan rasa simpati pada Arya. Lelaki tampan itu masih memandangnya dengan dingin, tanpa mengubah ekspresi sekalipun Tiara menangis.

“Aku hanya ingin hidup tenang sekalipun tidak tahu siapa aku sebelumnya, apa sesulit itu?” lirih Tiara. “Aku mohon, aku mohon biarkan aku pergi, Tuan Arya.”

“Aku sudah membelimu, tidak ada izin untukmu pergi.”

“Aku bukan barang!”

Seruan Tiara kembali memenuhi kamar temaram tersebut. Gadis itu terisak, hatinya diremat kuat saat kembali Arya mengatakan soal membelinya. Setidak-berharga itukah dirinya? Benar-benar tidak dianggapkah dirinya oleh sang ibu?

“Dia ibuku, aku ingin kembali,” kata Tiara pelan.

“Kamu mau mati? Lihat kaki dan tanganmu, apa kamu mau mati dipukuli olehnya?”

“Dia ibuku—”

“Dia bukan ibumu! Dan berhenti bersikap seolah-olah kamu itu lemah!”

Tiara merosot jatuh terduduk di lantai, ia raih tangan Arya, mendongak dengan tangisnya. Sungguh, dirinya hanya ingin kembali pada sang ibu angkatnya.  Dia sama sekali tidak paham dengan arah pembicaraan Arya yang terus-terusan menuduhnya berpura-pura.

“Aku mohon, biarkan aku pergi.”

Arya tak menjawab, si tampan itu menghempaskan tangannya, dan justru melangkah melenggang keluar dari kamar. Tak mengindahkan bagaimana Tiara yang memohon padanya, atau Tiara yang menangis berusaha meminta belas kasihannya. Pintu lebih dulu tertutup saat Tiara mengejar Arya, membuatnya kini hanya bisa kembali terkurung dalam kamar besar gelap tersebut.

Tidak ada bedanya ternyata. Benar-benar tidak ada bedanya. Tiara seolah ditakdirkan untuk menjadi tahanan.

“Tuhan… seberapa sering lagi aku merasakan sakit?” lirihnya.

Di waktu yang sama, di luar kamar, Arya terlihat diam dengan tangan kanannya yang memegang knop pintu kamar. Ekspresinya masih sama, masih datar, terkesan dingin tanpa adanya simpati.

“Tuan Arya.”

Sampai akhirnya suara Kinan menginterupsi. Sekretaris pribadi Arya Karisma itu terlihat sudah siap-siap untuk pulang, beberapa file terlihat ia bawa di tangan kanannya.

“Maaf, Tuan Arya. Apa masih ada hal yang perlu saya selesaikan?”

Arya menarik napas panjang, menggeleng pelan. “Tidak.”

“Baik, kalau begitu saya pamit pulang. Semua file tentang pekerjaan akan saya selesaikan sebelum rapat besar besok. Termasuk tentang nyonya Mira—”

“Aku ingin kamu fokus untuk mencari informasi Nanda besok.”

“M-maaf?”

Arya mengerjapkan matanya. “Aku tidak bisa menahan lebih lama anaknya di sini,” ujar Arya.

Untuk ucapan itu, Kinan hanya bisa diam. Sekretaris pribadi Arya terlihat menaikkan satu alisnya, melihat tangan kanan Arya yang masih memegang knop pintu— seolah menahan agar tidak dibuka dari dalam.

“Nona Tiara ada di dalam?” cicit Kinan yang mendapat anggukan dari Arya. “Dia baik-baik saja? Apa dia butuh sesuatu?”

“Dia hanya butuh adaptasi, dan segera mengaku kalau dia hanya pura-pura amnesia.”

“Tuan Arya, saya sudah mencari informasi tentang nona Tiara, dan itu sama sekali bukan rekayasa. Delapan tahun nona Tiara hidup dengan keluarga nyonya Mira, penuh dengan siksaan, dan Tuan masih menganggapnya pura-pura?”

“Dia itu anaknya Nanda Rakala! Aku yakin dia hanya pura-pura dan bertujuan membuat jalan untuk ayahnya.”

“Dengan disiksa selama delapan tahun? Itu tidak masuk akal, Tuan. Dia bahkan tidak mirip dengan anak Nanda Rakala yang Tuan maksud.”

Arya menghela napas panjang, mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Kepalanya sekarang terasa berat karena kalimatnya dibantah dengan yakin oleh Kinan. Sekretaris yang selalu menyetujui dan selalu sejalan dengan apa yang dikatakan kali ini membantah dengan yakin.

“Oh, atau mungkin dia operasi wajah?” ujar Kinan dengan memasang ekspresi sedikit berpikir.

Arya mengerling tajam. Untuk masalah perusahaan, Arya bisa menjamin jika Kinan adalah sekretaris terbaik yang pernah ia miliki dibanding sekretaris-sekretaris yang sebelumnya. Terlebih dirinya juga punya andil dalam penyelidikan kasus tersembunyi yang tengah Arya hadapi. Mencari pembunuh keluarga besarnya, Kinan cukup membantu selama ini. Hanya saja, kadang kala, sosok sekretaris itu juga bisa sangat menyebalkan jika mau, terlebih saat mempunyai argumen sendiri dengan penyelidikannya yang tidak beres.

“Dia punya liontin yang aku berikan pada Mutiara ku. Jadi dia memang anak Nanda Rakala, Mutiara, tapi sepertinya dia hanya menggunakan nama panggilannya, Tiara.”

Dan ucapan Arya kini membuat Kinan membelalakkan matanya. “Jadi dia benar-benar anaknya Nanda Rakala? Kekasih Tuan dulu? Tapi kenapa wajahnya berbeda? Apa dia sempat operasi wajah?”

Arya tak menjawab, hanya matanya yang menyorot tajam ke arah sekretaris yang terlihat terkejut. Sekian detik berikutnya, Kinan terlihat menjentikkan jarinya.

“Benar. Saya akan mencari informasi tempat nona Tiara tinggal sebelum diangkat anak oleh kelarga nyonya Mira, ada kemungkinan dia ditemukan dan amnesia, wajahnya rusak lalu melakukan operasi,” tutur Kinan terlihat antusias.

Arya mengangkat satu alisnya, memandang Kinan yang terlihat mulai menggagas pikiran dan juga ide-idenya.

“Kamu tidak berpikir jika dia hanya berpura-pura?”

Kinan menghela napasnya. “Maaf, Tuan Arya. Ini bukan sesuatu yang mengharuskan saya berpikir ke arah sana. Lagipula untuk apa berpura-pura selama delapan tahun dengan siksaan ibu angkat? Saya bahkan ragu jika Nanda Rakala tahu perihal anaknya yang masih hidup.”

Arya lagi-lagi diam, dia tidak bisa menyalahkan pendapat Kinan kali ini. Memang masuk akal, tapi hatinya masih sedikit merasa mengganjal.

“Aku belum percaya dengannya.” Arya menimpali setelah sekian detik terdiam.

“Lalu, apa yang akan Tuan lakukan dengannya setelah ini?”

“Aku masih yakin dia hanya pura-pura amnesia, aku akan tunggu sampai besok untuk dia mengaku. Kalau tidak, aku akan membunuhnya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status