“Cari wanita itu! Tuan Marco bisa marah besar jika tahu pengantinnya kabur!”
Seruan keras dan suara langkah kaki yang menapak ke jalan berlumpur membuat suasana semakin tegang.
“Cepat cari jejaknya, sebelum hujannya makin deras dan kita kehilangan jejak wanita itu!”
Petir menggelegar di langit gelap. Hujan turun semakin deras, membasahi tanah yang mulai berubah menjadi lumpur licin. Di balik rerimbunan pohon, nafas Livia memburu. Tubuhnya gemetar, entah karena dingin, takut, atau keduanya.
Gaun satin yang sebelumnya indah kini robek di beberapa bagian, basah dan berat menempel di kulitnya. Kakinya penuh luka karena berjalan tanpa alas kaki, namun ia tak berhenti. Tak bisa berhenti.
"Aku harus keluar dari sini," desisnya pelan, nyaris seperti doa.
Tiba-tiba, langkah kaki semakin dekat. Suara ranting patah membuatnya membeku. Ia menahan napas, merapatkan tubuh ke batang pohon besar. Degup jantungnya nyaris menenggelamkan suara hujan.
"Ke arah sini! Aku melihat sesuatu bergerak!"
Tidak! Livia bangkit dan berlari lagi. Napasnya putus-putus, pandangannya kabur oleh air hujan. Tapi ia tak peduli. Lebih baik mati basah di hutan daripada menjadi boneka di tangan pria tua yang menganggapnya hanya alat negosiasi.
Dia terus berlari sekuat mungkin menuju ke arah tembok raksasa yang entah mengapa dibangun di tengah hutan seperti ini.
Tapi karena tak memiliki waktu berpikir, Livia dengan nekat memanjat tembok itu dengan gerakan lincah.
Namun sialnya tembok itu dialiri arus listrik yang membuatnya tersengat listrik dan tersungkur ke dalam bagian tembok itu.
Samar-samar dia mendengar suara dari balik tembok itu di tengah kesadarannya yang menipis.
“Sial, wanita itu masuk ke area terlarang. Kita tak bisa berbuat apa-apa, sepertinya dia juga akan mati dalam waktu dekat.”
“Benar, kita lapor ke tuan Marco jika pengantinnya jatuh ke jurang agar pria tua itu tak mengamuk karena kita gagal menangkapnya.”
Tubuh Livia tergeletak lemah di atas tanah basah. Kulitnya memar, ujung jarinya kesemutan, dan kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya berputar, dunia tampak seperti kabut samar yang menelan segalanya.
Namun, di tengah kegelapan itu…
Langkah kaki berat mendekat. Suara sepatu kulit yang menapak tanah basah. Pelan, pasti, dan penuh ancaman.
Seseorang berdiri di atasnya.
Bayangan tinggi menjulang dengan jas hitam panjang dan kemeja putih yang tetap rapi meski rintik hujan mulai menodainya. Tangan pria itu menyelip ke dalam saku celana dengan tenang, seperti pemilik dunia. Matanya tajam mengamati tubuh asing yang masuk ke wilayahnya tanpa izin.
"Dia masih hidup?" tanya pria itu dingin.
Seseorang di sampingnya menunduk memeriksa. “Masih, Tuan. Tapi kemungkinan kehilangan kesadaran karena sengatan.”
Pria itu membungkuk sedikit, jemarinya yang dingin menyentuh dagu Livia, mengangkat wajahnya perlahan.
Basah. Pucat. Tapi cantik. Mata yang tertutup itu tampak menyimpan lebih banyak perlawanan daripada kebodohan.
"Hm," desahnya ringan, seakan sedang menilai barang antik yang menarik.
“Buang?” tanya si bawahan lagi.
“Tidak.” Pria itu berdiri tegak, membalikkan tubuh. “Bawa dia. Jadikan dia bahan eksperimenku.”
Bawahan pria itu mengangguk, lalu membawa tubuh Livia bak karung di pundaknya.
****
“Shhhh…”
Desisan samar keluar dari bibir mungil itu. Suara lirih yang tercampur antara rasa sakit dan ketakutan.
Livia yang baru sadar setelah sehari terkapar akhirnya membuka matanya, tapi hanya mendapati satu hal—kegelapan. Bukan gelap malam yang lembut, melainkan kegelapan pekat dan menekan, seolah cahaya pun enggan menyentuh tempat ini.
Tangannya terangkat... atau mencoba terangkat. Tapi bunyi rantai segera menjawab pertanyaannya.
Klik.
Tangan dan kaki Livia terikat kuat pada tiang dingin di belakang tubuhnya. Bukan tali biasa, tapi rantai besi yang menggigit pergelangan tangan dan membuatnya sulit bergerak.
Tubuhnya ngilu, seolah tulangnya dipelintir dan dibiarkan membusuk selama berjam-jam.
“Apa aku… tertangkap?” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.
Pikiran Livia panik. Dia berusaha mengingat—hutan… tembok… sengatan listrik… lalu gelap.
“Dimana ini?!” jeritnya, suaranya menggema, tapi tak dijawab siapa pun. Hanya ada keheningan. Dinginnya ruangan bawah tanah menyelimuti kulitnya, dan bau lembab campur logam membuat perutnya mual.
Namun kemudian...
Sret.
Sebuah suara kecil seperti gesekan logam. Livia menahan napas.
Tiba-tiba, dari kejauhan, seberkas cahaya muncul. Sebuah pintu terbuka perlahan, menyisakan cahaya keemasan dari baliknya. Sosok pria tinggi berdiri di ambang, seperti bayangan kematian itu sendiri.
Sepatu kulitnya berbunyi tak-tak-tak menapaki lantai batu.
Livia membeku.
Pria itu berhenti tepat di depannya, lalu membungkuk sedikit, memperhatikan wajahnya dari balik cahaya.
“Jadi ini… wanita yang nekat menyusup ke wilayah De Luca,” suaranya dalam, berat, dan tak bernada.
"Siapa yang mengirimmu?" tanyanya dingin.
Livia menatap ke arahnya, matanya menyipit karena cahaya yang menyilaukan. Tapi ia tak menjawab. Sebaliknya, ia meludah ke arah pria itu, mengenai sepatu mahalnya.
Pria itu tak tersentak. Dia justru menyeringai pelan.
“Lucu,” gumamnya. “Kau masih punya keberanian. Aku suka.”
Livia menggigit bibirnya. “Kalau kau ingin membunuhku, lakukan saja. Aku tidak takut.”
Alessandro De Luca tertawa kecil. Bukan tawa bahagia—tapi tawa seseorang yang terbiasa melihat orang memohon-mohon untuk hidup.
Dia langsung mencekik leher Livia dengan kuat, bahkan jika dia menambah sedikit kekuatannya saja, leher di tangannya itu bisa remuk total.
Alessandro menatap mata Livia yang mulai memerah, melihat betapa keras wanita itu menggigit bibirnya sendiri agar tak mengeluarkan suara. Bahkan ketika air mata mulai membasahi pipinya, tidak ada kata ampun yang keluar.
Tangannya masih mencengkram leher Livia, seolah ingin menguji… seberapa jauh nyali wanita ini bisa bertahan.
Alessandro mengerutkan alis, lalu mendadak melepaskan cekikannya begitu saja.
Brak!
Livia terhuyung ke depan, terbatuk keras dengan tubuh masih tergantung di rantai. Oksigen kembali ke paru-parunya, tapi nyeri di leher membuatnya sesak.
“FRANCO! Bawa wanita ini keatas.” Teriakan menggema itu membuat Livia yang masih terbatuk-batuk langsung melirik ke arah pria itu.
Saat pria itu pergi, pria lain masuk dan membebaskan Livia dari rantai besi itu.
“Sungguh malang nasib Anda, nona. Seharusnya Anda langsung mati saja tadi.” Ucap pria yang LIvia ketahui bernama Franco itu dengan datar.
Namun Livia benar-benar tak bisa mengerti.
Apa maksud pria itu menyuruhnya mati?
“Akhirnya kau bebas juga, Livia.” Ucap Freedy dengan senyum bahagia saat menemui Livia di apartemen kecilnya itu.Livia hanya mengangguk lalu menatap serius ke arah pria itu, “Kau tahu bagaimana keadaan Alessandro? Aku ingin melihat berita tapi hp ku sudah ku buang dan disini tak ada televisi.” tanya Livia yang terlihat khawatir.Hal itu membuat Freddy menaikkan alisnya, “Kau masih peduli dengan dia? Apa kau juga mulai menyukainya?” tanya dengan tak suka.Livia menggeleng, “Bagaimana pun dia tak pernah membuatku kesusahan.”Freddy yang mendengar itu terkekeh, “Dia orang yang kejam Livia, bukankah kau selalu bilang jika hidupmu terancam jika di dekatnya?”Freddy mendekat, menaruh sekantong belanjaan di meja kecil apartemen itu, lalu menatap Livia dengan sorot tajam. “Jangan bilang kau lupa siapa dia sebenarnya. Darah di tangannya sudah tak terhitung. Kau seharusnya bersyukur bisa keluar hidup-hidup dari rumah itu.”Livia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, wajahnya menegang. “Aku
“Bagaimana keadaan tuan Alessandro?” tanya Franco pada dokter itu dengan serius.Dokter itu menghela nafas, “Sudah stabil,tapi saya sarankan beliau tidak banyak bergerak lebih dulu.”Dokter menutup kotak medisnya dengan wajah tegang. “Racun itu masih bekerja pelan-pelan di dalam tubuhnya. Saya sudah memberikan penawar sementara, tapi kalau beliau memaksa diri lagi… bisa fatal.”Franco mengangguk tegas, lalu melirik ke arah Alessandro yang terbaring pucat di ranjang. Pria itu tampak tertidur, nafasnya berat namun teratur. Luka-lukanya sudah diperban, namun tubuhnya masih dipenuhi lebam dan darah kering.“Aku akan pastikan tidak ada seorang pun yang mengganggu beliau.” suara Franco rendah, penuh tekad. Ia lalu menoleh tajam pada para pengawal yang berjaga di luar kamar. “Dengar baik-baik. Siapa pun yang mencoba mendekat tanpa izinku—bunuh di tempat.”Semua pengawal menunduk dalam-dalam. “Baik, Tuan Franco.”Franco lalu kembali duduk di kursi samping ranjang. Pandangannya tak lepas dari
“Ini kartu dari tuan Franco, kata beliau uang di dalamnya cukup untuk anda hidup nyaman selama sebulan. Pin-nya adalah ulang tahun anda.” Ucap pria itu dengan dopan.“Karena saya harus membantu di manor, maka saya akan pergi sekarang. Jaga diri anda baik-baik, nona Livia.” ucap pria itu lalu meninggalkan Livia di pinggir jalan jauh dari kawasan manor.Livia hanya menatap mobil jeep itu pergi menjauh dengan perasaan tak nyaman.“Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Livia.Dia tahu apa efek racunnya, jika Alessandro terlalu memforsir tenaganya dia akan lumpuh.“Huh, sudahlah. Bukan urusanku, lebih baik aku segera mencari tempat tinggal untuk menjadi warga sipil biasa dan merubah penampilan.” gumam Livia yang kemudian berjalan mencari tempat tinggal dengan uang yang diberikan oleh Franco.Sedangkan di manor,Puing-puing bangunan hancur berserakan.Asap pekat membumbung tinggi, menutupi cahaya bulan di langit malam. Api masih menyala di beberapa sisi bangunan, sementara suara teriakan berc
Seperti apa yang Livia katakan, dia setiap hari pagi dan malam selalu datang membawa tehnya dengan senyum yang cerah.Franco yang melihat Livia selalu datang di jam yang sama hanya diam saja dan terus melanjutkan tugasnya.Dengan ketukan khasnya dia mengetuk pintu besar itu sebelum masuk ke dalam ruang kerja Alessandro.“Apa kau masih sibuk?” tanyanya dengan suara yang manis.Alessandro yang tengah berdiri di balik meja kerjanya, menutup berkas yang baru saja ia baca. Tatapannya beralih ke arah pintu, menatap Livia yang melangkah masuk sambil membawa nampan berisi teh hangat. Senyum lembutnya nyaris membuat ruangan itu terasa berbeda, seakan semua ketegangan mencair hanya karena kehadirannya.“Untukmu,” ucap Livia pelan, meletakkan cangkir porselen di meja Alessandro. Uap hangat dari teh itu perlahan naik, memenuhi udara dengan aroma menenangkan.“Tehmu semakin harum, seperinya aku akan kecanduan dengan teh buatanmu,” ucap Alessandro dengan penuh arti.Namun Livia tak menangkapnya, di
“T-tunggu… kau minum teh itu dulu. Aku membuatnya dengan tanganku. Kau ingin menunggu teh itu dingin?” ucap Livia mencegah pria itu berbuat jauh dan dia juga sudah meberikan sedikit racun di dalam cangkir teh itu.Alessandro berhenti tepat di samping telinga Livia. Senyumannya masih terpahat licik, namun tatapannya bergerak menuruni meja tempat cangkir teh terletak.“Oh?” gumamnya pelan, menatap wajah Livia yang berusaha terlihat tenang. “Kau membuat teh ini sendiri?”Livia mengangguk cepat, menahan degup jantungnya yang kencang. “Ya. Kau pikir aku hanya duduk diam seharian di kamar? Cobalah. Aku ingin tahu pendapatmu.”Alessandro menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Lalu perlahan, ia meraih cangkir itu. Uap hangatnya naik, aroma teh melayang tipis di udara. Livia menahan napas—ia tahu racunnya tidak berbahaya dalam sekali tegukan, tapi jika Alessandro mulai mempercayainya dan meminumnya setiap hari, kekuatan pria itu pasti akan terkikis perlahan.Tanpa melepaskan
Tak! Tak! Tak!Suara high hells menggema di lorong, dengan nampan berisi teh hangat Livia mulai berjalan di ruang kerja Alessandro yang tampak sangat suram itu.“Apa dia di dalam?” tanya ivia dengan tenang pada Franco yang berjaga di luar.Franco mengangguk, “lebih baik jangan menganggu. tuan sedang banyak kerjaan.” ucap pria itu dengan datar.Karena bagi Franco, Livia hanya pengganggu kecil yang bisa membuatnya lembur seharian karena tuan nya yang sekarang lebih suka bermain dengan wanita itu.Livia tersenyum, “Jangan sinis begitu. Aku hanya ingin menjadi dekat sehingga dia cepat bosan. Bukankah ini rencanamu juga biar aku bisa pergi?”Mendengar itu Franco tampak menimbang sesuatu, hingga akhirnya dia mengangguk dan membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, aroma tembakau bercampur wangi kayu tua langsung menyergap hidung Livia. Ruangan itu temaram, hanya diterangi cahaya lampu meja yang memantul di atas tumpukan dokumen dan peta yang bertebaran.Alessandro duduk membelakangi pintu, ja