Pakaian satin yang sudah lusuh tampak kontras dengan bangunan mewah ala Eropa klasik dengan lantai marmer yang dingin itu.
Livia tampak menelan ludahnya, ingatannya langsung mengarah ke ucapan pria tadi yang mengatakan jika dia masuk ke wilayah De Luca.
Tangannya yang kurus tampak mulai menggigil, akhirnya dia tahu kenapa Franco mengatakan jika dia lebih baik mati tadi.
Langkah Franco terdengar berat saat menyeret Livia melewati lorong panjang berlapis karpet merah darah. Lukisan-lukisan klasik berbingkai emas menatapnya dengan dingin, seperti tahu bahwa tempat ini bukan untuk orang lemah.
“Anda seharusnya tak pernah memanjat tembok itu,” gumam Franco tanpa menatapnya. “Tidak ada yang keluar hidup-hidup setelah masuk tanpa izin.”
Livia menelan ludahnya. “Kenapa tidak membiarkanku mati saja di hutan?”
Franco menoleh singkat, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya sedikit melunak. “Karena Anda sudah dilihat oleh tuan. Dan jika dia sudah menatap sesuatu—itu artinya, Anda miliknya sekarang.”
Livia merasa tubuhnya semakin lemas. “Aku bukan milik siapa pun,” katanya lirih, namun penuh tekad.
Franco tertawa pelan, getir. “Anda akan segera tahu… siapa sebenarnya pria itu.”
Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar dengan jendela kaca besar yang menghadap ke halaman luas berisi kolam dan taman bergaya Italia. Tapi tak ada keindahan di balik kemegahan itu—hanya kesunyian yang membunuh perlahan.
“Anda akan tinggal di sini,” kata Franco. “Kamar pengawasan. Tidak bisa dikunci dari dalam, dia bisa masuk kapan pun dia mau.”
Livia memandangi ruangan itu. Mewah, ya. Tapi bukan tempat istirahat—melainkan penjara berlapis sutra.
Franco meninggalkannya tanpa sepatah kata lagi.
Livia terdiam sejenak, berdiri di tengah kamar megah itu seperti patung marmer yang rapuh. Pikirannya berputar—masih sulit menerima kenyataan bahwa dia benar-benar berada di kawasan De Luca.
De Luca...
Siapa yang tak tahu nama itu?
Nama yang membuat banyak orang di kota ini enggan keluar malam. Nama yang dibisikkan dengan ketakutan oleh para pengusaha, hakim, bahkan polisi. Keluarga mafia berdarah Italia itu bukan hanya kaya raya—mereka memiliki kekuasaan, senjata, dan jaringan yang bahkan pemerintah pun tak mampu sentuh.
Alessandro De Luca.
Nama itu lebih dari sekadar ancaman. Ia adalah bayangan di balik kejatuhan perusahaan besar, hilangnya tokoh politik, dan bangkai-bangkai yang tak pernah ditemukan.
Livia mengusap lengannya sendiri. Tubuhnya mulai mengering, tapi rasa dingin masih menempel di tulangnya. Sekujur tubuhnya bergetar bukan karena suhu ruangan, tapi karena kesadaran yang baru saja menggerus kewarasannya.
Dia bukan lagi wanita yang sedang melarikan diri dari perjodohan.
Dia kini adalah tahanan hidup dari pria yang tak mengenal belas kasihan.
Livia mengangkat wajahnya, memandangi bayangannya sendiri di cermin besar yang terpasang di dinding. Wajah pucat, mata sembab, bibir pecah-pecah... tapi di balik itu, sorot mata Livia mulai berubah.
Bukan hanya takut.
Tapi juga penuh siasat.
Dia tahu, menangis dan meratap tak akan menyelamatkannya di tempat ini.
Jika ingin keluar dari sarang De Luca... maka dia harus menjadi lebih dari sekadar wanita biasa.
Dia harus belajar memutarbalikkan permainan. Bahkan jika itu berarti—memainkan hati sang iblis sendiri.
******
“Dia tak memberontak?” Suara dingin bak pisau itu memecah keheningan ruang makan mewah yang hanya diterangi cahaya lampu gantung kristal.
Franco berdiri tegap, tak berani menatap langsung ke arah pria yang sedang duduk santai sambil memotong potongan daging berdarah itu.
Alessandro De Luca—dengan setelan hitam dan rambut klimisnya yang nyaris tak pernah berantakan—tampak seperti bangsawan dari abad lalu, namun dengan aura pembunuh yang bisa membuat darah membeku.
“Tidak, Tuan. Dia hanya diam… seperti sudah siap mati,” jawab Franco hati-hati.
Alessandro mengangkat gelas anggurnya, memutar perlahan sebelum meneguknya. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tapi senyum itu tak pernah menyentuh matanya.
“Menarik…” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Wanita yang berani memanjat tembokku, masuk ke wilayahku, menatap mataku… dan tetap bisa menahan air mata saat ku cekik. Jarang ada makhluk seperti itu.”
Franco diam. Dia tahu, saat Alessandro mulai bicara seperti itu, artinya pria itu tertarik. Dan ketika Alessandro tertarik pada sesuatu… itu jarang berakhir baik.
“Bawakan sisa makananku untuknya. Dia pasti sangat kelaparan.” Ucapnya sambil menggeser piring yang masih menyisakan daging besar disana sambil memutar gelas anggur di tangannya.
Franco diam sesaat, memandangi piring yang masih menyisakan daging merah setengah matang, lalu menunduk patuh.
“Baik, Tuan.”
Alessandro menyenderkan punggungnya santai, memainkan gelas anggur di antara jemari panjangnya. Tatapannya kosong menembus jendela kaca besar di hadapannya, seolah tengah merencanakan sesuatu jauh di luar tembok istananya.
“Sampaikan padanya,” lanjut Alessandro, suaranya pelan namun tajam, “bahwa mulai sekarang... hidup dan matinya hanya bergantung pada suasana hatiku.”
Franco hanya membungkuk sedikit, lalu pergi membawa piring itu.
*****
Livia duduk di pinggir tempat tidur empuk dengan punggung tegak dan mata waspada. Gaun lusuhnya telah diganti dengan kemeja putih bersih yang kebesaran di tubuh kurusnya. Rambutnya yang masih basah digerai begitu saja. Luka di lengannya juga sudah dibalut.
Pintu terbuka.
Franco masuk membawa nampan perak berisi piring besar dan meletakkannya di meja kecil di dekat jendela. Aroma daging panggang langsung memenuhi ruangan.
Livia menoleh, menatapnya penuh curiga.
“Apa yang kau bawa?”
Franco dengan tenang menaruh piring itu di meja, “makan malam anda, silahkan dinikmati.”
Livia melirik ke arah piring itu, meskipun jelas menggoda namun dia tahu itu adalah sisa seseorang.
Tapi untuk menjalani misinya, Livia tak berkomentar banyak dan duduk dengan anggun mengambil pisau dan garpu bersih disana dan makan tanpa banyak berkomentar.
Franco yang melihat itu tersenyum puas, karena wanita itu pintar tak memancing iblis itu datang kepadanya.
“Saya akan pergi, jika anda butuh sesuatu bunyikan lonceng di samping tempat tidur anda. Saya akan datang.”
Livia berhenti mengunyah, mengangkat kepalanya. “Apa tak ada pelayan lain?”
Franco menarik napas pelan. “Tidak untuk saat ini. Semua pelayan... sudah ‘dilenyapkan’ tadi pagi.”
Livia membeku sejenak, tatapannya menajam. “Dilenyapkan?”
Franco tak menjawab langsung, hanya menunduk singkat. “Anda berada di rumah De Luca. Kesalahan kecil... bisa sangat fatal di tempat ini. Tapi tenang saja. Besok akan datang pelayan baru dari Palermo.”
Dia memberi anggukan kecil sebelum berjalan ke arah pintu.
“Untuk malam ini, saya satu-satunya yang bisa Anda hubungi. Jangan khawatir, saya tak punya minat macam-macam.” Franco melirik sekilas, setengah menyindir. “Anda bukan tipe saya.”Pintu tertutup dengan bunyi klik pelan, meninggalkan Livia sendiri di ruangan yang terasa semakin sunyi dan menyesakkan.
Dia kemudian melanjutkan makannya, meskipun bekas pria itu tapi cita rasa masakan di mansion ini benar-benar kelas atas.
“Tak heran jika De Luca memiliki julukan keluarga berselera tinggi.” gumamnya pelan.
Ruang rapat dipenuhi dengan deretan direktur dan manajer yang menatap layar proyektor, membicarakan angka-angka dan strategi bisnis. Namun, Alessandro duduk di kursi utamanya dengan sikap santai, satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya sibuk menggulir ponselnya di bawah meja.Sesekali dia mengetik cepat, lalu bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang membuat beberapa orang di ruangan itu saling pandang, bingung apakah bos mereka sedang puas dengan hasil presentasi atau justru memikirkan sesuatu yang lain.“Ehm, Tuan Alessandro, apakah Anda setuju dengan usulan penggabungan ini?” salah satu direktur memberanikan diri bertanya, mencoba menarik perhatiannya.Alessandro mengangkat pandangan sekilas, matanya tajam tapi tidak sepenuhnya hadir di ruangan. “Lanjutkan saja sesuai rancangan awal.” Ucapnya datar, lalu kembali menunduk menatap layar ponsel, jemarinya menari menuliskan pesan.Dan di layar itu, sebuah percakapan singkat dengan Livia muncul:Alessandro: Kirim foto
“Nona, apa anda sudah merasa baik? Apa perlu saya panggilkan dokter lagi?” tanya Rere khawatir saat melihat bibir Livia masih membengkak ditambah sekarang sariawan.Livia hanya diam, meskipun dalam hati dia mengutuk Alessandro yang membuat bibirnya seperti ini bahkan karena gigitan pria itu kini berubah menjadi sariawan yang menyakitkan.Rere tampak panik menatap wajah Livia yang pucat, apalagi saat melihat Livia berusaha minum air saja tampak kesakitan.“Aduh… nona, ini pasti sakit sekali,” ujar Rere sambil menggigit bibirnya sendiri, ikut merasa nyeri membayangkannya. “Saya belikan obat kumur atau salep bibir ya? Atau lebih baik kita ke dokter saja? Kalau dibiarkan nanti tambah parah.”Livia menarik napas panjang, menutup matanya sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, menahan rasa perih, “Tidak usah. Aku tidak mau keluar rumah sekarang.”“Tapi nona—”“Aku bilang tidak usah, Rere.” Livia akhirnya menatap lurus ke arah asistennya, matanya masih menyimpan sisa amarah yang dia pend
“Aku ingin ke toilet,” ucap Livia lirih saat acara lelang masih berlangsung. Alessandro hanya mengangguk, matanya tetap terpaku pada panggung.Livia berjalan keluar dengan tenang melalui pintu belakang, langkahnya sedikit cepat, ingin segera menjauh dari hiruk pikuk ruangan itu. Koridor terasa lebih sepi, hanya suara sepatunya yang bergaung. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sebuah tangan kasar membekap mulutnya dari belakang.Jantungnya sontak melonjak. Musuh? pikirnya panik. Ia berusaha meronta, namun tubuh di belakangnya menahan erat. Livia nekat menoleh sedikit, dan seketika matanya membesar.“Fred?” bisiknya, terkejut sekaligus lega.Freddy mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Aku khawatir… maaf, aku tak bisa melindungimu.” Suaranya rendah, nyaris tak terdengar. Matanya menyorot kekhawatiran yang tulus. “Kau baik-baik saja di sana?”Livia mengangguk, “Seperti yang kau lihat.”Freddy mengangguk dengan perasaan lega, “syukurlah. Oh iya..” Tiba-tib
“Selamat datang di acara lelang tahunan! Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan tuan dan nyonya dari berbagai generasi yang hadir malam ini,” suara pembawa acara menggema, mengalun hingga ke bilik-bilik VIP yang tertutup rapat.Di dalam salah satu bilik, Livia duduk anggun dengan gaun yang Alessandro siapkan. Tatapannya lurus, tenang, dan sedikit dingin, seolah kehadirannya hanyalah formalitas belaka. Sesekali ia melirik layar kecil di depannya yang menampilkan barang-barang yang akan dilelang, namun tanpa raut kagum berlebihan.Alessandro yang duduk di sampingnya menegakkan tubuh, terlihat begitu terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Ia melirik Livia sekilas, seolah menimbang sesuatu, sementara Livia hanya meraih gelas sampanye di hadapannya dan menyesapnya ringan.“Tuan, ini daftar barang yang akan dilelang hari ini.” Ucap Franco dengan sopan sambil menyerahkan ipadnya.Alessandro menerima iPad itu dengan tatapan tenang, menelusuri daftar barang yang terpampang di layar.“Hmm… cuk
“Apa tidak ada yang lain selain sup kambing tiap hari?” Ucap Livia yang mulai jenuh karena selama ua hari ini dijejali sup dan bubur kambing yang membuatnya ingin mual sekarang.Rere hanya tersenyum tipis, “ini untuk pemulihan anda, tuan. Bahkan tuan dengan sendirinya memotong satu kambing besar untuk anda makan sendiri.”Livia mendengus, mendorong mangkuk pelan dengan wajah masam. “Kalau begitu sekalian saja aku berubah jadi kambing karena tiap hari dicekoki beginian.”Rere menahan tawa, tapi ujung bibirnya terangkat geli. “Kalau nona berubah jadi kambing, tuan Alessandro pasti akan tetap menyuruhku menyuapi. Bedanya… mungkin kali ini dengan rumput segar.”Livia mendelik, menatap Rere dengan tatapan tak percaya. “Kau berani sekali bercanda begitu di depanku.”“Kalau tidak bercanda, nona pasti sudah melempar mangkuk ini ke kepala saya,” jawab Rere dengan nada ringan, tetap tersenyum.Livia menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan tangan. “Astaga, aku benar-benar muak. Sup ka
“Lepaskan aku!!! Apa kalian tak tahu siapa ku sampi kalian menculikku?!” Suara Victoria menggema di ruangan gelap dan lembab itu.Matanya di tutup dengan kain hitam, tangannya diikat kuat di kursi.Victoria berontak sekuat tenaga, kursi yang terbuat dari besi itu berderit keras setiap kali tubuhnya menggeliat. Nafasnya memburu, keringat mulai membasahi pelipisnya meski udara di ruangan itu dingin menusuk.Suara langkah sepatu bergaung pelan di lantai semen yang basah. Semakin lama semakin dekat. Victoria menelan ludahnya, tubuhnya menegang.“Siapa pun kalian, kalian sudah cari mati dengan melakukan ini padaku!” teriaknya lantang, meski suara sedikit bergetar karena ketakutan yang coba ia sembunyikan.Sebuah tawa rendah terdengar dari arah depan. Lalu, suara seorang pria menyahut dengan nada tenang namun mengerikan, “Justru karena kami tahu siapa kau… itulah kenapa kau ada di sini.”Kain penutup matanya perlahan ditarik, cahaya lampu redup membuatnya harus menyipitkan mata. Saat panda