“Selamat pagi, Nona muda…”
Suara lembut namun serempak itu membangunkan Livia dari tidurnya.
Matanya langsung terbelalak saat melihat sekitar tujuh pelayan wanita, berdiri rapi mengelilingi tempat tidurnya dengan senyum tipis di wajah masing-masing. Mereka mengenakan seragam hitam-putih bergaya klasik, rambut tersanggul rapi, dan setiap gerak-geriknya terlihat terlatih.
Livia terduduk kaget. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari—ini bukan mimpi. Ini nyata. Dia masih di mansion De Luca.
Tempat di mana setiap sudut terasa seperti panggung kematian berselimut kemewahan.
“Maaf mengejutkan Anda, Nona,” ucap salah satu pelayan yang tampak paling senior sambil menunduk sopan. “Kami ditugaskan untuk melayani Anda mulai hari ini.”
Livia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Tirai telah dibuka, cahaya matahari pagi menembus kaca jendela besar. Aroma bunga segar memenuhi udara. Meja riasnya sudah tertata, dan pakaian baru tergantung di dekat lemari besar.
“Seolah-olah aku benar-benar tamu kehormatan…” gumamnya sinis.
Pelayan senior itu menoleh sedikit. “Tuan rumah kami ingin Nona terlihat... layak saat bertemu dengannya nanti pagi.”
Jantung Livia berdegup keras. “Bertemu… dengannya?”
“Ya. Tuan Alessandro memerintahkan agar Anda dipersiapkan untuk jam sarapan bersama. Penata rias akan segera datang. Silakan mandi terlebih dahulu, air hangat sudah tersedia.”
Livia menggertakkan rahangnya, tapi ia tahu—menolak perintah pria itu hanya akan memperburuk keadaannya. Untuk sekarang… dia harus tetap menjadi pion yang terlihat patuh.
“Baik, bantu aku bersiap.” Ucap Livia dengan tenang membuat pelayan mansion ini mengangguk.
Pelayan-pelayan itu bekerja dengan gerakan rapi dan terkoordinasi—menuangkan air hangat, menyabuni tubuhnya dengan aroma mawar dan almond, bahkan mencuci rambutnya seperti dia adalah putri bangsawan dari keluarga ningrat. Livia bisa melihat bahwa mereka semua sangat terlatih. Tak ada celah, tak ada senyum berlebihan. Hanya profesionalisme dingin yang membuat suasana justru semakin aneh.
Siapa mereka? Pelayan… atau pengawas?
Setelah selesai mandi, Livia didudukkan di depan meja rias. Tangan-tangan ahli mulai menata rambutnya—menggulung sebagian, membiarkan sebagian jatuh lembut di bahu. Riasan natural dipoleskan pelan-pelan, menonjolkan bentuk wajah dan sorot matanya yang tajam.
Tak lama kemudian, gaun lembut warna krem pucat dikenakan padanya. Bahan sutra itu jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya, tidak berlebihan, tapi tetap memancarkan kemewahan tak terbantahkan.
Saat riasan selesai, para pelayan mundur beberapa langkah, memandangi hasil kerja mereka.
“Anda sangat cantik, Nona,” ucap salah satu dari mereka dengan nada takjub.
Livia menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya yang sebelumnya terlihat lelah kini tampak kuat dan tajam. Bibirnya diberi warna merah muda alami, dan rambutnya tersusun tanpa cela.
Livia berdiri perlahan. “Baik. Sekarang, antar aku ke tempat sarapan.”
Salah satu pelayan membungkuk. “Tuan Alessandro sedang menunggu Anda di ruang makan utama, Nona.”
Livia mengangguk pelan.
*****
“Bisnis Anda sedang berjalan, Tuan. Dipastikan minggu depan pasokan mesiu sudah dikirim ke negara pemesan,” lapor Franco dengan nada sopan namun tegas. “Dan untuk pembahasan obat yang sedang Anda kembangkan, diperlukan rapat lanjutan. Jadi, setelah sarapan, Anda akan pergi ke Mercio.”
Alessandro hanya mengangguk pelan, menyesap espresso hitamnya dengan pandangan kosong ke arah halaman luar. Jemarinya mengetuk meja makan marmer itu pelan, seperti menghitung detik-detik yang terasa membosankan.
“Di mana wanita itu?” tanyanya tiba-tiba, datar, tanpa menoleh ke arah Franco.
Franco tak terkejut dengan pertanyaan itu. “Sedang dalam perjalanan ke sini, Tuan. Para pelayan sudah menyiapkan semuanya sesuai permintaan Anda.”
“Hm,” gumam Alessandro, lalu menaruh cangkirnya perlahan.
Ruangan itu hening sejenak, hanya suara sendok perak yang diketuk ringan ke pinggiran piring yang mengisi udara.
Beberapa detik kemudian, suara langkah pelan dan teratur mulai terdengar dari lorong panjang yang mengarah ke ruang makan.
Alessandro tak menoleh.
Namun jari-jarinya berhenti mengetuk meja.
Sorot matanya yang tadinya kosong mulai menyipit, penuh perhitungan.
“Selamat pagi, tuan Alessando. Maaf membuat anda menunggu.” Ucap Livia dengan tenang dan suaranya tak bergetar sedikitpun.
Langkahnya anggun saat memasuki ruang makan yang luas dan dingin. Mata cokelatnya bertemu langsung dengan mata tajam milik sang tuan rumah. Sejenak ruangan itu terasa sesak oleh kekuatan tak terlihat yang saling dorong.
Senyum tipis muncul di wajah Alessandro. Namun, itu bukan senyum ramah—melainkan seperti seekor harimau yang baru melihat mangsa yang menyapa balik.
“Manis sekali,” ujarnya ringan, lalu mengangkat dagu. “Duduklah. Kau sudah membuang waktuku lima belas menit.”
Livia membungkuk sedikit tanpa bicara, lalu menarik kursi dengan elegan. Ia duduk tepat di seberang Alessandro, menjaga postur dan ekspresinya tetap terkendali, seperti seorang ratu muda yang tak ingin menunjukkan kelemahan di medan diplomatik.
Namun baru sedetik dia duduk...
“Siapa yang mengizinkanmu duduk sejauh itu?”
Suara Alessandro terdengar tajam dan dingin. “Apa kau pikir kau tamu?”Livia menatapnya, tak bergeming.
“Tentu tidak,” jawabnya pelan. Lalu berdiri dan mengambil tempat duduk dekat dengan pria itu.
“Suapi aku,” ucap Alessandro, seolah itu permintaan paling wajar di dunia.
Seluruh ruangan seketika membeku.
Franco, yang telah melayani Alessandro selama bertahun-tahun, mematung dengan ekspresi tak percaya. Bahkan pelayan-pelayan di belakang hanya bisa saling melirik tanpa berani bersuara. Perintah seperti ini... belum pernah mereka dengar.
Bahkan Livia sendiri, dalam dadanya yang masih berdebar, nyaris tak percaya dengan permintaan itu.
Tapi ia tahu. Menolak sekarang bukan hanya soal harga diri—tapi soal bertahan hidup.
Dengan gerakan anggun, Livia meraih pisau dan garpu perak, lalu mulai memotong potongan daging yang masih mengepul hangat di piring Alessandro. Tangan mungilnya bekerja cekatan, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan—tak ingin menunjukkan ketundukan, hanya... ketaatan terpaksa.
Dia menyuapkan daging itu ke bibir Alessandro.
Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya membuka mulut dan menerima suapan itu. Suara kunyahannya pelan namun menusuk suasana.
“Mulai sekarang,” ucap Alessandro setelah menelan makanannya, “kau adalah budakku.”
Livia membeku.
“Kau harus berada di dekatku... paling jauh dua meter,” lanjutnya dingin, mengusap sudut bibirnya dengan ujung jarinya sendiri. “Jika aku duduk, kau berdiri di sisiku. Jika aku tidur, kau ada di ruangan yang sama. Jika aku ke neraka, kau ikut bersamaku.”
Franco menunduk, menahan napas. Aturan seperti ini... tak ada dalam buku aturan keluarga De Luca. Ini... pribadi. Terlalu pribadi.
Livia meletakkan alat makan itu perlahan. Matanya menatap tajam pria di sampingnya. “Kalau begitu... pastikan neraka yang kau tuju cukup layak untuk seorang budak sepertiku.”
Alessandro menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. Kali ini bukan senyum licik—tapi senyum penasaran. Seolah ia baru saja menemukan mainan paling menarik dalam hidupnya.
“Berani juga kau.”
Livia hanya tersenyum tipis, “Aku pastikan kau akan menyesali mempunyai budak sepertiku.” Ucapnya sambil menatap langsung ke arah mata tajam pria itu.
Seluruh ruangan langsung membeku.
Franco bahkan mencengkeram erat ipad yang ada di tangannya.
Apa wanita ini ingin cepat mati?!
“Akhirnya kau bebas juga, Livia.” Ucap Freedy dengan senyum bahagia saat menemui Livia di apartemen kecilnya itu.Livia hanya mengangguk lalu menatap serius ke arah pria itu, “Kau tahu bagaimana keadaan Alessandro? Aku ingin melihat berita tapi hp ku sudah ku buang dan disini tak ada televisi.” tanya Livia yang terlihat khawatir.Hal itu membuat Freddy menaikkan alisnya, “Kau masih peduli dengan dia? Apa kau juga mulai menyukainya?” tanya dengan tak suka.Livia menggeleng, “Bagaimana pun dia tak pernah membuatku kesusahan.”Freddy yang mendengar itu terkekeh, “Dia orang yang kejam Livia, bukankah kau selalu bilang jika hidupmu terancam jika di dekatnya?”Freddy mendekat, menaruh sekantong belanjaan di meja kecil apartemen itu, lalu menatap Livia dengan sorot tajam. “Jangan bilang kau lupa siapa dia sebenarnya. Darah di tangannya sudah tak terhitung. Kau seharusnya bersyukur bisa keluar hidup-hidup dari rumah itu.”Livia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, wajahnya menegang. “Aku
“Bagaimana keadaan tuan Alessandro?” tanya Franco pada dokter itu dengan serius.Dokter itu menghela nafas, “Sudah stabil,tapi saya sarankan beliau tidak banyak bergerak lebih dulu.”Dokter menutup kotak medisnya dengan wajah tegang. “Racun itu masih bekerja pelan-pelan di dalam tubuhnya. Saya sudah memberikan penawar sementara, tapi kalau beliau memaksa diri lagi… bisa fatal.”Franco mengangguk tegas, lalu melirik ke arah Alessandro yang terbaring pucat di ranjang. Pria itu tampak tertidur, nafasnya berat namun teratur. Luka-lukanya sudah diperban, namun tubuhnya masih dipenuhi lebam dan darah kering.“Aku akan pastikan tidak ada seorang pun yang mengganggu beliau.” suara Franco rendah, penuh tekad. Ia lalu menoleh tajam pada para pengawal yang berjaga di luar kamar. “Dengar baik-baik. Siapa pun yang mencoba mendekat tanpa izinku—bunuh di tempat.”Semua pengawal menunduk dalam-dalam. “Baik, Tuan Franco.”Franco lalu kembali duduk di kursi samping ranjang. Pandangannya tak lepas dari
“Ini kartu dari tuan Franco, kata beliau uang di dalamnya cukup untuk anda hidup nyaman selama sebulan. Pin-nya adalah ulang tahun anda.” Ucap pria itu dengan dopan.“Karena saya harus membantu di manor, maka saya akan pergi sekarang. Jaga diri anda baik-baik, nona Livia.” ucap pria itu lalu meninggalkan Livia di pinggir jalan jauh dari kawasan manor.Livia hanya menatap mobil jeep itu pergi menjauh dengan perasaan tak nyaman.“Apa dia akan baik-baik saja?” gumam Livia.Dia tahu apa efek racunnya, jika Alessandro terlalu memforsir tenaganya dia akan lumpuh.“Huh, sudahlah. Bukan urusanku, lebih baik aku segera mencari tempat tinggal untuk menjadi warga sipil biasa dan merubah penampilan.” gumam Livia yang kemudian berjalan mencari tempat tinggal dengan uang yang diberikan oleh Franco.Sedangkan di manor,Puing-puing bangunan hancur berserakan.Asap pekat membumbung tinggi, menutupi cahaya bulan di langit malam. Api masih menyala di beberapa sisi bangunan, sementara suara teriakan berc
Seperti apa yang Livia katakan, dia setiap hari pagi dan malam selalu datang membawa tehnya dengan senyum yang cerah.Franco yang melihat Livia selalu datang di jam yang sama hanya diam saja dan terus melanjutkan tugasnya.Dengan ketukan khasnya dia mengetuk pintu besar itu sebelum masuk ke dalam ruang kerja Alessandro.“Apa kau masih sibuk?” tanyanya dengan suara yang manis.Alessandro yang tengah berdiri di balik meja kerjanya, menutup berkas yang baru saja ia baca. Tatapannya beralih ke arah pintu, menatap Livia yang melangkah masuk sambil membawa nampan berisi teh hangat. Senyum lembutnya nyaris membuat ruangan itu terasa berbeda, seakan semua ketegangan mencair hanya karena kehadirannya.“Untukmu,” ucap Livia pelan, meletakkan cangkir porselen di meja Alessandro. Uap hangat dari teh itu perlahan naik, memenuhi udara dengan aroma menenangkan.“Tehmu semakin harum, seperinya aku akan kecanduan dengan teh buatanmu,” ucap Alessandro dengan penuh arti.Namun Livia tak menangkapnya, di
“T-tunggu… kau minum teh itu dulu. Aku membuatnya dengan tanganku. Kau ingin menunggu teh itu dingin?” ucap Livia mencegah pria itu berbuat jauh dan dia juga sudah meberikan sedikit racun di dalam cangkir teh itu.Alessandro berhenti tepat di samping telinga Livia. Senyumannya masih terpahat licik, namun tatapannya bergerak menuruni meja tempat cangkir teh terletak.“Oh?” gumamnya pelan, menatap wajah Livia yang berusaha terlihat tenang. “Kau membuat teh ini sendiri?”Livia mengangguk cepat, menahan degup jantungnya yang kencang. “Ya. Kau pikir aku hanya duduk diam seharian di kamar? Cobalah. Aku ingin tahu pendapatmu.”Alessandro menatapnya lama, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Lalu perlahan, ia meraih cangkir itu. Uap hangatnya naik, aroma teh melayang tipis di udara. Livia menahan napas—ia tahu racunnya tidak berbahaya dalam sekali tegukan, tapi jika Alessandro mulai mempercayainya dan meminumnya setiap hari, kekuatan pria itu pasti akan terkikis perlahan.Tanpa melepaskan
Tak! Tak! Tak!Suara high hells menggema di lorong, dengan nampan berisi teh hangat Livia mulai berjalan di ruang kerja Alessandro yang tampak sangat suram itu.“Apa dia di dalam?” tanya ivia dengan tenang pada Franco yang berjaga di luar.Franco mengangguk, “lebih baik jangan menganggu. tuan sedang banyak kerjaan.” ucap pria itu dengan datar.Karena bagi Franco, Livia hanya pengganggu kecil yang bisa membuatnya lembur seharian karena tuan nya yang sekarang lebih suka bermain dengan wanita itu.Livia tersenyum, “Jangan sinis begitu. Aku hanya ingin menjadi dekat sehingga dia cepat bosan. Bukankah ini rencanamu juga biar aku bisa pergi?”Mendengar itu Franco tampak menimbang sesuatu, hingga akhirnya dia mengangguk dan membukakan pintu.Begitu pintu terbuka, aroma tembakau bercampur wangi kayu tua langsung menyergap hidung Livia. Ruangan itu temaram, hanya diterangi cahaya lampu meja yang memantul di atas tumpukan dokumen dan peta yang bertebaran.Alessandro duduk membelakangi pintu, ja