Beranda / Romansa / Belenggu Cinta Mafia DLuca / Bab 3 Menjadi Budak?!!

Share

Bab 3 Menjadi Budak?!!

Penulis: Mayasa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-29 19:24:29

“Selamat pagi, Nona muda…”

Suara lembut namun serempak itu membangunkan Livia dari tidurnya.

Matanya langsung terbelalak saat melihat sekitar tujuh pelayan wanita, berdiri rapi mengelilingi tempat tidurnya dengan senyum tipis di wajah masing-masing. Mereka mengenakan seragam hitam-putih bergaya klasik, rambut tersanggul rapi, dan setiap gerak-geriknya terlihat terlatih.

Livia terduduk kaget. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari—ini bukan mimpi. Ini nyata. Dia masih di mansion De Luca.

Tempat di mana setiap sudut terasa seperti panggung kematian berselimut kemewahan.

“Maaf mengejutkan Anda, Nona,” ucap salah satu pelayan yang tampak paling senior sambil menunduk sopan. “Kami ditugaskan untuk melayani Anda mulai hari ini.”

Livia menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Tirai telah dibuka, cahaya matahari pagi menembus kaca jendela besar. Aroma bunga segar memenuhi udara. Meja riasnya sudah tertata, dan pakaian baru tergantung di dekat lemari besar.

“Seolah-olah aku benar-benar tamu kehormatan…” gumamnya sinis.

Pelayan senior itu menoleh sedikit. “Tuan rumah kami ingin Nona terlihat... layak saat bertemu dengannya nanti pagi.”

Jantung Livia berdegup keras. “Bertemu… dengannya?”

“Ya. Tuan Alessandro memerintahkan agar Anda dipersiapkan untuk jam sarapan bersama. Penata rias akan segera datang. Silakan mandi terlebih dahulu, air hangat sudah tersedia.”

Livia menggertakkan rahangnya, tapi ia tahu—menolak perintah pria itu hanya akan memperburuk keadaannya. Untuk sekarang… dia harus tetap menjadi pion yang terlihat patuh.

“Baik, bantu aku bersiap.” Ucap Livia dengan tenang membuat pelayan mansion ini mengangguk.

Pelayan-pelayan itu bekerja dengan gerakan rapi dan terkoordinasi—menuangkan air hangat, menyabuni tubuhnya dengan aroma mawar dan almond, bahkan mencuci rambutnya seperti dia adalah putri bangsawan dari keluarga ningrat. Livia bisa melihat bahwa mereka semua sangat terlatih. Tak ada celah, tak ada senyum berlebihan. Hanya profesionalisme dingin yang membuat suasana justru semakin aneh.

Siapa mereka? Pelayan… atau pengawas?

Setelah selesai mandi, Livia didudukkan di depan meja rias. Tangan-tangan ahli mulai menata rambutnya—menggulung sebagian, membiarkan sebagian jatuh lembut di bahu. Riasan natural dipoleskan pelan-pelan, menonjolkan bentuk wajah dan sorot matanya yang tajam.

Tak lama kemudian, gaun lembut warna krem pucat dikenakan padanya. Bahan sutra itu jatuh anggun mengikuti lekuk tubuhnya, tidak berlebihan, tapi tetap memancarkan kemewahan tak terbantahkan.

Saat riasan selesai, para pelayan mundur beberapa langkah, memandangi hasil kerja mereka.

“Anda sangat cantik, Nona,” ucap salah satu dari mereka dengan nada takjub.

Livia menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya yang sebelumnya terlihat lelah kini tampak kuat dan tajam. Bibirnya diberi warna merah muda alami, dan rambutnya tersusun tanpa cela.

Livia berdiri perlahan. “Baik. Sekarang, antar aku ke tempat sarapan.”

Salah satu pelayan membungkuk. “Tuan Alessandro sedang menunggu Anda di ruang makan utama, Nona.”

Livia mengangguk pelan.

*****

“Bisnis Anda sedang berjalan, Tuan. Dipastikan minggu depan pasokan mesiu sudah dikirim ke negara pemesan,” lapor Franco dengan nada sopan namun tegas. “Dan untuk pembahasan obat yang sedang Anda kembangkan, diperlukan rapat lanjutan. Jadi, setelah sarapan, Anda akan pergi ke Mercio.”

Alessandro hanya mengangguk pelan, menyesap espresso hitamnya dengan pandangan kosong ke arah halaman luar. Jemarinya mengetuk meja makan marmer itu pelan, seperti menghitung detik-detik yang terasa membosankan.

“Di mana wanita itu?” tanyanya tiba-tiba, datar, tanpa menoleh ke arah Franco.

Franco tak terkejut dengan pertanyaan itu. “Sedang dalam perjalanan ke sini, Tuan. Para pelayan sudah menyiapkan semuanya sesuai permintaan Anda.”

“Hm,” gumam Alessandro, lalu menaruh cangkirnya perlahan.

Ruangan itu hening sejenak, hanya suara sendok perak yang diketuk ringan ke pinggiran piring yang mengisi udara.

Beberapa detik kemudian, suara langkah pelan dan teratur mulai terdengar dari lorong panjang yang mengarah ke ruang makan.

Alessandro tak menoleh.

Namun jari-jarinya berhenti mengetuk meja.

Sorot matanya yang tadinya kosong mulai menyipit, penuh perhitungan.

“Selamat pagi, tuan Alessando. Maaf membuat anda menunggu.” Ucap Livia dengan tenang dan suaranya tak bergetar sedikitpun.

Langkahnya anggun saat memasuki ruang makan yang luas dan dingin. Mata cokelatnya bertemu langsung dengan mata tajam milik sang tuan rumah. Sejenak ruangan itu terasa sesak oleh kekuatan tak terlihat yang saling dorong.

Senyum tipis muncul di wajah Alessandro. Namun, itu bukan senyum ramah—melainkan seperti seekor harimau yang baru melihat mangsa yang menyapa balik.

“Manis sekali,” ujarnya ringan, lalu mengangkat dagu. “Duduklah. Kau sudah membuang waktuku lima belas menit.”

Livia membungkuk sedikit tanpa bicara, lalu menarik kursi dengan elegan. Ia duduk tepat di seberang Alessandro, menjaga postur dan ekspresinya tetap terkendali, seperti seorang ratu muda yang tak ingin menunjukkan kelemahan di medan diplomatik.

Namun baru sedetik dia duduk...

“Siapa yang mengizinkanmu duduk sejauh itu?”

Suara Alessandro terdengar tajam dan dingin. “Apa kau pikir kau tamu?”

Livia menatapnya, tak bergeming.

“Tentu tidak,” jawabnya pelan. Lalu berdiri dan mengambil tempat duduk dekat dengan pria itu.

“Suapi aku,” ucap Alessandro, seolah itu permintaan paling wajar di dunia.

Seluruh ruangan seketika membeku.

Franco, yang telah melayani Alessandro selama bertahun-tahun, mematung dengan ekspresi tak percaya. Bahkan pelayan-pelayan di belakang hanya bisa saling melirik tanpa berani bersuara. Perintah seperti ini... belum pernah mereka dengar.

Bahkan Livia sendiri, dalam dadanya yang masih berdebar, nyaris tak percaya dengan permintaan itu.

Tapi ia tahu. Menolak sekarang bukan hanya soal harga diri—tapi soal bertahan hidup.

Dengan gerakan anggun, Livia meraih pisau dan garpu perak, lalu mulai memotong potongan daging yang masih mengepul hangat di piring Alessandro. Tangan mungilnya bekerja cekatan, tapi matanya tetap menatap lurus ke depan—tak ingin menunjukkan ketundukan, hanya... ketaatan terpaksa.

Dia menyuapkan daging itu ke bibir Alessandro.

Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya membuka mulut dan menerima suapan itu. Suara kunyahannya pelan namun menusuk suasana.

“Mulai sekarang,” ucap Alessandro setelah menelan makanannya, “kau adalah budakku.”

Livia membeku.

“Kau harus berada di dekatku... paling jauh dua meter,” lanjutnya dingin, mengusap sudut bibirnya dengan ujung jarinya sendiri. “Jika aku duduk, kau berdiri di sisiku. Jika aku tidur, kau ada di ruangan yang sama. Jika aku ke neraka, kau ikut bersamaku.”

Franco menunduk, menahan napas. Aturan seperti ini... tak ada dalam buku aturan keluarga De Luca. Ini... pribadi. Terlalu pribadi.

Livia meletakkan alat makan itu perlahan. Matanya menatap tajam pria di sampingnya. “Kalau begitu... pastikan neraka yang kau tuju cukup layak untuk seorang budak sepertiku.”

Alessandro menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. Kali ini bukan senyum licik—tapi senyum penasaran. Seolah ia baru saja menemukan mainan paling menarik dalam hidupnya.

“Berani juga kau.”

Livia hanya tersenyum tipis, “Aku pastikan kau akan menyesali mempunyai budak sepertiku.” Ucapnya sambil menatap langsung ke arah mata tajam pria itu.

Seluruh ruangan langsung membeku.

Franco bahkan mencengkeram erat ipad yang ada di tangannya.

Apa wanita ini ingin cepat mati?!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 35

    Ruang rapat dipenuhi dengan deretan direktur dan manajer yang menatap layar proyektor, membicarakan angka-angka dan strategi bisnis. Namun, Alessandro duduk di kursi utamanya dengan sikap santai, satu tangan menopang dagu, sementara tangan lainnya sibuk menggulir ponselnya di bawah meja.Sesekali dia mengetik cepat, lalu bibirnya melengkung membentuk senyum samar yang membuat beberapa orang di ruangan itu saling pandang, bingung apakah bos mereka sedang puas dengan hasil presentasi atau justru memikirkan sesuatu yang lain.“Ehm, Tuan Alessandro, apakah Anda setuju dengan usulan penggabungan ini?” salah satu direktur memberanikan diri bertanya, mencoba menarik perhatiannya.Alessandro mengangkat pandangan sekilas, matanya tajam tapi tidak sepenuhnya hadir di ruangan. “Lanjutkan saja sesuai rancangan awal.” Ucapnya datar, lalu kembali menunduk menatap layar ponsel, jemarinya menari menuliskan pesan.Dan di layar itu, sebuah percakapan singkat dengan Livia muncul:Alessandro: Kirim foto

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 34

    “Nona, apa anda sudah merasa baik? Apa perlu saya panggilkan dokter lagi?” tanya Rere khawatir saat melihat bibir Livia masih membengkak ditambah sekarang sariawan.Livia hanya diam, meskipun dalam hati dia mengutuk Alessandro yang membuat bibirnya seperti ini bahkan karena gigitan pria itu kini berubah menjadi sariawan yang menyakitkan.Rere tampak panik menatap wajah Livia yang pucat, apalagi saat melihat Livia berusaha minum air saja tampak kesakitan.“Aduh… nona, ini pasti sakit sekali,” ujar Rere sambil menggigit bibirnya sendiri, ikut merasa nyeri membayangkannya. “Saya belikan obat kumur atau salep bibir ya? Atau lebih baik kita ke dokter saja? Kalau dibiarkan nanti tambah parah.”Livia menarik napas panjang, menutup matanya sebentar, lalu menjawab dengan suara pelan, menahan rasa perih, “Tidak usah. Aku tidak mau keluar rumah sekarang.”“Tapi nona—”“Aku bilang tidak usah, Rere.” Livia akhirnya menatap lurus ke arah asistennya, matanya masih menyimpan sisa amarah yang dia pend

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 33

    “Aku ingin ke toilet,” ucap Livia lirih saat acara lelang masih berlangsung. Alessandro hanya mengangguk, matanya tetap terpaku pada panggung.Livia berjalan keluar dengan tenang melalui pintu belakang, langkahnya sedikit cepat, ingin segera menjauh dari hiruk pikuk ruangan itu. Koridor terasa lebih sepi, hanya suara sepatunya yang bergaung. Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi, tiba-tiba sebuah tangan kasar membekap mulutnya dari belakang.Jantungnya sontak melonjak. Musuh? pikirnya panik. Ia berusaha meronta, namun tubuh di belakangnya menahan erat. Livia nekat menoleh sedikit, dan seketika matanya membesar.“Fred?” bisiknya, terkejut sekaligus lega.Freddy mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Aku khawatir… maaf, aku tak bisa melindungimu.” Suaranya rendah, nyaris tak terdengar. Matanya menyorot kekhawatiran yang tulus. “Kau baik-baik saja di sana?”Livia mengangguk, “Seperti yang kau lihat.”Freddy mengangguk dengan perasaan lega, “syukurlah. Oh iya..” Tiba-tib

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 32

    “Selamat datang di acara lelang tahunan! Sungguh sebuah kehormatan bertemu dengan tuan dan nyonya dari berbagai generasi yang hadir malam ini,” suara pembawa acara menggema, mengalun hingga ke bilik-bilik VIP yang tertutup rapat.Di dalam salah satu bilik, Livia duduk anggun dengan gaun yang Alessandro siapkan. Tatapannya lurus, tenang, dan sedikit dingin, seolah kehadirannya hanyalah formalitas belaka. Sesekali ia melirik layar kecil di depannya yang menampilkan barang-barang yang akan dilelang, namun tanpa raut kagum berlebihan.Alessandro yang duduk di sampingnya menegakkan tubuh, terlihat begitu terbiasa dengan atmosfer seperti ini. Ia melirik Livia sekilas, seolah menimbang sesuatu, sementara Livia hanya meraih gelas sampanye di hadapannya dan menyesapnya ringan.“Tuan, ini daftar barang yang akan dilelang hari ini.” Ucap Franco dengan sopan sambil menyerahkan ipadnya.Alessandro menerima iPad itu dengan tatapan tenang, menelusuri daftar barang yang terpampang di layar.“Hmm… cuk

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   31

    “Apa tidak ada yang lain selain sup kambing tiap hari?” Ucap Livia yang mulai jenuh karena selama ua hari ini dijejali sup dan bubur kambing yang membuatnya ingin mual sekarang.Rere hanya tersenyum tipis, “ini untuk pemulihan anda, tuan. Bahkan tuan dengan sendirinya memotong satu kambing besar untuk anda makan sendiri.”Livia mendengus, mendorong mangkuk pelan dengan wajah masam. “Kalau begitu sekalian saja aku berubah jadi kambing karena tiap hari dicekoki beginian.”Rere menahan tawa, tapi ujung bibirnya terangkat geli. “Kalau nona berubah jadi kambing, tuan Alessandro pasti akan tetap menyuruhku menyuapi. Bedanya… mungkin kali ini dengan rumput segar.”Livia mendelik, menatap Rere dengan tatapan tak percaya. “Kau berani sekali bercanda begitu di depanku.”“Kalau tidak bercanda, nona pasti sudah melempar mangkuk ini ke kepala saya,” jawab Rere dengan nada ringan, tetap tersenyum.Livia menghela napas panjang, menutup wajahnya dengan tangan. “Astaga, aku benar-benar muak. Sup ka

  • Belenggu Cinta Mafia DLuca   BAB 30 Peringatan

    “Lepaskan aku!!! Apa kalian tak tahu siapa ku sampi kalian menculikku?!” Suara Victoria menggema di ruangan gelap dan lembab itu.Matanya di tutup dengan kain hitam, tangannya diikat kuat di kursi.Victoria berontak sekuat tenaga, kursi yang terbuat dari besi itu berderit keras setiap kali tubuhnya menggeliat. Nafasnya memburu, keringat mulai membasahi pelipisnya meski udara di ruangan itu dingin menusuk.Suara langkah sepatu bergaung pelan di lantai semen yang basah. Semakin lama semakin dekat. Victoria menelan ludahnya, tubuhnya menegang.“Siapa pun kalian, kalian sudah cari mati dengan melakukan ini padaku!” teriaknya lantang, meski suara sedikit bergetar karena ketakutan yang coba ia sembunyikan.Sebuah tawa rendah terdengar dari arah depan. Lalu, suara seorang pria menyahut dengan nada tenang namun mengerikan, “Justru karena kami tahu siapa kau… itulah kenapa kau ada di sini.”Kain penutup matanya perlahan ditarik, cahaya lampu redup membuatnya harus menyipitkan mata. Saat panda

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status