Malam merambat semakin pekat. Lampu-lampu kristal bergemerlapan di langit-langit aula hotel megah itu, memantulkan cahaya bagai ribuan bintang yang sengaja dipasang hanya untuk malam ini. Dinding-dinding berhias marmer putih berkilau, meja-meja panjang dipenuhi lilin dan bunga segar yang ditata begitu indah. Musik lembut mengalun, mengiringi para tamu yang berdatangan dengan gaun mahal dan jas yang penuh wibawa.
Semua orang tahu, malam ini bukan pesta biasa. Ini adalah malam pernikahan Don muda Drazhan Alvaro, pewaris dinasti mafia yang namanya menancap di benak banyak orang, menimbulkan gentar sekaligus hormat. Namun yang membuat malam ini menjadi pusat perhatian bukan hanya karena sosok sang Don, melainkan karena sebuah teka-teki Siapa wanita yang berani, atau mungkin dipaksa, menjadi istrinya? menjadi istri seorang pria dingin yang tak memiliki hati. Alessia berdiri di ambang pintu aula, jantungnya berpacu tak karuan. Gaun putih panjang yang melekat di tubuhnya terasa bagai rantai yang berat, bukan kebahagiaan. Jemarinya menggenggam erat buket bunga, namun tangan itu gemetar seolah tak sanggup menanggung beban nasibnya sendiri. Ia tak pernah membayangkan dirinya berada di tempat semewah ini, apalagi menjadi pusat perhatian ratusan pasang mata. Setiap langkah yang ia ambil menuju lorong pernikahan seperti berjalan di atas bara, membuat napasnya sesak. Di ujung lorong, berdiri seorang pria yang selama ini hanya disebut-sebut dengan nada hormat dan takut. Drazhan Alvaro. Jas hitamnya terjahit sempurna, posturnya tegap, wajahnya rupawan, namun dingin bagai pahatan marmer. Tatapannya menusuk, memerintah, sekaligus menakutkan. Tak ada senyum, tak ada kelembutan. Hanya keheningan yang sarat ancaman. Alessia menunduk dalam, tak berani menatap matanya. Saat jarak di antara mereka semakin dekat, Drazhan mengulurkan tangannya. Sebuah gerakan sederhana, namun terasa seperti belenggu besi yang mengikat erat. “Ambil tanganku,” suaranya berat, penuh perintah. Dengan ragu, Alessia menyambut uluran itu. Jemari mereka bersentuhan, dan seketika tubuhnya bergetar. Telapak tangan pria itu dingin, namun genggamannya kuat, bahkan terlalu kuat, hingga membuat Alessia merasa benar-benar tak berdaya. ♣♣♣ “Dengan ini… sah!” Tepuk tangan bergema, sorakan ucapan selamat terdengar dari segala penjuru aula. Para tamu bersorak, sebagian tersenyum penuh rasa ingin tahu, sebagian lagi berbisik sinis. Kini, Alessia resmi menjadi Nyonya Alvaro. Istri dari seorang Don yang bahkan tak ia kenal. Ia menoleh sekilas pada Drazhan. Lelaki itu tetap dingin, seolah pernikahan hanyalah sebuah transaksi bisnis. Tidak ada senyum, tidak ada ucapan manis, hanya tatapan datar yang membuat dada Alessia semakin sesak. “Angkat wajahmu,” bisik Drazhan pelan, namun tajam. “Semua orang memperhatikan kita. Jangan mempermalukanku.” Alessia menelan ludahnya yang pahit. Dengan paksa ia mendongak, tersenyum tipis, meski hatinya terasa remuk. Senyum Alessia menghilang saat melihat barisan depan tamu, seorang wanita berdiri dengan anggun. Gaun merah menyala membalut tubuhnya yang sempurna, rambut pirang keemasan terurai indah. Ia adalah Seraphine Morelli, model terkenal sekaligus kekasih rahasia Don muda itu. Tatapan Seraphine menelusuri sosok Alessia dari ujung kepala hingga kaki. Senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang penuh penghinaan. Seakan ingin berkata, kamu bukan siapa-siapa. Kamu hanya pion kecil dalam permainan ini. Alessia merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu yang asing sekaligus mengintimidasi dari cara wanita itu menatapnya tapi ia hanya bisa berpura-pura tak peduli, karena genggaman Drazhan di tangannya semakin erat, memaksa dirinya tetap tegak. “Selamat, Don,” ucap Seraphine ketika mereka lewat di hadapannya. “Terima kasih,” jawab Drazhan singkat, nyaris tanpa ekspresi. Namun sorot matanya yang singgah sekejap pada Seraphine membuat hati Alessia tercekat. Ada sesuatu di antara mereka, sesuatu yang jelas tak bisa ia pahami, tapi cukup untuk membuatnya merasa terbuang sejak malam pertama pernikahannya. Alessia mencoba kuat dan sadar. Sudah menjadi rahasia umum Drazhan beberapa kali digosipkan memiliki hubungan dengan Seraphine. Hampir seluruh acara gosip menyiarkan berita mereka. Alessia lelah, ia ingin menghilang detik ini juga tapi Drazhan menariknya berkeliling menyapa para tamu, tersenyum kaku di sampingnya. Ia tak mengenal siapa pun, tapi ia tahu, sebagian besar yang hadir malam ini adalah orang-orang berpengaruh, pengusaha, politisi, bahkan orang-orang dengan wajah kejam yang hanya bisa ia lihat di balik berita kriminal. Bisikan-bisikan terdengar di belakang punggungnya. “Cantik, tapi terlalu lugu untuk menjadi istri seorang Don.” “Mungkin hanya gadis miskin yang beruntung.” “Berapa lama menurutmu dia akan bertahan?” Alessia menggigit bibir, menahan air mata agar tidak jatuh di depan umum. Namun Drazhan, dia tetap datar, seolah tak mendengar apa pun. Pria itu seperti tuli dan tak berekspresi. ♣♣♣ Malam semakin larut, tamu-tamu mulai berkurang. Ketika musik terakhir berhenti, Drazhan menepuk pundak Alessia singkat. “Cukup. Ayo.” Mereka berjalan menuju lift suite mewah di lantai atas. Pintu suite terbuka, menyingkap ruangan luas dengan ranjang king-size berhias kelambu putih, lampu temaram, dan aroma bunga mawar yang kental. Namun suasana itu bukanlah romantis. Bagi Alessia, kamar itu terasa bagai sel penjara. Ia berdiri kaku di ambang pintu, jemarinya meremas buket bunga hingga kelopaknya hancur. “Tu—Tuan… apa yang harus saya lakukan?” suaranya lirih, gemetar. Drazhan menanggalkan jasnya, meletakkannya di kursi, lalu menatap Alessia dengan dingin. “Kamu hanya perlu mengingat satu hal.” “Apa itu?” bisik Alessia, nyaris tak terdengar. Pria itu mendekat, langkahnya mantap, sorot matanya menusuk dalam. “Pernikahan ini hanya formalitas. Kamu tidak perlu menuntut apa pun dariku, apalagi cinta. Kamu di sini karena aku membiarkanmu, bukan karena aku menginginkanmu.” Kata-kata itu menghantam Alessia bagai belati. Dadanya terasa sesak, matanya panas menahan air mata. Drazhan melanjutkan dengan suara dingin, “Jangan pernah bermimpi menyentuh hatiku. Jangan pernah mencoba melawan. Jikakaumu patuh, kamu akan hidup nyaman. Jika tidak…” ia berhenti sejenak, menatap tajam, “…kamu akan merasakan sisi gelapku yang sebenarnya.” Alessia terdiam, tubuhnya membeku. Malam yang seharusnya penuh cinta, berubah menjadi malam terkelam dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya, ia sadar sepenuhnya bahwa ia bukan lagi Alessia Ardelia si gadis biasa. Kini, ia adalah Nyonya Alvaro, seorang istri yang terbelenggu dalam cinta palsu, dalam dunia mafia, di sisi pria yang hatinya tertutup rapat. Dan belenggu itu, baru saja dimulai.Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen
Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu
Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup
Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b
Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib
Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge