Home / Mafia / Belenggu Cinta Sang Don Juan / Bab 3 Setidaknya Anda Tidak Terluka Parah

Share

Bab 3 Setidaknya Anda Tidak Terluka Parah

Author: Silentia
last update Last Updated: 2025-10-02 19:07:51

Cahaya pagi merayap pelan lewat sela tirai tebal suite. Di dalam kamar, segala sesuatu tetap rapi, ranjang tidak terjamah, bantal tersusun rapi, aroma mawar pelan-pelan menguap dari vas di meja. Di antara kemewahan itu, Alessia terjaga dengan tubuh yang pegal, sofa tempatnya tertidur semalam meninggalkan bekas di punggungnya. Ia menutup mata lagi, mencoba menaruh malam yang baru berlalu ke dalam sudut paling jauh ingatannya, tapi kenyataan selalu kembali mengetuk, ia kini terikat pada nama yang asing, pada gelar yang belum sempat ia mengerti.

Alessia melihat jam dinding. Tangan panjangnya menunjuk angka yang membuat dadanya bertambah berat, setengah enam pagi. Drazhan belum pulang. Kenyataan itu membuat sesuatu di ulu hatinya mengeras. Ia menelan ludah, mencoba menyuruh dirinya bahwa mungkin Drazhan memang sibuk. Kata-kata itu terdengar palsu bahkan di telinganya sendiri.

Ia bangkit perlahan, menyisir rambut yang kusut, menatap wajahnya di kaca rias. Mata yang masih merah, bibir kering, gaun pengantin yang tak pernah ia pilih. Alessia mengembus napas panjang. Langkahnya menurun pelan menuju lorong keluar kamar, setiap derap terasa asing di lantai marmer rumah yang kini menjadi tempat tinggal barunya.

Alessia menatap sekeliling belum terlalu ramai di ruang makan. Hanya beberapa pelayan yang bergerak cepat, menyusun piring dengan cekatan. Rafael sudah ada di sana ketika Alessia masuk, ia menoleh sejenak, matanya menampakkan kerapuhan yang cepat ditutupinya. Tidak ada sapaan hangat dari Drazhan, hanya kursi kosong di ujung meja dan jejak parfum yang entah dari mana.

“Selamat pagi, Nyonya,” suara Rafael rapi, profesional. Ia menaruh piring di hadapan Alessia dengan cekatan. "Jadwal Anda hari ini adalah belanja."

“Berbelanja?” Alessia menatap piring. Ia menunduk, berusaha mengambil roti dari pinggir piring sebagai alasan untuk menyembunyikan kegugupannya. “Baik.”

Rafael duduk sejenak, menatap Alessia seperti menimbang sesuatu yang penting. Ia bukan orang yang ramah, tapi bukan pula orang yang biadab. Wajahnya keras, tetapi matanya tak bisa sepenuhnya menutupkan rasa salah yang menonjol ketika ia memikirkan peran yang ia mainkan dalam peristiwa semalam. Ia yang menyiapkan segala sesuatu, ia yang mengatur agar Alessia bisa “tiba tepat waktu” ia juga yang menandatangani kontrak-kontrak kecil dengan keluarga Alessia demi memenuhi perintah tuannya.

Kini, melihat Alessia terpancang canggung di hadapan orang-orang yang dalam pikirannya termasuk nama-nama besar, Rafael merasa seperti bagian dari sebuah kesalahan yang tak bisa diperbaiki. “Apa Anda baik-baik saja?” tanyanya, akhirnya. Suaranya rendah, seperti takut didengar oleh siapa pun selain Alessia.

Alessia mengangkat kepalanya. Matanya bertemu mata Rafael dan sekejap timbul rasa lega yang aneh, seolah menemukan titik terang pada hari kelabu. “Akan akan berusaha baik,” jawabnya pelan, lalu menunduk lagi.

Makanan pagi terasa hambar. Setiap gigitan mengingatkannya bahwa ia kini memakai gelar yang mahal, tapi tanpa amanat cinta yang hangat di dalamnya. Ia menelan lalu berkata, “Siapa yang akan mengantarku berbelanja?”

“Beberapa keperluan untuk penampilan Anda harus disesuaikan dengan protokol keluarga. Saya akan menemani Anda,” jawab Rafael. “Tuan Drazhan sudah mengatakan agar Anda tampil rapi di depan keluarga untuk menjaga citra.” Ia mengangkat bahu, nada itu datar.

Alessia mengangguk. Kata “citra” terasa dingin, seperti kata sandi yang menutup semua ruang rasa. Ia berdiri kemudian, merasa perlu bergerak agar tidak runtuh. "Aku segera bersiap."

Rafael hanya menunduk sebagai jawaban penuh kesopanan.

♣♣♣

Di butik, kain berhiaskan mutiara, satin dan renda mewah disodorkan dengan hati-hati oleh pelayan yang terbiasa melayani orang berada. Alessia menyentuhnya dengan rasa takut sekaligus kagum. Semua itu indah, tetapi seolah-olah menulis naskah tentang betapa asingnya dirinya di dunia yang serba mewah ini. Ia memilih dengan ragu, sebuah gaun hitam sederhana menjadi pilihan akhirnya, bukan karena ia menyukai gelap, tapi ia hanya menyesuaikan dengan masa depannya saat ini. Ia merasa gelap dan hampa, penuh keputusasaan.

Rafael berdiri tidak jauh, matanya menempel pada setiap gerak Alessia. Ia tahu tata letak dunia ini, ia tahu bagaimana orang seperti Drazhan bekerja, cara senyum yang terukur, cara sandi kata yang membuat orang tunduk. Rafael menghela napas. Terkadang ia membayangkan apa jadinya jika seluruh skenario ini gagal, jika perempuan yang malang ini berkata “tidak”. Namun ia tahu, berkata “tidak” pada Drazhan bukanlah sebuah opsi yang wajar untuk dibicarakan.

♣♣♣

Kala senja mulai turun, tamu-tamu keluarga berkumpul untuk acara makan malam kecil, sebuah formalitas penerimaan bagi anggota baru. Alessia duduk di kursi yang disediakan, merasa seluruh tubuhnya seperti boneka yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat. Di sisi lain ruangan, set meja terhias memantulkan cahaya, orang-orang dengan sorot mata penuh bisik-bisik. Mariana dan Victor berada diantara mereka, berdiri menawan, senyum mereka seperti topeng yang teruji rapi.

Mariana melangkah mendekat, meletakkan tangan pada lengan Alessia dengan gerakan manis. “Kamu tampak lebih cantik setelah berganti pakaian, Sayang,” bisiknya yang membuat kulit Alessia merinding. Di sudut mata Alessia, ia melihat kilasan mata Victor yang tajam, penuh perhitungan. Tidak ada kehangatan di sana, hanya hitungan untung-rugi yang rapat tersimpan.

“Terima kasih, Bibi,” jawab Alessia dengan nada rendah. Ia menahan pertanyaan yang ingin meluncur dari bibirnya, pertanyaan tentang harga yang harus ia bayar untuk tawa tipis mereka.

Saat hidangan pertama tiba, pintu ruang makan terbuka. Semua kepala menoleh, masuklah Drazhan, punggungnya tegap, jasnya menempel seperti pahatan.

Drazhan tidak sendiri, Seraphine berjalan anggun disampingnya, seakan malam dan dunia itu miliknya. Sebuah bisik-bisik kecil terdengar di antara tamu. Bagi Alessia, pemandangan itu adalah ujung dari semua harap yang hancur, ia yang baru saja berlatih menyesuaikan senyum harus terima menatap wanita yang jelas punya tempat lain di hati suaminya.

Seraphine menyapa akrab orang-orang sekitar. Kemudian mengaja Drazhan untuk duduk di sampingnya.

Alessia merasakan bagaimana dirinya hanyut dalam pusaran rencana yang lebih besar daripada kebahagiaan dua insan. Ia menggenggam serbet hingga jemarinya memucat. Ia tidak tahan berada di dunia penuh kepalsuan ini. Beberapa tamu menyampaikan ucapan selamat dengan berlapis-basis kepalsuan. Ucapan yang terdengar seperti pujian sekaligus catatan jual-beli yang diingat kembali. Ia harus menanggapi semua itu dengan senyum meski dibuat-buat. Ia belajar membaca setiap nada, setiap gerak yang tampak ramah namun tajam di baliknya.

Malam menutup pertemuan itu, namun ia tidak pulang ke kamar dengan perasaan aman. Ia berjalan sendirian ke balkon belakang rumah, menatap kota yang berpendar cahaya. Angin malam mengusap pipinya, dingin.

Rafael muncul dari belakang tanpa suara. Ia berdiri beberapa langkah dari Alessia, tidak terlalu dekat. “Anda kuat,” katanya akhirnya. Suaranya serak, bukan karena ia ingin memuji, melainkan karena ia menatap sebuah kebobrokan yang ia ikut andil di dalamnya.

Alessia menoleh. “Apa kamu menyesal?” tanyanya pelan, bukan dengan nada menuduh, melainkan ingin tahu. Kata “menyesal” melayang di udara seperti batu kecil yang menguji permukaan air.

Rafael menunduk. Ada jeda panjang sebelum ia menjawab. “Terkadang. Tapi menyesal tidak mengubah apa yang sudah terjadi.” Matanya menatap jauh, menunjukan perang batin. “Tuan memerintahkan. Saya hanya menjalankan tugas.”

“Dan jika tugas itu menghancurkan hidup seseorang?” suara Alessia bergetar sedikit.

Rafael menutup mata, lalu membuka lagi. “Saya tidak punya jawaban yang layak.” Ia menggeser tubuhnya, berdiri lebih dekat, namun tetap ada batas yang tidak diusik. “Yang bisa saya lakukan hanyalah mengawasi agar setidaknya Anda tidak terluka parah. Itu saja.”

Kalimat itu terdengar seperti taruhan kecil di antara dua manusia yang tahu benar rasa bersalah dan ketakutan.

Alessia menatap Rafael, merasakan ada kebaikan kecil yang tersembunyi di balik wajah kerasnya. Namun kebaikan itu tak mampu menebus apa pun.

Di lantai bawah, di ruangan lain, Seraphine tertawa singkat bersama tamu, tawa yang menggema terdengar seperti kemenangan. Sementara itu Victor dan Mariana berbincang tentang besok, rencana, pengaturan, janji-janji yang nanti akan diuangkan sebagai keuntungan. Mereka membicarakan masa depan Alessia seperti orang membicarakan warisan tanah, objek yang posisi dan nilai jualnya menjadi perhitungan utama.

Malam itu, rumah besar itu tetap tenang dari luar, namun di dalamnya, tali-tali tak terlihat telah dikencangkan. Belenggu baru memang sudah melingkupi Alessia tapi belenggu itu bukan hanya bentuk penjara, ia juga akan menjadi medan yang, perlahan-lahan, bisa menguji, membakar, dan jika takdir tak kejam, mungkin suatu hari menjadikan sesuatu yang tak terduga bisa terjadi, happy ending misalnya. Semoga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 9 Terkadang Duri itu Bukan untuk Melukai

    Udara segar menyusup lewat celah jendela, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar yang baru mekar di taman belakang mansion keluarga Drazhan, embun masih bergelayut pada ujung daun, memantulkan cahaya matahari yang malu-malu menembus ranting.Alessia berdiri di tengah taman dengan selendang tipis menutupi bahunya. Gaun putih yang ia kenakan tampak lembut berkilau disinari cahaya pagi. Ia menatap rerumputan yang basah, merasakan udara dingin menempel di kulitnya, sensasi sederhana yang hampir ia lupakan sejak hari pertama dikurung dalam kemewahan rumah ini.Di tempat ini, setiap langkahnya diawasi. Setiap kata yang keluar dari bibirnya bisa menjadi alasan untuk dimarahi. Namun pagi ini, ketika para pelayan sibuk di dapur, ia mencuri waktu untuk sekadar menghirup udara bebas. Taman itu menjadi tempat pelariannya yang sunyi.“Udara masih dingin, Nyonya. Sebaiknya Anda kenakan syal lebih tebal,” suara lembut itu datang dari belakang.Alessia menoleh pelan. Rafael berdiri di sana, mengen

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bsb 8 Dia Akan Menjadi Ancaman

    Api kecil di perapian ruang kerja Drazhan memantulkan cahaya oranye ke dinding, menciptakan bayangan panjang dari sosok pria yang berdiri di depan rak buku besar.Drazhan menatap gelas anggur di tangannya. Cairan merah di dalamnya berputar pelan, memantulkan cahaya seperti darah. Malam ini, pikirannya tidak tenang. Ada sesuatu yang mengusik, tapi ia tidak ingin mengakui apa itu.Ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar, ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.“Drazhan!” Suara Seraphine terdengar nyaring, nyaris bergetar karena amarah yang ditahan. Hak sepatunya bergema di lantai marmer ketika melangkah masuk tanpa izin. “Bagus sekali, ibumu akhirnya datang dan langsung jatuh hati pada gadis itu.”Drazhan tidak bergerak. Ia hanya mengangkat gelasnya dan meneguk sedikit. “Kamu seharusnya tahu cara berbicara dengan sopan di rumah ini, Seraphine.”Seraphine menatapnya tajam. “Sopan? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kamu masih berani bicara soal sopan? Kamu tahu

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 7 Kamu Adalah Harapan Kecil Untuknya

    Langit sore itu menggantung kelabu, tapi di dalam rumah keluarga Drazhan, suasananya justru terasa lebih berisik dari biasanya. Pelayan berlalu-lalang dengan wajah cemas, memoles meja, menyusun bunga di vas kristal, dan memastikan setiap perabot tampak sempurna. Alessia berdiri di depan cermin besar di ruang tengah, mengenakan gaun pastel sederhana yang dipilihkan salah satu pelayan.“Untuk menyambut Nyonya Valentina,” ujar salah satu di antara mereka dengan suara setengah bergetar.Nama itu saja sudah cukup membuat dada Alessia berdebar. Ibunda Drazhan, wanita yang dikenal elegan sekaligus berpengaruh besar dalam dunia bisnis internasional.Drazhan sendiri sejak pagi bersikap lebih pendiam dari biasanya. Ia tidak menatap Alessia, tidak pula bicara sepatah kata pun. Hanya satu instruksi dingin yang keluar dari bibirnya sebelum ia pergi mempersiapkan diri.“Jaga sikapmu. Ibuku tidak menyukai kepalsuan.”Kata-kata itu seperti belati halus. Alessia tidak tahu apakah ia harus merasa gugup

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 6 Dia Adalah Monster

    Suara hujan deras mengguyur kaca jendela besar yang tidak tertutup rapat, memberikan kesan kehidupan bagi ruang sunyi yang menyelimuti kamar Alessia. Setelah tangisnya reda, ia hanya duduk terdiam di lantai, tubuhnya gemetar. Pikirannya kacau, tetapi hatinya lebih parah lagi.Pernikahan yang seharusnya menjadi awal baru, justru terasa seperti hukuman mati yang berjalan lambat. Setiap detik bersama Drazhan mengikis sedikit demi sedikit kewarasannya."Tolong!"Alessia mendengar sesuatu. Lalu terdengar suara pintu bawah terbuka keras, pintu yang terhubung dengan kamarnya menuju tempat rahasia di bawah tanah, langkah-langkah tergesa, suara teriakan samar, bukan suara pelayan. Alessia bangkit dan mencoba membuka pintu rahasia untuk mengintip. Ia melihat beberapa pria berbadan besar menyeret seorang laki-laki dengan wajah penuh darah. Mulutnya dibekap, tangannya terikat. Alessia menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Napasnya tercekat ketika matanya menangkap sosok Drazhan yang b

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 5 Aku Ini Apa Baginya?

    Pagi itu, matahari menyelinap lewat kaca tinggi jendela kamar Alessia, tapi sinarnya tidak membawa hangat. Hanya cahaya dingin yang membuat ruangan tampak lebih kosong dari biasanya. Alessia duduk di tepi ranjang yang kemarin tak pernah ia sentuh. Tangannya bermain dengan cincin di jari manisnya, cincin yang terasa lebih berat dari seharusnyaaMalam tadi, kata-kata Drazhan masih terngiang jelas. “Tidak ada jalan keluar.”Dan kini satu pertanyaan lain terus menghantuinya, mengapa aku?Ia memikirkan Seraphine. Wajahnya, sikapnya, keanggunannya. Wanita itu jelas lebih layak berada di sisi seorang pria seperti Drazhan. Seraphine tahu dunia mereka, tahu bagaimana bermain dengan citra, tahu cara menaklukkan ruang penuh mata-mata. Lalu, mengapa ia yang hanya seorang gadis biasa, dipaksa masuk ke lingkaran maut ini?Pintu kamar berderit. Drazhan masuk tanpa mengetuk, jas hitamnya masih sama dengan malam tadi, seolah ia tidak pernah benar-benar tidur.Alessia menatapnya, dada miliknya tiba-tib

  • Belenggu Cinta Sang Don Juan   Bab 4 Belenggu yang Sesungguhnya

    Cahaya lampu kristal berpendar hangat di ruang utama rumah keluarga itu, tetapi kehangatannya sama sekali tidak terasa bagi Alessia. Ia duduk di kursi panjang berlapis beludru, gaun hitam yang baru saja dipilihnya pagi tadi membalut tubuhnya, membuatnya tampak anggun sekaligus rapuh. Hatinya gelisah, sebab di ruangan itu akhirnya ia harus berhadapan langsung dengan sosok yang sejak malam pertama nyaris menghilang, Drazhan.Pintu berat kayu ek terbuka. Langkah-langkah tegap bergema, seolah dunia ikut berhenti menyimak. Drazhan masuk, jasnya rapi, dasi merah darah menonjol di balik dada bidangnya. Wajahnya tanpa senyum, matanya tajam seperti bilah baja. Aroma asap tembakau dan parfum maskulin melekat, membuat udara di ruangan tiba-tiba lebih pekat.Alessia menelan ludah. Jantungnya berdegup tidak karuan.Drazhan berdiri beberapa detik menatapnya, lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah belajar bersikap di depan keluarga?” katanya dingin. Suaranya dalam, bergema, membuat tubuh Alessia berge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status