로그인Cahaya pagi merayap pelan lewat sela tirai tebal suite. Di dalam kamar, segala sesuatu tetap rapi, ranjang tidak terjamah, bantal tersusun rapi, aroma mawar pelan-pelan menguap dari vas di meja. Di antara kemewahan itu, Alessia terjaga dengan tubuh yang pegal, sofa tempatnya tertidur semalam meninggalkan bekas di punggungnya. Ia menutup mata lagi, mencoba menaruh malam yang baru berlalu ke dalam sudut paling jauh ingatannya, tapi kenyataan selalu kembali mengetuk, ia kini terikat pada nama yang asing, pada gelar yang belum sempat ia mengerti.
Alessia melihat jam dinding. Tangan panjangnya menunjuk angka yang membuat dadanya bertambah berat, setengah enam pagi. Drazhan belum pulang. Kenyataan itu membuat sesuatu di ulu hatinya mengeras. Ia menelan ludah, mencoba menyuruh dirinya bahwa mungkin Drazhan memang sibuk. Kata-kata itu terdengar palsu bahkan di telinganya sendiri. Ia bangkit perlahan, menyisir rambut yang kusut, menatap wajahnya di kaca rias. Mata yang masih merah, bibir kering, gaun pengantin yang tak pernah ia pilih. Alessia mengembus napas panjang. Langkahnya menurun pelan menuju lorong keluar kamar, setiap derap terasa asing di lantai marmer rumah yang kini menjadi tempat tinggal barunya. Alessia menatap sekeliling belum terlalu ramai di ruang makan. Hanya beberapa pelayan yang bergerak cepat, menyusun piring dengan cekatan. Rafael sudah ada di sana ketika Alessia masuk, ia menoleh sejenak, matanya menampakkan kerapuhan yang cepat ditutupinya. Tidak ada sapaan hangat dari Drazhan, hanya kursi kosong di ujung meja dan jejak parfum yang entah dari mana. “Selamat pagi, Nyonya,” suara Rafael rapi, profesional. Ia menaruh piring di hadapan Alessia dengan cekatan. "Jadwal Anda hari ini adalah belanja." “Berbelanja?” Alessia menatap piring. Ia menunduk, berusaha mengambil roti dari pinggir piring sebagai alasan untuk menyembunyikan kegugupannya. “Baik.” Rafael duduk sejenak, menatap Alessia seperti menimbang sesuatu yang penting. Ia bukan orang yang ramah, tapi bukan pula orang yang biadab. Wajahnya keras, tetapi matanya tak bisa sepenuhnya menutupkan rasa salah yang menonjol ketika ia memikirkan peran yang ia mainkan dalam peristiwa semalam. Ia yang menyiapkan segala sesuatu, ia yang mengatur agar Alessia bisa “tiba tepat waktu” ia juga yang menandatangani kontrak-kontrak kecil dengan keluarga Alessia demi memenuhi perintah tuannya. Kini, melihat Alessia terpancang canggung di hadapan orang-orang yang dalam pikirannya termasuk nama-nama besar, Rafael merasa seperti bagian dari sebuah kesalahan yang tak bisa diperbaiki. “Apa Anda baik-baik saja?” tanyanya, akhirnya. Suaranya rendah, seperti takut didengar oleh siapa pun selain Alessia. Alessia mengangkat kepalanya. Matanya bertemu mata Rafael dan sekejap timbul rasa lega yang aneh, seolah menemukan titik terang pada hari kelabu. “Akan akan berusaha baik,” jawabnya pelan, lalu menunduk lagi. Makanan pagi terasa hambar. Setiap gigitan mengingatkannya bahwa ia kini memakai gelar yang mahal, tapi tanpa amanat cinta yang hangat di dalamnya. Ia menelan lalu berkata, “Siapa yang akan mengantarku berbelanja?” “Beberapa keperluan untuk penampilan Anda harus disesuaikan dengan protokol keluarga. Saya akan menemani Anda,” jawab Rafael. “Tuan Drazhan sudah mengatakan agar Anda tampil rapi di depan keluarga untuk menjaga citra.” Ia mengangkat bahu, nada itu datar. Alessia mengangguk. Kata “citra” terasa dingin, seperti kata sandi yang menutup semua ruang rasa. Ia berdiri kemudian, merasa perlu bergerak agar tidak runtuh. "Aku segera bersiap." Rafael hanya menunduk sebagai jawaban penuh kesopanan. ♣♣♣ Di butik, kain berhiaskan mutiara, satin dan renda mewah disodorkan dengan hati-hati oleh pelayan yang terbiasa melayani orang berada. Alessia menyentuhnya dengan rasa takut sekaligus kagum. Semua itu indah, tetapi seolah-olah menulis naskah tentang betapa asingnya dirinya di dunia yang serba mewah ini. Ia memilih dengan ragu, sebuah gaun hitam sederhana menjadi pilihan akhirnya, bukan karena ia menyukai gelap, tapi ia hanya menyesuaikan dengan masa depannya saat ini. Ia merasa gelap dan hampa, penuh keputusasaan. Rafael berdiri tidak jauh, matanya menempel pada setiap gerak Alessia. Ia tahu tata letak dunia ini, ia tahu bagaimana orang seperti Drazhan bekerja, cara senyum yang terukur, cara sandi kata yang membuat orang tunduk. Rafael menghela napas. Terkadang ia membayangkan apa jadinya jika seluruh skenario ini gagal, jika perempuan yang malang ini berkata “tidak”. Namun ia tahu, berkata “tidak” pada Drazhan bukanlah sebuah opsi yang wajar untuk dibicarakan. ♣♣♣ Kala senja mulai turun, tamu-tamu keluarga berkumpul untuk acara makan malam kecil, sebuah formalitas penerimaan bagi anggota baru. Alessia duduk di kursi yang disediakan, merasa seluruh tubuhnya seperti boneka yang dikendalikan oleh tangan tak terlihat. Di sisi lain ruangan, set meja terhias memantulkan cahaya, orang-orang dengan sorot mata penuh bisik-bisik. Mariana dan Victor berada diantara mereka, berdiri menawan, senyum mereka seperti topeng yang teruji rapi. Mariana melangkah mendekat, meletakkan tangan pada lengan Alessia dengan gerakan manis. “Kamu tampak lebih cantik setelah berganti pakaian, Sayang,” bisiknya yang membuat kulit Alessia merinding. Di sudut mata Alessia, ia melihat kilasan mata Victor yang tajam, penuh perhitungan. Tidak ada kehangatan di sana, hanya hitungan untung-rugi yang rapat tersimpan. “Terima kasih, Bibi,” jawab Alessia dengan nada rendah. Ia menahan pertanyaan yang ingin meluncur dari bibirnya, pertanyaan tentang harga yang harus ia bayar untuk tawa tipis mereka. Saat hidangan pertama tiba, pintu ruang makan terbuka. Semua kepala menoleh, masuklah Drazhan, punggungnya tegap, jasnya menempel seperti pahatan. Drazhan tidak sendiri, Seraphine berjalan anggun disampingnya, seakan malam dan dunia itu miliknya. Sebuah bisik-bisik kecil terdengar di antara tamu. Bagi Alessia, pemandangan itu adalah ujung dari semua harap yang hancur, ia yang baru saja berlatih menyesuaikan senyum harus terima menatap wanita yang jelas punya tempat lain di hati suaminya. Seraphine menyapa akrab orang-orang sekitar. Kemudian mengaja Drazhan untuk duduk di sampingnya. Alessia merasakan bagaimana dirinya hanyut dalam pusaran rencana yang lebih besar daripada kebahagiaan dua insan. Ia menggenggam serbet hingga jemarinya memucat. Ia tidak tahan berada di dunia penuh kepalsuan ini. Beberapa tamu menyampaikan ucapan selamat dengan berlapis-basis kepalsuan. Ucapan yang terdengar seperti pujian sekaligus catatan jual-beli yang diingat kembali. Ia harus menanggapi semua itu dengan senyum meski dibuat-buat. Ia belajar membaca setiap nada, setiap gerak yang tampak ramah namun tajam di baliknya. Malam menutup pertemuan itu, namun ia tidak pulang ke kamar dengan perasaan aman. Ia berjalan sendirian ke balkon belakang rumah, menatap kota yang berpendar cahaya. Angin malam mengusap pipinya, dingin. Rafael muncul dari belakang tanpa suara. Ia berdiri beberapa langkah dari Alessia, tidak terlalu dekat. “Anda kuat,” katanya akhirnya. Suaranya serak, bukan karena ia ingin memuji, melainkan karena ia menatap sebuah kebobrokan yang ia ikut andil di dalamnya. Alessia menoleh. “Apa kamu menyesal?” tanyanya pelan, bukan dengan nada menuduh, melainkan ingin tahu. Kata “menyesal” melayang di udara seperti batu kecil yang menguji permukaan air. Rafael menunduk. Ada jeda panjang sebelum ia menjawab. “Terkadang. Tapi menyesal tidak mengubah apa yang sudah terjadi.” Matanya menatap jauh, menunjukan perang batin. “Tuan memerintahkan. Saya hanya menjalankan tugas.” “Dan jika tugas itu menghancurkan hidup seseorang?” suara Alessia bergetar sedikit. Rafael menutup mata, lalu membuka lagi. “Saya tidak punya jawaban yang layak.” Ia menggeser tubuhnya, berdiri lebih dekat, namun tetap ada batas yang tidak diusik. “Yang bisa saya lakukan hanyalah mengawasi agar setidaknya Anda tidak terluka parah. Itu saja.” Kalimat itu terdengar seperti taruhan kecil di antara dua manusia yang tahu benar rasa bersalah dan ketakutan. Alessia menatap Rafael, merasakan ada kebaikan kecil yang tersembunyi di balik wajah kerasnya. Namun kebaikan itu tak mampu menebus apa pun. Di lantai bawah, di ruangan lain, Seraphine tertawa singkat bersama tamu, tawa yang menggema terdengar seperti kemenangan. Sementara itu Victor dan Mariana berbincang tentang besok, rencana, pengaturan, janji-janji yang nanti akan diuangkan sebagai keuntungan. Mereka membicarakan masa depan Alessia seperti orang membicarakan warisan tanah, objek yang posisi dan nilai jualnya menjadi perhitungan utama. Malam itu, rumah besar itu tetap tenang dari luar, namun di dalamnya, tali-tali tak terlihat telah dikencangkan. Belenggu baru memang sudah melingkupi Alessia tapi belenggu itu bukan hanya bentuk penjara, ia juga akan menjadi medan yang, perlahan-lahan, bisa menguji, membakar, dan jika takdir tak kejam, mungkin suatu hari menjadikan sesuatu yang tak terduga bisa terjadi, happy ending misalnya. Semoga.Lima menit setelah kejadian di balkon, seluruh komplek mansion berubah menjadi benteng perang. Lampu sorot dinyalakan, alarm keamanan tersembunyi aktif dan puluhan anak buah Drazhan diposisikan di sudut-sudut strategis. Senjata berat muncul dari ruang bawah tanah seperti hewan buas yang dibangunkan.Drazhan duduk di tepi ranjang Alessia, mengusap perlahan pipi istrinya yang masih berdarah. Luka tipis, tapi cukup untuk membuat amarahnya melonjak melewati batas manusia.Dokter pribadi Drazhan mengobati luka Alessia tapi tangan Drazhan tidak pernah sekali pun melepaskan pinggangnya. Tubuh Alessia masih gemetar, ekspresinya pucat dan itu saja cukup untuk menyalakan neraka di dada Drazhan.Ketika dokter selesai, Drazhan berdiri dalam diam yang mematikan.Rafael tahu tanda itu. Semua orang di ruangan tahu. Drazhan bukan hanya marah. Dia berubah menjadi sesuatu yang tidak boleh dibangunkan.“Rafael,” vokalnya rendah bagai racun.“Ya, Tuan?”“Siapkan mobil lapis baja. Bawa orang-orang yang se
Malam itu sunyi, terlalu sunyi. Tidak ada burung malam, tidak ada angin yang menerpa pepohonan. Seolah dunia menahan napas.Alessia berdiri di balkon kamarnya, memandang lampu-lampu taman sendirian. Drazhan sedang berada di ruang rapat bawah, mengatur serangan selanjutnya untuk memburu Seraphine san anehnya, Alessia merasa ada sesuatu di udara yang tidak bisa ia jelaskan. Rasa dingin yang bukan berasal dari hujan. Ia memeluk dirinya, hendak masuk kembali ke kamarSaat Alessia berjalan satu langkah, ia mendengar suara kecil. Suara yang tak wajar. Ia segera menoleh dan mendapati sebuah batu kecil memantul di lantai balkon. Terikat pada seutas tali tipis warna hitam.Alessia mendekat perlahan. Jantungnya mulai berdegup aneh ketika ia meraih benda itu..Batu itu diikatkan pada sebilah gigi manusia.Darahnya langsung membeku. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan benda mengerikan itu. Sebelum Alessia bisa bergerak, sesuatu berdesing cepat dari bawah. Suara tembakan cukup keras dan kaca bal
Rumah besar milik Alexei dipenuhi ketegangan yang menajamkan udara malam. Pintu ruang kerja terbanting ketika Alexei masuk, wajahnya gelap, sorot matanya tajam seperti bilah yang baru diasah. “Dia kabur,” desisnya, suaranya rendah namun penuh ledakan yang tertahan. Viktor yang berdiri di dekat jendela langsung menoleh. “Seraphine tidak punya cukup orang untuk melakukan itu. Siapa pun yang membawanya keluar pasti bukan kelompok kecil.” Alexei menghantam meja kayu dengan tinjunya..“Dia tidak bisa menghilang begitu saja! Dia tidak cukup pintar untuk merencanakan pelarian bersih.” “Kami dapat laporan dari lapangan.” Mikhail meletakkan beberapa berkas dan foto di meja. “Orang yang membawa Seraphine kabur menghancurkan semua CCTV tapi ada satu hal, satu kesalahan kecil.” Alexei mendekat dengan langkah besar, meraih foto buram yang dicetak dari rekaman terakhir CCTV sebelum kamera dihancurkan. Gambar itu menunjukkan seorang pria berjas gelap keluar dari mobil van. Hanya sebagian wajah
Van hitam itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Udara di dalam pengap, bau besi karat dan bahan bakar memenuhi ruangan. Seraphine terseret keluar oleh dua pria bersenjata, lalu diseret ke sebuah ruangan luas yang diterangi satu lampu gantung berayun pelan. “Lepaskan dia!” Suara itu berat, dalam, dan mengandung wibawa dingin yang langsung membuat seluruh penjaga menunduk. Seraphine mendongak pelan, pandangannya kabur tapi tajam. Di hadapannya berdiri seorang pria berusia sekitar lima puluhan, mengenakan mantel hitam panjang, dengan mata tajam yang mirip dengan mata milik Drazhan, namun lebih tua, lebih licik. Pipi kirinya menyimpan luka lama yang membentuk garis miring dari tulang pipi hingga rahang. “Sergei,” desis Seraphine pelan. “Aku pikir kamu sudah mati beberapa tahun lalu, bahkan aku sempat menghadiri pemakamanmu.” Pria itu tersenyum miring. “Dunia hanya tahu apa yang kuizinkan mereka tahu.” Seraphine menatapnya lekat-lekat, lalu tertawa lirih. “Jadi, paman
Langit sore di atas gedung pengadilan tampak berat, seakan ikut menindih setiap napas yang keluar dari dada Seraphine. Ia duduk di kursi terdakwa dengan borgol di pergelangan tangan, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan senyum tipis yang selama ini menjadi senjata paling mematikan kini tak lagi mampu menyembunyikan kehancurannya.Ruang sidang dipenuhi wartawan dan pejabat tinggi. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya, kilatan lampu kamera menyambar tanpa henti. Di meja depan, jaksa membacakan tuntutan dengan suara lantang, setiap kata mengiris seperti belati.“Terdakwa Nona Seraphine dijatuhi dakwaan berlapis, penculikan, penyiksaan berat, percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Alessia Drazhan, serta pembunuhan berencana terhadap dua korban lain. Semua bukti telah dinyatakan sah dan tak terbantahkan.”Seraphine mendengar dakwaan untuknya tanpa berkedip. Semua urat-uratnya terasa menegang, ia belum siap dengan semua ini. Ia ingin memohon pada Drazhan yang hadir paling depan tapi pria
Udara di dalam sel itu lembap, bau karat bercampur keringat dan sabun murahan menyesakkan dada. Seraphine duduk bersandar pada dinding dingin di pojok ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Matanya menatap kosong pada bayangan dirinya yang terpantul samar di lantai semen yang basah.Tak ada cermin besar di sini.Tak ada cahaya kamera.Tak ada tepuk tangan, make-up, atau baju mahal yang dulu membuatnya tampak seperti dewi.Hanya wajah pucat dengan mata sembab dan rambut yang kusut, lepek oleh keringat dan air mata.Hari pertama ia masih menjerit, memaki sipir dan semua orang yang lewat di koridor. Hari kedua, ia mulai diam. Hari ketiga, semua teriakannya berubah menjadi bisikan.“Aku bukan penjahat.”“Aku hanya mencintainya.”Namun bisikan itu tak menggema ke mana pun. Dinding penjara hanya memantulkan kejujuran yang selama ini ia tutupi di balik glamor.Seraphine memejamkan mata. Dalam pikirannya, wajah Drazhan kembali muncul. Tegas, dingin. Namun dulu, ia pernah melihat senyum di wa







