Home / Romansa / Belenggu Gairah sang Presdir / BAB 3: KEPINGAN PUZZLE MASA LALU

Share

BAB 3: KEPINGAN PUZZLE MASA LALU

Author: Arinvenca
last update Huling Na-update: 2025-08-25 10:23:48

Desiran angin malam seolah membawa bisikan tak kasat mata, menyelinap melalui celah jendela besar di mansion mewah itu, namun tak mampu menembus selubung ketegangan yang menggantung di udara. Aruna merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, memekakkan telinga di tengah keheningan yang menyesakkan. Bola matanya yang gelap masih terpaku pada foto dalam bingkai itu, sebuah artefak masa lalu yang entah mengapa terasa begitu familiar, namun kini diakui sebagai sesuatu yang asing.

"Dika, tolong jujur padaku," suara Aruna terdengar lebih rapuh dari yang ia iinginka. "Anak perempuan di foto itu... itu aku, kan? Dan anak laki-laki di sampingnya... itu kau?"

Dika mendengus pelan, menatap foto itu sejenak sebelum pandangannya beralih pada Aruna, penuh keraguan. Dika melangkah mendekat, sementara tatapan Aruna tak lepas dari kedua mata Dika. Ada gurat tak terbaca di matanya, seperti teka-teki yang sengaja ia sembunyikan.

"Jangan konyol, Aruna. Kau terlalu banyak berimajinasi." Dika mengambil foto itu dengan gerakannya yang sedikit terburu-buru. "Itu hanya foto lama yang tidak sengaja kutemukan. Bukan siapa-siapa."

"Tapi kemiripannya—"

"Cukup!" Dika memotong tajam, suaranya naik satu oktaf, membuat Aruna tersentak. "Kita tidak punya waktu untuk membahas hal tak penting seperti ini. Ada sesuatu yang lebih mendesak."

Perubahan topik yang tiba-tiba itu membuat Aruna semakin curiga. Namun, tatapan dingin Dika mengunci geraknya, membungkam setiap bantahan yang ingin keluar dari bibirnya. Ia melihat Dika berjalan mendekat, aura mendominasi mengelilingi pria itu seperti kabut pekat.

"Besok," Dika mengumumkan, suaranya kembali datar namun penuh otoritas, "kita akan menikah."

Kata-kata itu menghantam Aruna seperti gelombang dingin.

"Besok?" serunya, terkejut. "Apa maksudmu, Dika? Ini terlalu mendadak! Aku bahkan tidak tahu apa-apa!" Rasa panik merayap, melilit ulu hatinya.

Pernikahan paksa ini sudah cukup menyiksa, tetapi mengumumkannya hanya satu hari sebelumnya terasa seperti pukulan telak. Ia teringat kembali bagaimana Dika memaksanya, mengikatnya dengan janji-janji dan ancaman terselubung, menjebaknya di mansion ini, sebuah sangkar emas yang perlahan mencekiknya.

"Mendadak atau tidak, itu tidak penting," jawab Dika dingin, seolah keputusannya adalah hukum yang tak terbantahkan. "Semuanya sudah diatur. Kau hanya perlu muncul dan tersenyum." Ia menatap Aruna lurus, ekspresinya sulit diartikan. "Semua persiapan sudah selesai. Jangan khawatir."

Aruna menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Rasanya seperti ia adalah pion dalam permainan catur yang rumit, dikendalikan oleh tangan tak terlihat yang menggerakkan setiap langkahnya. Ia tidak memiliki pilihan, tidak ada jalan keluar. Malam itu, Aruna tertidur dengan bayangan foto masa lalu dan kenyataan pahit pernikahan yang akan datang, saling berkelindan dalam mimpi buruknya.

*****

Keesokan harinya, fajar menyingsing dengan janji yang mengerikan. Mansion megah milik Dika, yang biasanya diselimuti keheningan nyaris sakral, kini riuh rendah dengan suara persiapan pesta. Aroma mawar putih dan lilin beraroma melati menyengat, bercampur dengan aroma masakan mewah yang disiapkan koki ternama. Langit-langit tinggi dihiasi tirai sutra menjuntai dan lampu kristal berkelip, memantulkan cahaya gemerlap ke setiap sudut ruangan.

Namun, di tengah kemeriahan yang dipaksakan itu, Aruna merasa semakin terganggu. Gaun pengantin putih bersih yang membalut tubuhnya terasa seperti belenggu, berat dan menyesakkan. Sepatu hak tinggi yang indah mencengkeram kakinya, setiap langkah terasa sakit dan berat. Ia berjalan menyusuri koridor marmer yang luas, menuju aula utama di mana para tamu sudah berkumpul.

Sesuai kata Dika, daftar tamu yang hadir memang terbatas. Hanya keluarga dan kerabat dekat. Tetapi pandangan Aruna menangkap sesuatu yang lain. Mata-mata yang memandanginya bukan mata penuh kehangatan, melainkan penuh perhitungan dan rasa ingin tahu yang tajam.

Mereka berbisik-bisik di balik tangan, senyum mereka terlalu lebar, tawa mereka terlalu nyaring. Aruna bisa merasakan aura licik terpancar dari sebagian besar tamu undangan itu, membuat bulu kuduknya merinding. Ia merasa seperti domba yang diarak masuk ke sarang serigala.

Dalam keramaian itu, Aruna merasa sangat kecil dan sendirian. Mansion yang begitu luas, yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, justru terasa seperti ruang hampa yang memperparah kesepiannya. Ia mencoba tersenyum, mencoba terlihat baik-baik saja, tetapi jiwanya terasa hancur berkeping-keping. Suara musik orkestra yang menggema hanya menambah kebisingan dalam pikirannya, tak mampu menenggelamkan suara-suara keraguan dan ketakutan.

Saat ia berdiri di sudut aula, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, sebuah sentuhan lembut mendarat di lengannya. Aruna tersentak, lalu berbalik. Seorang wanita paruh baya berdiri di sampingnya, mengenakan kebaya sutra elegan yang serasi dengan suasana. Wajahnya ramah, dengan mata yang memancarkan kehangatan dan senyum yang tulus, jauh berbeda dari tatapan tamu lainnya.

"Kau pasti Aruna," wanita itu berucap lembut, suaranya menenangkan seperti melodi yang manis. "Aku Widya. Ibu Dika."

Aruna mengangguk canggung, membalas senyumnya dengan senyum tipis. "Selamat siang, Nyonya."

"Tidak perlu terlalu formal, sayang. Panggil Mama saja," ia tersenyum, menggenggam tangan Aruna. Jemarinya terasa hangat dan menenangkan. "Kau terlihat cantik sekali hari ini, seperti bidadari."

Pujian itu, yang tulus, terasa seperti oase di tengah gurun kegelisahan Aruna. Ia merasakan sedikit ketegangan dalam dirinya mereda. "Terima kasih, Ma," ia berucap tulus.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Widya, suaranya penuh perhatian, seolah ia bisa membaca keresahan di mata Aruna. "Pernikahan besar pasti melelahkan, ya?"

Aruna menatap mata Widya. Ada kehangatan dan pengertian di sana yang belum ia temukan pada siapa pun di mansion ini. Untuk sesaat, ia merasa bisa bernapas lega, beban di dadanya sedikit terangkat.

"Sedikit... tidak nyaman, Ma," ia mengakui. "Terlalu banyak orang. Saya tidak terbiasa."

Widya mengangguk. "Tentu saja. Dika memang selalu suka hal-hal besar. Tapi jangan khawatir. Jika ada apa-apa, kau bisa bicara padaku, ya?" Ia mengusap punggung tangan Aruna. "Anggap saja aku ibumu sendiri."

Kata-kata itu meresap dalam hati Aruna, membawa sedikit ketenangan yang sangat dibutuhkan. Di tengah semua kegelisahan dan rasa asing, kehadiran Widya terasa seperti pelukan hangat. Aruna membalas genggaman tangan Widya, rasa nyaman yang asing namun begitu melegakan menyelimutinya.

“Aku tahu pernikahan ini mendadak untukmu, juga untuk Dika,” suaranya kini lebih pelan. “Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Terutama Dika, dia menanggung beban yang sangat berat.”

Aruna hanya mendengarkan, mencoba mencari tahu ke mana arah pembicaraan ini. Apakah Widya akan memberinya peringatan, atau sekadar basa-basi?

Widya memejamkan mata sejenak, seolah menahan beban yang sangat berat. “Banyak hal terjadi, Aruna. Setelah Naya tiada… dunia kami berubah. Dunia Dika, terutama.”

“Naya? Bukankah itu... ibu Aruna,” lirih Aruna dengan beribu pertanyaan dalam benaknya, apa yang sebenarnya terjadi.

“Ada… ada sebuah fakta mengejutkan yang tersembunyi, Nak,” Widya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Tentang ibumu, tentang Dharana. Tentang alasan Dika bersikap seperti sekarang.”

“Fakta apa Ma? Katakan sekarang, apa hubungannya dengan ibunya Aruna?” tegas Aruna menuntut jawaban dari Widya.

“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Aruna,” Widya menarik napas dalam-dalam. “Bukan aku yang harus mengatakannya padamu. Dika… Dika harus menceritakannya sendiri. Dia telah menanggung beban ini terlalu lama, sendirian. Biarkan dia yang menemukan kekuatannya untuk mengungkap semuanya.”

Hati Aruna terasa perih. Sebuah pintu baru saja terbuka, menunjukkan kepingan puzzle yang hilang dari masa lalunya, hanya untuk kemudian ditutup lagi oleh pernyataan Widya. Ia merasa lebih bingung, lebih hampa dari sebelumnya. Rasa sakit dari pernikahan paksa bercampur dengan kebingungan akan masa lalu yang ternyata terhubung erat, dan rahasia yang masih disembunyikan.

Widya memegang tangan Aruna, genggamannya lembut namun tegas. “Satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira, dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan, beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”

Dari kejauhan, di antara kerumunan tamu yang sibuk bersulang dan tertawa, Dika berdiri tegak. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Aruna. Ia melihat interaksi antara Aruna dan ibunya, gurat-gurat ekspresi di wajah Aruna serta wajah tegang Widya dan tidak luput dari pengawasannya.

Dika menyesap sampanye di gelasnya, matanya menyipit. Apa yang sedang mereka bicarakan, ada hal serius apa yang mereka sembunyikan darinya. Namun di sisi lain ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak, sesuatu yang ia tekan jauh di dalam. Sebuah rahasia, sebuah tujuan yang tersembunyi di balik pernikahan megah ini.

Ada alasan mengapa ia memilih tamu-tamu tertentu, mengapa ia mempercepat segalanya, dan mengapa foto lama itu begitu penting baginya. Hatinya bergemuruh dengan kompleksitas emosi yang tak seorang pun boleh mengetahuinya. Ia mengalihkan pandangannya dari Aruna, membiarkan bayangan kecurigaan dan rahasia menggantung di udara, seperti pedang Damocles yang siap jatuh kapan saja. Apakah Aruna akan pernah menemukan apa yang sebenarnya ia sembunyikan, atau akankah pernikahan ini menjadi awal dari jebakan yang lebih dalam dari yang ia duga?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 15: Dia Datang Kembali

    "Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 14: Kehidupan Abadi?

    “Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 13: Ambang Kematian

    —seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 12: Lingkungan Baru

    “Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 11: Takut Kehilangan

    …Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah

  • Belenggu Gairah sang Presdir   Bab 10: Sedikit Khawatir

    Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status