Desiran angin malam seolah membawa bisikan tak kasat mata, menyelinap melalui celah jendela besar di mansion mewah itu, namun tak mampu menembus selubung ketegangan yang menggantung di udara. Aruna merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, memekakkan telinga di tengah keheningan yang menyesakkan. Bola matanya yang gelap masih terpaku pada foto dalam bingkai itu, sebuah artefak masa lalu yang entah mengapa terasa begitu familiar, namun kini diakui sebagai sesuatu yang asing.
"Dika, tolong jujur padaku," suara Aruna terdengar lebih rapuh dari yang ia iinginka. "Anak perempuan di foto itu... itu aku, kan? Dan anak laki-laki di sampingnya... itu kau?"
Dika mendengus pelan, menatap foto itu sejenak sebelum pandangannya beralih pada Aruna, penuh keraguan. Dika melangkah mendekat, sementara tatapan Aruna tak lepas dari kedua mata Dika. Ada gurat tak terbaca di matanya, seperti teka-teki yang sengaja ia sembunyikan.
"Jangan konyol, Aruna. Kau terlalu banyak berimajinasi." Dika mengambil foto itu dengan gerakannya yang sedikit terburu-buru. "Itu hanya foto lama yang tidak sengaja kutemukan. Bukan siapa-siapa."
"Tapi kemiripannya—"
"Cukup!" Dika memotong tajam, suaranya naik satu oktaf, membuat Aruna tersentak. "Kita tidak punya waktu untuk membahas hal tak penting seperti ini. Ada sesuatu yang lebih mendesak."
Perubahan topik yang tiba-tiba itu membuat Aruna semakin curiga. Namun, tatapan dingin Dika mengunci geraknya, membungkam setiap bantahan yang ingin keluar dari bibirnya. Ia melihat Dika berjalan mendekat, aura mendominasi mengelilingi pria itu seperti kabut pekat.
"Besok," Dika mengumumkan, suaranya kembali datar namun penuh otoritas, "kita akan menikah."
Kata-kata itu menghantam Aruna seperti gelombang dingin.
"Besok?" serunya, terkejut. "Apa maksudmu, Dika? Ini terlalu mendadak! Aku bahkan tidak tahu apa-apa!" Rasa panik merayap, melilit ulu hatinya.
Pernikahan paksa ini sudah cukup menyiksa, tetapi mengumumkannya hanya satu hari sebelumnya terasa seperti pukulan telak. Ia teringat kembali bagaimana Dika memaksanya, mengikatnya dengan janji-janji dan ancaman terselubung, menjebaknya di mansion ini, sebuah sangkar emas yang perlahan mencekiknya.
"Mendadak atau tidak, itu tidak penting," jawab Dika dingin, seolah keputusannya adalah hukum yang tak terbantahkan. "Semuanya sudah diatur. Kau hanya perlu muncul dan tersenyum." Ia menatap Aruna lurus, ekspresinya sulit diartikan. "Semua persiapan sudah selesai. Jangan khawatir."
Aruna menelan ludah, tenggorokannya tercekat. Rasanya seperti ia adalah pion dalam permainan catur yang rumit, dikendalikan oleh tangan tak terlihat yang menggerakkan setiap langkahnya. Ia tidak memiliki pilihan, tidak ada jalan keluar. Malam itu, Aruna tertidur dengan bayangan foto masa lalu dan kenyataan pahit pernikahan yang akan datang, saling berkelindan dalam mimpi buruknya.
*****
Keesokan harinya, fajar menyingsing dengan janji yang mengerikan. Mansion megah milik Dika, yang biasanya diselimuti keheningan nyaris sakral, kini riuh rendah dengan suara persiapan pesta. Aroma mawar putih dan lilin beraroma melati menyengat, bercampur dengan aroma masakan mewah yang disiapkan koki ternama. Langit-langit tinggi dihiasi tirai sutra menjuntai dan lampu kristal berkelip, memantulkan cahaya gemerlap ke setiap sudut ruangan.
Namun, di tengah kemeriahan yang dipaksakan itu, Aruna merasa semakin terganggu. Gaun pengantin putih bersih yang membalut tubuhnya terasa seperti belenggu, berat dan menyesakkan. Sepatu hak tinggi yang indah mencengkeram kakinya, setiap langkah terasa sakit dan berat. Ia berjalan menyusuri koridor marmer yang luas, menuju aula utama di mana para tamu sudah berkumpul.
Sesuai kata Dika, daftar tamu yang hadir memang terbatas. Hanya keluarga dan kerabat dekat. Tetapi pandangan Aruna menangkap sesuatu yang lain. Mata-mata yang memandanginya bukan mata penuh kehangatan, melainkan penuh perhitungan dan rasa ingin tahu yang tajam.
Mereka berbisik-bisik di balik tangan, senyum mereka terlalu lebar, tawa mereka terlalu nyaring. Aruna bisa merasakan aura licik terpancar dari sebagian besar tamu undangan itu, membuat bulu kuduknya merinding. Ia merasa seperti domba yang diarak masuk ke sarang serigala.
Dalam keramaian itu, Aruna merasa sangat kecil dan sendirian. Mansion yang begitu luas, yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, justru terasa seperti ruang hampa yang memperparah kesepiannya. Ia mencoba tersenyum, mencoba terlihat baik-baik saja, tetapi jiwanya terasa hancur berkeping-keping. Suara musik orkestra yang menggema hanya menambah kebisingan dalam pikirannya, tak mampu menenggelamkan suara-suara keraguan dan ketakutan.
Saat ia berdiri di sudut aula, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, sebuah sentuhan lembut mendarat di lengannya. Aruna tersentak, lalu berbalik. Seorang wanita paruh baya berdiri di sampingnya, mengenakan kebaya sutra elegan yang serasi dengan suasana. Wajahnya ramah, dengan mata yang memancarkan kehangatan dan senyum yang tulus, jauh berbeda dari tatapan tamu lainnya.
"Kau pasti Aruna," wanita itu berucap lembut, suaranya menenangkan seperti melodi yang manis. "Aku Widya. Ibu Dika."
Aruna mengangguk canggung, membalas senyumnya dengan senyum tipis. "Selamat siang, Nyonya."
"Tidak perlu terlalu formal, sayang. Panggil Mama saja," ia tersenyum, menggenggam tangan Aruna. Jemarinya terasa hangat dan menenangkan. "Kau terlihat cantik sekali hari ini, seperti bidadari."
Pujian itu, yang tulus, terasa seperti oase di tengah gurun kegelisahan Aruna. Ia merasakan sedikit ketegangan dalam dirinya mereda. "Terima kasih, Ma," ia berucap tulus.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Widya, suaranya penuh perhatian, seolah ia bisa membaca keresahan di mata Aruna. "Pernikahan besar pasti melelahkan, ya?"
Aruna menatap mata Widya. Ada kehangatan dan pengertian di sana yang belum ia temukan pada siapa pun di mansion ini. Untuk sesaat, ia merasa bisa bernapas lega, beban di dadanya sedikit terangkat.
"Sedikit... tidak nyaman, Ma," ia mengakui. "Terlalu banyak orang. Saya tidak terbiasa."
Widya mengangguk. "Tentu saja. Dika memang selalu suka hal-hal besar. Tapi jangan khawatir. Jika ada apa-apa, kau bisa bicara padaku, ya?" Ia mengusap punggung tangan Aruna. "Anggap saja aku ibumu sendiri."
Kata-kata itu meresap dalam hati Aruna, membawa sedikit ketenangan yang sangat dibutuhkan. Di tengah semua kegelisahan dan rasa asing, kehadiran Widya terasa seperti pelukan hangat. Aruna membalas genggaman tangan Widya, rasa nyaman yang asing namun begitu melegakan menyelimutinya.
“Aku tahu pernikahan ini mendadak untukmu, juga untuk Dika,” suaranya kini lebih pelan. “Ada banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Terutama Dika, dia menanggung beban yang sangat berat.”
Aruna hanya mendengarkan, mencoba mencari tahu ke mana arah pembicaraan ini. Apakah Widya akan memberinya peringatan, atau sekadar basa-basi?
Widya memejamkan mata sejenak, seolah menahan beban yang sangat berat. “Banyak hal terjadi, Aruna. Setelah Naya tiada… dunia kami berubah. Dunia Dika, terutama.”
“Naya? Bukankah itu... ibu Aruna,” lirih Aruna dengan beribu pertanyaan dalam benaknya, apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada… ada sebuah fakta mengejutkan yang tersembunyi, Nak,” Widya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. “Tentang ibumu, tentang Dharana. Tentang alasan Dika bersikap seperti sekarang.”
“Fakta apa Ma? Katakan sekarang, apa hubungannya dengan ibunya Aruna?” tegas Aruna menuntut jawaban dari Widya.
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang, Aruna,” Widya menarik napas dalam-dalam. “Bukan aku yang harus mengatakannya padamu. Dika… Dika harus menceritakannya sendiri. Dia telah menanggung beban ini terlalu lama, sendirian. Biarkan dia yang menemukan kekuatannya untuk mengungkap semuanya.”
Hati Aruna terasa perih. Sebuah pintu baru saja terbuka, menunjukkan kepingan puzzle yang hilang dari masa lalunya, hanya untuk kemudian ditutup lagi oleh pernyataan Widya. Ia merasa lebih bingung, lebih hampa dari sebelumnya. Rasa sakit dari pernikahan paksa bercampur dengan kebingungan akan masa lalu yang ternyata terhubung erat, dan rahasia yang masih disembunyikan.
Widya memegang tangan Aruna, genggamannya lembut namun tegas. “Satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira, dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan, beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”
Dari kejauhan, di antara kerumunan tamu yang sibuk bersulang dan tertawa, Dika berdiri tegak. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Aruna. Ia melihat interaksi antara Aruna dan ibunya, gurat-gurat ekspresi di wajah Aruna serta wajah tegang Widya dan tidak luput dari pengawasannya.
Dika menyesap sampanye di gelasnya, matanya menyipit. Apa yang sedang mereka bicarakan, ada hal serius apa yang mereka sembunyikan darinya. Namun di sisi lain ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak, sesuatu yang ia tekan jauh di dalam. Sebuah rahasia, sebuah tujuan yang tersembunyi di balik pernikahan megah ini.
Ada alasan mengapa ia memilih tamu-tamu tertentu, mengapa ia mempercepat segalanya, dan mengapa foto lama itu begitu penting baginya. Hatinya bergemuruh dengan kompleksitas emosi yang tak seorang pun boleh mengetahuinya. Ia mengalihkan pandangannya dari Aruna, membiarkan bayangan kecurigaan dan rahasia menggantung di udara, seperti pedang Damocles yang siap jatuh kapan saja. Apakah Aruna akan pernah menemukan apa yang sebenarnya ia sembunyikan, atau akankah pernikahan ini menjadi awal dari jebakan yang lebih dalam dari yang ia duga?
“Jangan harap kau bisa jadi orang sukses kalau terus malas-malasan seperti ini, Aruna! Bersihkan seluruh rumah dan siapkan makanan! Dasar anak pembawa sial, kalau saja ibumu tidak menikah dengan Indrawan, mungkin nasibnya tidak akan sial seperti ini!”Suara bentakan itu menggema di kepalanya, menusuk jauh ke dalam dada. Aruna terlonjak dari tidurnya dengan napas yang terengah, dan keringat dingin membasahi pelipis. Aruna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memastikan bibinya tidak ada di sini, tapi kata-kata terlalu nyata, seakan baru saja dilontarkan ke telinganya.Ia baru menyadari kalau Dika sudah tidak ada di sampingnya, hanya menyisakan sunyi dan sepi. Hari pertamanya sebagai Nyonya Prasetya seharusnya diisi dengan penyesuaian, dengan mencoba mencari celah untuk bernapas di dalam sangkar emas.Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru memecah kesunyian yang tebal, disusul oleh bisikan cemas para pelayan dari lantai bawah. Jantung Aruna berdegup lebih kencang. Fir
“satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira. Dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan. Beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”Kata-kata Widya menggema di benak Aruna, meninggalkan jejak kekhawatiran yang mendalam. Apa sebenarnya yang disembunyikan Dika? Apa rahasia mengejutkan yang berkaitan dengan ibunya dan Dharana? Aruna menatap cincin di jari manisnya, yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya sebagai simbol ikatan paksa, tetapi juga sebagai kunci menuju misteri yang lebih besar.Pesta pernikahan siang itu telah lama usai, namun kegelisahan Aruna justru baru dimulai. Gelap malam menyelimuti, tetapi bayangan foto usang waktu itu masih menari-nari di pelupuk matanya, diselingi bisikan tajam tentang fakta yang Dika sembunyikan.Udara di dalam kamar pengantin yang seharusnya romantis teras
Desiran angin malam seolah membawa bisikan tak kasat mata, menyelinap melalui celah jendela besar di mansion mewah itu, namun tak mampu menembus selubung ketegangan yang menggantung di udara. Aruna merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, memekakkan telinga di tengah keheningan yang menyesakkan. Bola matanya yang gelap masih terpaku pada foto dalam bingkai itu, sebuah artefak masa lalu yang entah mengapa terasa begitu familiar, namun kini diakui sebagai sesuatu yang asing."Dika, tolong jujur padaku," suara Aruna terdengar lebih rapuh dari yang ia iinginka. "Anak perempuan di foto itu... itu aku, kan? Dan anak laki-laki di sampingnya... itu kau?"Dika mendengus pelan, menatap foto itu sejenak sebelum pandangannya beralih pada Aruna, penuh keraguan. Dika melangkah mendekat, sementara tatapan Aruna tak lepas dari kedua mata Dika. Ada gurat tak terbaca di matanya, seperti teka-teki yang sengaja ia sembunyikan."Jangan konyol, Aruna. Kau terlalu banyak berimajinasi." Dika mengambil fo
Deru mesin sedan mewah itu akhirnya melunak, berganti dengan suara kerikil tajam yang berderak di bawah tekanan ban. Selama dua jam perjalanan yang sunyi, hanya ada ketegangan yang menggantung pekat di udara. Dika mengeraskan rahangnya, kembali memasang topeng dingin yang telah ia latih selama berminggu-minggu untuk momen krusial. Ia melirik Aruna dari sudut matanya. Gadis itu mematung, wajahnya pucat pasi memandang ke luar jendela, menatap bangunan kolosal yang menjulang di hadapan mereka.Mansion itu bukan sekadar rumah. Ia adalah benteng modern yang terbuat dari kaca, baja hitam, dan beton ekspos, berdiri angkuh di tengah pelukan hutan pinus yang rapat. Cahaya senja keemasan menembus kanopi pepohonan, melukis bayangan-bayangan panjang yang seolah menari di dindingnya, membuatnya tampak hidup dan mengintimidasi."Turun," perintah Dika, suaranya datar, tanpa emosi.Aruna tidak bergerak. Napasnya tercekat. Aroma pinus dan tanah basah yang menyusup ke dalam mobil terasa menyesakkan. Di
Jantungnya berdebar kencang serta tangan yang gemetar saat meraih gagang pintu, keringat dingin pun mulai bercucuran di dahinya. Ia baru bisa sedikit bernafas lega ketika sudah berada di luar pekarangan rumah paman dan bibinya itu, dengan langkah hati-hati, ia pergi meski tidak tahu arah tujuan. Di sinilah ia, Aruna, berusia 21 tahun, seorang buronan dari takdirnya sendiri, terdampar di sudut kota yang asing. Rasa putus asa mulai merayap naik, lebih dingin dari gerimis yang membasahi rambutnya. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Di mana dia akan tidur? Pikiran itu terputus oleh sebuah suara. Bukan suara klakson atau deru motor yang biasa terdengar, suara yang satu ini berbeda. Sebuah sedan hitam legam yang berkilau berhenti tepat di mulut gang, seolah sengaja memblokir satu-satunya jalan keluar. Jantung Aruna yang tadinya sudah mulai tenang kini berdebar lagi dengan ritme yang liar dan panik. Pintu mobil di sisi pengemudi terbuka dengan gerakan yang anggun dan tanpa suara, diikut