Share

5 // Secret Admirer

Alunan suara percintaan yang keras menggema membuat udara semakin pekat dan berat untuk Mika, yang sudah sejak tadi tubuhnya terus dipacu tanpa henti oleh Rafka.

"Ungghh..."

Rafka menyunggingkan seringai tipis penuh makna, kala mendengar lenguhan seksi yang lolos dari bibir sensual Mika.

Ah, dia sendiri pun sesungguhnya tak mampu mengendalikan rasa lapar dan dahaga yang membabi-buta ini kepada tubuh indah mantan istrinya.

Mika masih tetap sempurna, sama seperti 3 tahun yang lalu. Kulit seputih dan selembut kapas tanpa cela, pinggul dan dadda yang bulat ideal dan wajah cantik seperti bidadari.

Rafka menggeretakkan gerahamnya ketika serbuan gelora kembali membakar tubuhnya dari dalam.

Damned.

Meski enggan mengakui, namun pada hakikatnya memang hanya Mika yang mampu membuatnya hasratnya membumbung tinggi tanpa tahu apakah bisa turun kembali.

Ia mengangkat kaki kedua kaki jenjang Mika semakin ke atas, lalu kembali menghujam dengan semakin keras.

Rintihan Mika yang berulang kali terdengar membuatnya makin bernafsu untuk bergerak semakin beringas menjemput puncak kenikmatan.

Mika melenguh ketika wajah Rafka kini berada di dadaanya, mengulum salah satu puncak bulat merah muda dengan mulutnya dan menggigitnya pelan karena gemas.

Setelah puas, Rafka mengangkat wajahnya sembari menarik pergelangan tangan Mika hingga kini mereka berdua sama-sama duduk.

Kini Mika telah berada di atas pangkuannya, tanpa melepas penyatuan mereka di bawah sana.

Rafka mendongak, sejenak menghentikan gerakannya untuk menatap lekat wajah mantan istrinya yang berkilau karena keringat namun masih tetap terlihat menawan.

Mika membalas tatapan tajam sebiru kristal milik pria itu, dengan maniknya yang gelap dan sayu karena lelah dan gairah yang berpadu.

Tak ada yang beraksara, hanya deru napas Mika yang memburu yang terdengar di antara mereka.

Wanita bersurai panjang itu terpaku pada sorot yang terpancar dari bola mata biru Rafka, dengan berbagai macam emosi yang campur aduk di dalamnya.

Baik dulu maupun sekarang, Mika selalu merasa bahwa Rafka adalah pemilik bola mata yang terindah di dunia.

Warna bola mata biru terang yang berkilau serupa kristal yang selalu berhasil membuatnya terpesona.

Dulu bola mata itu selalu menatap Mika dengan teduh dan penuh cinta, sangat jauh berbeda dengan apa yang ia saksikan sekarang.

Manik biru Rafka itu kini memancarkan kemarahan, kebencian, dendam yang jelas ditujukan kepada Mika.

Tapi...

Sedetik. Hanya sedetik saja, Mika terkesiap pelan saat melihat sesuatu yang berbeda di bola mata terindah itu.

Sesuatu seperti... kerinduan.

Tidak, tidak mungkin Rafka merindukan dirinya, kan?

Rafka sangat membenci dirinya hingga ke tulang sumsum, bahkan pria ini pun masih terlihat membencinya meskipun saat ini mereka sedang bercinta dengan sepenuh gelora.

Mika pun segera menepis praduganya yang tak beralasan itu, meyakini bahwa ia telah salah lihat.

Meskipun satu sudut kecil di hatinya seakan kini benderang dengan sinar penuh harapan, bahwa mungkin saja Rafka... tidak terlalu menbencinya seperti dulu lagi.

Tapi untuk apa ia berharap?

Toh mereka bercinta bukan karena masih saling mencinta, tapi karena...

Entahlah karena apa, sejujurnya Mika pun tak mengerti jawabannya.

Tubuhnya hanya otomatis memberikan reaksi atas sentuhan Rafka. Mungkin justru sebenarnya dirinyalah yang merindukan pria ini.

Mereka masih saling beradu tatap, saat tiba-tiba saja Mika pun tersentak dan menjerit kecil ketika Rafka kembali menghujam kuat dirinya dari bawah tanpa aba-aba.

"Raf... uungh..."

Hujaman Rafka yang keras dan bertubi-tubi membuat seluruh tulang Mika serasa lemas tak bertenaga.

Wanita itu pun akhirnya menjatuhkan kepalanya untuk bersandar di atas pundak Rafka, tubuhnya yang merosot tak berdaya ditahan oleh lengan Rafka yang memeluk erat pinggangnya.

Lelah.

Mika memejamkan kedua matanya, pasrah ketika Rafka terus menikam dirinya dengan keras dan cepat.

Kesadarannya yang mulai perlahan mulai menghilang, telah sirna seluruhnya saat Rafka telah menggapai kepuasannya.

Wanita itu bahkan telah tak sadarkan diri dan tak menyadari... saat Rafka menyebut lembut namanya, lalu mencium bibirnya dengan penuh damba.

***

"Fuckk!!"

Umpatan pelan itu lolos dari bibir Rafka, saat dirinya menatap pantulan dirinya sendiri yang terlihat menyedihkan di cermin kamar mandi.

Rasa itu kembali hadir lagi.

Rafka tidak mengira akan kembali merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya, seolah ada pisau imajiner yang mengirisnya di sana.

Rasa sakit dan nyeri yang sama seperti 3 tahun yang lalu, saat memergoki wanita yang ia cintai tengah berada di ranjang dengan lelaki lain.

"Jangan hiraukan, Rafka. Abaikan! Hilangkan bayangan Mika dan lelaki brengsekk itu dari pikiranmu!"

Rafka mengira bercinta dengan mantan istrinya adalah bagian dari rencana balas dendamnya, membuat Mika terjebak dengan hasrat dan menghancurkan hubungan mantan istrinya itu dengan Ervan, calon suaminya.

Namun ia tidak mengira jika ternyata hal itu juga turut memicu kenangan menyakitkan yang ingin sekali ia buang dari otaknya.

"Aku tidak akan membiarkan diriku kembali jatuh dan tenggelam ke dalam lubang hitam itu lagi," desis pria itu sambil menatap lekat pantulan manik biru kristalnya dari cermin.

Tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya selama tiga tahun ini ia berjuang untuk menyembuhkan seluruh jati dirinya yang hancur berantakan, karena pengkhianatan kejam dari wanita yang ia cintai dengan seluruh hatinya.

Tak ada yang tahu bahwa selama berada di Swiss, ia sesungguhnya sedang bersembunyi dan menderita karena... sakit.

Rafka meraih ponsel dari saku bath robe putih yang ia kenakan, lalu segera mencari nomor Ruby, sahabat sekaligus psikiater yang selama 3 tahun ini menjadi tempatnya berkonsultasi.

Sambil berusaha mengatur napasnya yang mulai tersengal, Rafka menyandarkan punggungnya di dinding kamar mandi.

Kepalanya serasa berputar-putar tanpa henti, dan pandangannya semakin menggelap seolah ada seseorang yang melemparkan kain hitam ke wajahnya.

"Ruby... aku butuh bantuanmu," ucap Rafka saat nada sambung telah terganti dengan suara sapaan yang terdengar familier.

"Rafka? Ada apa?" Suara bernada cemas pun terdengar dari seberang sana. "Jangan bilang kalau kamu benar-benar menemui Mika lagi! Dia tidak sepadan untuk semua pengorbananmu, Raf! Jauhi Mika dan relakan saja dia."

Jauhi Mika? Ya, benar.

Seharusnya itulah yang dilakukan Rafka, Jauhi sumber dari penderitaannya, jauhi sumber permasalahan yang telah membuat hidupnya berantakan.

Tapi ia tak bisa menahan diri untuk kembali ke Indonesia, ketika mendengar berita bahwa Mika akan menikah. Sesuatu di dalam dirinya seolah murka dan marah. Tak rela jika Mika bahagia, padahal ia di sini setengah mati menderita!

Seluruh dunianya pun seketika... gelap gulita.

"Tolong aku, Ruby, Aku... tidak bisa melihat lagi, seperti 3 tahun yang lalu. Tolong aku."

***

"Mmmhh..."

Mika perlahan membuka kedua kelopak matanya sambil merintih lirih. Tubuhnya masih meminta untuk melanjutkan istirahatnya, namun logikanya menuntutnya untuk segera bangun dan membersihkan diri.

"Ssshhh...." suara desis lirih keluar dari bibirnya, ketika hendak bergerak untuk turun dari ranjang.

Argh!! Dasar Rafka sialan! Pria itu benar-benar beringas dan tanpa henti menyetubuhinya, membuat bagian bawah tubuhnya terasa perih dan agak nyeri.

Ya ampun. Mika jadi merasa seperti malam pertamanya saja kalau begini. Mungkin karena selama tiga tahun ini ia tidak pernah bercinta lagi, sejak ia bercerai dari Rafka.

Sejenak wanita bersurai panjang itu pun tercekat ketika melihat bagaimana kacaunya ranjang tempatnya berbagi keringat semalaman dengan Rafka.

Seharusnya tidak begini. Rafka dan dirinya telah bercerai, dan ia akan segera menikah dengan Ervan...

Mika menggigit bibirnya sembari merutuki kebodohannya yang mudah sekali tergoda oleh Rafka seperti jalangg, Aarghh!! Itu tidak boleh terjadi lagi, atau Ervan akan tahu.

Suara denting bel membuat Mika tersadar. Ia buru-buru mengenakan bath robe dan berjalan tertatih menuju ke arah pintu depan unit apartemennya. Sekilas ia melihat ke seluruh penjuru, dan sangat bersyukur saat tidak menemukan Rafka dimana pun.

Semoga saja pria itu sudah pergi. Uh, mulai sekarang ia benar-benar harus menghindari mantan suaminya itu!!

Mika membuka pintu apartemennya, dan sangat terkejut ketika tidak menemukan siapa pun di sana. Keningnya berkerut sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yang mungkin tadi menekan bel, namun seluruh lorong di lantai itu terlihat kosong.

"Ck. Pasti orang iseng," gumannya sembari berdecak kesal.

Namun saat Mika hendak menutup pintu, tetiba maniknya menangkap sesuatu yang berada di bawah pintu.

"Bunga?" desisnya pelan, melihat sebuah buket bunga mawar berwarna merah yang dibungkus kertas hitam. Mika meraih benda itu, menatapnya heran sambil mencari kartu pengirimnya.

"Apa ini dari Ervan?" gumannya lagi, merasa tak yakin karena Ervan adalah tipe yang suka memberinya bunga secara langsung.

Akhirnya Mika menemukan secarik kertas berwarna hitam dengan tulisan dari tinta emas, dan mulai membacanya secara perlahan dalam hati.

"Dear Mika,

Langitku berubah kelabu

Pelangiku luruh dan lebur bersama abu

Luka ini pasti tak seberapa bagimu,

tapi sungguh, seluruh dunia bagiku

Haruskah kubunuh dia, ataukah kubunuh saja cintaku?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status