Seminggu setelah mama menghilang, tidak ada kabar sama sekali dari pihak kepolisian. Mama seperti hilang ditelan bumi.
Sementara Om Abimanyu katanya harus kembali ke Jakarta, mendapat panggilan kerja dari papanya. Karena orang tua Om Abimanyu ingin pensiun, makanya Om Abimanyu berhenti bekerja sebagai dokter. Dulu kata mama orang tua Om Abimanyu memiliki jabatan tinggi di perusahaan pusat, sementara mama bekerja di bagian kantor cabang di Surabaya. "Flo, aku tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian di sini. Ikutlah aku ke Jakarta, jika aku pulang tanpa kamu aku akan kena amukan dari orang tuaku karena mengabaikan istriku." Istri ... Aku tidak berani menganggap diriku ini adalah istri Om Abimanyu. Makanya aku tidak meminta pertanggung jawaban apapun. Meski Suara Om Abimanyu bernada rendah, tapi seperti ada tekanan dimana membuat aku takut untuk menolak. Mana aku orang yang tidak enakan. "Tapi mama bagaimana? Aku takut saat mama pulang terus aku tidak ada mama akan khawatir," jawabku resah. "Kalau mama kamu pulang, pastinya dia akan menghubungimu bukan? Kita bisa tinggalkan catatan pemberitahuan di rumah kamu, serta alamat rumah kita yang baru," jawab Om Abimanyu meyakinkan. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk pasrah, pada kenyatannya saat ini aku tidak mampu hidup sendiri. "Om ... Nanti sesampainya di Jakarta bisakah mencarikan aku pekerjaan? Aku—masih ingin kuliah. Mama selalu berharap aku mendapat pendidikan sampai tinggi lalu memiliki karir yang bagus. Aku ingin membuat mama bangga," pintaku memohon. "Kamu tidak perlu cemas, masalah itu semua sudah menjadi tanggung jawab aku. Kamu hanya perlu fokus kuliah dan belajar, semua kebutuhan aku yang tanggung. Bagaimanapun juga kamu adalah istriku!" Entah kenapa, setiap kali Om Abimanyu mengungkit tentang identitas itu mengingatkan aku dengan mama dan rasa ketakutan tersendiri. Perasaan aneh, tapi aku tidak tahu itu firasat apa. "Om, lalu kapan kita akan mengurus surat perceraian?" tanyaku meminta kepastian. "Aku tidak bisa menceraikan kamu sekarang, Flo. Karena hanya dengan identitas itu aku dapat menjagamu. Kalau aku membiarkan kamu tinggal di rumah tanpa identitas, yang ada aku akan mendapat hujatan dikira aku gadun yang memelihara sugar baby. Paling tidak sampai kamu sudah lulus kuliah dan menjadi wanita mandiri!" tegas Om Abimanyu. "Tapi—kalau ternyata mama tidak kembali bagaimana? Apakah Om Abimanyu tidak berpikir untuk menikah lagi dengan wanita lain? Aku lulus kuliah butuh waktu bertahun-tahun, itu akan mempersulit Om Abimanyu mencari jodoh kalau masih ada ikatan status denganku." Usia Om Abimanyu sudah memasuki 36 tahun, pastinya butuh istri yang sesungguhnya dan juga seorang anak. "Kamu tidak perlu memikirkan aku, Flo. Fokuslah pada masa depanmu. Tugasmu hanya belajar dan belajar." Aku merasa terharu, Om Abimanyu tidak memiliki ikatan darah denganku. Tapi kenapa sebaik ini sampai mau menanggung biaya pendidikan dan kebutuhan aku? Aku berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak menyia-nyiakan pengorbanan Om Abimanyu. Aku harus belajar rajin dan bisa membuat bangga Om Abimanyu serta mama. Kamipun melakukan penerbangan dari Surabaya—Jakarta. Ini adalah kepergian aku yang pertama kali tanpa mama. Sebab selama ini mama tidak pernah membiarkan aku bepergian tanpanya. "Kamu takut?" tanya Om Abimanyu tersenyum manis. "Ehm, ini pertama kalinya aku naik pesawat. Biasanya kalau keluar kota sama mama naik kereta api yang lebih hemat," jawabku jujur apa adanya. "Kalau keluar kota biasanya kemana-mana saja?" "Saat lulus SD, mama mengajak aku jalan-jalan ke Malang. Saat lulus SMP mama mengajak aku jalan-jalan ke Yogyakarta. Saat lulus SMA, mama katanya ingin mengajak aku pindah ke Jakarta sekalian aku melanjutkan kuliah di sana." "Oh, kalau mengenai pindah ke Jakarta itu memang ideku, Flo. Sebenarnya setelah menikah aku mengajak kalian untuk ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rumah dan juga universitas yang bagus untukmu. Hanya saja aku tidak menyangka mama kamu tiba-tiba pergi tanpa kabar. Tapi bagaimanapun juga aku pernah berjanji pada mamamu, akan menjaga kamu seperti anakku sendiri!" "Terima kasih, Om." "Kalau kamu takut ketinggian tidurlah, nanti kalau sudah sampai aku bangunkan." "Iya, Om." "Bisakah mulai sekarang jangan panggil Om?" Deg! Setiap kali Om Abimanyu menatap aku serius, aku selalu merasa takut. Karena memang wajah Om Abimanyu nampak begitu tegas. "Lalu—aku harus memanggil apa?" tanyaku gugup. "Abi." "Hah? Nama saja? Kurasa itu tidak sopan." "Hm. Di Jakarta, semua orang tahunya kamu istriku. Akan aneh kalau kamu memanggilku dengan sebutan Om." "Abi ..." "Yups bagus, kamu harus mulai terbiasa." Sesampainya di tempat tujuan, aku terpana dengan rumah megah milik Om Abimanyu. Rumah berlantai tiga dengan taman yang luas, air mancur. Mata ini terpukau dengan keindahan bunga mawar yang sedang mekar-mekarnya, juga ikan-ikan cantik yang harganya pasti mahal. "Ini benar rumahmu, Om?" tanyaku berasa mimpi. "Rumah kita, Flo. Dan jangan panggil aku Om lagi!" "Maaf," cicitku meringis malu. "Ayo aku tunjukkan kamar kamu!" Saat memasuki rumah, sudah ada seorang lelaki setengah baya serta empat orang pelayan perempuan muda yang menyambut kami. "Selamat datang, Tuan, Nyonya." Aku tersenyum kikuk, rasanya canggung dipanggil Nyonya. "Dia Pak Rasyid, kepala pelayan di rumah ini. Kalau kamu butuh apa-apa bisa panggil dia!" tutur Om Abimanyu. Aku hanya menganggukkan kepala, aku tidak menyangka jika Om Abimanyu ternyata sekaya ini. Lalu Om Abimanyu membawaku menaiki lift, sampai di lantai tiga. "Ini kamar kita, Flo." "Hah, kamar kita?" pekikku kaget.Usai melihat keadaan Arina aku tidak langsung pulang tetapi aku terus melajukan mobilku ke sebuah club' malam.Sudah lama aku tidak minum, selama di Surabaya aku berubah menjadi lelaki baik-baik yang bekerja keras dan tidak suka keluyuran malam demi menarik perhatian Arina—lebih tepatnya Florina.Di ruang VIP aku langsung disambut oleh kedua teman dekatku. Abbas dan Tian."Akhirnya muncul juga," sapa Tian."Hai," balasku malas-malasan. Aku duduk di sofa dan memijat pelipisku sendiri yang terasa berdenyut. Sementara Abbas segera menuangkan bir ke gelas dan memberikannya padaku. Aku meminumnya seteguk demi seteguk. Lidahku seorang terbakar, tetapi membuat pikiran aku sedikit melayang jauh lebih baik dari sebelumnya."Setelah menikah baru datang, pasti siang malam terus menghajar sang istri ya?" goda Tian.Aku hanya memutar bola mata dengan malas, fokus menikmati minuman beralkohol agar diriku bisa tenang."Maaf aku tidak bisa datang, saat itu aku demam. Aku ucapkan selamat ya, akhirnya
POV AbimanyuGadis manja! Itu adalah sebutan bagiku untuk gadis yang saat ini berada di dalam dekapanku. Florina—putri dari mantan kekasihku. Sebenarnya dari awal aku tidak pernah berniat untuk menikahi Arina. Aku hanya ingin balas dendam padanya.Arina adalah cinta pertamaku, aku mengaguminya sejak kelas 1 SMP dan baru berani menyatakan cinta saat memasuki SMA. Betapa bahagianya diriku saat itu, karena akhirnya cinta yang terpendam tidak bertepuk sebelah tangan. Arina dan Florina memiliki wajah serupa, tapi karakter mereka tidak sama. Arina dulunya gadis ceria, humble, ekstrovert, dan mandiri. Berbeda dengan Florina yang pemalu, introvert dan penakut. Perbedaan mereka yang begitu mencolok mungkin karena faktor lingkungan. Saat kecil Arina dididik begitu keras oleh orang tuanya, sementara Florina tidak pernah dibiarkan melakukan pekerjaan berat dan segalanya diatur oleh Arina. Dan jika disuruh memilih, siapakah yang layak untuk dijadikan istri? Tentu saja tanpa pikir panjang jawab
Rumah lantai tiga ini memiliki banyak kamar, lalu kenapa Om Abimanyu memintaku satu kamar dengannya? Meskipun kami sudah menikah tapi hubungan itu hanya sebatas di atas kertas."Jangan salah paham, Flo. Tentu aku tahu batasan. Tapi orang tuaku sering ke sini, dan Pak Rasyid adalah orang kepercayaan mama. Akan aneh jika kita pisah kamar," sela Om Abimanyu. Aku merenung untuk beberapa saat, tetap saja aku tidak bisa untuk tidur dengan seseorang yang seharusnya menjadi calon papa tiriku. "Aku akan tidur di sofa, kita tidak perlu seranjang, Flo. Yang penting tidak menimbulkan kecurigaan saja," timpal Om Abimanyu dengan wajah memelas.Pada akhirnya aku menganggukkan kepala, memangnya bisa apa aku? Sudah diberi tempat tinggal dan dicukupi biaya kebutuhan serta pendidikan saja harusnya aku sudah bersyukur. Toh yang penting Om Abimanyu orang yang bisa dipercaya."Kamu bisa meletakkan pakaian kamu di sana.""Iya, Om—eh Abi.""Bagus. Aku mau mandi dulu, kamu bisa bereskan barang-barangmu!"Us
Seminggu setelah mama menghilang, tidak ada kabar sama sekali dari pihak kepolisian. Mama seperti hilang ditelan bumi. Sementara Om Abimanyu katanya harus kembali ke Jakarta, mendapat panggilan kerja dari papanya. Karena orang tua Om Abimanyu ingin pensiun, makanya Om Abimanyu berhenti bekerja sebagai dokter. Dulu kata mama orang tua Om Abimanyu memiliki jabatan tinggi di perusahaan pusat, sementara mama bekerja di bagian kantor cabang di Surabaya."Flo, aku tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian di sini. Ikutlah aku ke Jakarta, jika aku pulang tanpa kamu aku akan kena amukan dari orang tuaku karena mengabaikan istriku."Istri ... Aku tidak berani menganggap diriku ini adalah istri Om Abimanyu. Makanya aku tidak meminta pertanggung jawaban apapun. Meski Suara Om Abimanyu bernada rendah, tapi seperti ada tekanan dimana membuat aku takut untuk menolak. Mana aku orang yang tidak enakan. "Tapi mama bagaimana? Aku takut saat mama pulang terus aku tidak ada mama akan khawatir," jawab
Usai sarapan di restoran, Om Abimanyu mengajak aku untuk mencari mama. Tempat pertama yang kita tuju adalah kantor tempat mama bekerja. Tetapi sesampainya di sana mama tidak ada, malah katanya mama sudah mengundurkan diri lima hari yang lalu dengan alasan ingin fokus menjadi IRT setelah menikah. "Om, bagaimana ini?" rengekku kembali meneteskan air mata, "Aku khawatir dan aku juga merindukan mama."Tiba-tiba saja Om Abimanyu menyeka air mataku lalu hendak memelukku, aku tahu dia sedang mencoba menenangkanku. Tapi meskipun Om Abimanyu adalah suamiku aku tetap harus menjaga jarak. Akupun—melangkah mundur."Kau takut padaku?""Ti—tidak, aku hanya tak terbiasa bersentuhan fisik dengan lawan jenis," jawabku gugup. Aku takut sekilas tadi tatapan Om Abimanyu nampak kesal."Bagus, jadi perempuan memang harus punya prinsip dan tidak murahan."Untuk sesaat, Om Abimanyu tersenyum tipis. Senyuman yang sulit untuk aku artikan apa maksudnya."Kita mau cari mama kemana lagi, Om?" selaku tak ingin me
Saat terbangun, Om Abimanyu sudah berada di sisiku. Di antara kami ada pembatas bantal guling sehingga membuat aku merasa tenang. Ternyata Om Abimanyu memang dapat dipercaya.Aku termenung untuk sejenak, Om Abimanyu benar-benar tampan. Aura dominan dan wibawanya sangat kuat. Tidak heran jika mamaku sangat mencintai Om Abimanyu, tapi kenapa mama tiba-tiba pergi di hari pernikahan yang begitu penting? Pertanyaan yang membuat aku bingung dan heran. Meskipun mamaku adalah sosok wanita tangguh dan kuat, tapi aku khawatir terjadi sesuatu.Bertepatan aku selesai mandi, Om Abimanyu sudah bangun. "Bagaimana tidurmu malam ini, apakah nyenyak?""Nyenyak, Om. Mungkin karena aku kelelahan makanya sampai bangun kesiangan," jawabku malu-malu."Tak masalah, kau tak perlu canggung denganku. Aku akan mandi, setelah itu kita sarapan bersama."Aku mengangguk patuh, usai Om Abimanyu masuk ke kamar mandi akupun memakai skincare dan make up natural. Sembari menunggu aku kembali menghubungi ponsel mama, ta