LOGINUsai sarapan di restoran, Om Abimanyu mengajak aku untuk mencari mama. Tempat pertama yang kita tuju adalah kantor tempat mama bekerja. Tetapi sesampainya di sana mama tidak ada, malah katanya mama sudah mengundurkan diri lima hari yang lalu dengan alasan ingin fokus menjadi IRT setelah menikah.
"Om, bagaimana ini?" rengekku kembali meneteskan air mata, "Aku khawatir dan aku juga merindukan mama." Tiba-tiba saja Om Abimanyu menyeka air mataku lalu hendak memelukku, aku tahu dia sedang mencoba menenangkanku. Tapi meskipun Om Abimanyu adalah suamiku aku tetap harus menjaga jarak. Akupun—melangkah mundur. "Kau takut padaku?" "Ti—tidak, aku hanya tak terbiasa bersentuhan fisik dengan lawan jenis," jawabku gugup. Aku takut sekilas tadi tatapan Om Abimanyu nampak kesal. "Bagus, jadi perempuan memang harus punya prinsip dan tidak murahan." Untuk sesaat, Om Abimanyu tersenyum tipis. Senyuman yang sulit untuk aku artikan apa maksudnya. "Kita mau cari mama kemana lagi, Om?" selaku tak ingin membuang waktu. Aku takut mama dalam keadaan bahaya. "Bagaimana kalau ke rumah saudaramu? Kamu tahu kan rumah mereka?" "Mama anak tunggal, nenek dan kakek sudah tiada semua. Kalau saudara aku tidak tahu, sebab sejak aku lahir hanya bersama mama saja dan tidak pernah diajak ataupun bertemu keluarga lain," jawabku apa adanya. "Pacar mamamu yang lain, mungkin?" "Tidak!" jawabku tegas. " Selama ini mama tidak pernah dekat dengan lelaki lain, dia pekerja keras dan baru memperkenalkan teman lelaki hanya Om Abimanyu saja." Lagi-lagi Om Abimanyu tersenyum smirk, tapi lebih tepatnya seperti sebuah senyuman ejekan. "Kau tidak bersama mamamu selama 24 jam, Flo. Jadi kamu tidak akan tahu semua tentang mamamu." "Maksud Om Abimanyu apa?" tanyaku tak paham. "Bisa jadi, mamamu kabur dengan lelaki lain." "Tidak mungkin! Mama sangat mencintaimu, Om. Aku malah berpikir bisa jadi mama diculik oleh perempuan yang menyukaimu?" sergahku. Bagiku itu adalah hal yang saat ini dirasa masuk akal. "Ini bukan drama, Flo. Mana mungkin ada orang yang berani menculik karena negara kita adalah negara hukum. Ayo sembari menunggu kabar dari polisi kita cari disepanjang jalan siapa tahu ketemu mama kamu!" "Iya, Om." Aku sedikit kecewa jika Om Abimanyu berpikir mama kabur dengan lelaki lain. Karena aku tahu sendiri segila apa mama terobsesi terhadap Om Abimanyu. Padahal selama ini mama adalah wanita karir yang mencintai pekerjaannya, dan demi Om Abimanyu mama rela melepaskan mimpinya. Saat mobil berjalan, mataku terus memandang ke jendela siapa tahu bertemu sosok mama. Tapi sampai langit hampir gelap kami masih belum menemukannya. "Kita pulang ya, Flo. Kita tadi sampai belum makan siang hanya makan roti saja," sela Om Abimanyu. "Iya, Om." Kamipun kembali ke hotel, usai mandi makam malam bersama. Meskipun lapar, tapi aku tidak nafsu makan. Setiap kali teringat akan mama hatiku terasa diremas. "Makan, Flo. Kalau kamu sakit malah nggak bisa mencari mamamu!" tutur Om Abimanyu sembari mengambilkan lauk ke piringku. "Iya, Om." Aku mencoba memaksakan diri untuk makan, benar apa kata Om Abimanyu aku harus tetap sehat agar bisa terus mencari mama. Saat ini Om Abimanyu nampak begitu tenang, sorot matanya memang selalu dingin dan bibirnya jarang tersenyum. Tapi aku tahu—dia orang baik. "Om ..." "Iya?" "Apakah Om Abimanyu sedih karena mama menghilang?" "Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja aku sedih." Aku hanya menganggukkan kepala, memang pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku barusan. Kalau tidak cinta buat apa Om Abimanyu menunggu mama sampai detik ini. Bayangkan saja, dari jaman mereka SMA sampai kini mama memiliki putri yang berusia 19 tahun. "Flo ..." "Iya?" "Kalau sampai mama kamu tidak kunjung ketemu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Om Abimanyu yang tiba-tiba membuat sekujur tubuh aku gemetar. Aku tidak bisa, membayangkan saja aku tidak berani. Mama adalah satu-satunya keluarga aku. Mama adalah duniaku. Air mata ini kembali menetes, aku bisa apa tanpa mama? Meskipun mama jarang memiliki waktu untukku tapi mama tidak pernah membiarkan aku hidup susah. Segala kebutuhan aku tercukupi, dan aku hanya disuruh untuk belajar tanpa mengerjakan pekerjaan kasar di rumah. Mama mendidikku untuk menjadi wanita berprestasi agar kelak bisa memiliki karir cemerlang. "Jangan nangis, masih ada aku. Bagaimanapun juga aku sekarang adalah walimu, kamu akan menjadi tanggung jawabku!" sela Om Abimanyu sembari menyerahkan tissue di depan wajahku. Aku menerimanya, lalu menghapus air mataku sendiri. Kalau mama tidak kembali juga, aku tidak punya siapa-siapa lagi. Sementara aku baru lulus SMA, sementara aku tidak memiliki kemampuan untuk hidup keras. Tetapi aku juga sadar diri, aku hanya pengantin pengganti. Tidak pantas bagiku menggantungkan hidupku dengan Om Abimanyu!Usai melihat keadaan Arina aku tidak langsung pulang tetapi aku terus melajukan mobilku ke sebuah club' malam.Sudah lama aku tidak minum, selama di Surabaya aku berubah menjadi lelaki baik-baik yang bekerja keras dan tidak suka keluyuran malam demi menarik perhatian Arina—lebih tepatnya Florina.Di ruang VIP aku langsung disambut oleh kedua teman dekatku. Abbas dan Tian."Akhirnya muncul juga," sapa Tian."Hai," balasku malas-malasan. Aku duduk di sofa dan memijat pelipisku sendiri yang terasa berdenyut. Sementara Abbas segera menuangkan bir ke gelas dan memberikannya padaku. Aku meminumnya seteguk demi seteguk. Lidahku seorang terbakar, tetapi membuat pikiran aku sedikit melayang jauh lebih baik dari sebelumnya."Setelah menikah baru datang, pasti siang malam terus menghajar sang istri ya?" goda Tian.Aku hanya memutar bola mata dengan malas, fokus menikmati minuman beralkohol agar diriku bisa tenang."Maaf aku tidak bisa datang, saat itu aku demam. Aku ucapkan selamat ya, akhirnya
POV AbimanyuGadis manja! Itu adalah sebutan bagiku untuk gadis yang saat ini berada di dalam dekapanku. Florina—putri dari mantan kekasihku. Sebenarnya dari awal aku tidak pernah berniat untuk menikahi Arina. Aku hanya ingin balas dendam padanya.Arina adalah cinta pertamaku, aku mengaguminya sejak kelas 1 SMP dan baru berani menyatakan cinta saat memasuki SMA. Betapa bahagianya diriku saat itu, karena akhirnya cinta yang terpendam tidak bertepuk sebelah tangan. Arina dan Florina memiliki wajah serupa, tapi karakter mereka tidak sama. Arina dulunya gadis ceria, humble, ekstrovert, dan mandiri. Berbeda dengan Florina yang pemalu, introvert dan penakut. Perbedaan mereka yang begitu mencolok mungkin karena faktor lingkungan. Saat kecil Arina dididik begitu keras oleh orang tuanya, sementara Florina tidak pernah dibiarkan melakukan pekerjaan berat dan segalanya diatur oleh Arina. Dan jika disuruh memilih, siapakah yang layak untuk dijadikan istri? Tentu saja tanpa pikir panjang jawab
Rumah lantai tiga ini memiliki banyak kamar, lalu kenapa Om Abimanyu memintaku satu kamar dengannya? Meskipun kami sudah menikah tapi hubungan itu hanya sebatas di atas kertas."Jangan salah paham, Flo. Tentu aku tahu batasan. Tapi orang tuaku sering ke sini, dan Pak Rasyid adalah orang kepercayaan mama. Akan aneh jika kita pisah kamar," sela Om Abimanyu. Aku merenung untuk beberapa saat, tetap saja aku tidak bisa untuk tidur dengan seseorang yang seharusnya menjadi calon papa tiriku. "Aku akan tidur di sofa, kita tidak perlu seranjang, Flo. Yang penting tidak menimbulkan kecurigaan saja," timpal Om Abimanyu dengan wajah memelas.Pada akhirnya aku menganggukkan kepala, memangnya bisa apa aku? Sudah diberi tempat tinggal dan dicukupi biaya kebutuhan serta pendidikan saja harusnya aku sudah bersyukur. Toh yang penting Om Abimanyu orang yang bisa dipercaya."Kamu bisa meletakkan pakaian kamu di sana.""Iya, Om—eh Abi.""Bagus. Aku mau mandi dulu, kamu bisa bereskan barang-barangmu!"Us
Seminggu setelah mama menghilang, tidak ada kabar sama sekali dari pihak kepolisian. Mama seperti hilang ditelan bumi. Sementara Om Abimanyu katanya harus kembali ke Jakarta, mendapat panggilan kerja dari papanya. Karena orang tua Om Abimanyu ingin pensiun, makanya Om Abimanyu berhenti bekerja sebagai dokter. Dulu kata mama orang tua Om Abimanyu memiliki jabatan tinggi di perusahaan pusat, sementara mama bekerja di bagian kantor cabang di Surabaya."Flo, aku tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian di sini. Ikutlah aku ke Jakarta, jika aku pulang tanpa kamu aku akan kena amukan dari orang tuaku karena mengabaikan istriku."Istri ... Aku tidak berani menganggap diriku ini adalah istri Om Abimanyu. Makanya aku tidak meminta pertanggung jawaban apapun. Meski Suara Om Abimanyu bernada rendah, tapi seperti ada tekanan dimana membuat aku takut untuk menolak. Mana aku orang yang tidak enakan. "Tapi mama bagaimana? Aku takut saat mama pulang terus aku tidak ada mama akan khawatir," jawab
Usai sarapan di restoran, Om Abimanyu mengajak aku untuk mencari mama. Tempat pertama yang kita tuju adalah kantor tempat mama bekerja. Tetapi sesampainya di sana mama tidak ada, malah katanya mama sudah mengundurkan diri lima hari yang lalu dengan alasan ingin fokus menjadi IRT setelah menikah. "Om, bagaimana ini?" rengekku kembali meneteskan air mata, "Aku khawatir dan aku juga merindukan mama."Tiba-tiba saja Om Abimanyu menyeka air mataku lalu hendak memelukku, aku tahu dia sedang mencoba menenangkanku. Tapi meskipun Om Abimanyu adalah suamiku aku tetap harus menjaga jarak. Akupun—melangkah mundur."Kau takut padaku?""Ti—tidak, aku hanya tak terbiasa bersentuhan fisik dengan lawan jenis," jawabku gugup. Aku takut sekilas tadi tatapan Om Abimanyu nampak kesal."Bagus, jadi perempuan memang harus punya prinsip dan tidak murahan."Untuk sesaat, Om Abimanyu tersenyum tipis. Senyuman yang sulit untuk aku artikan apa maksudnya."Kita mau cari mama kemana lagi, Om?" selaku tak ingin me
Saat terbangun, Om Abimanyu sudah berada di sisiku. Di antara kami ada pembatas bantal guling sehingga membuat aku merasa tenang. Ternyata Om Abimanyu memang dapat dipercaya.Aku termenung untuk sejenak, Om Abimanyu benar-benar tampan. Aura dominan dan wibawanya sangat kuat. Tidak heran jika mamaku sangat mencintai Om Abimanyu, tapi kenapa mama tiba-tiba pergi di hari pernikahan yang begitu penting? Pertanyaan yang membuat aku bingung dan heran. Meskipun mamaku adalah sosok wanita tangguh dan kuat, tapi aku khawatir terjadi sesuatu.Bertepatan aku selesai mandi, Om Abimanyu sudah bangun. "Bagaimana tidurmu malam ini, apakah nyenyak?""Nyenyak, Om. Mungkin karena aku kelelahan makanya sampai bangun kesiangan," jawabku malu-malu."Tak masalah, kau tak perlu canggung denganku. Aku akan mandi, setelah itu kita sarapan bersama."Aku mengangguk patuh, usai Om Abimanyu masuk ke kamar mandi akupun memakai skincare dan make up natural. Sembari menunggu aku kembali menghubungi ponsel mama, ta







