Kiara telah sampai di kantornya tepat pukul tujuh. Padahal jam kerja dimulai pukul delapan. Ia memang termasuk karyawan yang paling loyalitas, sangat jarang terlambat.
Ia merapikan rambutnya yang ia biarkan terurai untuk hari ini untuk menyempurnakan maksud menutupi luka di keningnya.
Ia terus berkaca sambil sesekali memeriksa komputernya yang baru saja ia nyalakan. Tanpa sadar jika Lehon yang telah berada di ruangannya, tengah memperhatikan dirinya dari layar komputer yang tersambung dengan kamera pengawas.
"Wanita sekarang, datangnya cepat bukannya bekerja malah begaya. Dunia permodelan kah?" ucapnya pada diri sendiri seraya geleng-geleng kepala.
Sudah hampir sepuluh menit, dandanan gadis itu masih belum kelar membuat Lehon kembali tertarik untuk memperhatikan. Ia sejenak terbengong, keningnya mengerut ketika gadis itu terus menepuk-nepuk bedak di area keningnya sembari menunjukkan raut wajah kesakitan.
"Apa dia terluka?" gumamnya tak mau terlalu peduli, kemudian pindah ke meja kecil untuk menyantap sarapan yang disiapkan oleh neneknya.
***
Sudah pukul enam tepat ketika Lehon akan keluar dari ruangannya. Ia kembali memeriksa kamera pengawas yang masih menyisakan Kiara di ruangannya. Ia tampak menyeringai menahan sakit ketika keningnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah.
Ia menunggu selama beberapa detik, beruntung cairan itu segera berhenti. Ia tak harus peduli dan memastikan secara langsung.
Gadis itu tampak buru-buru merapikan meja kerjanya dan berlari kencang sembari menjawab panggilan telepon di ponselnya.
"Kenapa lagi dia? Dia bersiap seperti manusia paling sibuk di dunia saja." Lelaki itu mengangkat kedua bahunya.
Kiara berlari kencang menemui pria di parkiran yang tak lain adalah Ben.
"Kenapa lama sekali?" Lelaki itu menyeringai, rahangnya mengeras dengan tangan yang terangkat. Sepertinya ia hendak menampar gadis itu yang segera ia urungkan tatkala beberapa karyawan lain yang muncul hendak pulang.
"Maafkan aku. Hari ini aku sangat sibuk banyak pekerjaan," jawab Kiara dengan nada takut. Ia meremas jaket yang ada di tangannya.
"Iya, aku paham, Sayang. Sekarang pakai jaket, kita pulang, ya?" Lelaki itu memberi pelukan hangat. "Awas aja kamu macam-macam, akan kupatahkan lehermu!" lanjutnya dengan bisikan menyeramkan.
Pada akhirnya keduanya kembali dengan motor masing-masing. Hal itu sempat menjadi pertanyaan besar bagi satpam yang menatap dengan heran. Ia hendak bertanya namun ia urungkan.
***
Lehon tengah berjalan menuju mini market yang ada di dekat rumahnya untuk membeli susu kotak yang selalu menjadi favorit neneknya.
Ia membeli satu kotak kemudian membayarkan, tak sengaja bertemu dengan Nesya yang ternyata juga tinggal di daerah itu.
"Wah, Pak Lehon! Selamat malam, Pak. Nggak nyangka ketemu di sini? Bapak tinggalnya di daerah sini, ya? Nggak nyangka banget, sumpah, sumpah! Kenapa Kak Lutri nggak pernah ngomong?" serunya dengan suara melengking membuat Lehon kesal lalu memasang wajah datarnya.
Ia sama sekali tak berniat membalas kehebohan itu yang membuatnya sedikit kesal apalagi membawa satu kota susu.
"Nenek, kenapa sih nggak beli banyak saja? Ini aku cucumu, Lehon. Si tampan dari lahir, cerdas, dan punya banyak uang. Aku bisa membeli semua susu yang ada di sana untuk Nenek," keluhnya setelah meletakkan susu itu di atas meja yang segera diminum oleh wanita tua itu.
"Hitung-hitung buat olahraga," jawab Mery santai.
"Nek, aku nggak mau berinteraksi dengan banyak orang."
"Tapi nenek maunya kamu begitu. Jangan sampai kamu jadi bujang lapuk, ya!"
"Aish! Kesal!" Lehon segera mengangkat kaki lalu masuk ke dalam kamarnya tanpa peduli dengan omelan dan panggilan neneknya yang pasti akan ceramah.
***
Kiara sedang membersihkan bar yang ternyata adalah milik Ben. Ia sama sekali tidak bergairah melakukan pekerjaan itu, berbeda sekali dengan ketika bekerja di kantor.
Sejenak ia terdiam, mencoba mengingat kehidupannya sebelum ini. Ia yang hanya hidup berdua dengan ayahnya dulu cukup bahagia walau tanpa pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
Entah nasib malang apa yang menimpa kehidupan mereka. Air matanya menetes tepat ketika Ben sudah berada di sampingnya.
"Ayo cepat selesaikan. Jangan drama! Kalau anak pembunuh ya anak pembunuh saja. Kamu juga ikutan pembunuh. Masih beruntung kan, dikasih identitas baru dan hidup sebagai kekasihku. Kamu aman dari amukan para korban di luar sana."
"Jangan asal bicara!"
"Memang siapa yang asal bicara? Bukankah benar kalau kamu adalah anak pembunuh? Gunakan otakmu!" Lelaki itu segera menarik rambut Kiara hingga beberapa helai terlepas dari kulitnya.
"Bukan itu maksudku ... jika kamu memang punya otak. Tidak seharusnya kamu masih menyiksaku seperti ini. Punya identitas baru, seharusnya aku bukanlah anak pembunuh lagi!"
"Diam!" Ben hendak melayangkan tamparan. Namun, lagi-lagi ia urungkan dan segera masuk ke dalam mobil.
Tangisan dan teriakan kencang itu terdengar jelas di telinga Ben. Untuk kali ini setelah setahun lamanya, ia merasa iba dan bersalah. Kedua bola matanya menatap nanar ke arah tangannya yang terlalu kejam.
Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, menghubungi Kiara yang padahal hanya berjarak sepuluh meter darinya. "Aku tunggu satu menit lagi atau kau akan semakin tersiksa!"
Gadis itu terlihat mendekat setelah ia menyelesaikan pekerjaannya dan menutup bar. Mereka hendak pulang ke rumah yang jarak tempuhnya memakan waktu lima belas menit.
'Maafkan aku, Kia. Tak seharunya aku berbuat seperti ini, tapi itu sudah seolah menjadi candu. Kau harus tetap berada di sisiku.' Ben membatin ketika menatap Kiara yang sudah ketiduran.
Beberapa menit setelahnya, mereka telah sampai. Ia menunggu selama beberapa saat, namun tidak ada pergerakan dari Kiara yang membuatnya terpaksa harus menggendong gadis itu untuk masuk ke dalam.
"Eh, eh, kamu ngapain? Jangan sentuh aku!" teriak Kiara panik.
Namun, sebesar apapun ia berusaha. Ben tetaplah yang terkuat darinya, ia lagi-lagi tidak ada kuasa untuk melawan. Ia pasrah berada dalam pelukan pria itu hingga tiba di kamar.
Brugh! Tubuh itu ambruk di atas ranjang ketika Ben melemparkannya begitu saja. "Segera tidur dan siapkan sarapan untukku besok. Kita sarapan bersama. Aku yang akan membersihkan rumah."
"Tidak apa, Ben. Aku sendiri masih bisa mengerjakannya sendiri. Istirahatlah, kamu pasti sudah sangat lelah." Terdiam sejenak. 'Sangat lelah menyakitiku,' lanjutnya dalam hati.
"Jangan mencoba membantah perkataanku apalagi bermaksud mengajariku. Ikuti saja perintahku, jangan sok keras!"
Ben segera keluar dari kamar gadis itu dengan membanting pintu.
Kiara menahan amarahnya dalam hati. Ia memejamkan mata sejenak, lalu bergerak untuk segera membersihkan diri. Yang ia butuhkan saat ini adalah istirahat dari rasa lelahnya.
Ben lagi-lagi terperangkap dalam rasa bersalah yang tak bisa ia artikan. Kenapa dan mengapa, padahal siksaan itu sudah sepatutnya didapatkan oleh gadis itu. Ia juga sudah melakukannya berkali-kali dan bahkan sudah seperti bagian dari kegiatan hariannya.
Entahlah untuk sekarang. Perasaan apa ini?
***
Lutri sudah lebih baik keadaannya sekarang. Ia tak sengaja mendengar percakapan antara dokter dengan perawat yang membuatnya tau akan keberadaan adiknya. Ia tersenyum simpul sebelum akhirnya kembali menutup matanya untuk berpura-pura tidur.Beberapa saat kemudian, ia segera bangun dan memeriksa sendiri keadaannya. Senyumannya melebar tatkala seluruh anggota tubuhnya masih bisa digerakkan dengan mudah. Ia juga segera mencoba berdiri dan memang bisa berjalan seperti biasa walau masih ada bagian tertentu yang terasa sakit.Ia sekarang melepaskan jarum infus di tangannya lalu mencoba ke luar dari sana. Dengan sangat hati-hati, ia mencari ruangan Nesya yang ternyata berada tepat di sampingnya.Senyumannya semakin melebar, ia juga semakin bersemangat untuk melanjutkan aksinya sekarang. Bagaimana tidak, wanita itu bahkan mendapatkan sebuah ide untuk segera menghabisi nyawa sang adik saat itu juga.Melihat Nesya yang tengah terduduk namun dengan wajah yang dipenuhi perban, ia segera mendorong
Jodi diberi izin untuk segera menikah dan menghabiskan waktu bersama selama sebulan. Begitulah Mery yang selalu memberi pengertian dan perhatian lebih pada para pekerjanya. Walaupun, mungkin pekerjaan mereka tak sebanding dengan penghasilan yang dia dapatkan.Sesungguhnya, Lehon tidak begitu setuju dengan keputusan sang nenek. Namun, ia juga harus tetap menerima hal itu sebab tak ingin membuat perdebatan dan perselisihan di antara keduanya."Kalau mereka berdua pergi dalam waktu yang lama, siapa yang bakal ngurusin Nenek?" tanyanya pada Mery."Sudahlah, kamu jangan terlalu memikirkan nenek. Urus saja dulu masalah kematian sahabatmu itu. Siapa yang sebenarnya telah salah."Mendengar perintah sang nenek, kini Lehon memilih untuk setuju. Hingga saat ini, masalah kematian pria itu masih dalam proses. Hal itulah yang membuat Lehon tidak bisa berpikir dengan jernih, sebab ia juga masih harus sibuk dengan kehidupan dan pekerjaannya.Tatkala ia sudah berada di kantor untuk memulai menghandle
Lehon menjadi sangat panik menyaksikan apa yang ada di hadapannya sekarang. Ia tak peduli dengan tragedi dan kasus yang sedang berlangsung. Baginya, yang paling penting saat ini adalah masalah hidup dan mati Abi, Nesya juga Lutri.Dengan segera suara ambulans bergerak mendekat kemudian mengangkut tubuh kedua insan itu. Sementara Ben, ia segera mendekat dengan Kiara lalu membawa gadis itu pergi dari sana.Sesungguhnya, Kiara hendak menolak. Bagaimana pun, ia tahu jika posisinya tidak sedang baik-baik saja sekarang. Ada masalah yang amat berat yang mungkin akan membahayakannya nanti."Ben, maaf ... pergi saja duluan. Aku tidak boleh lari dari masalah ini. Aku harus segera memberikan penjelasan."Mendengar pernyataan Kiara membuat Ben panik serta frustasi. Menurutnya, jalan pikiran Kiara sudah tidak lurus lagi."Aku sudah bilang sebelumnya, Kiara. Jangan sungkan-sungkan denganku. Kalau ada masalah, langsung cerita padaku. LIhatlah hasil perb
Kiara kini mempercayakan hidupnya pada Ben yang ia yakini akan mengubah sikapnya menjadi lebih baik. Sesungguhnya, ia tentu sedikit ragu, apalagi setelah mendengar pesan dari Nesya. Namun, ketika ia sudah melangkah dan berkata iya, maka lebih baik ia lanjutkan langkah itu. Lelaki itu tampak menunggu di meja makan, seperti biasa. Ia segera menyendokkan makanannya sekarang. "Ambil saja untukmu, Kia. Kita makannya bebas mulai sekarang. Bahkan kalau kamu merasa tidak nyaman di sini bersamaku, bisa kok makannya di ruangan lain saja."Mendengar hal itu, ada gurat keraguan yang amat besar di keningnya. Ingin sekali ia beratnya, kenapa tiba-tiba berubah? Namun, itu adalah sebuah hal yang sangat tidak mungkin."Baik. Terima kasih." Hanya itu jawaban yang ke luar dari mulutnya.Kini, acara makan pun berlalu dengan hikmat. Tidak terdengar suara manusia, hanya pergesekan antara sendok dengan piring."Kamu mau Nesya tinggal di sini juga?" t
Ben membuat janji untuk bertemu Lutri di hari itu. Kali ini, ia keluar dari apartemen dengan penampilan yang sangat berbeda. Ia yang biasanya selalu berpakaian santai ketika keluar, kini selalu dengan topi, masker dan hoodie.Orang yang biasanya mengantarkan pesanan ke huniannya yang kebetulan saling berpapasan tentu saja menyapa dan iseng bertanya."Tumben nih Pak Ben keliatan beda gitu? Cool!" ucapnya bersamaan dengan anak yang masih remaja.Ben tidak peduli. Ia segera memalingkan pandangannya, tanpa menatap sedikit pun ke arah dua orang itu. Setelahnya, ia berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah yang sangat cepat."Kenapa dia?" tanya anak itu."Ibu tidak tau, Nak. Padahal, mencurigakan memang. Sudah lama ini dia nggak mempekerjakan ibu. Biasanya ngebersihin rumah, laundry baju, dan jemput makanan untuk mereka. Bayarannya gede.""Kalau gitu, kita buat aja kartu nama usaha kita di sini," ucap anak kecil itu pada ibunya s
Pikiran Lehon sedikit lebih santai setelah ia menyuruh sahabatnya untuk berisitirahat sejenak dan tidak masuk kerja. Setidaknya, untuk saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan untuk mengurangi rasa sedih dan lelah Abi.Ia terduduk di kursi kerjanya sembari memikirkan masalah Kiara. Rasa ingin mencari tahu dan memastikan seketika mencuat. Hal itu membuat ia untuk menghubungi Lutri dan memerintahkan untuk datang menghadapnya."Sepertinya kamu sering banget deh dipanggil ke ruangan Pak Lehon? Nggak ada masalah dengan kerjaan, kan?" tanya Ayu selaku kepala di bagian itu dan sebagai bentuk kepedulian terhadap bawahannya."Enggak ada kok, Kak. Aman." Nesya menjawab dengan santai sembari membawa alat tulisnya sebagai bentuk formalitas. Walau ia tahu, ia dipanggil hanya untuk membahas permasalahan tentang Kiara."Baguslah kalau begitu. Tapi tunggu..." ucap Ayu kembali menghentikan langkah buru-buru Nesya. "Kamu nggak ada ... itu kan sama Pak Lehon?" Mengge