“Ingat, kamu di sini untuk bekerja. Jangan bersentuhan atau menjalin hubungan dengan orang lain, apa lagi pria, kalau masih mau hidupmu aman,” tegas Ben pada Kiara sebelum gadis itu menjalani hari ketiga bekerja.
“Baik, Ben.”
“Ingat itu dan keluarlah!” Jambakan rambut itu segera dilepaskan oleh Ben.
Segera menyeka air mata yang menetes. Ia bersikap seolah baik-baik saja dan berjalan dengan cepat, sebab sudah terlambat beberapa menit.
"Happy birth day to you! Happy birth day to you! Happy birth day, happy birth day, happy birth day to you!"
Suara nyanyian itu membuat Kiara—si anak baru yang ditugaskan membawa kue ulang tahun menjadi sangat panik. Ia telat.
Drrrt! Drrrt! Drrrt! Suara getaran ponselnya semakin membuat panik.
"Tunggu, tunggu, aku akan segera sampai!" geramnya pada diri sendiri.
Keringat di keningnya bahkan mengucur sangat deras. Ia sudah tidak peduli lagi. Setelah mengabsen di print finger, gadis itu buru-buru menaiki tangga menuju lantai 2.
Ia terduduk sejenak di kursi kerjanya sebelum akhirnya sadar dengan hiasan kue yang bertuliskan 'hbd father'. What? Father? Ini sudah jelas sangat salah. Lalu apa dan bagaimana sekarang?
"Kiara, cepetan dong! Masa iya, lagu udah tiup lilin tapi lilinnya kagak ada?" protes Lutri, senior yang paling dikagumi. Ia bahkan berteriak dari balik jendela kaca.
"Eh iya, sebentar, Bu. Ini aku datang." Kiara tersenyum tipis kemudian bangkit dari duduknya.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang..." Suara yang tadinya bersemangat malah kian meredup. Kenapa?
"Brother? Kok jadi brother sih, Kia? Hiasannya juga terkombinasi dengan kertas seperti itu?" tanya Lutri memburu. Ia menahan amarahnya sekarang. Alis matanya menaik.
"Yeee!" Mereka bersorak dan bertepuk tangan tatkala lilinnya telah ditiup oleh sang general manager.
"Terima kasih untuk kalian semua. Ini kejutan yang benar-benar kejutan, sih. HAHAHA." Lehon mengangkat kertas yang untung saja tidak ikut terbakar. "Semoga saja tulisan aslinya bukanlah father," lanjutnya dengan lekungan senyum, walau sudah bisa dipastikan itu adalah paksaan.
"Kok bisa bener sih, Pak?" tanya Kiara dalam hati. Ia mengelus dada sekarang.
"Kuenya juga kecil sekali. Hanya cukup untuk dua orang. Ulang tahun hari ini benar-benar kejutan!" seru Lehon disusul dengan tepuk tangannya.
"Kok bisa bener lagi, sih? Ha?" Kiara menundukkan kepalanya dalam.
"Dira, ini tolong berikan saja pada orang yang membawa kuenya tadi dan kalian silakan buat pesta sendiri. Khusus hari ini bisa pulang jam 3 dan saya akan transfer biaya pesta kalian."
"Baik, Pak." Setelah jawaban itu, semua karyawan yang ikut merayakan di ruangan Lehon segera keluar.
Pria itu sekilas menatap ke arah Kiara yang keluar paling terakhir, masih dengan kepala yang tertunduk. Ia tak berkata apa-apa.
"Apa ada yang mau disampaikan?" tanya Lutri dengan nada tegasnya membuat Kiara tertunduk.
"Kak Lut, kenapa kita tidak ada sesi salam-salaman dengan Pak Lehon? Padahal ini adalah kesempatan emas dan satu-satunya untuk menyentuh tangan lembutnya," decit Nesya. Adik kandung Lutri.
"Sudah berapa puluh kali saya sampaikan, panggil saya ibu di tempat kerja. Di sini, kita adalah rekan kerja, bukan keluarga atau adik kakak!" tegas Lutri. "Sekarang keluar dari ruangan saya dan tolong tutup pintunya."
"Iya ih, galak amat!" Nesya bergumam pelan, namun segera mengiyakan perintah sang kakak yang terkenal tegas itu.
"Apa yang terjadi, Kia? Apa kamu ada masalah? Sejak awal kamu masuk ke sini, saya sudah bilang berkali-kali untuk cerita kalau memang lagi ada masalah. Siapa tau bisa bantu cari solusi."
"Tidak apa-apa, Bu." Kiara menggeleng keras hingga poninya segera menutupi keningnya yang sepertinya lebam.
"Apa itu?" Semakin merasa penasaran.
"Bukan apa-apa, Bu. Kalau memang saya salah dan harus mendapat surat peringatan, silakan saja. Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat pagi!"
Gadis itu keluar dari ruangan dengan menyisakan seribu tanya di kepala Lutri. Ia menatap ke arah kue yang ada di mejanya, lalu bergerak mengantarkan ke meja kerja Kiara.
***
"Apakah Ayah baik-baik saja? Apa tempat tidur di sini cukup nyaman?" tanya Kiara setelah ia sampai di tempat tinggal ayahnya selama ini, bui.
"Cukup nyaman, Sayang. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan keadaan ayah. Pikirkan saja dirimu sendiri dan ... ini apa?" Bimo menunjuk ke arah kening putrinya. "Luka apa ini? Apa kamu dilukai oleh Ben lagi?"
"Tidak sama sekali, Ayah. Mendengar nama ayahku saja, dia sudah takut. Bimo Hernanda!" jawab Kiara dengan ceria dan lantang. Senyum itu benar-benar mengambang di bibirnya sekarang.
"Ayah tidak akan percaya begitu saja. Coba kamu ceritain ke ayah, ada apa?"
Begitulah Bimo, akan selalu mendengar apapun dari putrinya setiap mereka punya waktu untuk bertemu.
Kali ini ia kesiangan, tak menjelaskan alasannya pada sang ayah. Ia menyalakan mesin motor lalu buru-buru berangkat menuju toko yang sebelumnya sudah dipesankan oleh Lutri.
Kala kemacetan melanda, ia dengan sedikit memaksa mencoba lewat dari celah yang ada untuk segera sampai di kantor tepat waktu. Namun, malangnya, ia malah terjatuh dan membuat kue besar pesanan bosnya yang ada di belakang terjatuh dan hancur.
"Mau tidak mau, aku harus menggunakan kue yang bertuliskan father ini, Ayah."
Cerita gadis itu lolos membuat keduanya saling tertawa sambil menikmati potongan kue yang masih bersisakan tulisan 'ther'.
"Lalu, apa bosmu galak? Apa dia pernah melukai hati putri ayah?" tanya Bimo.
Menghela napas panjang. "Yah, aku sangat bersyukur untuk sekarang. Mereka semua baik. Ayah juga tidak perlu khawatir, segalak-galaknya bos, itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku sama sekali tidak ada hubungan dengan mereka. Aku hanya karyawan biasa, Ayah, jadi tenang saja."
"Baiklah, Sayang. Semoga hidupmu selalu bahagia mulai sekarang, bahkan sampai nanti ketika Ayah menghilang dari dunia ini dan duniamu."
"Ayah, jangan berkata seperti itu. Keadilan itu akan selalu didapatkan oleh orang percaya dan tidak bersalah. Ayah tidak bersalah." Gadis itu menjadi sangat sedih.
Bimo tak kuasa menahan air matanya. Ia berniat memeluk putrinya yang bertepatan dengan waktu berkunjung yang telah habis.
"Tolong biarkan aku memeluk putriku," pintanya.
"Tolong, Pak. Biarkan saya memeluk ayahku." Kiara juga berusaha melunakkan hati penjaga dengan mengatupkan kedua tangannya yang hanya berakhir sia-sia.
Ponselnya bergetar sekarang. Panggilan masuk dari Ben.
"Aku harus segera pergi, Ayah. Maafkan aku yang masih belum punya kekuatan untuk mengeluarkanmu dari sini," gumamnya sedih kemudian memakan sisa kue dengan lahap.
"Hei? Dasar wanita jalang, kenapa lama sekali? Apa kau tidak tau seberapa berharganya rasa sabarku menunggumu?" teriak Ben yang sudah menunggu sedari tadi.
Kiara menahan amarahnya dengan mengepal tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia masuk ke dalam mobil.
"Bagaimana keadaan keningmu sekarang?" tanya lelaki itu sambil sengaja menekan lukanya sehingga Kiara meringis kesakitan. "Jangan berlebihan! Diam atau aku akan membunuh ayahmu. Jangan pernah membuatku marah. Ingat itu!"
Plak! Tamparan keras itu benar-benar menyakitkan.
***
Kiara telah sampai di kantornya tepat pukul tujuh. Padahal jam kerja dimulai pukul delapan. Ia memang termasuk karyawan yang paling loyalitas, sangat jarang terlambat.Ia merapikan rambutnya yang ia biarkan terurai untuk hari ini untuk menyempurnakan maksud menutupi luka di keningnya.Ia terus berkaca sambil sesekali memeriksa komputernya yang baru saja ia nyalakan. Tanpa sadar jika Lehon yang telah berada di ruangannya, tengah memperhatikan dirinya dari layar komputer yang tersambung dengan kamera pengawas."Wanita sekarang, datangnya cepat bukannya bekerja malah begaya. Dunia permodelan kah?" ucapnya pada diri sendiri seraya geleng-geleng kepala.Sudah hampir sepuluh menit, dandanan gadis itu masih belum kelar membuat Lehon kembali tertarik untuk memperhatikan. Ia sejenak terbengong, keningnya mengerut ketika gadis itu terus menepuk-nepuk bedak di area keningnya sembari menunjukkan raut wajah kesak
Bimo menatap pakaian tahanannya, tak habis pikir dengan nasibnya sekarang. Ini adalah tahun ke-2 ia mendekam di sel. Masih tak bisa percaya begitu saja.Beberapa saat beristirahat dan bersantai, tahanan terkuat di sana segera meneriaki namanya. Ia yang tak mau membuat masalah tentu saja segera patuh dan menurut."Ada apa, Bos?""Ini." Menendang keranjang berisikan pakaian kotor. "Cuci pakaian kotorku dan jangan coba-coba membuat masalah denganku. Artinya, pintar-pintarlah menjaga mulut," ancam pria berkulit hitam itu. Tatapannya juga ganas.Bimo buru-buru membawa pakaian kotor itu untuk ia cuci. Ya begitulah kesehariannya yang selalu direndahkan dan dibully. Sebagai manusia normal, naluri ingin melawan dan memberontak tentu saja ada. Namun, ia hanyalah manusia lemah dibanding mereka-mereka yang membentuk geng."Keselamatan putriku tiada duanya," gumamnya.***
"Nah. Riri, ini dia Kiara. Kiara, ini dia Riri. Kalian akan bertukar pekerjaan seperti yang aku katakan sebelumnya," terang Ben memberi kejelasan."Sebelumnya? Kamu kan-" Terhenyak. "Maksud saya, Pak Ben nggak ada bilang sebelumnya. Saya benar-benar nggak tau." Kiara benar-benar kebingungan sekarang ini. Terlebih lagi, tatapan semua orang begitu aneh padanya. Terkhusus Riri."Harusnya kamu senang dong, Nona Kiara." Riri sedikit menekankan kata-katanya. "Di sini, kamu akan mendapatkan pengalaman baru. Ayo, ikut saya."Benar-benar canggung, suasananya begitu mencekam. Riri sepertinya tidak suka dengan Kiara, itu terlihat dengan sangat jelas. Walau begitu, ia tetap melangkah mengikuti wanita itu. Bagaimana pun, ia harus mengikuti skenario yang dimainkan oleh Ben."Kamu pakai pelet apa sama Pak Ben sampai tiba-tiba mindahin kamu ke sini yang kamu sendiri aja nggak tau? Nona Kiara, ingat ya, segala sesuat
Lutri tengah sibuk memperhatikan biodata para karyawan di kantornya. Ia terpaku cukup lama dengan biodata Kiara. Ia menatap layar laptopnya hingga terbenong dan dikejutkan oleh sang adik yang memang selalu usil."Aish! Kamu bener-bener ngangetin kakak, deh!" seru Lutri dengan sangat kencang sembari memukul punggung adiknya sehingga menimbulkan bunyi. Korbannya tentu saja meringis."Kakak apa-apaan juga, sih?! Sakit tau. Aw! Sssh!""Diam!" kesal Lutri segera menutup pekerjaannya."Kakak tau nggak sih kalau Pak Lehon ternyata tinggal di daerah sini. Rumahnya di mana, Kak?" Gadis centil penyuka budaya korea itu menggoyang-goyangkan paha kakaknya dan berharap akan mendapat informasi.Lutri bangkit sembari menunjuk-nunjuk keningnya seolah sedang berpikir. Tunggu punya tunggu, ternyata gadis itu malah berlari untuk pergi dari sana."Aku tau... aku beli ayam g
Keesokan paginya, Lehon telah bangun dari tidurnya. Ia merasakan pening di kepalanya sebab kebanyakan minum. Tersentak kemudian sadar. 'Aku pikir tidur di rumah orang lain, ternyata di kamar sendiri,' batinnya merasa tenang dan damai. Perlahan, ia bangkit untuk membereskan kamar tidurnya kemudian berjalan menuju meja makan."Nenek, siapa yang anterin aku ke sini?"Mery yang sebenarnya masih merasa malas pada cucunya itu pun tak sanggup untuk mengabaikan setelah melihat Lehon yang sedang memijit keningnya sendiri."Nenek nggak kenal sama dia, katanya sih teman kamu. Sini..." Membantu Lehon menghilangkan rasa penat di kepalanya."Sepertinya dia Abi. Dia sangat keren, Nenek. Sebentar lagi dia pasti akan memberiku undangan untuk peresmian perusahaannya. Tidak seperti aku yang masih tak berkembang dan masih harus makan gaji setiap bulannya." Menghela napas panjang.Mendorong kepala cucunya sebab merasakan kekesalan yang teramat pada lelaki itu. "Apa-apaan? Dia saja memakai pakaian pelayan
Kiara benar-benar histeris dengan kegiatan Ben yang tengah menyakiti dirinya sendiri. Lelaki itu malah menampar dirinya sendiri untuk memuaskan rasa kesalnya, juga menendang apapun yang ada di hadapannya.Gadis itu mencoba menahan lelaki itu dengan penuh kekuatan hingga tak sengaja memeluknya. Entah dari mana asalnya ketenangan itu, tapi Ben seketika tenang kemudian membalas pelukan Kiara."Apa kamu baik-baik saja sekarang?" tanya Kiara ketika dirinay dituntun untuk masuk lebih dalam ke kamar Ben.Lelaki itu hanya mengangguk kemudian menempelkan kepalanya di dada gadis itu ketika keduanya duduk di atas kasur. "Aku ingin tetap seperti ini, tolong. Aku capek, kepalaku rasanya mau pecah. Maafkan aku, Kiara."Tampaknya lelaki itu telah ketiduran sekarang. Ben benar-benar terlelap dalam dekapan gadis yang masih berusia belasan tahun itu.Kiara masih sangat bingung dengan suasana ini. Entahlah ia harus berbuat apa. Tatkala dirinya hendak bergerak keluar dari sana, ia malah semakin didekap d
Lehon merasa senang sebab neneknya telah pulang. Kini, ia bisa bernapas dengan lega setelah mengunjungi ruangan demi ruangan yang terdiri dari 10 lantai.Sejenak ia terdiam, mencoba memikirkan permintaan dan tuntutan neneknya selama ini. Benar adanya memang. Namun, yang namanya jodoh akan datang jika sudah waktunya. Sekuat apapun kita mengejar, jika memang bukan jodoh maka tetap saja tidak akan bisa dipaksakan.Beberapa menit ia terpaku sebelum akhirnya sadar dengan kegiatan Kiara yang lebih santai dari biasanya. Kini, ia sudah lebih tenang ketika menjawab telepon sambil merapikan meja kerjanya sebelum ia tinggal pulang."Apakah memperhatikan karyawan seperti ini ada manfaatnya?" tanyanya pada diri sendiri yang tentu saja tidak ada jawaban.Beberapa saat setelahnya, ia sadar jika memang sudah waktunya pulang. Ah, ia sampai lupa jika neneknya bahkan harus makan di kantor karena penasaran akan kondisi karyawan dan kinerjanya."Baru aja beberapa saat berpisah dari nenek, sekarang sudah h
Abi tengah duduk bersantai dengan Riri. Keduanya merasa senang sebab telah mendapat kepercayaan dari Ben.Keduanya sangat yakin jika Kiara akan mendapat siksaan lebih lagi dari pria itu jika laporan mereka berhubungan dengan dekatnya gadis itu pada orang lain."Aku sudah bilang berkali-kali, Riri. Pak Ben memang ada perasaan sama Kiara."Riri mengangguk setuju. "Iya. Aku percaya dan setuju dengan ucapanmu, tapi kasihan juga gadis itu. Dia masih sangat muda, harus mendapat siksaan dari Pak Ben yang padahal nggak pernah jujur akan perasaaanya.""Ngapain kamu peduliin kehidupan mereka? Mau nyusul? Atau jangan-jangan kamu merasa cemburu lagi sama Kiara dan berharap kamulah yang ada di sisi Pak Ben?""Astaga." Riri kaget mendengar perkataan pacarnya itu. "Kita sudah dewasa, Sayang. Ngapain sih masih ada pemikiran kayak gitu. Mending kita fokus sama karir kita sekarang. Bagaimana pun, usia kita sudah usia yang harus menikah dan aku menginginkan itu."Abi tidak menanggapi perkataan Riri sete