Share

Anak Pembunuh

Bimo menatap pakaian tahanannya, tak habis pikir dengan nasibnya sekarang. Ini adalah tahun ke-2 ia mendekam di sel. Masih tak bisa percaya begitu saja.

Beberapa saat beristirahat dan bersantai, tahanan terkuat di sana segera meneriaki namanya. Ia yang tak mau membuat masalah tentu saja segera patuh dan menurut.

"Ada apa, Bos?"

"Ini." Menendang keranjang berisikan pakaian kotor. "Cuci pakaian kotorku dan jangan coba-coba membuat masalah denganku. Artinya, pintar-pintarlah menjaga mulut," ancam pria berkulit hitam itu. Tatapannya juga ganas.

Bimo buru-buru membawa pakaian kotor itu untuk ia cuci. Ya begitulah kesehariannya yang selalu direndahkan dan dibully. Sebagai manusia normal, naluri ingin melawan dan memberontak tentu saja ada. Namun, ia hanyalah manusia lemah dibanding mereka-mereka yang membentuk geng.

"Keselamatan putriku tiada duanya," gumamnya.

***

Ben membawa tas kerja Kiara dan memasukkannya ke dalam mobil. Gadis yang baru saja menyelesaikan sarapannya dan tengah membersihkan piring kotor sedikit memelankan gerakannya. Mencoba memastikan kegiatan Ben tanpa harus melihat dengan matanya.

"Cepat sedikit. Nanti kamu telat!"

Kiara masuk ke dalam kamarnya untuk berkaca sebentar. Mencabut charger yang tertancap di sambungan listrik lalu keluar dari sana.

"Masuk sekarang!" 

Ben sudah duduk di kursi supir membuat gadis itu terkejut. "Em ... aku nggak lagi sakit kok, Ben. Aku bisa kok bawa motor sendiri, motorku juga nggak lagi rusak."

"Diam dan menurutlah. Itu lebih baik dan pantas untukmu sebagai anak pembunuh." Jawaban Ben tentu saja membuat Kiara memanas, namun lagi tetap saja ia tahan dan meredam emosinya.

Beberapa saat kemudian, mobil itu telah berada di parkiran. Ben memberikan tas Kiara yang di dalamnya ada benda tambahan dari Ben.

"Ini, di dalam ada sekotak permen yang bisa membantu merilekskan. Kamu bisa konsumsi itu selama di kantor."

Tentu saja, Kiara kaget bukan main. Ia bahkan tak bisa berkata apa-apa sekarang. Malah, tatapannya kosong dan aneh ke arah pria itu.

"Kenapa? Takut aku racuni? Atau mau dibuat racun beneran?" tanya Ben seraya memainkan serbuk putih yang entah itu apa. "Ini, nah!" Melemparkan ke arah kaki gadis itu yang membuatnya mau tidak mau harus menerima pemberian Ben.

"Makasih. Aku kerja dulu, ya. Hati-hati di jalan," ucapnya kemudian berjalan cepat meninggalkan pria itu.

Ben menatap ke sekeliling, ternyata ada Nesya di sana. Sebelum ia mendapat pertanyaan juga, baiknya ia pergi.

"Kia, Kia? Kiara?" panggil gadis itu heboh seraya berlari mengejar langkah kaki Kiara yang sudah memasuki kantor.

Ia baru bisa mengejarnya di lokasi print finger.

"Eh, ada Kak Nesya? Kok aku nggak liat ya tadi?" sapa Kia.

"Hm. Bukan nggak liat, kamunya aja yang jalannya lurus banget plus cepat. Aku manggil-manggil juga. Kamu nih, ya!" balas gadis itu sedikit kesal. 

"Ya, maaf. Aku juga lagi ada kerjaan. Pagi ini. Duluan, Kak!" Kiara segera berlari untuk menaiki tangga. Baginya itu adalah jalan keluar dibanding harus menaiki lift sama-sama dengan Nesya.

"Eh, eh. Yang tadi pacar kamu, ya?"

"Tuh, kan. Aku udah bisa tebak. Huh!" Gadis itu membuang napas dengan kasar, lalu sebisa mungkin masuk ke ruangannya dengan cepat.

Beruntung keduanya tidak berada di satu divisi sehingga tidak akan ada waktu untuk bertanya hal yang sama.

***

Ben pulang dan segera memasuki kafe yang juga adalah miliknya. Ia tersenyum pahit menatap dirinya di dalam cermin. Tak ragu, menjambak dirinya sendiri kemudian meninju meja yang ada di hadapannya.

"Ada apa? Kenapa denganku? Kenapa harus merasa bersalah? Bukankah itu pantas didapatkan oleh anak seorang pembunuh? Karma harus didapatkan gadis itu. Aku juga sudah cukup membantunya."

Ia teringat bagaimana dirinya berusaha membantu Kiara membuat identitas baru kemudian membawanya pergi ke kota ini sebab ayahnya yang dipenjara di kota ini.q

"Lalu apa sekarang?" tanyanya kesal dengan nada yang sangat tertekan. 

Beberapa menit setelahnya ia telah berada di luar ruangan. Mengumpulkan karyawannya dan memilih salah satu wanita yang segera ia sampaikan maksud dan tujuan.

"Kamu pindah ke bar."

"Loh! Kenapa, Pak? Apa kinerja saya kurang bagus?" tanya Riri dengan nada kaget. Di sini, ia adalah karyawan paling senior yang selama ini dipercaya untuk membimbing karyawan lain. Lalu apa sekarang?

"Kinerja kamu bagus, kok. Cuma saya maunya ya itu. Kamu kerja di bar, Kiara kerja di sini. Jadi pas, kan?"

'Oh. Jadi gara-gara dia aku diusir dari tempat kerja paling nyaman ini? Okey, tunggu tanggal mainnya,' batin wanita itu kemudian mengangguk setuju. "Baik, Pak. Mulai kapan saya akan pindah ke bar?"

"Besok saja. Nanti malam kamu ajarin dulu tuh Kiara tentang semua pekerjaan kamu. Dia pintar, kok. Cukup bisa diandalkan, jadi kamu nggak usah terlalu khawatir." Tanpa sadar, Ben sedang memuji gadis yang kerap disiksanya itu.

'Ha? Jadi, dia yang akan ada di bagianku? Luar biasa sekali godaanmu, Kiara. Lihat saja nanti. Tunggu!' Riri benar-benar merasa geram. Kedua tangannya mengepal sempurna.

"Hei! Kenapa bengong?"

"Iya-iya, saya setuju, Pak. Kalau begitu, saya ke belakang dulu. Saya akan buatkan ringkasan pekerjaan saya sekarang juga."

"Hm."

***

Lehon tampak sangat sibuk ketika neneknya menelepon dan memberi tahu jika ia harus pulang cepat sebab ada gadis yang harus ditemui. Begitulah neneknya yang sudah sangat ingin cucu satu-satunya ini segera menikah.

Lehon menjadi frustasi. Ia berpikir keras untuk menolak permintaan neneknya itu. Baginya, bekerja mati-matian dan menghabiskan sepanjang waktu di kantor lebih baik dibanding harus berkenalan dengan gadis-gadis yang sama sekali tak ia minati.

Sebuah lengkungan berbentuk senyum tergaris di bibirnya. Ia bergerak menuju tangga ketika hidungnya segera mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Ia sedikit mendongak ke arah kamera pengawas. Berharap akan menjadi bukti, jika ia tidak bisa pergi sekarang.

"Pak Lehon? Kenapa, Pak? Pak Lehon terluka!" teriak Nesya yang kebetulan lewat.

"Saya tidak apa-apa, hanya..."

Kiara yang kebetulan lewat dan sedang membawa tisu pun sedikit mendekat dan memberikan beberapa lembar pada bosnya itu. Lehon menatap dengan melongo sekarang.

"Pak Lehon tidak terluka. Dia hanya mimisan. Iya kan, Pak? Saya juga sering begitu, kalau kelamaan di bawah matahari langsung. Tidak apa-apa." Kiara berucap santai membuat Lehon lebih terkejut lagi.

Kini, ia memasang wajah masam sembari membersihkan cairan kental di hidungnya yang padahal akan ia peralat. 'Sia-sia aku ke lapangan seharian ini,' batinnya seraya mendengus.

"Untuk bapak saja." Kiara berjalan santai seraya bergumam. "Kan, aku jadi kembali lagi. Padahal tadinya udah mau keluar." Sembari menepuk-nepuk perutnya.

"Kurang ajar. Dia benar-benar memberikan tisu yang hendak digunakan membersihkan pantatnya. Kurang ajar sekali Anda, benar-benar tidak sopan, dan tidak menghargai saya. Saya GM!" Matanya menyipit, tak lagi dapat menahan kesal. Sungguh.

Sementara Nesya, buru-buru masuk ke ruangannya. Ia sedikit menahan malu akan kehebohannya. Berkali-kali ia menampar mulutnya. "Dasar lebay, dasar lebay!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status