Share

Belum Siap Menikah
Belum Siap Menikah
Author: PRINCESS MEYMEY

Pernikahan yang Tak Diharapkan

Aminah yang sedang enak makan, langsung berdiri ketika mendengar pengumuman dari kedua orang tuanya.

"Apa? Dijodohin? Emangnya zaman Siti Nurbaya apa, ya, pakai acara dijodohin segala? Mak, Yah, aku ini udah besar, bisa menentukan pilihan sendiri! Enggak perlu dijodoh-jodohin segala!" ujar Aminah dengan nada tinggi.

Suasana di ruang makan begitu tegang melebihi tegangan listrik. Terik matahari, tak sepanas suasana yang sedang terjadi di rumah kediaman Bapak Abdul Latif (ayah Aminah).

"Lagian kamu setelah lulus SMA, emangnya mau ke mana? Kuliah? Anak perempuan itu enggak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga ngurus dapur, sumur, dan kasur," ujar Sarah Azhari (emaknya Aminah) dengan perasaan marah karena anaknya menolak perjodohan.

"Emak sama Ayah khawatir dengan biaya kuliahku, kan? Makanya memilih untuk menjodohkan aku dengan laki-laki yang jarak usianya jauh banget sama aku. Masa aku nikahnya sama om-om! Apa kata teman-temanku, Ma? Malu tahu!" Aminah terus memberontak karena merasa masa depannya akan direnggut.

"Aminah! Kalau kamu menikah dengan Sulaiman, masa depan kamu pasti akan terjamin. Coba sih, nurut sama orang tua. Susah banget dibilangin. Lagian, kenapa sekarang kamu berani banget melawan orang tua?" Sarah semakin terpancing api amarah. Dia sampai menyalahkan orang lain atas sikap anaknya yang dirasa menjadi pembangkang. "Apa ini pengaruh dari Sinta, ya? Yang ayahnya tukang mabok, emaknya sampai nikah lagi, dan hidupnya sekarang jadi enggak jelas karena perceraian kedua orang tuanya." Sarah menatap Aminah dengan sorot mata yang tajam.

"Emak apaan, sih! Kenapa malah bawa-bawa orang lain?" ujar Aminah yang semakin kesal. "Lagian, Sinta orangnya baik, kok, enggak seperti yang emak pikir." Aminah menghela napas berat. Lalu, pergi ke kamar.

Latif hanya diam, menyaksikan pertengkaran anak dan istrinya sambil berpikir.

Aminah Shidqiyyah Mahdiyah itulah namanya. Dia adalah seorang wanita yang luar biasa pintar dan berbakat. Sejak usia muda, Aminah telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan keinginan yang kuat untuk belajar. Dia memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidang memasak, serta kefasihan dalam berbagai bahasa.

Beberapa menit kemudian, Aminah kembali dengan membawa selembar kertas.

"Aku dapat beasiswa di dua kampus, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Ottimmo International yang ada di Surabaya. Kedua kampus itu ada jurusan Tata Boga. Aku tinggal pilih mau ambil kampus yang mana." Aminah menghela napas pendek. Dia duduk dan minum segelas air mineral sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. "Emak sama Ayah tahu banget, kan, kalau aku paling suka masak? Jadi, tolong banget, izinkan aku untuk menambah pengalaman memasakku. Aku ingin menjadi juru masak seperti Chef Renata."

"Hey, Aminah! Kalau cuma mau belajar masak, kamu enggak perlu capek-capek kuliah, kan bisa emak ajarin. Tinggal bilang aja mau belajar masak apaan!"

"Tapi, Mak ...!" Belum juga melanjutkan ucapannya, jantung Aminah terasa seperti mau copot karena mendengar suara gebrakan ayahnya di atas meja. Aminah ketakutan.

Suasana sepertinya semakin memanas. Latif, ayah Aminah, yang sedari tadi menahan amarah, menjadi murka. Emosinya meledak-ledak. "Aminah! Cukup! Pokoknya kamu tidak boleh membantah. Ini sudah keputusan ayah sama emak kamu. Lusa, calon suami kamu dan keluarganya akan datang untuk melamar. Kamu harus bersiap-siap."

Aminah berlari ke kamarnya sambil menangis. Impiannya benar-benar akan terbunuh.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Aminah berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah universitas terkemuka. Selama di sekolah, dia terus menunjukkan bakat dan kecerdasannya dalam berbagai bidang. Selain itu, dia juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti menjadi anggota tim debat, editor majalah kampus, dan mengikuti kursus bahasa asing. Namun, nasib berkata lain, meskipun memiliki potensi yang luar biasa, dia terpaksa menikah di usia muda karena perjodohan yang diatur oleh kedua orang tuanya.

***

Pada suatu hari yang ditunggu-tunggu, pernikahan Aminah akhirnya tiba. Acara pernikahan itu diadakan dengan megah dan penuh khidmat. Keluarga dan teman-teman yang hadir merasakan kebahagiaan dan kebanggaan atas pernikahan Aminah.

Pernikahan itu diadakan di sebuah tempat yang indah, dengan hiasan yang elegan dan nuansa yang romantis. Aminah mengenakan gaun pengantin yang indah, memancarkan kecantikan dan keanggunan. Meskipun merasa terkekang dengan pernikahan yang tidak diinginkan, tetapi Aminah berusaha menjalani hidupnya dengan bijaksana. Sungguh malang nasib Aminah. Dia terpaksa mengikuti keinginan orang tuanya yang masih berpikiran kolot.

Senyum bahagia pun terpancar dari wajahnya.

Upacara pernikahan dimulai dengan adat dan tradisi yang kental.

"Saya nikahkan anak kandung saya yang bernama Aminah Shidqiyyah Mahdiyah dengan mas kawin berupa emas sebesar 10 gram dan seperangkat alat salat, dibayar, tunai!" ujar Abdul Latif yang akrab disapa Latif dengan tegas.

"Saya terima nikah dan kawinnya Aminah Shidqiyyah Mahdiyah binti Abdul Latif dengan mas kawin tersebut. Dibayar, tunai!" jawab pria bernama lengkap Muhammad Sulaiman Rasyid dengan satu helaan napas. Pria tersebut akrab disapa Sulaiman.

"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu.

"Sah!"

"Alhamdulillahi Rabbil 'alaamiin .... Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir."

Tahmid berkumandang, disambut dengan tangisan haru yang membanjiri ruangan. Jantungnya berdebar, seakan habis lomba lari. Kini, Aminah sudah sah menjadi istrinya Sulaiman, seorang pria pilihan orang tuanya.

Aminah tidak pernah mengira kalau hidupnya akan berakhir seperti ini. Usianya baru saja menginjak 18 tahun, masih banyak mimpi yang belum dikejar, tetapi terpaksa harus menikah dengan pria yang sama sekali tidak dicintai.

Perjodohan ini terjadi karena pandangan orang tua Aminah yang masih memegang teguh tradisi dan nilai-nilai konservatif. Masyarakat pada zaman dulu, sering kali menganggap bahwa perempuan memiliki peran yang terbatas pada urusan rumah tangga, khususnya di dapur, dengan tugas utama memasak untuk suami.

"Ayah, Emak, kenapa sih, kalian tega membunuh impianku?" Aminah membantin. Dia merasa terkekang oleh pandangan-pandangan tersebut. Dia memiliki impian dan ambisi yang lebih besar. Dia ingin mengejar pendidikan, mengeksplorasi dunia, dan memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri.

Namun, dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi dan budaya patriarki, keinginan Aminah diabaikan. Orang tuanya lebih mengutamakan faktor keamanan dan stabilitas ekonomi daripada kebahagiaan dan kebebasan individu. Mereka percaya bahwa pernikahan ini akan memberikan Aminah kehidupan yang mapan dan dijamin oleh pria yang dianggap baik oleh mereka.

"Tuhan! Kenapa nasibku seperti ini banget, sih? Emang salah, ya, anak kampung memiliki impian yang besar seperti anak kota di luar sana? Bukankah kami sama-sama makhluk ciptaan-Mu yang memiliki hak untuk memilih, ya? Lalu, kenapa anak kampung sepertiku tidak dibolehkan untuk memilih dalam menentukan hidupnya sendiri? Kenapa? Kenapa?" Mata Aminah berkaca-kaca. Dia hanya bisa memberontak dalam hati sambil memberikan senyum palsu kepada semua orang yang hadir di pernikahannya.

Meskipun Sulaiman adalah seorang pria yang baik, bertanggung jawab, dan mapan secara finansial, tetapi Aminah tidak merasakan kebahagiaan dalam pernikahan ini. Dia tidak memiliki rasa cinta atau daya tarik romantis terhadap Sulaiman. Bagi Aminah, pernikahan ini hanya merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi sebagai anak.

Aminah dan Sulaiman, duduk di pelaminan dihadapan tamu-tamu yang hadir. Mereka saling bertatap muka dengan perasaan campur aduk—gugup, harap, dan cemas. Rasa cinta mungkin akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Setiap langkah dan gerakan dalam upacara tersebut dipenuhi dengan simbol dan makna yang mendalam.

Setelah upacara pernikahan selesai, diadakanlah resepsi yang meriah. Suasana penuh kegembiraan dan keceriaan menyambut pasangan baru tersebut. Aminah dan Sulaiman berjalan di tengah-tengah kerumunan, disambut dengan tepuk tangan dan sorakan dari para tamu yang mengucapkan selamat.

Pada resepsi tersebut, Aminah menampilkan bakatnya dalam memasak dengan menyajikan hidangan-hidangan istimewa yang diciptakan sendiri. Setiap hidangan terasa lezat dan memikat lidah para tamu. Banyak yang terkagum-kagum dengan kemampuan memasak Aminah yang luar biasa. Dia memperoleh banyak pujian dan apresiasi atas keterampilannya yang luar biasa di dapur.

"Duh, pengantinnya kenapa ikut sibuk menyajikan makanan untuk tamu?" ujar salah seorang ibu yang mengenakan baju dress model zaman dulu, berwarna merah tua.

"Iya. Tadi udah dilarang, tapi Aminah kekeh ingin membantu. Katanya ingin menjamu tamu dengan baik," timpal seorang ibu lainnya.

"Masakan Aminah memang tidak diragukan lagi sih, Bu. Aminah memang pintar memasak, pernah ikut lomba masak dalam acara 17 Agustus." Seorang ibu yang berdiri di belakang Aminah menambahkan.

Meskipun pernikahan ini bukan pilihan pribadinya, tetapi Aminah berusaha menjalani hari-harinya dengan bijaksana dan membawa kebahagiaan dalam setiap momen yang dilalui. Dia menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menerima situasi ini dan berusaha menjadikan pernikahannya sebagai kesempatan untuk tumbuh dan belajar.

Kehadiran Sulaiman, sang suami, juga memberikan kejutan positif bagi Aminah. Meskipun awalnya merasa canggung dan tidak akrab, tetapi mereka berdua mulai membangun hubungan yang baik satu sama lain.

"Kamu menyesal ya, nikah sama aku?" tanya Sulaiman sambil menatap Aminah dengan rasa bersalah.

Aminah menundukkan pandangan meskipun Sulaiman sudah menjadi suaminya. "E-enggak kok. Kan sebagai anak, harus nurut sama orang tua kalau enggak mau dibilang durhaka," jawab Aminah dengan suara gemetar.

Sulaiman memegang dagu Aminah, lalu mengangkat kepalanya agar Aminah menatapnya.

"Kamu tenang saja. Aku tidak akan pernah memaksakan apa pun tanpa seizinmu. Kalau kamu keberatan aku sentuh seperti ini pun, aku minta maaf." Sulaiman melepaskan tangannya.

Aminah menghela napas pendek sambil menatap suaminya dalam-dalam. "Kenapa harus minta maaf? Kan kamu sudah menjadi suamiku. Jadi, kamu punya hak untuk menyentuhku, bahkan semua tubuhku ini pun sudah menjadi milikmu." Perasaan Aminah bergemuruh. Dia bahkan merasa jijik dengan ucapan yang baru saja dilontarkan dari bibirnya sendiri.

Lalu, karena Aminah tak mampu berlama-lama menatap laki-laki yang berada di sampingnya itu. Dia pun mengalihkan pembicaraan.

"Emm, ada tamu tuh, yuk kita berdiri untuk menyambut mereka," ujar Aminah yang saat ini sudah berdiri.

Sulaiman menelan ludahnya. Dia tersenyum tipis. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Mereka pun menyambut tamu dengan penuh senyuman. Mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa-doa yang diucapkan untuk mereka.

Pada akhir acara pernikahan tersebut, Aminah menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana yang kita buat. Namun, dengan ketulusan hati, semangat yang kuat, dan kemampuan untuk menemukan keindahan dalam setiap situasi, dia mampu menciptakan kehidupan yang penuh arti dan kebahagiaan, bahkan dalam pernikahan yang diatur.

***

Di dalam kamar, tubuh Aminah bergetar. Dia sudah siap dengan pakaian terbaiknya untuk melayani sang suami. Dengan mata berkaca-kaca, Aminah terpaksa memberikan senyuman palsu dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada pria yang ada di hadapannya itu.

Sulaiman duduk di sebelah Aminah, menatap Aminah dengan tatapan nafsu, sebagaimana seorang pria normal pada umumnya. Apalagi tubuh molek Aminah yang begitu menggoda dan warna kulit putihnya, menambah daya tarik tersendiri.

Sulaiman menyentuh tubuh Aminah dengan lembut. Aminah menutup matanya dan merasakan sentuhan itu secara mendalam.

"Kamu benar-benar cantik, Aminah. Aku beruntung bisa memilikimu seutuhnya sebagai seorang suami."

Sulaiman melanjutkan dengan suara bergetar, "Aku berharap kita bisa membina kehidupan yang bahagia bersama, Aminah. Aku berjanji akan melindungi dan menyayangimu sebaik mungkin."

Aminah membuka matanya, tetapi ekspresinya masih terlihat penuh keraguan. Dia mencoba memberikan senyuman kecil, tetapi terlihat ragu-ragu. Sulaiman merasa kebingungan melihat reaksi Aminah.

"Sungguh, Aminah. Aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatmu bahagia. Aku mengerti bahwa pernikahan ini mungkin bukanlah yang kamu harapkan, tetapi aku berjanji akan memberikanmu kehidupan yang nyaman dan mendukung dalam setiap hal yang kamu inginkan."

"Bukan mungkin, tapi memang pernikahan ini bukanlah yang aku inginkan!" Aminah membatin dan menatap Sulaiman dengan tatapan kosong, masih merasa terjebak dalam pernikahan yang tidak dia pilih. Dia merasakan kekosongan di dalam hatinya, tetapi juga sadar bahwa dia harus mencoba untuk menjalani kehidupan ini dengan ikhlas.

"Sulaiman, aku menghargai usahamu. Aku berharap kita bisa saling mendukung dan memahami satu sama lain. Aku juga berharap bisa mengejar impian-impianku meskipun dalam pernikahan ini."

Sulaiman merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Dia ingin Aminah merasa bahagia, meskipun dia juga merasakan ketidakcocokan di antara mereka. Dia menggenggam tangan Aminah dengan lembut.

"Aminah, kita akan mencari cara untuk menjalani pernikahan ini dengan baik. Aku akan selalu mendukungmu dalam mengejar impian-impianmu, dan aku berharap kita bisa membangun hubungan yang kuat dan harmonis."

Meskipun masih terdapat ketidakpastian dalam hati mereka, Aminah dan Sulaiman berusaha untuk menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini dengan ikhlas dan saling mendukung. Hanya waktu yang akan menunjukkan bagaimana nasib hubungan mereka berjalan ke depan.

Malam itu, Aminah melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri untuk memenuhi kebutuhan biologis suaminya. Sulaiman merasakan kenikmatan yang didapat dalam tubuh Aminah. Berbeda dengan Aminah, meskipun sedang melayani suaminya, tetapi pikirannya berlarian ke berbagai arah.

Aminah berharap, seiring berjalannya waktu, dia dapat menemukan cara untuk menjalani pernikahan ini dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dia berusaha untuk tetap setia dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang istri, tetapi di dalam hatinya, ada keinginan yang lebih besar untuk mengejar impian-impian dan kebebasannya.

Tidak jarang, situasi seperti ini sering terjadi di berbagai budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Perjodohan yang dilakukan tanpa melibatkan keinginan dan perasaan individu dapat menyebabkan kehidupan pernikahan yang tidak bahagia dan tidak memuaskan. Penting untuk menghormati keinginan dan aspirasi individu, terutama dalam hal memilih pasangan hidup, sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk mengejar kebahagiaan dan kebebasannya sendiri.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status