Share

Cita Rasa Tersembunyi

Setiap kali memasak, Aminah melibatkan diri sepenuhnya dalam proses tersebut. Dia mempelajari resep-resep tradisional dari berbagai daerah, mencoba memahami teknik-teknik yang tersembunyi di balik setiap hidangan. Dengan penuh antusiasme, Aminah berkreasi, menambahkan bumbu-bumbu baru, dan menciptakan kombinasi rasa yang mengejutkan.

Suatu sore, ketika Aminah sedang memasak di dapur, Sulaiman datang menghampirinya. Dia mencium aroma harum yang menyengat ruangan dan melihat Aminah sibuk dan sangat serius di depan kompor.

"Aroma itu begitu menggugah selera, Aminah. Apa yang kamu masak hari ini?" tanya Sulaiman sambil mengendus aroma masakan Aminah.

Aminah tersenyum lembut. "Terima kasih, Sulaiman. Aku sedang mencoba resep baru dari daerah Sumatera. Ini adalah rendang yang diolah dengan bumbu-bumbu khas dan rempah-rempah segar."

Sulaiman terkejut. "Rendang? Itu tidak seperti rendang biasanya. Kamu selalu berhasil membuat hidangan yang istimewa, Aminah."

Aminah merasa sedikit gugup. "Aku senang kamu suka. Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda dan memberikan sentuhan pribadi pada masakan yang akan aku hidangan untuk keluarga kita."

"Kamu benar-benar memiliki kemampuan yang luar biasa dalam memasak, Aminah. Rasanya selalu istimewa dan tidak pernah membosankan. Aku terkesan dengan bakat kulinermu."

Aminah merasa senang mendengar pujian dari suaminya. "Terima kasih, Sulaiman. Memasak adalah kegiatan yang dapat memberiku kebahagiaan dan ruang untuk berkreasi."

Sulaiman memegang tangan Aminah dengan lembut. "Aminah, aku berharap kita bisa melakukan lebih banyak dengan bakat dan kecerdasanmu. Kamu memiliki potensi yang luar biasa dan aku ingin melihatmu berkembang dalam lingkungan yang lebih luas."

Aminah menghela napas. "Sulaiman, kamu tahu kan, kalau aku ingin melakukannya karena itu mimpiku. Namun, kewajiban sebagai seorang istri selalu menjadi prioritas utamaku. Aku harus menyesuaikan diri dengan peran sebagai seorang istri dan menantu yang diharapkan di keluargamu."

Sulaiman menggenggam tangan Aminah dengan penuh dukungan. "Aku mengerti, Aminah. Tetapi ingatlah bahwa aku selalu ada di sampingmu. Aku ingin melihatmu bahagia dan mewujudkan impianmu. Bersama-sama, kita akan menemukan jalan untuk mewujudkannya."

Aminah tersenyum, merasa didukung oleh kata-kata dan dukungan Sulaiman. Meskipun keterbatasan yang dihadapinya, tetapi Aminah tahu bahwa ada seseorang yang melihat potensi sejatinya dan percaya pada kemampuannya. Dalam hatinya, dia berharap bahwa suatu hari nanti, bakat dan kecerdasannya tidak lagi terkekang oleh batasan-batasan sosial.

Ketika keluarga Sulaiman berkumpul di ruang makan. Aminah memasuki ruangan dengan penuh percaya diri, membawa hidangan yang baru saja diciptakan. Dia menghidangkan hidangan rendang khas Sumatera kepada keluarga Sulaiman. Dalam suasana makan malam yang hangat, aroma harum rendang memenuhi ruangan, membuat perut mereka bergemuruh.

Sambil mengambil sejumput rendang dengan sendok, Sulaiman berseru, "Wow, Aminah! Rasanya benar-benar lezat! Ini bukan seperti rendang biasa yang pernah aku cicipi sebelumnya."

Aminah tersenyum bangga. "Terima kasih, Sulaiman. Aku mencoba memberikan sentuhan pribadi pada hidangan ini. Rendang khas Sumatera ini diolah dengan bumbu-bumbu khas dan rempah-rempah segar." Dalam hatinya, Aminah berkata, "Padahal kan dia sudah tahu kalau aku masak apa. Pakai acara terkejut pula nih orang." Dia menautkan alisnya dan tersenyum tipis.

Khadijah, ibu mertua Aminah, yang duduk di sebelahnya, mencicipi rendang dengan ekspresi kagum.

"Aminah, ini benar-benar enak! Rasanya begitu lembut dan beraroma. Bagaimana kamu bisa membuatnya seperti ini?" tanya Khadijah sambil mengunyah.

Aminah tersenyum lembut. "Aku telah mempelajari resep ini dengan tekun dan mencoba untuk menciptakan rasa yang menggugah selera. Aku senang kalian menyukainya."

Ayah Sulaiman, Abbas, yang biasanya jarang memberikan pujian, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Aminah, rendangmu sungguh luar biasa. Rasanya seolah-olah aku sedang makan di restoran mewah. Kamu memiliki keahlian yang tak ternilai dalam memasak."

Aminah tersenyum haru. "Terima kasih, Ayah. Saya senang dapat menyajikan hidangan yang menggugah selera kepada keluarga kita."

Hidangan rendang Aminah tidak hanya mengisi perut mereka, tetapi juga membawa kebahagiaan dan kekaguman di antara keluarga Sulaiman. Aminah dengan penuh kebanggaan menyadari bahwa kreativitas dan kecerdasannya dalam memasak dapat menembus batasan-batasan sosial.

Pada saat-saat seperti ini, Aminah merasakan kepuasan yang tak ternilai, mengetahui bahwa bakat dan usahanya tidak sia-sia. Dia berharap kehangatan di keluarga ini akan terus terjaga dan semakin bertumbuh hingga kelak dia benar-benar bisa mencintai Sulaiman seutuhnya sebagai pasangan.

"Oh iya, aku ada satu hidangan lagi," ujar Aminah dan beranjak dari tempat duduknya.

Keluarga Sulaiman saling bertatapan. Merasa penasaran dengan menu makan malam kedua yang akan disajikan kepada mereka.

Tiga puluh menit kemudian, Aminah kembali ke ruang makan dari arah dapur, tempat dia memasak.

"Ini adalah hidangan khas Mediterania dengan sentuhan khas yang kubuat sendiri. Aku berharap, kalian juga menyukainya."

Sulaiman berbisik kepada Aminah. "Perasaan, tadi sore kamu cuma masak rendang doang, deh! Kenapa ada menu lain?" tanyanya.

"Kan mau buat kejutan. Enggak boleh, ya?" tanya Aminah dengan rasa bersalah.

Sulaiman belum menjawab pertanyaan dari istrinya itu, ayah Sulaiman, Abbas, berdehem.

"Sepertinya kita jadi obat nyamuk di sini, Ma. Apa kita makannya pindah ke ruang keluarga atau ruang tamu, gitu? Eh, enggak. Kita makan di luar saja kali ya, Ma." Abbas sengaja menggoda anak dan menantunya agar suasana tidak menjadi tegang.

Khadijah mencubit perut suaminya dengan pelan. "Papa enggak boleh gitu, ah! Nanti mereka malu, loh! Kayak enggak pernah muda aja. Kan mereka masih pengantin baru." Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memandangi hidangan yang ada di hadapannya dengan rasa penasaran yang membayang di mata.

Pipi Aminah memerah. "Kamu, sih. Pakai bisik-bisik segala. Kan aku malu sama mama dan papa."

"Soalnya kamu enggak bilang tadi kalau buat makanan penutup, tapi boleh juga sih. Kamu memang istri idaman banget yang pintar masak." Sulaiman tak henti memuji kemampuan istrinya dalam bidang memasak.

Khadijah bertanya, "Ini apa, Aminah? Sepertinya saya belum pernah mencoba sebelumnya."

Aminah tersenyum. "Ini adalah falafel dengan tabbouleh segar dan saus yoghurt mint yang lezat. Coba saja, Ma. Mama pasti akan terkejut dengan rasanya."

Sulaiman mengangguk setuju. "Setiap kali kamu memasak, hidanganmu selalu memiliki sentuhan yang istimewa. Aku merasa seperti sedang makan di restoran mewah setiap kali kita menikmati makananmu, Aminah."

Dengan penuh antusias, keluarga Sulaiman mencicipi hidangan yang disajikan oleh Aminah. Mereka memasukkan sepotong falafel ke mulut mereka, rasa renyah dan rempah-rempah yang lezat langsung meledak di lidah mereka. Mereka tidak bisa menyembunyikan kekaguman atas keunikan rasa dan penyajian yang diberikan oleh Aminah.

Khadijah sambil mengunyah dengan senang. "Khadijah, ini enak sekali! Aku tidak pernah berpikir falafel bisa selezat ini."

Sulaiman tersenyum bangga dan merasa terkesan. "Aminah, kamu sungguh luar biasa. Bakat kulinermu membawa kebahagiaan kepada kami. Kamu membuat setiap hidangan menjadi pengalaman yang tak terlupakan." Dia menyadari bahwa istrinya memiliki kemampuan yang luar biasa, melebihi apa yang pernah dibayangkan.

Aminah tersenyum bahagia. "Terima kasih, Sulaiman. Kebersamaan kita di meja makan adalah salah satu momen yang membuatku bahagia. Aku senang dapat memberikan kelezatan dan keunikan melalui hidangan-hidangan yang aku sajikan."

Makan malam itu berlangsung dengan kegembiraan dan rasa syukur. Keluarga Sulaiman menikmati setiap suap makanan dengan penuh rasa kagum terhadap bakat kuliner yang dimiliki oleh Aminah. Mereka merasakan kebahagiaan yang tercipta melalui hidangan-hidangan istimewa itu. Hal tersebut memberikan mereka pengalaman kuliner yang tak terlupakan.

Dalam hati, Aminah merasa senang karena bisa membawa kebahagiaan kepada keluarga barunya melalui keahlian memasaknya. Meskipun dengan keterbatasan yang ada, tetapi Aminah menemukan cara untuk mengekspresikan kecerdasan dan kreativitasnya melalui hidangan-hidangan yang disajikan. Kelezatan dan keunikan setiap hidangan adalah bukti bahwa bakatnya tidak bisa dibendung begitu saja.

Aminah membatin. "Semoga suatu hari nanti, aku dapat menunjukkan bakat memasakku kepada orang di luar keluargaku dan bisa berbagi ilmu yang aku miliki kepada mereka yang ingin belajar memasak serta mengetahui bagaimana cara menghidangkan makanan yang estetik," ujarnya dengan penuh harapan.

***

Suatu hari, Aminah merasa dirinya seakan tidak berkembang kalau terus-terusan terkekang oleh batasan-batasan ini. Dia ingin menerapkan kreativitasnya dalam dunia yang lebih luas, tetapi kewajibannya sebagai seorang istri selalu menjadi prioritas utamanya.

"Sampai kapan aku harus menyembunyikan kecerdasan dan bakat memasakku ini, ya Allah? Aku ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa meskipun seorang perempuan, kita juga memiliki hak sama untuk mewujudkan impian seperti seorang anak laki-laki." Aminah memberontak dengan linangan air mata yang perlahan jatuh dari kelopak matanya, hingga membasahi pipi tembamnya.

Dia merenungi nasib ke depannya. Entah apa yang harus diperbuat untuk mematahkan pradigma bahwa tugas perempuan hanyalah melakukan pekerjaan di rumah saja. Namun, Aminah tidak menyerah begitu saja. Meskipun keterbatasan yang dihadapinya, dia terus mencari cara untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi lebih dalam lingkungan yang dijalani.

"Sepertinya aku tahu harus ngapain." Ide cemerlang Aminah muncul di sela-sela rasa dilemanya.

Saat itu, Aminah sedang membersihkan halaman depan rumahnya. Tiba-tiba ada seorang ibu yang menghampiri Aminah.

"Aminah. Tolong kamu buat masakan seenak mungkin untuk acara pengajian besok malam di rumah saya, ya," pinta ibu itu dengan lembut.

Aminah sangat senang mendengar permintaan tersebut. "Baik, Bu. Ibu tenang aja, saya tidak akan mengecewakan ibu. Besok pagi, saya ke rumah ibu untuk menyiapkan semuanya."

Belakangan ini, Aminah mulai membantu tetangga dengan memasak untuk acara keluarga atau merancang menu untuk pesta kecil. Melalui keterampilannya dalam memasak, Aminah merasa bahwa dia dapat menyebarkan kebahagiaan dan kelezatan kepada orang-orang di sekitarnya.

***

Di dalam kamar, Aminah tidak sabar untuk mengeksplore keahlian memasaknya besok pagi.

"Wow! Lihat, Aminah! Tuhan itu sebenarnya Maha Adil, kok. Dia tahu apa yang terbaik untukmu. Buktinya, belum juga kamu membagikan brosur untuk menarik perhatian orang lain agar memakai jasamu, tapi sudah ada yang booking. Amazing!" Aminah berbicara pada dirinya sendiri melalui cermin. Senyum sumringah terpancar dari wajah cantiknya.

Walaupun kreativitas Aminah terbatas pada dapur, tetapi semangat belajarnya tidak pernah padam. Dia terus membaca buku-buku tentang kuliner, mempelajari teknik-teknik baru, dan mencoba mengadaptasinya dalam hidangan-hidangan yang disajikan. Dia juga mulai menulis resep-resep dan pengalaman kuliner yang dimilikinya, dengan harapan suatu hari nanti bisa berbagi pengetahuannya dengan lebih banyak orang.

Dalam diam, Aminah bermimpi, "Suatu hari nanti, bakat dan kecerdasan yang aku miliki ini tidak akan terbatas oleh batasan-batasan sosial yang ada. Aku punya cita-cita untuk membuka usaha kuliner sendiri, di mana nantinya aku bisa menunjukkan kepada dunia tentang potensi yang aku miliki," ujarnya dengan penuh keyakinan dan optimis.

Meskipun jalan menuju impian itu terlihat sulit, tetapi Aminah tidak pernah kehilangan harapan. Dia tahu bahwa dengan ketekunan, kerja keras, dan keyakinan pada dirinya sendiri, suatu hari impian itu akan menjadi kenyataan.

Dalam kehidupan yang penuh keterpaksaan, Aminah menemukan kekuatan dan keceriaan melalui keahliannya dalam memasak. Dengan setiap hidangan yang disajikan, dia menunjukkan bahwa kecerdasan dan bakatnya tidak bisa dibendung begitu saja.

***

Keesokan harinya, Aminah terlebih dulu melayani suaminya, menyiapkan sarapan dan kebetulan mertua Aminah pagi-pagi buta sudah pergi. Jadi, Aminah hanya menyiapkan untuk suaminya saja.

"Bangun, Mas. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu sebelum berangkat kerja. Aku juga sudah menyiapkan bekal untuk kamu bawa ke kantor, biar lebih irit dan lebih terjamin kesehatannya," ujar Aminah sambil memegang tubuh Sulaiman.

Sulaiman membuka matanya. "Cantik banget sih, istriku ini," pujinya sambil menatap wajah Aminah yang sudah dipenuhi dengan riasan make up; sederhana, tapi terlihat menakjubkan. Karena pada dasarnya, paras Aminah sebelum dikasih riasan juga sudah cantik.

"Isss, bisa aja sih. Ya udah, sarapan dulu. Katanya hari ini kamu ada meeting jam 7.30 WIB, sekarang udah jam 6 lewat. Nanti terlambat, loh. Belum mandi, belum bersiap-siap, belum sarapan, belum ...." Ucapan Aminah terhenti saat kecupan hangat dari suaminya mendarat di pipi Aminah.

Aminah tersipu malu.

"Belum apa lagi?" tanya Sulaiman dengan tatapan menginginkan sesuatu pada Aminah.

Aminah tahu apa yang dipikirkan oleh suaminya. "Udah ah, keburu dingin nanti makanannya. Aku tadi masak sup." Aminah berdiri dan pergi meninggalkan suaminya yang masih duduk di atas kasur.

Sulaiman tersenyum melihat tingkah laku Aminah yang salah tingkah. Lalu, dia beranjak dari tempat tidur dan memilih untuk sarapan terlebih dulu.

Di ruang makan, Sulaiman dan Aminah sarapan bersama. Mereka tampak menikmati makanan dengan khidmat. Tidak ada obrolan selama sarapan.

Setelah selesai sarapan, Aminah berniat ingin menceritakan kalau hari ini dia pertama kali mengambil job memasak.

"Emm, Mas. Aku mau ngasih tahu sesuatu," ujar Aminah dengan rasa takut karena khawatir tidak diizinkan.

"Iya, mau ngasih tahu apa?" tanya Sulaiman, penasaran.

"Enggak jadi, deh. Nanti aja. Kamu mandi dulu gih, terus bersiap-siap. Takut telat ke kantornya." Aminah berdiri dan mengambil piring-piring dan gelas yang kotor untuk dibawa ke dapur.

"Kamu ini, ya, buat aku penasaran aja," kata Sulaiman, lalu beranjak dari tempat duduknya.

Sementara Sulaiman bersiap-siap, Aminah membersihkan piring dan gelas kotor tadi. Lalu, tidak lupa membersihkan rumah sebelum pergi ke rumah tetangga setelah suaminya berangkat kerja nanti.

"Sayang! Kamu di mana?" Sulaiman memanggil Aminah dengan nada cukup keras.

Aminah yang sedang membersihkan bagian ruang tamu, langsung menghampiri Sulaiman.

"Kamu habis ke mana?" tanya Sulaiman.

"Biasalah, Mas, lagi bersih-bersih rumah," jawab Aminah. "Oh iya, kamu mau berangkat sekarang? Aku ambilkan bekal kamu, ya. Tunggu sebentar," ujar Aminah.

Satu menit kemudian, Aminah kembali dengan rantang makanan dan tumbler (tempat minuman) di tangannya. Dia berikan ke suaminya.

"Ya udah, aku berangkat kerja dulu, ya. Makasih udah dibawakan bekal," ujar Sulaiman sambil mengecup kening istrinya.

Mereka berjalan ke depan. Sebelum Sulaiman masuk ke dalam mobilnya, Aminah mencium tangan suaminya sebagai doa untuk sang suami agar semuanya berjalan dengan lancar dan selalu berada dalam lindungan Allah.

Satu jam setelah Sulaiman pergi, Aminah langsung bersiap untuk ke rumah tetangganya. Dia tidak lupa mengunci pintu dan jendela rumahnya agar tidak dimengundang maling.

***

Sebelum sore, Aminah sudah selesai memasak dan menyiapkan semua kebutuhan makanan serta minuman untuk dihidangkan nanti malam.

"Ibu. Saya sudah selesai, nih! Apa saya boleh pulang duluan, ya? Soalnya mertua saya sebentar lagi pulang, kalau suami saya, paling malam pulangnya karena masih ada rapat dengan klien. Saya takut mertua saya nyariin," pinta Aminah dengan penuh harap.

"Oh, ya udah, enggak apa-apa. Ibu paham kok, bagaimana sifat mertuamu. Ya udah, makasih banyak ya, Aminah, udah bantuin ibu menyiapkan semua ini," ujar perempuan bernama Gina itu sambil memberikan salam tempel kepada Aminah. "Ini ada sedikit rezeki untuk kamu, tolong diterima sebagai ucapan terima kasih saya, ya."

Aminah tidak percaya, masih ada orang yang menghargai kemampuannya. "Ya Allah, Bu, baik banget, ya. Makasih banyak ya, Bu. Semoga rezeki Ibu lancar dan acara pengajian nanti juga berlancar dengan lancar ya, Bu." Aminah menerima amplop berisi uang itu dengan wajah berseri.

Dia pun langsung bergegas untuk pulang ke rumahnya.

Tiba di rumahnya, Aminah merasa beruntung karena mertuanya belum pulang.

"Alhamdulillah. Aku kira mama dan papa sudah pulang," ujar Aminah sambil menutup pintu utama di rumah mereka. Dia menaruh tasnya, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

Tidak lama kemudian, saat Aminah sedang menyiapkan makan malam, mertua Aminah datang.

"Assalamu'alaikum," ujar kedua mertua Aminah dengan kompak.

Aminah menyahut dari ruang makan dan menghampiri mereka. "Wa'alaikum salam. Ma, Pa, udah pulang," ujar Aminah sambil mencium tangan kedua mertuanya.

"Iya, nih! Sulaiman belum pulang kah?" tanya Abbas sambil melepaskan dasi.

"Belum, Pa. Kata Mas Sulaiman, dia pulang telat. Mungkin habis Magrib karena masih ada kerjaan yang harus diselesaikan, tapi diusahakan pulang sebelum Magrib," jawab Aminah.

"Papa kayak enggak tahu anak papa itu aja, sih, dia kan sibuk banget. Apalagi sekarang udah punya istri, pasti makin sibuk," timpal Khadijah dengan senyuman.

"Lah, justru karena udah punya istri, harusnya dia bisa mengatur waktu," kata Abbas.

"Aminah enggak apa-apa kok, Pa. Yang penting Mas Sulaiman bisa jaga kesehatannya. Tadi juga Aminah udah bawakan bekal untuknya, kok," ujar Aminah yang tidak ingin melihat mama dan papa mertuanya berdebat.

"Tuh, kan. Emang istri yang pengertian banget kamu ini," puji Khadijah. "Oh iya, kamu masak apa hari ini?" tanyanya sambil mencium aroma masakan Aminah.

"Cumi tumis cabai hijau dan sayur sop aja kok, Ma. Soalnya stok makanan udah pada habis. Aminah belum ke pasar. Rencananya sih, besok mau belanjanya," jawab Aminah.

"Oh ..., gitu. Oke. Mama sama papa mandi dulu, ya," ujar Khadijah. Lalu, dia dan suaminya, Abbas, melangkahkan kaki ke kamar mereka.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status