Share

Apakah Ini Hukumannya?

“Rigel!  Kau sedang apa?” Nada mendekati Rigel yang sedang berdiri di tepi pantai.

“Nada …  a-ku ingin berbicara denganmu.”

“Ada apa?”

“Apakah kau akan percaya, jika aku selalu mencintaimu dalam keadaan apa pun?”

“Mengapa kau bertanya seperti itu?”

“Jawab saja, Nada.”

“Aku akan selalu mencoba untuk percaya, karena aku juga akan melakukan hal yang sama.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Rigel tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Nada dengan lembut. Nada tersenyum setelah mendapat perlakuan manis dari Rigel.

Ketika mereka masih larut untuk menyelami manik masing-masing, tanpa mereka sadari ada sebuah ombak besar datang dari tengah pantai.

Ombak itu datang menghempas Rigel ke tepian dan menyeret Nada ke arah pantai. Nada berteriak sekuat tenaga memanggil nama Rigel yang sedang berusaha berlari ke tengah pantai untuk menolong Nada.

Nada sudah terombang-ambing di tengah pantai dan Rigel semakin sulit untuk menjangkaunya karena ombak yang datang semakin kuat.

Nada sudah hampir pasrah dan terus memanggil Rigel berharap untuk diselamatkan. Namun, ombak yang semakin besar membuatnya semakin tak berdaya. Nada semakin tenggelam di dalam gelapnya air, ia masih dapat melihat Rigel dengan samar.

“RIGEL!” Nada langsung membuka matanya dan bernapas terengah-engah. Mimpi yang baru saja ia alami rasanya seperti sangat nyata, bahkan ia sedang meneteskan air mata sekarang.

Nada melihat ke arah jendela dan melihat kondisi diluar sudah terang. Ia melihat jam yang berada di nakas menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Nada mencoba bangkit dari tempat tidur untuk segera membersihkan diri.

Argh!” Nada memekik tertahan saat merasakan kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Ia kembali duduk di ranjangnya.

Nada mencoba memijat pelan bagian kepalanya yang masih berdenyut nyeri. Beberapa menit ia habiskan untuk menetralkan rasa sakit yang mendera kepalanya, kemudian ia berhasil menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Nada menatap cermin besar di depannya, terlihat wajah berantakan dengan mata sembab, hidung merah, dan bibir yang pucat. “Kau pasti bisa melalui hari ini dengan baik. Semangat!” ucap Nada pada dirinya sendiri.

Nada sudah selesai bersiap untuk menuju ke sekolah. Kepalanya masih saja terasa sakit, tetapi ia harus tetap masuk karena tidak mau dianggap sebagai seorang pengecut yang lari dari masalah, terlebih ia harus menjadi juri lomba cerdas cermat antar kelas hari ini.

Sarah dan Farhan terkejut, ketika melihat putrinya menuruni tangga dengan seragam lengkap beserta rompi merah yang diberikan oleh mister Dandi sebagai hukuman.

“Selamat pagi, Ayah. Selamat pagi, Bunda.” Nada menyapa kedua orang tuanya yang sedang bersiap untuk sarapan di meja makan.

Sarah mendekati putrinya yang sudah duduk di seberang kursi yang ia duduki. “Kamu masih demam, Sayang. Istirahat di rumah dulu, ya?” ucap Sarah setelah meraba dahi Nada.

Nada menggeleng. “ Nada sudah cukup sehat, Bunda. Lagi pula,  Nada harus menjadi juri lomba cerdas cermat, nanti.”

“Kamu yakin?” tanya Farhan yang mencemaskan putrinya. Nada hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Farhan. “Baiklah kalau begitu, nanti ayah antar, ya?” imbuhnya.

“Iya, Yah,” jawab Nada sembari mengambil nasi goreng yang berada di depannya.

Pagi itu, suasana di meja makan milik keluarga Farhan sudah tak sama lagi. Mentari yang biasanya selalu ceria, mulai meredup ditelan luka yang ditorehkan oleh banyak orang.

***

“Ternyata masih punya muka buat datang ke sekolah.”

Outfit terbaru siswa teladan angkatan ke-13.”

“Selamat pagi, Siswa teladan!”

Nada melewati lorong sekolah dengan olok-olokan  yang menemani setiap langkahnya. Ia sekuat tenaga menahan gejolak di dalam hatinya.

Nada memasuki kelas dengan tenang karena tak ada yang menyambut ataupun menyapanya. Padahal sebelum ada kejadian ini, Nada selalu mendapat sambutan teriakan heboh dari teman-teman sekelasnya.

Bita dan Mitta juga tak mendekatinya, itu membuat hati Nada semakin sakit. Benar, ia telah melakukan kesalahan, tetapi apakah balasan seperti ini yang harus ia dapatkan?

Nada melanjutkan langkahnya menuju loker untuk menyimpan tas miliknya. Tanpa Nada sadari, Bita mengamati setiap langkah Nada dengan tatapan cemas karena wajahnya yang memucat.

Hey! Perlombaan cerdas cermat akan segera dimulai, ayo cepat pergi ke aula!” Teriakan dari anak kelas sebelah membuat seisi kelas Nada bersorak heboh dan hampir seluruh murid beranjak bersama untuk menuju aula.

Nada mengembuskan napasnya, kemudian mulai beranjak menuju aula. Langkah Nada terhenti ketika ia tak sengaja mendengar percakapan dua orang guru yang berada di dekat lobi. Nada bersembunyi di balik tembok untuk memastikan kebenaran ucapan yang ia dengar.

“Berarti miss Karin yang akan menggantikan miss Sintya dan mister Dandi?” ucap seorang guru perempuan.

“Iya benar, miss Karin akan merangkap jabatan miss Sintya dan mister Dandi yaitu menjadi ketua dan wakil ketua pembina olympic club,” sahut guru perempuan lainnya.

“Astaga! Aku tak bisa membayangkan jika seorang guru yang arogan seperti  miss Karin menjadi ketua pembina olympic club.”

“Benar! Namun, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.”

Nada terkejut dengan kenyataan yang didapatkan setelah mendengar percakapan dua guru tersebut. Nada semakin merasa bersalah, miss Sintya dan mister Dandi dilepas jabatannya mungkin karena kesalahan yang ia perbuat.

Nada memutuskan untuk tetap melangkah menuju aula, mau bagaimanapun ia harus menuntaskan amanah terakhirnya sebagai juri lomba cerdas cermat sebelum pergantian pengurus yang baru.

Nada menaiki lift hingga lantai lima di mana tempat lomba cerdas cermat berlangsung. Nada yang tetap menggunakan rompi merahnya nekat memasuki aula yang sudah diisi oleh ratusan siswa Elcordova.

Hey! Kamu! Siswa rompi merah sepertimu tak pantas memasuki ruangan ini,” miss Karin menghardik Nada yang baru saja mencapai meja yang dikhususkan untuk para juri.

“Ma-maaf Miss, tetapi saya sudah diamanahi untuk menjadi juri pada perlombaan kali ini.”

“Kamu pikir, siswa berompi merah sepertimu pantas menjadi juri?”

Nada tak menjawab, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan bibirnya yang mulai bergetar.

“Sudah ada Mitta dan Bita yang akan menggantikan murid bermuka dua sepertimu.”

“Keluar, kamu! Bersihkan taman depan dan jangan beristirahat sebelum perlombaan ini selesai!” ucap miss Karin. “Bukan hanya kamu, tetapi kamu juga,” imbuh miss Karin sembari menunjuk ke arah Rigel yang sedang mematung di ambang pintu aula. “Tunggu apa lagi? Ayo, kerjakan!”

Nada berlari keluar dari aula dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ia berlari tanpa melihat arah, sehingga ia menabrak miss Sintya yang hendak menuju aula.

“Nada! Ada apa?” miss Sintya yang terkejut langsung menghentikan langkah Nada. “Nada! Kamu sakit? Wajahmu pucat sekali,” imbuhnya dengan sangat khawatir.

Bukan menjawab pertanyaan miss Sintya, Nada malah langsung bersimpuh dan merapalkan kata maaf berulang kali.

“Maafkan Nada, Miss. Sungguh maafkan, Nada.”

“Nada, bangun. Ada apa?”

Nada menggeleng. “Nada permisi dulu ya, Miss?”

Loh … mau kemana? Bukannya kamu jadi juri hari ini?”

Nada menggeleng dan tersenyum samar, kemudian berlalu meninggalkan miss Sintya yang masih terpaku di tempatnya.

Miss Sintya mulai melangkah menuju ke aula karena merasa ada yang sedang tidak beres. Benar saja, sesampainya di aula miss Sintya melihat Bita, Mitta, Revan dan Fito yang sedang duduk di kursi juri, yang seharusnya diduduki oleh Nada, Bita, Rigel dan Revan.

“Permisi, Miss Karin. Mengapa semua juri cerdas cermat diganti?” tanya miss Sintya.

“Untuk apa mempertahankan anak seperti mereka? Ada pengganti yang lebih baik untuk mengharumkan nama sekolah ini,” jawab miss Karin dengan sinis.

“Tetapi mengganti juri tanpa mengkonfirmasi kepada Nada dan Rigel akan menyakiti perasaan mereka, Miss.”

“Apa saya terlihat peduli?” Miss Karin menaikkan sebelah alisnya. “Jangan membuat acara ini terlambat, Miss Sintya yang terhormat.”

Miss Sintya mulai menatap seluruh hadirin yang ada di aula, kemudian berjalan menuju kursinya sambil menahan gejolak amarah yang sudah ingin meluap.

***

Nada mulai membersihkan taman yang ada di depan setiap kelas. Ia sedang mencabuti rumput yang berada di sekitar tanaman.

“Jangan melamun! Tanganmu bisa terluka.” Sebuah suara berat menyapa telinga Nada. Nada menoleh dan mendapati Rigel sedang berada di belakangnya. “Wajahmu pucat, kau sakit?”

“Tidak, aku baik-baik saja.”

“Jangan dipaksakan! Pikirkan dirimu, jangan han⸺” Perkataan Rigel tak berlanjut karena ia melihat ada darah yang menetes dari hidung Nada.

“Astaga! Hidungmu berdarah.” Rigel mulai mendekati Nada dan mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk mengusap darah yang mengalir dari hidung Nada.

“Aku antar ke unit kesehatan, ya?” ucap Rigel dengan khawatir.

“A-aku bisa sendiri,” ucap Nada bergetar sambil menahan pening di kepalanya.

Nada langsung bangkit, tetapi tubuhnya malah terhuyung ke belakang. Rigel dengan sigap langsung menangkap tubuh Nada. Nada langsung berusaha melepas tangan Rigel yang berada di bahunya.

“Nada! Jangan keras kepala!” Rigel sedikit meninggikan suaranya.

“Rigel! Ini akan memperparah semuanya. Aku tak apa, percayalah!” Nada mencoba meyakinkan Rigel dengan senyuman tipisnya.

Nada mulai melangkah, meninggalkan Rigel yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Rigel juga bersalah, tetapi ia tak mendapat penghakiman yang menyakitkan seperti yang dirasakan oleh Nada.

“Aku akan selalu mencintaimu apa pun yang terjadi, Nada,” ucap Rigel dengan lirih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status