Share

Mengapa Harus Seperti Ini?

“Sudah berapa lama?” Suara mister Dandi memecah keheningan yang terjadi.

“Satu tahun lebih lima bulan, Mister,” jawab Rigel tanpa ragu.

Wah … sandiwara kalian benar-benar hebat. Haruskah miss memberi dua jempol untuk pengkhianatan yang kalian lakukan?” ucap miss Sintya kepada Rigel dan Nada.

Nada kembali meneteskan air matanya, isakannya pun mulai samar terdengar. Terdengar sangat menyesakkan karena ia harus menahan isak tangisnya. Rigel hanya mampu menundukkan kepala sambil menahan sakit di hatinya karena mendengar isakan pilu yang tertahan dari Nada.

Mister Dandi dan Miss Sintya juga ikut merasakan sakit yang sama, Rigel dan Nada adalah anak emas kesayangan mereka sejak pertama kali keduanya menginjakkan kaki di Cordova Junior High School.

Tatapan iba tak bisa dilunturkan dari wajah keduanya. Namun,  pelanggaran yang telah mereka lakukan tetaplah salah, sehingga Rigel dan Nada memang pantas mendapatkan hukumannya.

Tak ada obrolan yang terjadi di ruangan itu. Biasanya siswa atau siswi yang masuk ke ruang kesiswaan akan diinterogasi tanpa henti sampai ke titik terdalam permasalahan.

Rigel dan Nada berbeda, ini adalah kasus pertama kali yang menyeret nama siswa teladan. Mister Dandi dan Miss Sintya hanya mampu memandangi keduanya sambil menunggu orang tua mereka datang.

Suara ketukan pintu membuyarkan atmosfer sendu di dalam ruang kesiswaan. Sepasang suami istri yang terlihat masih muda mulai memasuki ruangan dan duduk di seberang Nada dan Rigel.

Mereka adalah orang tua Nada, Nada hanya mengangkat kepalanya sesaat untuk mengetahui siapa yang datang. Melihat wajah khawatir kedua orang tuanya membuat Nada semakin menundukkan kepala.

“Silakan duduk, Bapak …  Ibu …,” ucap miss Sintya

“Baik. Terima kasih, Miss.” Sahut Farhan.

Tak lama kemudian, suara pintu kembali terdengar. Lagi, sepasang suami istri yang tampaknya masih seumuran dengan orang tua Nada memasuki ruangan kesiswaan. Mereka duduk berjajar di seberang tempat duduk Rigel dan Nada.

Rigel menatap kedua orang tuanya dengan sorot mata bersalah. Laras⸺sang mama⸺ memberikan senyuman tipis, sedangkan Bisma⸺sang papa⸺ tak memberi respon apa pun.

“Baiklah, karena semua sudah hadir di ruang ini, langsung saja saya sampaikan tujuan kami mengundang Bapak dan Ibu.” Mister Dandi mulai membuka obrolan.

“Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa berpacaran merupakan salah satu pelanggaran berat yang ditetapkan oleh sekolah ini. Kita tidak bisa memungkiri bahwa Nada dan Rigel dua orang siswa teladan yang sudah beberapa kali mengharumkan nama sekolah ini, tetapi hukum harus tetap ditegakkan.” jelas miss Sintya panjang lebar. Dua pasang suami istri itu hanya mengangguk paham mendengar penjelasan miss Sintya.

“Hukuman yang akan mereka dapatkan adalah pengurangan poin prestasi dan pencabutan gelar siswa teladan untuk tahun ketiga. Selain itu, mulai besok sampai hari pengambilan rapor, kalian diwajibkan memakai rompi ini,” ucap mister Dandi sembari mengeluarkan dua rompi berwarna merah. “Mulai besok kalian harus memakai ini selama berada di lingkungan sekolah,” pungkasnya.

Rompi berwarna merah serta sebuah surat peringatan sudah berada di tangan Nada dan Rigel. Kedua orang tua mereka sedang berbicara serius dengan mister Dandi dan miss Sintya. Tak lama kemudian, kedua pasang suami istri itu mulai beranjak dari tempat duduk mereka.

“Sekarang, Kalian bisa pulang bersama orang tua masing-masing,” ucap mister Dandi kepada Rigel dan Nada.

Nada dan Rigel menghampiri mister Dandi dan miss Sintya. “Rigel minta maaf, Miss Mister…,” ucap Rigel sembari menunduk.

“Na-nada, juga minta maaf, Miss …  Mister…,” ucap Nada lirih.

Miss Sintya dan mister Dandi hanya mampu tersenyum tipis dan menepuk pelan pundak keduanya. Sebenarnya, mereka tidak tahan untuk langsung memeluk dua murid kesayangan itu. Mereka menatap sendu punggung Nada dan Rigel yang sudah menjauh dari tempat mereka berdiri.

Nada dan Rigel berjalan bersama menuju lift. Orang tua mereka terlihat sudah menunggu di dekat lift. Hanya keheningan yang menemani perjalanan keduanya. Rigel yang awalnya berjalan di belakang Nada, mulai melangkah mendekati Nada sambil berkata lirih.

“Apa pun yang akan terjadi nantinya, aku akan tetap mencintaimu,” ucap Rigel lirih tanpa menoleh ke arah Nada. Nada hanya menunduk mendengar ucapan itu, bagai luka yang disiram air garam, kata-kata itu justru membuatnya semakin sakit.

Rigel memutuskan untuk berjalan terlebih dahulu meninggalkan Nada yang masih berjalan di belakangnya. Rigel mencoba membuat tanda hati dengan jempol dan telunjuk yang ia sembunyikan di balik badannya agar hanya Nada yang dapat melihat.

Nada tersenyum sendu melihat Rigel melakukan kebiasaan mereka yang menyatakan saling sayang menggunakan gestur tubuh yang harus disembunyikan dari orang lain.

***

“Tolong jelaskan kepada papa, apa yang sebenarnya terjadi!” ucap Bisma⸺papa Rigel.

“Rigel berpacaran dengan Nada, Pa.” Rigel menunduk tak berani menatap papanya.

“Sudah berapa lama?”

“Satu tahun lebih lima bulan.”

“Selama itu? Jangan-jangan hampir setiap akhir pekan kamu pergi ke taman, toko buku, dan  perpustakaan itu untuk berkencan dengan Nada?”

“Ya, Rigel sering bepergian dengan Nada. Rigel minta maaf, Pa. Rigel mengaku salah.”

Bisma hanya mampu menggeleng melihat kelakuan putra sulungnya. Ia tak menyangka bahwa putranya bisa memendam sebuah rahasia besar hingga selama itu. Ia juga merasa gagal menjadi orang tua karena tak mengetahui apa saja yang dilakukan putranya.

“Mulai hari ini, papa harus tau ke mana dan dengan siapa kamu pergi. Kamu boleh pergi ke kamar sekarang, renungkan semua kesalahan yang sudah kamu perbuat!”

“Baik, Pa.” Rigel mulai melangkah ke kamarnya.

Rigel berjalan menuju balkon kamarnya. Ia menatap kosong langit biru yang cukup redup itu. Helaan napas yang berat kembali terdengar, hingga setetes air mata ikut mengiringinya.

“Kenapa harus seperti ini?” tanya Rigel entah pada siapa.

***

“Kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya sang bunda kepada putri semata wayangnya. “Kamu tahu pacaran adalah sebuah pelanggaran berat, tetapi mengapa kamu tetap melakukannya?” imbuhnya.

Nada tidak bisa menjawab pertanyaan sang bunda. Ia masih terus menangis merasakan perih di hatinya. Ia harus menanggung malu karena tindakannya, ia juga kehilangan predikatnya sebagai siswi teladan.

“Kenapa tidak bercerita kepada ayah dan bunda kalau kamu sedang berpacaran? Kenapa harus berbohong? Berarti setiap kamu pergi ke taman kota, toko buku ataupun perpustakaan itu kamu gunakan sebagai alasan agar dapat berkencan dengan Rigel?” Cerca sang ayah yang membuat Nada semakin terisak.

“Nada minta maaf, Yah … Bun …,” ucap Nada dengan susah payah karena isakannya yang semakin tidak terkendali.

“Kamu ingat perkataan bunda tentang hal-hal yang sulit untuk dimaafkan? Salah satunya adalah kebohongan, bunda paling tidak suka dibohongi.” Bunda sedikit menaikan nada bicaranya. “Kamu sudah membohongi ayah dan bunda, bahkan sudah setahun lamanya. Apa kamu masih menganggap ayah dan bunda ini orang tuamu?” pungkasnya.

Nada mendongak menatap kedua orang tuanya, kemudian ia jatuh bersimpuh. “Maaf, tolong maafkan Nada, Bunda. Nada salah, sangat salah karena sudah membohongi Ayah dan Bunda.” Isakannya semakin jelas terdengar.

“Mulai hari ini, kamu hanya boleh keluar rumah untuk ke sekolah saja. Tidak akan ada acara liburan dan seluruh akun media sosial milik Nada akan bunda pantau setiap hari. Mengerti?” ucap bunda yang mulai bisa mengatur emosinya.

“Me-mengerti, Bunda.”

Sarah langsung pergi meninggalkan putrinya yang masih bersimpuh itu. Nada masih menunduk sambil mengusap air matanya yang masih terus menetes. Kepalanya sangat pening kali ini, ia menangis dengan waktu yang cukup lama.

“Berdiri, Sayang!” Farhan membantu putrinya untuk berdiri. “Pergi ke kamar dan beristirahat, ayah tahu ini sangat berat untukmu. Bunda marah karena dia sangat menyayangimu, jangan membenci Bunda, ya?” imbuhnya.

Nada mengangguk, kemudian mulai berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Namun, sesampainya di tengah-tengah tangga, badannya sedikit terhuyung. Ia bersandar di tembok untuk menormalkan penglihatan dan menetralisasi rasa pening yang menyerang kepalanya.

Farhan yang melihat putrinya hampir terjatuh, langsung berlari menuju tangga. “Sayang, ada apa?” Farhan menyongsong tubuh lemah Nada.

Nada tidak bisa menjawab, ia hanya mampu berpegangan erat pada lengan ayahnya. Farhan langsung menggendong Nada menuju kamar, karena sepertinya Nada sudah tidak mampu berjalan. Sesampainya di kamar, Farhan langsung membaringkan putrinya yang terlihat sangat pucat. Farhan yang panik langsung pergi memanggil Sarah untuk memeriksa keadaan putri mereka.

Sarah berlari tergopoh-gopoh setelah Farhan memanggilnya. Rasa kesal pada putrinya sudah menguap sepenuhnya, tergantikan dengan rasa khawatir. Sesampainya di kamar Nada, Sarah langsung meraba wajah putrinya yang terlihat sangat pucat.

“Sayang … kamu dengar suara bunda?” Suara Sarah mulai bergetar.

Nada menganggukan kepalanya pelan, Sarah lega melihatnya. Sarah mulai menyeka wajah putrinya yang basah oleh keringat dan air mata, kemudian ia mengganti seragam putrinya dengan pakaian yang lebih nyaman. Saat ini, Sarah merasa sedikit menyesal sudah menghakimi putrinya seperti tadi.

“Istirahat ya, Sayang. Bunda temani di sini,”ucap Sarah sambil mengusap lembut kepala Nada.

Nada akhirnya terlelap setelah Sarah terus mengucapkan kata-kata penenang untuknya. Entah siapa yang menyebarkan rahasia Nada dan Rigel hari ini. Pastinya, hal tersebut menjadi tekanan berat untuk keduanya.

Satu hal yang belum mereka sadari, bahwa mulai hari ini, sikap hangat dan senyum ceria milik Nada sudah hilang terenggut rasa sakit yang mendera hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status