Share

Masih Mau Berjuang, Kan?

“Nada! Bagaimana?” Dua orang gadis berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nada yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.

Nada hanya terdiam dan menunduk, hal tersebut membuat kedua gadis itu khawatir. “Nada, katakan sesuatu jangan membuatku khawatir,” ucap salah satu di antara mereka.

Nada tiba-tiba mengangkat kepalanya dan tersenyum manis ke arah kedua gadis tersebut. “Tenang saja, kita tunggu pengumumannya dua jam lagi.”

Kedua gadis itu akhirnya dapat bernapas sedikit lega. Mereka adalah Tsabita Maura Anindya yang biasa dipanggil Bita dan Sellameitta Rhiyadina Safitri yang biasa dipanggil Mitta. Keduanya adalah sahabat baik Nada sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di Cordova Junior High Schooll.

Saat ini, Nada beserta tujuh siswa Cordova Junior High School sedang mengikuti festival perlombaan terbesar tingkat sekolah menengah pertama. Mereka adalah Nada, Rigel, Bitta, Mitta, Revan, Fito dan Daren yang mengikuti lomba sesuai dengan keahlian masing-masing.

KRIET…

Sebuah pintu terbuka dan menampilkan sesosok remaja laki-laki dengan rambut yang cukup berantakan dan kacamata yang sudah melorot ke pucuk hidungnya. Nada hampir tertawa melihatnya, tetapi ia menahan tawa agar rahasianya tetap terjaga. Nada hanya memandangnya sekilas, setelah itu kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Dilihat dari penampilanmu saat ini, aku yakin kau sudah berjuang sangat keras. Kau pasti berhasil, fighting!” Bita menyemangati Rigel yang masih terdiam di samping pintu ruangan.

Rigel hanya mengangguk dan mulai beranjak untuk menemui teman-teman lain yang sedang berkumpul tak jauh dari tempat ia berdiri. Rigel sempat menoleh ke belakang dan tak sengaja netranya bertemu dengan iris indah yang terbingkai lensa milik Nada.

Rigel melihat Nada sedang tersenyum tipis ke arahnya sembari mengacungkan jempol di samping tubuh agar tak ada orang yang melihat. Ia membalas senyuman itu dengan senyum yang tak kalah tipis, kemudian ia mengikuti Nada mengacungkan jempol di balik badannya ketika ia sudah kembali menghadap ke depan.

“Selamat! Mister bangga dengan kalian. Ini adalah pertama kalinya selama 13 tahun, Cordova dapat meloloskan seluruh delegasi ke tingkat nasional.” Mister Dandi tersenyum puasa sambil memandang siswa-siswinya.

“Terima kasih, Mister. Ini semua berkat doa dan dukungan dari Mister,” ucap Rigel.

“Benar, Mister. Tanpa doa dan dukungan dari Mister hal ini mungkin tidak akan terjadi,” sahut Revan.

“Ya! Usaha dan doa kalian yang lebih menentukan.”Mister Dandi merangkul siswa laki-laki sambil menepuk pundak mereka dengan bangga.

“Setelah ini, kalian akan menjalani masa karantina selama dua minggu di sebuah vila yang sudah disiapkan oleh sekolah. Kalian harus belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat meraih juara nasional. Kalian siap?” imbuh mister Dandi.

“SIAP! MISTER!” jawab seluruh delegasi lomba dari Cordova dengan kompak.

***

“Ayah! Bunda! Nada izin pergi, ya?” Nada memeluk kedua orang tuanya yang sedang bercengkerama di teras rumah.

“Kemana?” tanya Farhan⸺ayah Nada.

“Ke toko buku, mau beli buku referensi soal olimpiade.”

“Sama siapa?” tanya Sarah⸺bunda Nada.

Eum … sama teman, Bun.”

“Naik apa? Biar ayah antar saja, ya?”

“Tidak, Yah. Nada sudah berjanji akan naik bus.”

“Baiklah! Hati-hati di jalan.” Farhan mencium kening putrinya.

“Hati-hati, Sayang. Jangan pulang terlalu sore!” Sarah turut mencium kening putrinya.

“Oke. Siap, Bos!”

Nada sedang menunggu seseorang di halte bus yang tak jauh dari rumahnya. Sudah hampir lima belas menit ia duduk di sana. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Tak lama kemudian, ia melihat siluet seseorang yang ditunggu sedang berlari ke arahnya.

“Maafkan aku, pasti kamu sudah menunggu lama. Tadi papa menghukumku karena terlambat mengikuti latihan fisik,”  jelas lelaki itu dengan napas yang terengah-engah

“Tak apa, aku mengerti.” Nada menarik lengan lelaki tersebut untuk duduk di sebelahnya, kemudian ia mengeluarkan selembar tisu dan mulai menyeka keringat yang mengalir di dahi lelaki itu.

Lelaki itu adalah Rigel, mereka akan pergi ke toko buku dengan menaiki bus. Nada dan Rigel sudah sepakat untuk pergi bersama mencari buku-buku referensi yang akan mereka gunakan untuk persiapan olimpiade tingkat nasional.

“Itu busnya datang!” seru Nada.

Nada dan Rigel langsung berdiri dan bersiap untuk menaiki bus tersebut. Beruntung bus sedang lengang, jadi mereka bisa duduk dengan tenang.

Ketenangan yang mereka Rigel dan Nada rasakan tak berlangsung lama karena saat pemberhentian di halte selanjutnya ada seorang penumpang yang tampak familier. Penumpang itu adalah miss Sintya, sala satu pembina olympic club.

“Rigel, bagaimana ini?” Nada berbisik sembari merapatkan masker yang ia gunakan.

“Tenang, Nada. Kemungkinan miss Sintya tidak akan melihat ke arah kita.” Rigel merasa sedikit percaya diri karena mereka berada di kursi paling belakang, sedangkan miss Sintya ada di kursi paling depan

Nada terus merasa was-was selama perjalanan, pandangan Nada tak lepas dari tempat yang diduduki oleh miss Sintya. Ia benar-benar takut jika terpergok sedang jalan berdua dengan Rigel. Status mereka sebagai siswa teladan akan langsung dicabut dan pastinya mereka akan mendapat hukuman yang cukup berat.

“Rigel … miss Sintya juga turun di halte itu.” Nada meremas kemeja yang dikenakan Rigel ketika mereka bersiap untuk menuruni bus.

“Tenanglah!” ucap Rigel mencoba menenangkan sambil menggenggam erat tangan Nada.

Akhirnya, bus berhenti di halte tujuan. Nada dan Rigel melihat miss Sintya dalam posisi sedang membelakangi mereka, sehingga ada kesempatan bagi keduanya untuk kabur menjauhi tempat tersebut.

Rigel dan Nada berlari ke arah bangunan yang letaknya tidak jauh dari halte bus, di sana mereka melihat miss Sintya berjalan ke kantor pos yang arahnya berlawanan dengan toko buku yang akan mereka tuju.

“Syukurlah, miss Sintya tidak memergoki kita.” Nada mengembuskan napas lega sembari membuka maskernya.

“Saking takutnya, pipimu sampai merah.” Rigel mengusap pipi milik Nada, tentu saja hal tersebut membuat pipi Nada semakin memerah.

“Kau membuat pipiku semakin merah.” Nada mengerucutkan bibirnya.

Aish … gemasnya,” ucap Rigel sembari mencubit pipi tembam milik Nada.

“Rigel!” Nada semakin kesal.

“Sudah …  sudah …, ayo kita pergi ke toko buku sekarang.” Rigel tertawa, kemudian menggandeng tangan Nada agar bisa berjalan berdampingan.

Nada dan Rigel menghabiskan waktu hampir tiga jam untuk menemukan beberapa buku kumpulan soal olimpiade dan buku referensi lain yang dapat mendukung mereka agar bisa menjadi juara. Nada dan Rigel memutuskan untuk beristirahat sejenak di kafetaria toko buku, sebelum kembali ke rumah masing-masing.

“Rigel…,” panggil Nada untuk mendapat atensi Rigel.

“Ya?”

“Apakah kamu tidak merasa lelah dengan hubungan sembunyi-sembunyi seperti yang kita lakukan sekarang?” Nada bertanya dengan mimik wajah yang serius.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Sejujurnya aku sedikit lelah harus selalu berlari dan bersembunyi, interaksi yang kita lakukan juga jadi sangat terbatas karena kita tidak bisa menunjukkan jika hubungan kita baik-baik saja. Semua orang hanya mengetahui kalau kita masih bermusuhan, sama seperti Nada dan Rigel satu tahun yang lalu.” Nada menunduk sedih.

Hey … lihat aku.” Rigel membawa menyentuh dagu milik Nada agar sang empu mau menatapnya. “Bukankah kita sudah berjanji akan melewati segala konsekuensinya bersama? Hubungan ini sudah berjalan selama  lima belas bulan. Apa kamu akan menyerah?” Nada menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu kita harus terus bertahan sampai benar-benar berada di batas kemampuan kita. Aku mengerti, usia kita masih dibilang sangat muda untuk memulai sebuah hubungan seperti ini, tetapi aku mempunyai harapan yang cukup besar dengan hubungan ini,” lanjut Rigel.

Nada menatap Rigel dengan mata yang berkaca-kaca, ia tidak tahu Rigel bisa sedewasa ini. “Terima kasih, Rigel. Maaf sudah mengatakan hal demikian.”

 “Aku tidak bisa berjanji untuk membuatmu selalu bahagia dan membuat hubungan ini selalu berjalan dengan lancar. Namun, aku akan selalu berjuang dan berusaha agar hubungan ini tetap ada dan dapat berjalan dengan baik. ”Rigel menatap Nada yang juga sedang menatapnya. ”Jadi …  kau masih mau berjuang bersamaku, kan?” lanjutnya.

Nada mengangguk dan menghapus bulir bening yang jatuh dari balik lensa kacamata miliknya. Ia kecewa karena sempat mengatakan bahwa dirinya lelah.

Nada berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu mempertahankan hubungan ini apapun yang terjadi, ia akan selalu bersama dengan Rigel, kecuali Tuhan yang memintanya untuk pergi dari sisi Rigel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status