JEANNE langsung berdiri karena Alan tak kunjung merevisi jawabannya tadi. Tanpa ragu apalagi merasa malu, Jeanne menarik tangan Alan dan memaksa pria itu untuk keluar dari ruangan divisi. Sekali pun kini mereka menjadi pusat perhatian, Jeanne sama sekali tidak peduli.
Begitu sampai luar, Jeanne langsung membawa Alan menuju tempat yang sepi. Dia memojokkan pria itu ke dinding lalu berbicara dengan nada menyebalkan seperti setiap kali dia bicara pada pria itu selama ini."Lo udah tahu kalau yang tadi cuma basa-basi aja, ngapain masih lo terima, sih! Bikin suasananya jadi nggak enak banget tahu!" omel Jeanne langsung.Jeanne tidak takut dipecat, karena dia tahu pasti Alan bukan tipe CEO yang akan memecat pegawainya tanpa alasan jelas—semisal karena seorang pegawai yang telah membentak dan memarahinya habis-habisan—seperti itu.Kalau Alan memang tipe CEO seperti itu, sudah sejak lama Jeanne hengkang dari perusahaan cabang, bukannya malah mendapat promosi dan dipindah ke perusahaan pusat seperti ini."Bukannya lo yang nawarin gue lebih dulu?" tanya Alan balik dengan wajah datar tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Lagian malam ini gue lagi senggang. Jadi gue bisa gabung sama kalian," lanjutnya serius."Aduh Pak CEO!" jerit Jeanne frustrasi. "Kalau Bapak jadi ikut, kita-kita mana ada yang berani keliaran di kelab? Lihat muka situ di ruangan aja udah bisa bikin semuanya kena serangan jantung!""Emang apa yang salah sama muka gue?" Alan memegangi wajahnya sendiri. "Perasaan muka gue masih ganteng, Je. Masih banyak yang muji kayak gitu akhir-akhir ini."Jeanne menepuk jidatnya sendiri. "Auk ah, gelap banget ngomong sama lo! Lagian lo ngapain di ruangan kerja gue? Nggak biasanya CEO bisa mondar-mandir nggak jelas di divisi orang kayak gitu. Lagi kurang kerjaan ya, bos?""Hm." Alan memasang wajah berpikir. "Gue sebenarnya ada perlu sama direktur pemasaran. Dia udah bikin janji sama gue, tapi tiba-tiba aja nggak bisa dihubungi. Kurang ajar banget, kan, direktur lo itu?"Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Dia nggak ada di ruangannya, lho!""Serius?"Jeanne mengangguk. "Tadi pagi waktu gue masuk dia masih ada, tapi abis itu dia keluar, gue nggak tahu dia pergi ke mana. Yang jelas dia pergi sama asistennya apa sekretarisnya, ya? Gue lupa masa!""Oh!" Alan hanya menggumam dengan tatapan yang tampak menyeramkan."Emang lo ada perlu apa sama dia? Jangan bilang lo mau ngelamar anak perawannya setelah gagal nikah dua kali sebelumnya?" tebak Jeanne.Alan langsung memelototinya. "Gue nggak segila itu juga sampai mau nikahin bocah SMP. Lagian lo tahu dari mana kalau dia punya anak cewek?"Jeanne memasang ekspresi tidak enak saat membalas kata-kata Alan. "Yah, tadi waktu kenalan sama gue, dia sempat nawarin anak sulungnya yang baru mau lulus kuliah tahun ini. Terus dia ceritain sekalian anak ceweknya ke gue.""Ck, cewek mulut cabe rawit kayak lo gitu mau dijadiin mantu? Masih waras itu om-om satu!" decak Alan sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir."Waras banget, dong! Cewek cantik kayak gue gini kan limited edition!"Alan memasang ekspresi menahan mual saat Jeanne mengatakannya dengan penuh percaya diri.Hubungan mereka selama ini tergolong biasa saja. Setelah mengerjakan proyek pernikahan Risa dan Alva bersama-sama, mereka bisa disebut sebagai rekan atau teman. Walaupun tidak begitu dekat karena mereka lebih sering berdebat. Namun, bibir Jeanne yang suka bicara seenak jidat memang paling enak jika diajak bersilat."Lo baru pindah hari ini?" tanya Alan kemudian.Alan tidak mendengar kabar adanya pertambahan personel dari kantor cabang. Namun, keberadaan Jeanne di sini jelas bukan karena perempuan itu ingin bermain-main di tempat ini."Gue pindah kemarin, kalau kerja emang baru hari ini. Kenapa? Lo nggak percaya kalau kerjaan gue selama ini bagus, makanya gue dimutasi ke sini, ya?" Jeanne menatap Alan penuh selidik."Gue cuma nggak denger kabarnya." Alan memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Mungkin udah ada beberapa perubahan terbaru yang belum sampai ke telinga gue akhir-akhir ini."Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan dengan tatapan aneh. CEO bisa ketinggalan berita tentang perusahaannya, ini benar-benar sesuatu sekali. Memangnya dia tidak punya asisten pribadi? Apa sekretarisnya tidak bekerja sama sekali?Walaupun Jeanne sangat penasaran, tapi dia sama sekali tidak ingin mencampuri pekerjaan Alan yang pastinya sangat sibuk sekali."Buat pesta perayaan kalian malam ini, kalau kalian emang mau ke kelab, gue bisa pinjemin card gue kalau lo mau," tawarnya tiba-tiba."Lo serius?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Sumpah si Alan mau meminjaminya kartu kelab miliknya?"Ya, daripada nggak kepakai juga. Gue udah lama nggak pernah ke sana, jadi sekalian aja kalau lo sama anak-anak lain mau pergi, kan?" Alan mengeluarkan dompet dari balik saku celana hitamnya.Saat dia membuka dompet hitam legam yang terlihat mewah itu, diam-diam Jeanne turut melirik isi dompetnya. Bagaimanapun juga dia cewek matre. Dia cukup penasaran berapa gaji Alan sebagai CEO kantor pusat yang besar ini tiap bulannya, jika gaji kekasihnya yang bekerja di perusahaan biasa saja bisa sampai puluhan juta dalam sebulan.Alan menyadari lirikan itu dengan jelas, karena tatapan Jeanne sangat terang-terangan sekali. Cewek seperti Jeanne memang benar limited edition. Cantik, punya mulut pedas, blak-blakan dan anti manipulatif. Cewek sepertinya tidak akan bisa selingkuh, karena dia sama sekali tidak bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari orang lain."Penasaran?" Alan mengambil card hitam miliknya, lalu dia berikan kepada Jeanne yang menerimanya dengan senyum lebar di bibirnya. "Masuknya ntar sama gue, biar cepet pemeriksaannya. Anak baru kayak lo pasti bakal makan waktu kalau mau diperiksa.""Anak baru kayak gue gimana? Gue kan nggak pernah bawa senjata!" Jeanne menatapnya kesal.Alan hanya tersenyum tipis meresponnya. "Kalau gitu gue balik dulu, masih ada banyak kerjaan yang menunggu.""Iyain biar cepet ngilang." Jeanne meleletkan lidah, mengejek Alan yang hanya melambaikan sebelah tangan sembari melangkah menjauhinya.Namun, sebelum sosok pria itu benar-benar hilang. Alan tiba-tiba saja berhenti dan berteriak dengan keras. "Oh ya gue lupa bilang, harga card-nya gue potong dari gaji lo secara berkala, ya?!""Hah, apa?!" Jeanne menatap card di tangannya. Warna hitam ini terlihat mengkilap dan agak berbeda dari kartu kelab pada umumnya. "Jangan bilang card ini yang harganya sampai puluhan juga itu?"Jeanne mengerjap. Dia menatap ke arah kepergian Alan yang saat itu sedang tertawa sebelum sosoknya menghilang di balik lift yang menuju lantai atas.Alan sengaja melakukannya. Dia sengaja menawari Jeanne dan memberikan card-nya, karena dia ingin memotong gaji Jeanne tiap bulannya.Pria itu sangat tahu betul kalau Jeanne suka uang. Dia suka gaji yang besar. Lalu saat gajinya dipotong untuk melunasi hutang ...."Dasar CEO keparat!" umpatnya sembari membanting kartu itu ke lantai, tapi kemudian dia memungutnya lagi karena sayang. Kartunya mahal.___AKHIR-AKHIR ini Alan jadi sering disebut zombie. Dia tidak protes dengan julukan itu, karena dia pun mengakuinya sendiri. Hidup tanpa Jeanne membuat harinya terasa sepi, seperti hidupnya sudah tak berarti lagi. Namun dia tahu dengan pasti kalau Jeanne sedang menantinya kembali.Lalu akhirnya, semua penderitaannya selama ini akan berakhir hari ini. Dengan rindu yang memenuhi dada dan membuatnya merasa sesak yang begitu menyiksa. Alan memandangi pantulan dirinya yang dibalut jas putih bersih dengan senyum tipis menghias bibirnya.Semoga tidak ada drama lain yang bisa membatalkan acara pernikahannya atau dia benar-benar akan gila."Kamu masih belum siap juga?" Arnold melihat putranya yang sedang berkemas dan tak kunjung selesai sejak tadi.Penampilan Alan hari ini terlihat lebih baik dari hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya setelah tiga minggu lebih mereka tidak pernah berhubungan lagi.Arnold sebenarnya cukup khawatir saat Jeanne tidak bisa
SEMALAM Alan terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu, karena kamarnya benar-benar sudah tidak layak huni. Pagi harinya dia hanya bisa menatap kepergian Jeanne serta kedua orang tuanya seperti zombi.Tubuhnya terasa lelah dan remuk redam, tapi kini dia harus ditinggalkan sendirian. Walaupun demi kebaikan, tapi tetap saja rasanya menyesakkan.Apalagi saat dia tiba di kantor, masalah yang tersisa kemarin ditambah dokumen menumpuk di atas meja kerjanya ... Alan merasa pusing langsung menyerang kepalanya."Selamat pagi, Pak!" Glen menyapa seperti biasa.Alan memang selalu datang lebih awal, tapi dia akan berhenti di parkiran untuk mengecek kabar terbaru tentang perusahaan. Jadi dia bakal terlambat masuk ke ruangannya."Pagi," jawabnya lelah. "Untuk sementara waktu, tolong kosongkan jadwal temu saya dengan klien. Saya mau menyelesaikan semua dokumen dan masalah yang masih tersisa hari ini. Dan juga, tolong bantu Tantri agar bisa menjadi sekretaris sementara saya yang baik."Glen mengernyitk
"JADI, kalian mau langsung menikah saja bulan depan?" Bulan tersenyum bahagia saat mengatakannya. Itu berarti, sebentar lagi Jeanne akan resmi menjadi menantunya dan dia bisa segera menggendong cucu yang sudah lama diidam-idamkannya.Jeanne ganti menoleh ke sisi lain tubuhnya. "Jangan dong, Tante! Saya masih pengin melajang dulu sampai bulan depan, minimal samp—ai ..."Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung memajukan wajah hingga berada di depan wajahnya. Tangan pria itu entah sejak kapan sudah memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Melajang gimana maksudnya, ya? Perasaan hubungan kita masih baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun akhir-akhir ini?" katanya dengan nada tajam. Kalau terus dibiarkan, Jeanne bisa makin seenaknya saja dan rencana pernikahan mereka bakal molor lama.Padahal Alan sudah ingin mengikat wanita ini agar bisa terus bersamanya setiap hari. Kalau dia masih mau mengulur waktu lagi, Jeanne pasti akan mencari pria lain lagi setelah i
ALAN memejamkan matanya. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Tidak bisa. Dia tidak boleh melakukannya. Dia sudah berjanji untuk menjadi pria setia, maka dia harus menepati janjinya apa pun yang terjadi nantinya.Alan menarik tangannya tepat saat ponsel yang ada di mejanya bergetar. Dia mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk ke sana.Arnold : Sayang sekali kamu tidak mau pulang malam ini, kalau pulang, kamu pasti bisa merasakan bagaimana rasa masakan calon istrimu ini.Pesan dari papanya itu sukses membuat Alan langsung mengernyitkan dahi. Masakan calon istri ... maksudnya masakan Jeanne? Memangnya Jeanne bisa memasak?Seingatnya, Jeanne tidak bisa memasak dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Makanya dia mau mencari calon suami yang kaya raya agar dia tidak dibuat repot mengurus masalah rumah, karena dia bisa menyewa asisten rumah tangga.Lalu, siapa maksud calon istri di sini? Dia benar-benar Jeanne kekasihnya atau wanita lain y
JEANNE menyerah. Dia memang paling tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Walaupun untuk cuci piring dia sudah bisa menguasainya, tapi tetap saja masih ada satu atau dua gelas yang pecah karena ulahnya. Jeanne memang tidak dimarahi, tapi dia merasa tidak enak hati.Sepertinya dia memang harus membatalkan niat untuk menjadi calon menantu di rumah ini atau dia akan menghabiskan semua piring dan gelas kesayangan calon mertua baiknya ini.Jeanne mengembuskan napasnya lelah. Padahal dia hanya membantu cuci piring dan gelas. Dia memang sedang diajari memasak juga katanya, karena sejak tadi dia hanya disuruh mengupas sayuran, mengiris cabai dan bawang, lalu disuruh menggorengnya di wajan.Sisanya Bulan yang membereskan untuknya, karena Jeanne benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan bahan-bahan yang sekarang sudah berada di wajan.Bahkan dia juga tidak tahu apa yang Bulan tambahkan ke dalam wajan. Mungkin saja bumbu dapur seperti garam dan sedikit penyedap rasa atau mungkin j
ALAN merasa kepalanya mau pecah. Satu masalah muncul, masalah lainnya langsung bertebaran. Setelah menyelesaikan harga saham dan persoalan video yang kekasihnya perankan, Alan menyadari dirinya sedang butuh seorang teman. Dia butuh hiburan, tapi kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Padahal dia hanya butuh ditemani. Dibiarkan menyender dengan manja untuk menyingkirkan pusing dan lelah yang dia derita. Dia hanya butuh hal yang sederhana, seperti menyampaikan sedikit keluh kesah yang sedang dirasakannya atau mungkin hanya diam saja dan tiduran di paha kekasihnya.Namun kenyataannya Jeanne tidak ada di sana. Kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Alan melirik jam di tangannya. Sebentar lagi jam makan siang usai. Jarak dari kantor dan apartemen memang tidak terlalu jauh, tapi tidak akan cukup untuk dia bermanja-manja dengan kekasihnya, karena Alan pasti ingin melakukannya sampai puas.Alan sudah menghubungi Jeanne, berniat meminta Jeanne datang ke sana dan menemaninya bekerja, tapi sialnya pon