Home / Romansa / Affair with CEO (INDONESIA) / 03 - Alan Mode Curcol

Share

03 - Alan Mode Curcol

Author: Kaitani_H
last update Last Updated: 2023-10-29 15:10:26

GIMANA rasanya hangout sama CEO dari kantor sendiri?

Kalau orangnya asyik dan enak, sih, oke-oke saja. Tapi kalau orangnya kayak modelan Alan yang selalu memasang wajah datar layaknya mau ngajak perang, sih, siapa pun pasti bakal berpikir dua kali buat mengajaknya bicara.

Bahkan Jeanne yang notabenenya sudah kenal Alan sebelumnya saja tidak mau mengajaknya bicara. Garing banget ngajak ngomong si Alan itu. Cuma bikin emosi sendiri, apalagi setelah kejadian siang tadi.

Jeanne mengembuskan napas berat. Teman-temannya yang sudah mulai mabuk satu per satu pamitan untuk joget-joget di lantai dansa. Sisanya pamit pulang karena sudah kangen anak istrinya. Jeanne mau pergi dari sana juga, tapi dia tidak enak hati sama Alan yang dari tadi cuma diam di tempat saja.

Alan duduk di sofa paling ujung. Dia cuma berdiam diri sembari menikmati bergelas-gelas alkohol di depannya. Memang bukan hanya Alan saja yang melakukan hal seperti itu, tapi nyaris semua teman-teman kerjanya yang masih jomlo itu pun melakukan hal serupa.

Pasalnya mereka sudah tahu, pas masuk ke sini Jeanne pakai card legendaris yang tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh pihak kelab. Harga card yang mahal itu sudah sepaket dengan minumannya yang harganya mahal juga. Jadi mereka tidak mau buang-buang waktu selain langsung minum saja mumpung lagi ada kesempatan, kan?

"Nggak mau turun, Pak?" tanya Jeanne yang berusaha menjaga sopan santun, karena tidak enak juga kalau teman-teman barunya di kantor mendengar sapaannya pada Alan. Apalagi dia memang biasa memanggil Alan langsung dengan namanya saja tanpa embel-embel kesopanan.

Setelah siang tadi dia ditanyai macam-macam oleh teman-teman di kantornya. Bahkan dia sampai dituduh kalau punya affair dengan CEO di kantor mereka. Jeanne akhirnya bisa menjelaskan pada teman-temannya soal asal muasal perkenalannya dengan Alan. Dia juga menyangkal hubungan affair dengan Alan, karena pacarnya itu Fredy alias si bebek sawah kesayangannya.

Alan menoleh ke arah Jeanne tanpa menunjukkan sedikit pun ekspresi. "Enggak, lo sendiri nggak pengen turun?"

Jeanne tersenyum masam. Dia sangat ingin melakukannya, tapi dia tidak enak membiarkan Alan sendirian. "Kenapa nyuruh gue turun? Lo mau cosplay jadi sad boy di sini, ya? Eh salah," Jeanne menutup mulutnya kemudian meralat ucapannya, "karena lo udah bukan boy lagi, jadinya sad man, ya?"

"Mungkin. Sejujurnya gue cuma mau minum aja malam ini. Lo mau nyoba?" Alan menunjukkan gelasnya pada Jeanne yang langsung mengernyit memandanginya. "Dari tadi lo nggak minum, nggak ikutan turun juga. Kalau lo mau sok alim di depan gue, jelas nggak guna karena gue udah tahu lo bisa minum di pesta pernikahan Alva sebelumnya."

Jeanne berdecak kesal. Dia mau minum. Sangat mau, tapi sebagai orang yang disambut malam ini, dia menjadi layaknya sosok pemilik acara tersebut. Apalagi dia yang akan membayar semua biaya yang akan mereka habiskan malam ini.

Walaupun dia berhutang dulu pada Alan melalui card miliknya, tapi ending-endingnya dia juga yang akan membayarnya. Alhasil sebagai pemilik acara itu, dia harus tetap menjaga kewarasan ketika semua teman-teman kantornya sudah setengah sadar.

Kalaupun dia ingin mabuk, dia akan melakukan bagiannya terakhir. Saat semua teman-temannya sudah pulang. Karena dia mau menjadi pemilik acara yang baik dan tidak mengecewakan teman-teman barunya.

"Kalau lo mau minum, minum aja. Gue bisa sambil jagain mereka." Alan tiba-tiba saja berbicara sembari menyodorkan gelasnya yang terisi penuh minuman beralkohol yang sejak tadi dinikmati olehnya ke hadapan Jeanne. "Gue lebih kuat minum daripada kelihatannya."

Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Seriusan lo jago minum? Kok nggak kelihatan?"

Alan tersenyum masam. Dia pernah menjadi pecandu alkohol saat masih kuliah, walaupun setelahnya dia berhasil berubah. Namun dia kembali mengulangi fase itu tahun lalu, saat dia merasa marah pada takdir yang tengah mempermainkannya.

Dia ingin melakukannya lagi tahun ini saat dia gagal mengikatkan diri pada pernikahan. Namun pekerjaannya yang terlalu banyak membuat Alan belum bisa merealisasikan keinginan. Hingga malam ini, akhirnya dia bisa menelan minuman yang bisa menghancurkan tubuhnya sekali lagi.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, lo nggak mungkin bisa punya kartu itu kalau lo nggak pernah jadi langganan di tempat ini, kan?" tanya Jeanne dengan nada suaranya yang begitu khas. Kata-kata yang apa adanya, blak-blakan, jujur, dan kadang berakhir menjadi kalimat sarkas.

"Gue dapatin kartu itu tahun lalu, sebelum gue pacaran sama Risa," ceritanya.

Jeanne terdiam sejenak setelah mendengar ucapannya. Dia pikir, pria itu tidak akan pernah membahas tentang Risa saat sedang bersamanya. Apalagi sampai mengenang kembali perjalanan hidupnya bersama sang mantan pacar. Namun sepertinya Jeanne telah salah menilainya, karena Alan kini terlihat baik-baik saja saat mengatakannya.

Apakah dia benar-benar baru saja patah hati tempo hari? Kenapa dia bisa move-on secepat itu kalau dia memang sudah cinta mati?

"Eh, Risa sering ke sini juga?" tanyanya kaget.

"Enggak, Risa bukan orang kayak gitu. Dia orang baik-baik. Gue cuma pernah ke sini sekali pakai kartu itu, itu pun sebelum gue ketemu sama Risa lagi." Alan tersenyum tipis. "Sayang banget ending perjalanan cinta kami cuma sampai di sana."

"Salah lo juga, sih?! Siapa suruh lo selingkuh? Kalau lo nggak selingkuh, dia pasti masih aman sama lo sekarang, bukannya masuk kandang buaya berengsek kayak gitu."

Jeanne terang-terangan mengumpati sepupu Alan yang notabenenya mantan pacarnya juga. Walaupun hubungan mereka masih baik sekarang, teramat baik malahan, tapi itu bukan alasan yang membuat Jeanne untuk tidak menyebut pria itu berengsek.

"Gue juga nyesel, tapi keadaan gue waktu itu beneran lagi buruk banget. Waktu gue lagi digodain cewek lain, gue lagi dalam fase butuh seseorang di samping gue. Sedangkan Risa lagi nggak ada di sana." Alan tersenyum getir.

Dia menyesalinya. Sangat menyesalinya. Andaikan saat itu dia tidak terbuai dan melakukannya, mungkin hubungan mereka sampai sekarang masih baik-baik saja. Bahkan mungkin ... mereka sudah menikah dan punya anak sekarang.

Alan mengembuskan napas berat. Tepat saat Jeanne merespon ucapannya.

"Gue baru tahu kalau cowok ternyata punya fase kayak gitu atau itu cuma berlaku buat lo doang?"

Alan tersenyum masam. "Mungkin cuma gue doang yang kayak gitu."

"Kalau cuma lo doang, harusnya lo nggak pernah ngizinin Risa pergi ke kantor cabang."

Ucapannya benar. Alan mengakuinya. Dia juga menyesali keputusannya yang mengizinkan Risa pergi dari sisinya. Terlebih alasan kepergiannya hanya karena direktur lain yang takut kehilangan posisinya.

"Ya, tapi udah terlambat, sih. Sekarang si Risa udah nikah sama Alva, lagi hamil juga. Jadi lo nggak mungkin ngarepin dia balik lagi, kecuali lo emang udah gila, kan?"

"Yah, gue nggak pernah ngarepin dia balik lagi. Gue cuma berharap, kali ini dia bisa bahagia, lebih bahagia daripada saat dia masih sama gue dulu."

Kata-kata itu walaupun diucapkan dengan nada biasa, tapi Jeanne menangkap lara di balik suaranya. Alan menyimpan lukanya, menyimpan pedihnya ditinggalkan, karena dia tahu semua itu salahnya sendiri. Dia sudah menyesalinya. Dia sudah merelakan cintanya. Dia mengikhlaskannya untuk sepupunya. Dia akan menjadi orang yang baik, jika dia sudah mau berubah kali ini.

Jeanne menepuk pelan pundak Alan berulang kali. "Yang sabar ya, Lan! Ntar kalau lo nyari cewek lagi, cari yang deket aja, jangan cari yang jauh sampai LDR-an gitu lagi. Lo tipe yang nggak kuatan ditinggal cewek sendiri, jadi jangan LDR-an lagi, karena lo pasti nggak bakalan sanggup jalaninnya. Ngerti?"

Alan mendengkus keras mendapat ceramah seperti itu dari Jeanne. "Cari yang kayak lo gini, ya? Deket, suka nongol dan gangguin orang mulu gitu?"

Jeanne menatapnya dengan tatapan aneh. "Jangan bilang selera cewek lo yang kayak gue gini lagi?"

"Enggak." Alan menjawabnya dengan muka datar. "Gue lebih suka cewek yang tenang, dewasa, dan perhatian. Bukannya berisik, kekanakan, dan suka buat onar."

"Sialan lo!" Jeanne memukul punggung Alan agak keras. Kemudian dia mengambil gelas yang disodorkan Alan sebelumnya dan mulai meminum isinya. "Terus selingkuhan lo yang kemarin mana? Lo nggak pacaran sama dia emangnya?"

"Enggak, dia udah gue pecat."

"Hah?" Jeanne langsung menoleh dengan pandangan syok. "Apa?!" Kemudian dia meminum lagi minuman di gelas itu, karena ternyata rasanya lebih enak dari yang biasanya dia minum.

"Dia bilang lagi hamil anak gue, terus nyuruh gue tanggung jawab dan nikahin dia," jelas Alan dengan santainya.

Jeanne langsung menyemburkan minuman yang mau dia telan dan menatap Alan dengan tatapan tidak percaya. "Anak lo? Lo hamilin dia?!"

"Bukan, itu bukan anak gue. Ya kali, gue kayak nggak ngerti cara pakai pengaman aja!" Alan memutar bola mata dan menatap Jeanne dengan tatapan malas.

"Iya juga, sih. Cowok pengalaman kayak lo masa nggak ngerti pengaman sampai bisa kebobolan segala."

Jeanne menghela napasnya lega. Syukurlah. Dia nyaris kena serangan jantung jika Alan benar-benar sudah menghamili wanita lain saat masih berpacaran dengan Risa.

"Terus kalau itu bukan anak lo, emang lo tahu dia tidur sama siapa aja selain sama lo?" tanya Jeanne dengan muka kelewat penasaran.

Alan mengangguk. "Gue nyewa orang buat ngikutin dia. Walaupun dia berhasil godain gue, tapi gue nggak setiap malam juga tidur sama dia. Cuma tiga kali, jarak pertama dan kedua lebih dari sebulan. Yang ketiga memang dekat, tapi nggak mungkin kalau baru buat bisa langsung jadi anak seminggu kemudian, kan?"

"Niat banget jebakannya kalau gitu. Makanya lo langsung pecat dia?" Jeanne mengangguk mengerti.

Alan mengangguk. "Ya, dengan bukti dia tidur sama siapa aja, juga uang seandainya dia mau aborsi anaknya."

"Serem!" komentar Jeanne blak-blakan. "Jahat banget lo sumpah! Sampai kasih uang buat aborsi juga."

Alan mendengkus pelan. "Itu uang tutup mulut aja, tapi kalau mau dipakai buat aborsi itu urusan dia. Gue cuma kasih jalan keluar aja, kalau masalah jahat atau enggak, gue bisa lebih jahat dari itu kalau emang niat."

"Ih, serem! Gue bakal inget-inget buat nggak macam-macam sama lo abis ini, deh!" Jeanne mengatakannya dengan refleks.

Namun Alan hanya menatapnya dengan tatapan datar. Jeanne berkata seperti itu seperti dia tidak pernah macam-macam dengan Alan saja. Bahkan kata-kata sarkasnya ada yang pernah menusuk hatinya.

Akan tetapi, sesarkas apa pun ucapan Jeanne, Alan merasa masih bisa memakluminya, karena memang seperti itulah sifat Jeanne yang sebenarnya.

Lagi pula, Jeanne bukan orang bermuka dua. Bahkan malah kebalikannya. Jeanne terlalu polos. Dia terlalu terbuka dan naif. Dia tidak berniat membohongi siapa pun. Bahkan jika dia menginginkan sesuatu, dia akan langsung menunjukkannya dengan gelagat yang begitu kentara.

Dia bukan orang manipulatif yang ingin menipu dan memanfaatkan Alan saja. Alasan itulah yang membuat Alan bisa tenang dan santai ketika bicara dengannya, karena Jeanne tidak akan pernah menusuknya.

Sekali pun Jeanne bisa melakukannya, tapi dia tidak akan sanggup melakukannya. Dia benar-benar sosok teman yang menyenangkan untuk diajak bicara dan dicari.

Terlebih ketika Alan butuh seseorang untuk menenangkan dirinya seperti hari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Affair with CEO (INDONESIA)   EPILOG

    AKHIR-AKHIR ini Alan jadi sering disebut zombie. Dia tidak protes dengan julukan itu, karena dia pun mengakuinya sendiri. Hidup tanpa Jeanne membuat harinya terasa sepi, seperti hidupnya sudah tak berarti lagi. Namun dia tahu dengan pasti kalau Jeanne sedang menantinya kembali.Lalu akhirnya, semua penderitaannya selama ini akan berakhir hari ini. Dengan rindu yang memenuhi dada dan membuatnya merasa sesak yang begitu menyiksa. Alan memandangi pantulan dirinya yang dibalut jas putih bersih dengan senyum tipis menghias bibirnya.Semoga tidak ada drama lain yang bisa membatalkan acara pernikahannya atau dia benar-benar akan gila."Kamu masih belum siap juga?" Arnold melihat putranya yang sedang berkemas dan tak kunjung selesai sejak tadi.Penampilan Alan hari ini terlihat lebih baik dari hari kemarin. Mungkin karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya setelah tiga minggu lebih mereka tidak pernah berhubungan lagi.Arnold sebenarnya cukup khawatir saat Jeanne tidak bisa

  • Affair with CEO (INDONESIA)   51 - Rindu Tidak Tertahankan

    SEMALAM Alan terpaksa harus tidur di sofa ruang tamu, karena kamarnya benar-benar sudah tidak layak huni. Pagi harinya dia hanya bisa menatap kepergian Jeanne serta kedua orang tuanya seperti zombi.Tubuhnya terasa lelah dan remuk redam, tapi kini dia harus ditinggalkan sendirian. Walaupun demi kebaikan, tapi tetap saja rasanya menyesakkan.Apalagi saat dia tiba di kantor, masalah yang tersisa kemarin ditambah dokumen menumpuk di atas meja kerjanya ... Alan merasa pusing langsung menyerang kepalanya."Selamat pagi, Pak!" Glen menyapa seperti biasa.Alan memang selalu datang lebih awal, tapi dia akan berhenti di parkiran untuk mengecek kabar terbaru tentang perusahaan. Jadi dia bakal terlambat masuk ke ruangannya."Pagi," jawabnya lelah. "Untuk sementara waktu, tolong kosongkan jadwal temu saya dengan klien. Saya mau menyelesaikan semua dokumen dan masalah yang masih tersisa hari ini. Dan juga, tolong bantu Tantri agar bisa menjadi sekretaris sementara saya yang baik."Glen mengernyitk

  • Affair with CEO (INDONESIA)   50 - Janji untuk Kembali

    "JADI, kalian mau langsung menikah saja bulan depan?" Bulan tersenyum bahagia saat mengatakannya. Itu berarti, sebentar lagi Jeanne akan resmi menjadi menantunya dan dia bisa segera menggendong cucu yang sudah lama diidam-idamkannya.Jeanne ganti menoleh ke sisi lain tubuhnya. "Jangan dong, Tante! Saya masih pengin melajang dulu sampai bulan depan, minimal samp—ai ..."Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung memajukan wajah hingga berada di depan wajahnya. Tangan pria itu entah sejak kapan sudah memegangi tangannya dan mencengkeramnya dengan kuat."Melajang gimana maksudnya, ya? Perasaan hubungan kita masih baik-baik aja dan nggak ada masalah apa pun akhir-akhir ini?" katanya dengan nada tajam. Kalau terus dibiarkan, Jeanne bisa makin seenaknya saja dan rencana pernikahan mereka bakal molor lama.Padahal Alan sudah ingin mengikat wanita ini agar bisa terus bersamanya setiap hari. Kalau dia masih mau mengulur waktu lagi, Jeanne pasti akan mencari pria lain lagi setelah i

  • Affair with CEO (INDONESIA)   49 - Pulang

    ALAN memejamkan matanya. Menarik napas panjang, kemudian mengembuskan napasnya secara perlahan. Tidak bisa. Dia tidak boleh melakukannya. Dia sudah berjanji untuk menjadi pria setia, maka dia harus menepati janjinya apa pun yang terjadi nantinya.Alan menarik tangannya tepat saat ponsel yang ada di mejanya bergetar. Dia mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan yang masuk ke sana.Arnold : Sayang sekali kamu tidak mau pulang malam ini, kalau pulang, kamu pasti bisa merasakan bagaimana rasa masakan calon istrimu ini.Pesan dari papanya itu sukses membuat Alan langsung mengernyitkan dahi. Masakan calon istri ... maksudnya masakan Jeanne? Memangnya Jeanne bisa memasak?Seingatnya, Jeanne tidak bisa memasak dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah. Makanya dia mau mencari calon suami yang kaya raya agar dia tidak dibuat repot mengurus masalah rumah, karena dia bisa menyewa asisten rumah tangga.Lalu, siapa maksud calon istri di sini? Dia benar-benar Jeanne kekasihnya atau wanita lain y

  • Affair with CEO (INDONESIA)   48 - Rayuan Setan

    JEANNE menyerah. Dia memang paling tidak cocok melakukan pekerjaan rumah. Walaupun untuk cuci piring dia sudah bisa menguasainya, tapi tetap saja masih ada satu atau dua gelas yang pecah karena ulahnya. Jeanne memang tidak dimarahi, tapi dia merasa tidak enak hati.Sepertinya dia memang harus membatalkan niat untuk menjadi calon menantu di rumah ini atau dia akan menghabiskan semua piring dan gelas kesayangan calon mertua baiknya ini.Jeanne mengembuskan napasnya lelah. Padahal dia hanya membantu cuci piring dan gelas. Dia memang sedang diajari memasak juga katanya, karena sejak tadi dia hanya disuruh mengupas sayuran, mengiris cabai dan bawang, lalu disuruh menggorengnya di wajan.Sisanya Bulan yang membereskan untuknya, karena Jeanne benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan bahan-bahan yang sekarang sudah berada di wajan.Bahkan dia juga tidak tahu apa yang Bulan tambahkan ke dalam wajan. Mungkin saja bumbu dapur seperti garam dan sedikit penyedap rasa atau mungkin j

  • Affair with CEO (INDONESIA)   47 - Jeanne Pergi

    ALAN merasa kepalanya mau pecah. Satu masalah muncul, masalah lainnya langsung bertebaran. Setelah menyelesaikan harga saham dan persoalan video yang kekasihnya perankan, Alan menyadari dirinya sedang butuh seorang teman. Dia butuh hiburan, tapi kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Padahal dia hanya butuh ditemani. Dibiarkan menyender dengan manja untuk menyingkirkan pusing dan lelah yang dia derita. Dia hanya butuh hal yang sederhana, seperti menyampaikan sedikit keluh kesah yang sedang dirasakannya atau mungkin hanya diam saja dan tiduran di paha kekasihnya.Namun kenyataannya Jeanne tidak ada di sana. Kekasihnya tidak ada di sekitarnya.Alan melirik jam di tangannya. Sebentar lagi jam makan siang usai. Jarak dari kantor dan apartemen memang tidak terlalu jauh, tapi tidak akan cukup untuk dia bermanja-manja dengan kekasihnya, karena Alan pasti ingin melakukannya sampai puas.Alan sudah menghubungi Jeanne, berniat meminta Jeanne datang ke sana dan menemaninya bekerja, tapi sialnya pon

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status