“Aku kembali ke tempat dimana semuanya dimulai.”
Butuh sekitar 1,5 jam perjalanan menuju Peak District, Dovedale dari pusat Kota Birmingham.
Dovedale adalah sebuah lembah di Peak District. Lembah di Inggris Raya ini dilewati oleh Sungai Dove yang membentang antara Milldale di utara dan hutan di dekat Thorpe Cloud dan Bunster Hill di selatan.
Tujuan utama Jung Soo kali ini adalah mendaki Thorpe Cloud yang merupakan salah satu bukit favorit Jung Soo di Peak District.
Thorpe Cloud menyajikan perpaduan pemandangan bagian atas lembah bagian utara dan dataran Midlands di bagian selatan.
Selain itu, sebuah foto polaroid yang ia tempel di dinding kamar apartemennya merupakan alasan utama yang mendorongnya melakukan perjalanan mendadak ini.
Bayangkan saja, setelah 20 jam perjalanan udara dari Seoul ke Birmingham dan hanya karena selembar foto, Jung Soo rela berkendara lagi sejauh hampir 100 kilometer.
Sesungguhnya, Jung Soo tak berpikir panjang untuk datang ke sini. Entah apa yang merasukinya namun Jung Soo seakan tidak merasakan lelah.
Setelah sampai di Bandara Internasional Birmingham, ia segera pergi dengan menggunakan taksi ke apartemennya di Sheepcote Street.
Sesampainya ia di apartemennya, ia tidak menemukan siapapun, termasuk sepupunya yang masih tinggal di apartemennya.
Apartemennya yang kosong seketika itu membuat hatinya begitu hampa. Jung Soo segera menyimpan koper dan tas ranselnya di kamarnya yang berada di lantai dua.
Kondisi kamarnya masih sama seperti yang ia tinggalkan dua tahun yang lalu. Sepupunya pasti dengan rajin membersihkan kamarnya dengan rutin sebagai permintaan maafnya karena tak hadir di acara resepsi pernikahan Jung Soo.
Jung Soo berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke komplek apartemen lainnya. Tepat di dinding sebelah kanan jendela, terdapat kumpulan foto polaroid dari tempat- tempat yang telah Jung Soo kunjungi dengan seorang gadis istimewa.
Jung Soo menelusuri setiap foto pemandangan yang tertempel di dinding. Setiap foto ditulisi nama lokasi dan sebuah pesan singkat. Jung Soo tersenyum kecil setiap kali membaca pesan- pesan singkat itu.
Sebuah foto pemandangan perbukitan dengan sinar matahari terbit menarik perhatian Jung Soo. Ia menarik foto itu dan membaca sebuah pesan singkat yang menggetarkan hatinya.
“Seperti matahari yang tidak pernah meninggalkan bumi, begitupun aku..” Pesan singkat yang akhirnya membuat Jung Soo segera mengambil jaket dan kunci mobilnya kemudian berkendara langsung ke Dovedale.
Sesampainya di Dovedale, Jung Soo memarkirkan mobilnya dan melepas sabuk pengamannya setelah mobil benar- benar berhenti. Ia keluar dari mobilnya dan mengambil jaketnya yang berbahan corduroy cokelat tua dan ranselnya di jok belakang.
Jaket cokelat itu melapisi kaos polo abu tuanya yang dipadukan dengan celana jeans hitam. Setelah menutup pintu mobil, Jung Soo masih sempat menyisir rambutnya yang bergelombang alami itu dengan jemarinya.
Dahinya berkerut dalam saat menyadari aksinya, untuk apa ia merapikan penampilannya? Lagipula ia tidak akan bertemu dengan gadis itu di sini.
Setelah membayar tiket, ia berjalan menyusuri jalan setapak menuju Stepping Stones. Beruntung karena hari cukup cerah dengan sinar matahari sore yang sudah tidak begitu terik. Jung Soo mengeluarkan kameranya dan beberapa kali ia mengambil foto dengan kameranya.
Dari lensa kameranya, ia mengintip langit melalui celah- celah daun pohon yang tidak begitu rapat. Ia juga mengambil foto Sungai Dove yang mengalir berlawanan arah dengan tujuannya.
Suara aliran Sungai Dove dan suasana sejuk daerah perbukitan ini membuat lelahnya seketika menguap ke udara. Akhirnya Jung Soo sampai di Stepping Stones yang menjadi pijakan para wisatawan untuk menyeberangi sungai menuju Thorpe Cloud.
Menjelang sore hari pengunjung yang datang sudah tidak terlalu banyak sehingga Jung Soo dapat benar- benar menikmati waktunya melangkahi satu demi satu batu di depannya.
Pada setiap langkahnya, ia teringat banyak hal- hal yang terjadi dalam hidupnya belakangan ini. Ia diam sejenak, mengatur nafasnya lalu tersenyum hambar memandang kejauhan.
Hidupnya seperti perbukitan di depan matanya dan jalannya seperti batu- batu yang sedang ia langkahi. Sebersit penyesalan muncul dalam hatinya yang kemudian ia telan kembali.
Jung Soo sadar betul rasa bersalah dan penyesalan bukanlah sesuatu yang harus ia ratapi saat ini. Kedatangannya ke sini adalah untuk datang ke pernikahan Harold Wilson, salah satu rekanan restorannya.
Sesampainya di seberang, Jung Soo mendaki bukit yang cukup landai dengan mengikuti bendera biru yang terletak di sisi jalan setapak menuju Thorpe Cloud sehingga ia dapat berjalan santai dengan sepatu boots-nya.
Beberapa kali ia melemparkan senyumnya saat berpapasan dengan para pengunjung yang sedang menuruni bukit. Tetapi, senyumannya tak dapat menutupi kegundahan di hatinya.
Jung Soo menyusuri jalan setapak menuju puncak bukit yang panjang dengan kepala tertunduk. Kakinya yang panjang tahu betul kemana arah tujuannya sekarang.
Jung Soo berbalik melihat jalanan yang baru saja ia lalui dengan nafas sedikit terengah. Entah itu karena jalanan yang menanjak atau sesak di dadanya mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya belakangan ini.
Akhirnya Jung Soo sampai di puncak Thorpe Cloud. Di depan matanya terbentang pemandangan perbukitan hijau yang terbelah aliran Sungai Dove yang tenang. Udara sejuk yang masuk melewati paru- parunya membayar sesak di dadanya selama mendaki tadi.
Sudah enam tahun sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di puncak ini. Satu memori yang terasa masih sangat hangat terlintas dalam benak Jung Soo. Memori yang seakan memberikannya pelukan hangat yang sangat ia butuhkan saat ini.
Jung Soo masih sangat ingat bagaimana ia dibawa pergi oleh seorang gadis pada pagi buta hanya untuk menyaksikan matahari terbit di puncak Thorpe Cloud.
“Kita sudah sampai!” Seru gadis itu masih bersemangat walaupun ia harus mendorong dan menarik tubuh Jung Soo yang lunglai mendaki bukit.
Gadis itu selalu terlihat sangat bebas tanpa beban. Terkadang dengan hanya melihat bagaimana gadis itu sangat menikmati hidupnya membuat Jung Soo merasa sangat ringan, seakan ada beban berat di punggungnya ikut terangkat.
Jung Soo hanya menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan berat saat memaksakan kakinya melangkah ke puncak bukit.
“Duduklah.” Pinta gadis itu.
Walaupun enggan, Jung Soo tetap duduk di atas bebatuan yang dingin. “Apa kau harus membawaku bahkan saat matahari saja belum muncul?” Keluhnya.
“Ya! Justru ini waktu yang sangat tepat!” Jawab gadis berkulit putih langsat itu.
Pipi gadis itu selalu saja mudah memerah, entah karena kedinginan, kepanasan atau saat malu. Rona merah muda itu selalu membuat Jung Soo menarik ujung- ujung bibirnya.
Jung Soo menyadari pipi lembut itu mulai memerah. “Kau kedinginan?” Ia mendekatkan dirinya, berharap kehangatan tubuhnya sedikit terpancar untuk gadis itu.
Gadis itu hanya terdiam dengan pandangannya lurus pada lembah yang gelap dan langit kelabu. “Apa rasanya sesakit itu?” Tanya gadis itu tiba- tiba.
“Apa maksudmu?”
“Hatimu.”
Jung Soo tak menjawab.
“Mengapa kau tidak bisa merelakannya?” Gadis itu memiringkan tubuhnya menghadap Jung Soo. “Wanita itu belum tentu ditakdirkan untukmu. Jadi mengapa kau seakan- akan kehilangan duniamu karena dia menolak lamaranmu?”
“Kau tidak pernah merasakan betapa sakitnya hatimu ketika seseorang yang sangat kau cintai memilih untuk berada di jalan yang berbeda denganmu.
Sementara dia adalah orang yang selalu ada untukmu yang sangat mengerti dirimu untuk waktu yang sangat lama. Kau tidak akan mengerti perasaan seperti itu, nona.”
Kali ini gadis itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya berat. Gadis itu berbalik lagi menghadap lembah gelap berkabut.
“Tidak ada yang lebih mengerti tentang perasaan itu dibanding aku. Tidak ada.” Gadis itu menegakan punggungnya.
Jung Soo bergeming, ia tahu benar maksud dari kalimat itu. Seketika itu ia merasa sangat bersalah dan menyesal dengan kalimat yang ia utarakan sebelumnya.
“Tapi aku sadar aku tidak akan bahagia jika aku tak merelakannya. Ketika kau mencintai seseorang kau pasti ingin membuatnya bahagia, kan? Jika dia bahagia dengan pilihannya maka aku juga harus bahagia.”
“Selama dia bahagia maka aku juga akan bahagia, tapi jika dia tidak bahagia maka akupun tak bisa bahagia. Mungkin kali ini bukanlah waktu yang tepat. Jika memang ia ditakdirkan untukmu, maka ia akan selalu ada jalan untuk kembali padamu.”
Kalimat panjang gadis itu merasuki pikiran Jung Soo dan membawanya pada satu pencerahan. Ia merasa apa yang dikatakan gadis itu benar adanya.
Gadis itu menyelipkan tangannya pada siku Jung Soo lalu memeluknya.
“Aku tak tahu kalau ini akan membantumu atau tidak. Tapi jika kau merasa bebanmu terlalu berat, kau bisa membaginya denganku.
Setidaknya kau tidak menghadapinya sendirian. Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini.” Kepalanya menyender dengan nyaman di bahu Jung soo
Jung Soo masih bergeming. Ia tak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hatinya dan kini perlahan menghilang.
Entah itu karena pelukan gadis itu atau perkataannya. Tapi berada dengannya memang selalu membuat Jung Soo merasa lebih baik.
“Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku.” Pinta Jung Soo.
“Memangnya aku pernah meninggalkanmu?” Canda gadis bersuara lembut itu.
Kepala Jung Soo menggeleng. Sejak perkenalan pertama mereka, gadis itu tidak pernah meninggalkannya.
“Apa kau sadar kalau matahari terbenam itu bukan berarti ia meninggalkan bumi? Pada malam hari, matahari memberikan sinarnya pada bulan dan tetap menemani bumi.
Pada saatnya, matahari akan muncul di pagi hari dan kembali menyinari bumi setelah diselimuti gelapnya malam.” Ujar gadis itu dengan pandangan lurus pada matahari yang sebentar lagi akan terbit.
“Kurasa aku akan seperti itu. Aku tak mungkin selalu ada di sisimu, tapi aku tak pernah meninggalkanmu.” Saat gadis itu menjawab sinar matahari yang terbit perlahan menyinari keduanya.
“Seperti matahari terbit itu, semoga kau bisa memulai hari barumu dari sekarang.” Tambah gadis itu yang semakin mempererat pelukannya.
Sinar matahari terbit itu mulai menghangatkan Jung Soo, seperti pelukan kecil gadis itu yang selalu menghangatkan hatinya.
Sudah hampir dua jam Jung Soo duduk termenung di puncak Thorpe Cloud. Ia merasakan sesak di dadanya seraya menahan tangis di tenggorokannya.
Sesak yang berbeda dengan yang ia rasakan tadi sebelumnya saat mendaki. Tangannya terangkat dan memukul dadanya, berharap bisa menghilangkan sesak.
Sekelibat kenangan akan setiap senyuman, sentuhan dan pelukan gadis itu memasuki pikirannya. Kenangan yang menghantarkan kehangatan di hatinya sekaligus sesak yang luar biasa.
Ia sendiri yang meminta gadis itu untuk tidak meninggalkannya tapi dirinya sendiri yang meninggalkannya.
Sepertinya Jung Soo terlalu impulsif untuk datang ke sini. Ia kira ia sudah cukup kuat menghadapi masa lalunya namun kenyataannya ia hanya seseorang yang sedang melarikan diri dari rasa berasalahnya.
Jung Soo bahkan mulai berharap bertemu dengan gadis itu. Ia tidak boleh memanfaatkan gadis itu hanya untuk kembali hidup. Akhirnya ia memilih untuk berdiri dan berjalan turun dari Thorpe Cloud.
Jung Soo menuruni bukit dengan hati- hati hingga ia mendengar teriakan seseorang dari kejauhan dan menghentikan langkahnya.
“MARY!” Teriak seseorang dari kejauhan.
Jung Soo yang mendengar panggilan tersebut membeku di tempatnya. Sepenggal nama yang menyentakan seluruh tubuh Jung Soo. Segera ia menoleh ke segala arah mencari siapa yang meneriakan nama itu.
Nama yang sangat Jung Soo rindukan.
# # #
“Kau yang begitu dekat namun terasa jauh meski ada di depan mataku.”“MARY!”Hanya sebuah nama, namun mampu membuat kepala Jung Soo langsung berputar ke segala arah. Matanya dengan tergesa- gesa berusaha memindai setiap wajah yang bisa dilihatnya.Dimana wajah pemilik nama itu? Seru Jung Soo dalam hati dengan tidak sabar.Saat matanya selesai memindai dan tidak menemukan sosok yang sangat dicarinya, Jung Soo memilih menyerah.Ada jutaan orang bernama Mary di negara ini, kemungkinan yang sangat kecil nama Mary yang didengarnya tadi adalah milik gadis yang sangat ingin ia temui.Jung Soo menghembuskan nafas berat, merelakan ekspektasinya yang terlalu tinggi itu tertiup angin. Namun, tepat di depannya saat ia baru saja melangkah, seorang gadis berhenti mendaki dengan terengah- engah.Tidak salah lagi. Ini adalah gadis yang dicarinya.Jung Soo berusaha untuk membuka mulutnya, memanggil nama yang sama dengan ia dengar. Nama gadis itu.“Cepatlah!” Balas teriak gadis berjaket windbreaker kun
“Tidak ada rahasia yang selamanya menjadi rahasia.”“Justin!” Panggil David, manajer umum di Tapestry Table, saat membuka pintu dapur dengan bersemangat.Justin Alexander Wijaya kini menjadi pemilik Tapestry Table setelah Adrian Wijaya meninggal enam tahun lalu. Selain itu sejak dua tahun lalu ia juga menjabat sebagai executive chef menggantikan Park Jung Soo yang pindah ke Seoul untuk mengelola cabang Tapestry Table.Justin tak menggubris panggilan David yang menarik perhatian semua staff dapur. Ia terlalu fokus dengan hidangan di depan matanya.“Justin!” Panggil David sekali lagi, kali ini berhasil membuat pria berpotongan rambut French Crop itu menoleh ke arahnya. “Kemarilah, seseorang datang mencarimu.”“Siapa?” Tanya Justin tanpa mengalihkan perhatiannya, ia tetap fokus pada hidangan yang sedang ia sempurnakan dengan setangkai rosemary.“Sebaiknya kau melihatnya sendiri.” David dengan perlahan menarik bahu Justin menjauhi hidangannya yang siap diambil oleh pelayan.Justin yang ti
“Mereka termenung, menebak masa depan. Aku termenung, menebak masa lalu.”Setelah selesai dengan barang- barang yang telah dikemasnya, Mary Evelyn Wijaya duduk sejenak di window seat kamarnya. Ia menikmati waktu dengan memandangi taman belakang rumahnya yang luas.Di bawah sana, keponakannya Annelyne sedang bermain dengan kelinci kecil peliharaannya. Diana Nasution, kakak iparnya, dengan gesit mengambil foto anaknya.Seulas senyuman kecil mengembang di wajah Mary. Rasa syukur menyeruak di dadanya, membuatnya selalu merasa penuh. Ia merasa sangat beruntung bisa dikelilingi keluarga yang sangat menyayanginya. Terutama sosok Justin Alexander Wijaya, kakaknya yang cukup protektif.Tok.. tok..Seseorang mengetuk pintu kamar Mary yang terbuka, senyumannya semakin mengembang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.Tentu saja, satu orang lagi yang sangat berarti bagi Mary, sahabat setianya, Park Ha Joon."Hey, ini ada kiriman bunga untukmu." Seru lelaki yang dipanggil Joon itu dari d
“Tidak ada rahasia yang selamanya menjadi rahasia.”“Justin!” Panggil David, manajer umum di Tapestry Table, saat membuka pintu dapur dengan bersemangat.Justin Alexander Wijaya kini menjadi pemilik Tapestry Table setelah Adrian Wijaya meninggal enam tahun lalu. Selain itu sejak dua tahun lalu ia juga menjabat sebagai executive chef menggantikan Park Jung Soo yang pindah ke Seoul untuk mengelola cabang Tapestry Table.Justin tak menggubris panggilan David yang menarik perhatian semua staff dapur. Ia terlalu fokus dengan hidangan di depan matanya.“Justin!” Panggil David sekali lagi, kali ini berhasil membuat pria berpotongan rambut French Crop itu menoleh ke arahnya. “Kemarilah, seseorang datang mencarimu.”“Siapa?” Tanya Justin tanpa mengalihkan perhatiannya, ia tetap fokus pada hidangan yang sedang ia sempurnakan dengan setangkai rosemary.“Sebaiknya kau melihatnya sendiri.” David dengan perlahan menarik bahu Justin menjauhi hidangannya yang siap diambil oleh pelayan.Justin yang ti
“Kau yang begitu dekat namun terasa jauh meski ada di depan mataku.”“MARY!”Hanya sebuah nama, namun mampu membuat kepala Jung Soo langsung berputar ke segala arah. Matanya dengan tergesa- gesa berusaha memindai setiap wajah yang bisa dilihatnya.Dimana wajah pemilik nama itu? Seru Jung Soo dalam hati dengan tidak sabar.Saat matanya selesai memindai dan tidak menemukan sosok yang sangat dicarinya, Jung Soo memilih menyerah.Ada jutaan orang bernama Mary di negara ini, kemungkinan yang sangat kecil nama Mary yang didengarnya tadi adalah milik gadis yang sangat ingin ia temui.Jung Soo menghembuskan nafas berat, merelakan ekspektasinya yang terlalu tinggi itu tertiup angin. Namun, tepat di depannya saat ia baru saja melangkah, seorang gadis berhenti mendaki dengan terengah- engah.Tidak salah lagi. Ini adalah gadis yang dicarinya.Jung Soo berusaha untuk membuka mulutnya, memanggil nama yang sama dengan ia dengar. Nama gadis itu.“Cepatlah!” Balas teriak gadis berjaket windbreaker kun
“Aku kembali ke tempat dimana semuanya dimulai.”Butuh sekitar 1,5 jam perjalanan menuju Peak District, Dovedale dari pusat Kota Birmingham. Dovedale adalah sebuah lembah di Peak District. Lembah di Inggris Raya ini dilewati oleh Sungai Dove yang membentang antara Milldale di utara dan hutan di dekat Thorpe Cloud dan Bunster Hill di selatan.Tujuan utama Jung Soo kali ini adalah mendaki Thorpe Cloud yang merupakan salah satu bukit favorit Jung Soo di Peak District.Thorpe Cloud menyajikan perpaduan pemandangan bagian atas lembah bagian utara dan dataran Midlands di bagian selatan.Selain itu, sebuah foto polaroid yang ia tempel di dinding kamar apartemennya merupakan alasan utama yang mendorongnya melakukan perjalanan mendadak ini.Bayangkan saja, setelah 20 jam perjalanan udara dari Seoul ke Birmingham dan hanya karena selembar foto, Jung Soo rela berkendara lagi sejauh hampir 100 kilometer.Sesungguhnya, Jung Soo tak berpikir panjang untuk datang ke sini. Entah apa yang merasukinya
“Mereka termenung, menebak masa depan. Aku termenung, menebak masa lalu.”Setelah selesai dengan barang- barang yang telah dikemasnya, Mary Evelyn Wijaya duduk sejenak di window seat kamarnya. Ia menikmati waktu dengan memandangi taman belakang rumahnya yang luas.Di bawah sana, keponakannya Annelyne sedang bermain dengan kelinci kecil peliharaannya. Diana Nasution, kakak iparnya, dengan gesit mengambil foto anaknya.Seulas senyuman kecil mengembang di wajah Mary. Rasa syukur menyeruak di dadanya, membuatnya selalu merasa penuh. Ia merasa sangat beruntung bisa dikelilingi keluarga yang sangat menyayanginya. Terutama sosok Justin Alexander Wijaya, kakaknya yang cukup protektif.Tok.. tok..Seseorang mengetuk pintu kamar Mary yang terbuka, senyumannya semakin mengembang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.Tentu saja, satu orang lagi yang sangat berarti bagi Mary, sahabat setianya, Park Ha Joon."Hey, ini ada kiriman bunga untukmu." Seru lelaki yang dipanggil Joon itu dari d