Mary dan Jung Soo, dua orang yang terpisah bertemu kembali dengan kondisi yang berbeda. Mary yang kehilangan ingatannya sementara Jung Soo baru saja bercerai. Mary dan Jung Soo sama- sama menyimpan harapan terhadap satu sama lain. Mereka berharap bisa menemukan kebahagiaan yang pernah mereka buat bersama lagi. Tapi tidak mudah. Jung Soo masih merasa bersalah karena kecelakaan yang menimpa Mary dan juga perceraiannya. Sementara sosok Lee Joon Hee datang ke kehidupan Mary dan mulai mewarnai kehidupan Mary. Baik Jung Soo ataupun Joon Hee, keduanya membuat Mary tak sabar dengan masa depannya. Mary berada dalam pilihan antara siapa yang ia butuhkan dan siapa yang ia inginkan.
View More“Mereka termenung, menebak masa depan. Aku termenung, menebak masa lalu.”
Setelah selesai dengan barang- barang yang telah dikemasnya, Mary Evelyn Wijaya duduk sejenak di window seat kamarnya. Ia menikmati waktu dengan memandangi taman belakang rumahnya yang luas.
Di bawah sana, keponakannya Annelyne sedang bermain dengan kelinci kecil peliharaannya. Diana Nasution, kakak iparnya, dengan gesit mengambil foto anaknya.
Seulas senyuman kecil mengembang di wajah Mary. Rasa syukur menyeruak di dadanya, membuatnya selalu merasa penuh. Ia merasa sangat beruntung bisa dikelilingi keluarga yang sangat menyayanginya. Terutama sosok Justin Alexander Wijaya, kakaknya yang cukup protektif.
Tok.. tok..
Seseorang mengetuk pintu kamar Mary yang terbuka, senyumannya semakin mengembang saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Tentu saja, satu orang lagi yang sangat berarti bagi Mary, sahabat setianya, Park Ha Joon.
"Hey, ini ada kiriman bunga untukmu." Seru lelaki yang dipanggil Joon itu dari diambang pintu.
Lelaki asal Korea Selatan ini lalu berjalan mendekati Mary dan menyerahkan buket bunga peony merah muda yang dipadukan dengan bunga lavender dan daun ekaliptus yang segar.
"Dari siapa?" Tanya Mary saat menerima bunga itu.
"Lihat saja sendiri." Jawab Joon yang kemudian bergabung dengan Mary di window seat. Sahabatnya itu duduk di ujung lainnya dengan kedua tangan dilipat di dada.
"Baiklah..." Mary membuka sebuah kartu ucapan yang disimpan di dalam amplop berwarna senada dengan bunganya.
Sebuah pesan singkat dengan tinta biru bertuliskan 'Perfect flowers for a perfect girl. Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu , Mary. — Lee Joon Hee’ membuat senyuman manis sekali lagi mengembang di bibir merah muda gadis itu.
Lee Joon Hee. Pikirannya terus melayang pada sosok lelaki yang baru ia temui lewat video call tadi pagi. Lelaki itu sangat tampan dengan suara yang lembut dan menenangkan.
“Kau sangat menyukai bunga itu?” Tanya Joon yang membuyarkan lamunan Mary. Ia lupa bahwa sahabatnya itu masih di sana memandangnya dengan penasaran.
Mary menoleh ke arah Joon. “Ya, ini bunga peony bagaimana aku tidak suka.”
"Kau yakin karena itu bunga peony?" Joon membungkuk, mencoba melihat raut wajah Mary.
Alih- alih menjawab, Mary hanya mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana dia bisa mengirimkan bunga ini padaku?”
"Mary, kita hidup di zaman yang sudah ada teknologi. Dia bisa menghubungiku dan memintaku membelikan bunga kesukaanmu. Masuk akal, bukan?"
"Ah, iya benar." Sesungguhnya Mary tidak terlalu memikirkannya. Lebih tepatnya pertanyaan itu hanya celetukannya saja.
"Kalian pacaran?" Tanya Joon tiba- tiba.
Mary mengerutkan dahinya, sebenarnya pertanyaan yang sama ada dalam benaknya. "Bukankah seharusnya kau juga tahu kalau kami berpacaran?"
“Kau pikir aku punya jawabannya? Siapa tahu kalian sengaja tidak ingin memberitahuku." Terdengar nada kesal pada setiap kata dari kalimat Joon.
Kedua mata Mary menyipit, mencurigai sahabatnya itu. “Kau cemburu???” Tuduh Mary.
“Apa aku terlihat cemburu?”
Lagi- lagi Mary hanya mengangkat kedua bahunya.
Tok.. tok..
Lagi, seseorang mengetuk pintu kamar Mary. Kali ini seseorang yang sangat ia kenali.
“Apa aku mengganggu?” Tanya Justin yang berjalan masuk tanpa perlu dipersilahkan. “Kalian akan berangkat hari ini?”
“Tidak, kami akan berangkat besok.” Jawab Joon.
Justin bergabung dengan kedua sahabat itu dan tersenyum saat melihat anak dan istrinya di bawah sana.
“Apa kini adikku punya penggemar?” Justin menunjuk pada bunga yang masih dipegang Mary.
“Dia hanya seorang teman.” Mary mengoreksi kakaknya.
“Teman yang mengaguminya.” Tambah Joon.
Kalimat Joon menarik perhatian Justin, yang kemudian mengambil kartu ucapan yang ada di atas meja Mary.
“Lee Joon Hee… Aku baru mendengar namanya.” Komentar Justin.
“Kau tidak mengenalnya?” Tanya Mary heran.
“Haruskah aku mengenalnya?” Justin menaruh kartu ucapan itu kembali ke atas meja. “Kau harus mengenalkannya padaku jika dia sudah di Birmingham.”
“Tentu saja!” Mary beranjak dari duduknya dan menaruh bunganya di atas meja.
“Dia akan sampai di Birmingham besok lusa.” Celetuk Joon.
“Kalau begitu ajak dia makan siang di restoran kita.” Ide Justin.
“Mengapa kalian semangat sekali?” Mary menjatuhkan tubuhnya di atas kasur.
Justin bergabung dengan Mary di tempat tidur. Kakaknya itu duduk di ujung tempat tidur dengan kedua tangan dilipat di dada.
“Aku senang kau mulai melangkah maju, tidak terus duduk termenung memikirkan masa lalu.” Justin mengusap kepala adiknya dengan lembut.
“Aku juga senang jika Joon Hee hyung akan membantumu membuka lembaran baru, tapi jangan sampai posisiku terganti olehnya.” Joon membuang nafas berat.
Justin dan Mary saling melirik melihat tingkah Joon.
“Aku yakin dia cemburu.” Seru Justin.
“Aku juga berpikir begitu.” Mary semakin yakin.
Joon hanya memutar kedua matanya.
“Baiklah…” Justin menegakkan tubuhnya. “Aku juga punya hadiah untukmu." Seru Justin dengan bangga.
"Hadiah apa?" Mary tak berharap banyak pada kakaknya itu. Justin tidak pandai dalam memilih hadiah untuk adik perempuannya.
Kakaknya itu pernah membelikannya sepasang sepatu hak tinggi. Ujung sepatu berwarna merah maroon itu yang terlalu runcing. Hal hasil kulit kaki Mary lecet dan dia pulang tanpa alas kaki.
"Makan siangmu."
Mendengar jawaban singkat kakaknya itu membuat Mary tertawa sinis. Ini memang jam makan siang, lalu apa spesialnya itu jika itu adalah hadiahnya. "Apa kau menaburkan emas 24 karat di atas makan malamku? Kalau begitu, terima kasih." Ujar Mary tidak tulus.
"Ini lebih baik dari itu. Aku memaksanya dengan penuh kasih sayang.” Justin masih terlihat percaya diri.
Mary tertawa mendengar jawaban kakaknya. “Jadi selama ini kau memasak untukku hanya dengan setengah dari kasih sayangmu?”
Justin memasang raut wajah menimbang- nimbang seakan pertanyaan Mary sangatlah sulit untuk dijawab. "Mungkin." Jawabnya.
Mary tahu benar jawaban kakaknya itu hanya iseng. Ia juga tahu benar bahwa kakaknya sangat menyayanginya.
Mary benar-benar tak dapat menahan rasa bahagia yang kini memenuhi hatinya yang mungil. Kekosongan yang sering kali muncul di hatinya selalu diisi penuh oleh kehadiran kakak dan sahabatnya.
“Lalu bagaimana denganku?” Tuntut Joon yang terjebak di antara kemesraan kakak beradik ini.
Kali ini Justin duduk di samping Joon. “Kau benar- benar tipe pencemburu.”
“Ya, ya, aku mengakuinya.” Aku Joon pasrah.
Justin dan Mary kompak tertawa.
“Dan tentu saja, untuk Joon, yang juga adik laki- lakiku.” Justin merangkul Joon. “Aku sudah memanggang steak kesukaanmu.”
“Wah, aku sangat beruntung!” Joon bangkit dari duduknya dengan bersemangat dan memberikan kode pada Mary dan Justin untuk segera turun ke ruang makan.
Di sisi lain Justin yang masih duduk hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya. Masih tidak habis pikir kalau reaksi Joon akan seperti itu.
“Oh iya, kemana tujuan kalian besok?” Tanya Justin saat ia dan Mary berjalan kel;uar kamar.
“Dovedale.” Jawab Mary singkat.
###
“Hidupnya seperti jejak di atas pasir yang menghilang saat angin bertiup kencang. Tersesat tanpa arah.”Kedua tangan Mary dan Joon otomatis terangkat saat Joon Hee membunyikan klaksonnya saat akan keluar dari area parkir restoran. Joon merangkul Mary kembali masuk ke dalam restoran.Setelah menyadari apa yang terjadi saat obrolan setelah makan siang mereka tadi, Mary cenderung banyak diam. Joon berusaha sebaik mungkin mengontrol suasana agar Joon Hee tidak bertanya lebih lanjut mengenai perubahan suasana hati Mary.“Kau yakin tidak ingin pergi ke suatu tempat yang bisa membuat suasana hatimu lebih baik?” Joon masih merasa cukup khawatir, mengingat ini adalah pertama kalinya Mary mulai mengingat satu potongan memorinya sejak kecelakaan itu terjadi.“Aku baik-baik saja,” jawab Mary pada akhirnya lalu memaksakan sebuah senyuman kecil terbingkai di wajah lesunya.“Apa sebaiknya aku panggil kakakmu? Ah tidak, bagaimana dengan Park Jung Soo?” kali ini Joon berusaha membuat nada bicaranya te
“Tidak ada yang tidak mungkin, begitulah hidup berjalan.”“Baiklah, aku akan berhenti menggoda kalian,” Joon Hee meneguk segelas airnya. “Jadi, kau berencana pergi kemana saja, hyung?” tanya Joon.Kedua bahu Joon Hee terangkat. “Setelah dari pernikahan Joanna, aku dan teman- teman yang lain berencana ke Snowdonia. Kalian punya rekomendasi tempat yang harus aku kunjungi?”“CORNWALL!” seru Mary dan Joon bersamaan. Keduanya saling menatap kemudian melakukan tos.“Bagaimana kalau kita pergi bersama?” saran Joon Hee. “Minggu depan?”“Hmm, minggu depan kami sepertinya masih di Lundy,” jawab Mary.“Lundy? Dimana itu?” tanya Joon Hee.“Di tengah Selat Bristol. Lundy adalah pulau terpencil tanpa akses komunikasi dan transportasi,” jelas Joon.Seorang pelayan menghampiri mereka dan mengangkat piring- piring kotor mereka.“Wah, sangat menarik! Berapa lama kalian akan tinggal di sana?” Joon Hee menyender pada kursinya dan menggosok dagunya dengan jari telunjuknya.“Sekitar empat hari tiga malam.
“Sepertinya kau harus berhenti membuatku menahan ujung- ujung bibirku.”Siang ini Joon mengajak Mary dan Joon Hee makan siang bersama di Tapestry Table, sebagai permohonan maafnya karena tidak menemani Mary berdiskusi dengan Joana dan mengabaikan pesan- pesan Joon Hee. Mary baru saja menutup pintu rumahnya saat mobil SUV hitam masuk ke pekarangan rumahnya. Ia sama sekali tidak mengenali mobil itu hingga jendela supir terbuka dan..“Hai, sudah lama menunggu nona?” seru Joon Hee saat membuka kaca mata hitamnya dengan senyum manis yang menunjukan kedua lesung pipinya. Lelaki dengan kemeja putih gading berbahan linen dengan motif salur dan celana dengan warna senada itu keluar dari mobilnya.Dahi Mary berkerut saat menyadari bagaimana warna spaghetti strap dress berbahan katun yang melapisi kaos hitamnya itu senada dengan kemeja Joon Hee. “Wah, apa ini takdir?”“Kau tau apa yang lebih mengejutkan?” Joon Hee berdiri dengan satu tangan masuk ke saku celananya. Lelaki itu membuka pintu mobil
“Tidak ada yang lebih menyenangkan dari melihatmu mulai tersenyum.”Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur dimana angin pagi berhembus menyejukan setiap paru- paru. Justin menunggu Mary di Cannon Hill Park setelah ia pergi ke pasar bersama Jung Soo untuk memesan bahan- bahan segar kemudian dikirimkan ke restoran. Tak lama ia dapat melihat adiknya yang berlari kecil menuju tempatnya menunggu. Sejujurnya, Justin masih agak khawatir melihat adiknya berjalan pagi sendirian seperti ini tetapi dia juga senang karena Mary sudah semakin percaya diri untuk menjalani hidupnya kembali.Ingatan pada saat Mary terbangun dari komanya dan terlihat sangat kebingungan masih terproyeksi dengan sangat jelas di kepala Justin. Sorot mata penuh ketakutan dan berhati- hati terlihat jelas, bahkan saat Justin sudah menjelaskan bahwa ia adalah kakaknya.“Apa ada sesuatu yang ingin kau makan?” tanya Justin pada Mary terus memandang keluar jendela rumah sakit.Mary tak menjawab.Hubungan Mary dan Justin me
“Jauh di dalam sana, aku berharap kau bisa mempercayaiku lagi.”“Kukira malam ini kau datang untuk membantuku.” Keluh Justin saat menghampiri Jung Soo yang sedang menghias hidangan penutup untuk Mary.Jung Soo masih fokus pada panna cotta stoberinya. “Ini pukul 9 malam, kurasa kau bisa menanganinya sendiri.” Timpal Jung Soo yang kemudian segera membawa panna cotta-nya keluar dari dapur. “Bawakan panna cotta lainnya untuk Annalynne, okay?!”Jung Soo menemukan Mary masih duduk di paviliun, ia menghentikan langkahnya. Jung Soo memperhatikan Mary sesaat, gadis itu sedang fokus bekerja dengan laptopnya. Secara fisik tidak ada yang berubah dari Mary yang terakhir ia temui dua tahun yang lalu. Gadis itu masih mempertahankan rambut hitamnya yang lurus melebihi bahu dengan bagian bawahnya yang sedikit ikal, kulitnya putih langsat layaknya kebanyakan orang Asia dengan mata besar yang bulat bersudut berwarna coklat, alis matanya tebal, lekuk bibir bagian atasnya terbentuk sempurna berwarna mera
“Aku hanya ingin memastikan bahwa ini nyata, bukan mimpi.”“Selamat malam nona Mary...” David menyapa Mary yang masih fokus dengan pekerjaannya. “Aku mengantarkan makan malam istimewamu.”Mendengar kalimat terakhir David membuat Mary menghentikan jemarinya yang sedari tadi sibuk menari di atas keyboard laptopnya. “Makan malam istimewa?” Tanyanya kebingungan. “Apa yang membuat makan malamku ini istimewa?”“Ini adalah makanan yang tidak akan kau temukan dalam menu Tapestry Table dan dibuat langsung oleh executive chef kami.” Jelas David.Mary masih belum puas dengan jawaban David. “Aku bahkan makan makanan yang dimasak oleh executive chef-mu di rumahku.”David menggeleng. “Ini adalah pasta kerang dengan kimchi dan gochujang. Kau yakin ini adalah masakan kakakmu?” Salah satu alis David terangkat. “Baiklah, aku akan meninggalkanmu karena para pelanggan sudah datang. Jika kau mau menyampaikan pujian untuk masakan ini, kau bisa datang langsung ke dapur.” David pamit dengan sopan sesuai deng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments