Share

Kota Hantu

Sinar matahari pagi yang lembut dan hangat dengan warna cahaya kuning keemasan menyeruak ke dalam kereta melalui jendela kaca membentuk pilar indah dengan debu-debu kosmik yang bergerak mengitarinya seakan ikut menari bergembira menyambut datangnya pagi yang cerah. Kereta Tawang Alun misterius yang ditumpangi Alvin masih belum beranjak dari stasiun tujuan yang aneh dan asing, seperti menunggu penumpang satu-satunya yang masih terlelap di dalam gerbongnya untuk turun. Alvin masih tetap terlelap dengan air liur yang mengalir dari sudut bibirnya membasahi meja yang menempel di dinding kereta, menjadi pemisah di antara dua kursi yang saling berhadapan. 

Siraman hangat cahaya pagi, perlahan berhasil mengembalikan kesadaran Alvin menuju ke dunia nyata yang masih tidak jelas apakah benar-benar nyata atau tidak. Perlahan Alvin bangkit, mengucek matanya malas sambil melakukan peregangan, membuat beberapa sendi tulang belakangnya mengeluarkan bunyi yang sangat melegakan. Alvin masih belum menyadari apa yang terjadi kali ini, ia masih terlena dengan mimpi panjang yang seakan tidak pernah berakhir. 

Mimpi yang ia alami malam itu sangat aneh, namun terasa nyaman. Di alam bawah sadar yang sulit untuk dikendalikan itu, Alvin berada di sebuah wilayah asing dengan lingkungan organik yang serba biru. Rumput berwarna biru, batu-batuan di tempat itu juga berwarna biru, bahkan cahaya matahari di sana pun berwarna biru, berbeda dengan bumi yang memiliki cahaya cenderung putih dengan sedikit kekuningan kala pagi dan sore hari. Di tempat itu Alvin sendirian, benar-benar tanpa seorang pun yang menemani. Saat Alvin melihat ke atas, tampak langit cerah malam hari yang juga berwarna biru dengan banyak bintang berkilauan dan planet-planet yang berjejer dengan ukuran yang cukup besar, seakan tempat Alvin berdiri saat itu berjarak cukup dekat dengan planet-planet di sekitarnya.

Di tempat itu, Alvin berjalan-jalan menyusuri tempat asing serba biru tersebut, hingga ia menemukan sebuah air terjun dengan air berwarna biru yang berkilauan indah, membentuk pelangi yang juga berwarna biru, berbeda dengan pelangi di bumi yang terdiri dari tujuh warna berbeda. Alvin berjalan mendekati air terjun itu, percikan air yang menyentuh dirinya dengan lembut, terasa sangat menyegarkan. Hanya saja di sini Alvin mulai heran, kenapa ia dapat merasakan percikan air itu si sekujur tubuhnya? Rasa penasaran membuat Alvin berhenti berjalan kemudian memandang tangan dan badannya sendiri, hal itu membuatnya terkejut. Bagaimana tidak? Alvin saat ini sedang berdiri tanpa busana, dengan kulit bersisik berwarna coklat aneh yang tampak seperti seekor kadal. Alvin tidak percaya dengan apa yang ia lihat, lalu kembali berjalan mendekat ke air hendak berkaca. Rasa terkejut kembali memenuhi pikirannya kala ia melihat sosok kadal tanpa rambut dengan moncong lonjong dan mata reptil berwarna biru yang menyeramkan. Ia menyeret badannya menjauh dari air, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. 

Alvin tersentak, terbangun dari tidurnya, lalu ua meraba seluruh tubuh dan wajahnya, memandang pantulan tipis dirinya dari kaca transparan di samping kursi tempat ia duduk. Alvin merasa lega, ia menghela nafas panjang ketika sadar jika apa yang baru saja ia lihat hanya sebatas mimpi, mimpi yang terasa sangat nyata. Pemuda berusia 18 tahun itu terdiam sesaat, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. 

Setelah beberapa detik terdiam, Alvin mulai mengingat apa yang terjadi tadi pagi. Mulai dari kereta hantu yang aneh, ditambah dengan kejadian di mana waktu tidak berjalan seperti seharusnya. Saat itulah Alvin mulai sadar jika ia masih ada di dalam kereta tersebut. Alvin melihat ke sekeliling, menyadari jika kereta yang ia tumpangi sedang berhenti di sebuah stasiun yang tampak aneh. Perlahan, Alvin berjalan keluar dari gerbong dan melihat sekitar. Baru satu langkah ia keluar, tiba-tiba pintu gerbong Kereta Tawang Alun yang ada di balik punggungnya menutup dan kereta berjalan perlahan meninggalkan stasiun, seakan sengaja menunggu penumpang terakhir, atau satu-satunya penumpang kereta tersebut meninggalkan kereta. 

"Yah!" Alvin mengulurkan tangan ke arah kereta yang berjalan meninggalkannya. Sekarang, ia terjebak di tempat yang tidak ia kenal sebelumnya. Alvin sadar jika ia berada di tempat yang sangat asing, karena Stasiun Glenmore bukan seperti yang ada di hadapannya. Bangunan stasiun tampak seperti sebuah tempat di Eropa dengan latar abad pertengahan. Tidak ada kaca besar yang umum terpasang di stasiun modern, tidak ada pintu otomatis, tidak ada fasilitas-fasilitas penunjang lain seperti stasiun modern, yang tampak di tempat ini hanyalah sebuah bangunan klasik dengan petugas yang memakai seragam ala abad pertengahan. 

"Tunggu, jangan bilang ini cuma mimpi!" Alvin terus saja mencerna apa yang sedang terjadi, ia menganggap jika apa yang ia lihat adalah mimpi di atas mimpi. Terkadang, ada sebuah kejadian di mana kita bermimpi saat kita sedang berada di alam mimpi. Sehingga saat terbangun, kita masih tetap ada di alam mimpi. Alvin mengira saat ini ia sedang berada di alam tersebut, membuatnya lega sekaligus senang mendapatkan mimpi yang terasa sangat nyata. 

Dengan langkah semangat, ia berlari ke luar stasiun, memandang takjub bangunan bangunan yang ada di sekitarnya. Lingkungan tempatnya berdiri benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan dunia nyata tempat ia hidup. Tidak ada mobil, tidak ada kendaraan roda dua seperti motor atau sepeda, semua orang di tempat ini berjalan kaki dengan pakaian ala abad pertengahan dengan warna-warna pucat dengan dominasi warna abu-abu, coklat, dan maroon. 

Alvin sangat senang ada di dalam dunia baru ini, ia berlarian dengan antusias ke sana kemari menyusuri jalan yang terdiri atas batu-batu datar yang disusun rapi. Lingkungan di sekitar pun tampak sangat aneh bagi Alvin, di mana bagian luar stasiun langsung menuju pedesaan, atau mungkin pusat kota, dengan bangunan-bangunan sederhana bercerobong asap yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Karena tempat ini tidak memiliki kendaraan, maka masyarakat yang menghuninya bebas berjalan kaki di tengah jalanan batu datar tanpa takut ada sesuatu yang tiba-tiba menabraknya. 

Keanehan lain yang ada di tempat ini adalah, manusia biasanya membutuhkan bantuan makhluk lain atau benda lain untuk bepergian. Tapi di tempat ini, selain tidak ada kendaraan modern, juga tidak ada hewan yang membantu pekerjaan manusia, baik itu kuda, keledai, atau sapi sekalipun. Lingkungan di sini benar-benar hanya didominasi oleh manusia dan manusia. Alvin sangat menikmati apa yang ia lihat, karena ia tidak pernah mengalami kehidupan di abad pertengahan sebelumnya. 

Saat asyik melihat sekeliling, Alvin tidak sengaja menabrak seorang perempuan paruh baya yang mengenakan syal maroon di lehernya hingga terjatuh. Alvin segera bangun dan berniat membantu wanita itu berdiri, hendak meminta maaf atas kecerobohannya. Betapa terkejutnya Alvin ketika wanita itu berkata kepadanya, "diberkatilah wahai Benih Bintang Agung! Diberkatilah kau!" Wanita itu berkata sambil membungkuk beberapa kali, seakan sedang menyembah pemuda di depannya. 

Alvin tidak dapat berkata apapun mendengar apa yang diucapkan oleh wanita paruh baya di depannya. Sesaat kemudian, ia mengelus bahu kanannya yang mulai terasa sakit akibat benturan. Saat Alvin mengelus bahunya, ia sadar jika tidak sedang berada di dalam mimpi. "Tunggu, bukankah di dalam mimpi tidak bisa merasakan sakit?" gumamnya. 

Mata Alvin terbelalak ketika ia mulai benar-benar mengingat apa yang terjadi sejak fajar tadi, saat ia berpisah dengan Fendi, memasuki Stasiun Banyuwangi Baru, merasakan hawa aneh di peron stasiun namun dengan sengaja ia abaikan, sampai kereta aneh yang ia sengaja ia naiki karena berpikir jika kereta itu akan mengantarnya ke tempat tujuan. Kilasan-kilasan ingatan itu membuatnya sadar, lalu ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponsel, melihat jam yang tampil di layarnya. Terkejut, lagi-lagi Alvin terkejut, tidak ada kata lain yang cocok untuk menggantikan kata itu. Waktu di ponselnya menunjukkan jam 14.00 Waktu Indonesia Barat yang artinya saat ini seharusnya hari sudah mulai sore. Namun apa yang ia lihat saat ini di luar adalah suasana pagi yang segar dengan udara sejuk dan embun yang masih belum menguap dari dedaunan di sekelilingnya. 

Aneh, benar-benar aneh. Waktu di tempat ini berjalan tidak seperti seharusnya. Rasanya, hari berjalan lambat. Menyadari hal itu, membuat kaki Alvin mulai gemetar. Ia berusaha mencari pegangan karena pandangannya juga mulai kabur. Alvin merentangkan tangan, berusaha dengan keras menggapai tiang lampu pinggir jalan yang ada di sampingnya namun tiang itu masih tampak terlalu jauh. Ia melangkah ke samping dengan sigap, sehingga telapak tangannya kini menempel pada tiang besi berwarna coklat dengan ukiran bunga tulip di bagian bawahnya. Nafas Alvin mulai terengah, kepalanya mulai terasa pusing. Perasaan yang sama ia rasakan ketika di dalam kereta yang membuatnya tanpa sengaja tertidur di gerbongnya. Satu sisi, Alvin berusaha keras menjaga kesadaran, ia tidak ingin kehilangan kesadaran. Tapi sisi lain, Alvin berharap dengan hilangnya kesadaran akan membuatnya kembali ke dunia nyata. 

Sayangnya, tidak semudah itu kesadarannya menghilang. Meski sekelilingnya mulai tampak remang-remang dan nafasnya semakin terasa berat, tapi ia masih tetap sadar. Perlahan, badan Alvin mulai longsor. Ia tergeletak lemas di tengah jalan setapak. Beberapa penduduk yang melintas tampak acuh terhadapnya. Beberapa orang yang lain tidak membantu Alvin, namun hanya menunduk beberapa kali di depan Alvin dengan kalimat-kalimat aneh yang terlontar dari mulut mereka. 

"Diberkatilah kau Benih Bintang Agung!"

"Semoga kau dapat berjalan damai di kehidupan sekarang!" 

"Dewa Agung akan membantu manusia yang sedang dalam kesulitan sepertimu!"

Kalimat-kalimat lain juga ikut terlontar dari penduduk yang melintas. Kalimat yang entah bermakna apa, seakan mereka benar-benar berasal dari dunia lain. 

"Bukan! Mereka bukan manusia!" gumam Alvin dengan kesal di ambang kesadarannya. Tidak ada satu hal pun yang masuk akal di tempat ini, Alvin benar-benar merasa sedang berada di dunia antah berantah. Akal sehat Alvin tidak bisa menerima semua yang terjadi, namun kenyataan yang ia lihat mengatakan sebaliknya. Satu-satunya kemungkinan yang terpikir di kepalanya hanyalah, saat ini Alvin sedang diculik oleh jin dan dibawa ke dunia mereka. 

Alvin memejamkan mata, memanjatkan doa dan kalimat-kalimat pujian dengan pelan di mulutnya. Ia berharap ketika nantinya ia membuka mata, dunia sudah kembali seperti sedia kala. Alvin tidak peduli jika ia terbangun di tempat yang tidak seharusnya, entah itu hutan belantara atau bahkan masih berada di Stasiun Banyuwangi Baru tempat semua keanehan ini bermula. Alvin pun tidak peduli jika nantinya Sang Ayah memberikan hukuman atau bahkan memukulinya saat sampai rumah. Alvin mau menerima semua resiko itu, asal ia dapat kembali ke dunianya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status