“Maaf, Ayana. Soal pendamping itu keputusan mutlak dariku. Keluargaku bahkan tidak berhak mengatur hidupku. Kalau ada yang menentang, terserah mereka. Aku tidak peduli,” tukas Yudha melirik pintu kafe. “Masih mau di sini atau mau ikut pulang?”
“Ha?”
“Bahaya kalau seorang gadis pulang sendiri malam-malam. Kalau mau diantar, ayo jalan!” ajak Yudha berdiri dari kursinya.
“Boleh,” sahut Ayana yang merasa sakit hatinya sedikit terobati. Yudha mau mengantarnya pulang. Setidaknya, malam ini adalah kesempatan PDKT bagi Ayana.
Tadi Ayana sudah berpesan pada supirnya agar tidak perlu menjemputnya. Ia sengaja tidak membawa kendaraan agar bisa diantar pulang oleh Yudha. Punggung tegap di hadapannya adalah tempat bersandar yang diimpikannya selama ini. Terlihat begitu kokoh dan pastinya lengan kekar itu bisa memberikan pelukan hangat nan rasa aman.
“Aku harus memikirkan cara agar kamu membatalkan niatmu menikahi gadis miskin itu, Yud. Kalau bukan kamu, mak
“Ck! Bukannya berterima kasih sudah diantar, malah meledek,” gerutu Arbian yang membuat Ayana terkekeh. Tepatnya sedang bersandiwara demi menjaga citranya.Demi menjadi calon pendamping Yudha, ia tidak boleh memiliki cacat di mata keluarga Yudha. Tanpa terkecuali, termasuk asisten rumah tangga atau supir mereka. Sementara Yudha sudah meluncur bersama seorang brimob menggunakan motor patroli. Pria itu bahkan tidak pamit padanya.“Maaf ya, Ayana. Adik saya kadang memang semenyebalkan itu,” kata Arbian saat kembali melaju.Kali ini ia merasa lebih rileks setelah melihat gadis di sampingnya tertawa. Arbian merasa jika sekarang adalah kesempatannya untuk PDKT dengan gadis yang sudah mencuri perhatiannya. Dan semua ini berkat Yudha.Ayana berdeham dan berkata, “Dari dulu sampai sekarang, Yudha masih saja sama. Saya pikir dia sudah sekaku dan sedingin balok es saat lihat seragam lorengnya.”“Jadi ... kamu sudah la
“Boleh.”Satu kata yang baru saja meluncur dari lidah Arbian membuat Ayana bergeming. Batinnya kembali menjerit dan mengumpat. Mengapa dirinya harus sesial ini?“Tapi lain kali saja. Sekarang sudah malam, kamu pasti butuh istrahat. Saya juga harus segera menyusul Yudha ke Mall Ratuna,” lanjut Arbian melirik jam tangannya. Sebenarnya ia merasa tidak tenang sejak tahu adiknya ditugaskan menjinakkan bom di sana.Tak butuh waktu lama, Arbian sudah tiba di Mall Ratuna. Di salah satu resto cepat saji yang berada di lantai satu dekat parkiran itu tampak ramai dengan mobil polisi. Beberapa petugas dengan pakaian khusus bersiaga untuk menjaga jarak agar tidak ada yang melintasi barier.“Permisi, apa bomnya belum berhasil dijinakkan?” tanya Arbian ketika menghampiri salah seorang petugas polisi.Polisi dengan seragam dua balok emas di pundaknya itu menjawab, “Sayangnya belum. Maaf, ada kepentingan apa Anda b
Suara benturan logam yang menghantam pagar membatas itu membuat jantung rasanya nyaris copot dari rongganya. Setelah gerakan mobil benar-benar berhenti, Yudha mengerang kesakitan. Meski mengenakan seat belt, kepalanya tetap terbentur kaca mobil.“Mas ...,” lirih Yudha sambil mengguncang bahu kakaknya.“Enggh ...,” lenguh Arbian memijat pelipisnya. Jari telunjuknya yang basah membuatnya menghela napas panjang. Ia sadar jika itu darah.Yudha melepas seat belt karena ingin keluar untuk melihat pengendara motor yang berlawanan arah dengan mobilnya tadi. Jangan sampai pengendara itu terluka parah. Jalanan yang mereka lalui sekarang tampak sunyi. Di daerah pusat pertokoan itu sudah tak ada lagi aktivitas niaga.Tok tok tok!Yudha menoleh dan membelalak. Ia tidak pernah menduga akan melihat sosok Tari di sini. Samar ia mendengar suara gadis itu berteriak memanggil nama kakaknya.“Mas Arbi-”“Kamu kenapa bisa ada di sini? Ini sudah malam dan kamu masih keluyuran? Sadar tidak, ini sudah pukul
Yudha dan keluarganya datang ke panti untuk melamar Tari. Dengan alasan sewaktu-waktu ada perintah darurat untuk bertugas, Yudha meminta izin Ibu Nilam untuk melangsungkan akad nikah setelah proses pengajuan nikah kantor selesai. Awalnya Ibu Nilam terkejut dan merasa jika semua terjadi secara mendadak. Namun, Rudi Giriandra menjelaskan jika semua persiapan pernikahan akan sepenuhnya menjadi urusannya.“Terima kasih Ibu sudah merestui saya sama Tari,” ucap Yudha setelah mencium punggung tangan Ibu Nilam.“Sama-sama, Nak. Semoga niat baik kalian untuk membina rumah tangga mendapat ridha Gusti Allah. In sya Allah, kamu tidak salah menjatuhkan pilihan,” kata Ibu Nilam dengan tatapan hangat sembari mengusap punggung tangan Yudha yang balas mengangguk.Tari tak bisa berkomentar karena semua Yudha yang mengatur. Ia tidak punya hak menentang apalagi menolak keputusan Yudha. Pria itu sudah menyelesaikan masalahnya tanpa ia memberikan jaminan apa p
Sejak pagi, Tari hanya merasakan ketegangan. Meski berkali-kali Yudha memintanya rileks, tetap saja otot tubuhnya kaku. Bahkan ketika beberapa pertanyaan yang diajukan padanya tadi, Tari sempat membeku. Padahal, Yudha sudah meminta Tari menghapalkan semua jawaban pertanyaan itu.Nikah kantor mereka baru saja selesai setengah jam lalu. Tari menghela lega karena operasi jantung adik pantinya juga berhasil. Pesan dari Ibu Nilam seakan menjadi oase dalam kegersangan pikirannya.Yudha kembali dari toilet dan mood-nya seketika jadi buruk. Ia dapati beberapa rekan berseragam loreng sesekali mencuri pandang ke arah Tari. Tanpa sadar, Yudha pun memperhatikan Tari yang pagi ini penampilannya sedikit berbeda. Wajah ayu itu sedikit dipoles dengan riasan tipis. Yudha bahkan tidak sadar kapan Tari mengganti pakaiannya. Seingatnya, tadi Tari mengenakan pakaian calon persit.“Permisi, Nona sedang mengurus apa?” tanya seorang tentara yang sejak tadi misuh-misuh bersama rekannya. Senyumnya ramah, tanpa
Sore menjelang, Yudha harus menelan kecewa. Tari mendadak bisu setelah mendengar tuduhan darinya tadi. Yudha merasa wajar saja jika ia berpikir Tari hendak kabur. Reaksi gadis itu seakan sengaja menunda-nunda atau mungkin membatalkan rencananya.Disaat Tari sibuk menemani Ibu Nilam dan adik pantinya yang baru saja selesai operasi, Yudha memilih menunggu di luar kamar rawat inap. Ia tidak nyaman mencium aroma khas rumah sakit. Meski sedikit kesal sekaligus kecewa, Yudha menguntai sabar. Ia mencoba untuk mengerti jika saat ini fokus Tari bukan dirinya.Tak jauh dari ujung selasar gedung rumah sakit, sepasang mata berbinar memperhatikan Yudha. Senyumnya mengembang hanya dengan menatap pria pujaannya. Ayana sudah lama membayangkan pria yang mengenakan seragam PDU TNI AD itu adalah sosok yang kelak akan ia gandeng lengannya ke sana kemari. Ia akan sangat merasa bangga, ketika orang-orang memanggilnya dengan sebutan Nyonya Yudha Giriandra.Bukan hanya karena Yudha seo
“Kenapa Mas masih di sini? Nanti bomnya keburu meledak!” desis Tari melirik sekitarnya. Jangan sampai ada yang dengar dan ikut panik.“Kalau sampai aku tidak kembali, tolong kamu nikah sama Mas Arbian,” pinta Yudha dengan genggaman jemari yang semakin erat. Suaranya tercekat, tapi ia sadar harus pergi secepatnya.Tari tidak hanya membelalak. Bahkan saat melihat mobil Yudha sudah melaju meninggalkan parkiran toko, Tari masih terhenyak. Tubuhnya bahkan begitu sulit untuk bergerak. Mendengar permintaan aneh Yudha barusan, mendadak rongga dadanya sesak.“Kenapa kamu memperlakukanku seperti barang, Mas? Aku ini manusia, bukan barang yang bisa kamu oper sesuka hati,” batin Tari yang merasakan sekujur tubuhnya lemas.Ia masih lelah setelah menjalani prosesi nikah kantor sejak pagi. Kemudian siang tadi, tiba-tiba Yudha dengan sepihak memutuskan untuk ijab qabul malam ini. Belum juga mendapatkan alasan untuk menunda, pria itu sudah menyeretnya ke toko perhiasan.###“Di sana, Tuan,” jawab sala
Arbian mengulas senyum ramah, sementara Tari mengangguk sopan. Mereka sama-sama merasa tidak menyangka akan bertemu di tempat yang sama dan diwaktu yang sama. Tari menyadari makna tatapan wanita di hadapannya itu. Namun, ia juga merasa tidak perlu menjelaskannya. Biar Arbian saja yang menjelaskan jika memang dianggap itu penting.“Mas Arbian habis belanja perhiasan sama Tari?” tanya wanita itu terdengar heran.Arbian mengangguk lalu berkata, “Iya, Ayana. Saya mampir beli buat Mama sama Kayla. Ketemu Tari di sini, sekalian saya ajak pulang karena kami searah.”“Oh, kirain baru mau masuk. Ya udah, aku duluan ya, Mas. Tari,” ucap Ayana pamit. Langkahnya juga tampak terburu-buru.“Kalian sudah saling kenal?” tanya Arbian membuyarkan lamunan Tari. Entah kenapa Tari merasa, ada yang aneh dari tatapan Ayana.Tari yang sejak tadi memperhatikan keramaian jalan sontak berjengit. “Baru beberapa kali bertemu, Mas. Itupun, Mas Yudha yang kenalin.”“Dia dokter kandungan, semoga nanti kamu konsultas