Maaf ya, baru bisa update lagi. Selamat membaca ...
Setelah mendapatkan kiriman foto dirinya bersama Rian, Kayla merasa jantungnya nyaris copot dari tempatnya. Gadis itu sama sekali tidak tahu dari mana mamanya bisa mendapatkan foto itu. Mau tak mau, pagi ini Kayla memutuskan untuk pulang ke rumah. Semalam ia cukup tertekan dengan rasa was-was. Ia pikir mamanya akan marah karena sikapnya pada Ayana. Namun, yang dibayangkan Kayla tidak terjadi. Mamanya adem ayem semalam. Tapi subuh tadi saat mengirimkan pesan serta foto itu, Kayla sadar dirinya tidak bisa menghindar. Termasuk ancaman mamanya. Kayla tahu jika mamanya bisa menggunakan uang untuk menghancurkan karir Rian. Padahal, laki-laki itu hanya menolongnya. Kayla harus segera pulang dan menjelaskan fakta yang sebenarnya."Terima kasih, Kak Rian. Semoga kuliahnya lancar. Aku masuk dulu," ucap Kayla."Iya," sahut Rian. "Dadah Kakak Cantik!" seru dua bocah cilik di bangku belakang. Kayla tersenyum manis dan melakukan kiss bye seperti yang kedua bocah cilik itu lakukan. Sementara Lu
Tangan Ayana terkepal kuat. Buku-buku jarinya memutih. Ayana tidak ingin alasan kesalahpahaman ini gagal ia genggam. Ia akan balik menyerang dan membalas Kayla nanti.Tunggu saja!Masih mencoba mengulas senyum, Ayana berkata, "Om, Mas, saya pamit dulu," ucapnya menatap Rudi, Arbian dan Tim Alfa.Menoleh menatap pasangan yang duduk mesra dan membuat hatinya lagi-lagi meradang, Ayana turut berkata, "Tari, saya pamit dulu. Lain kali saya periksa kondisi kamu.""Iya, terima kasih, Dok," sahut Tari. Tadinya Tari ingin beranjak dan mengantar Ayana sampai ke teras. Akan tetapi, Yudha tidak mau melepaskannya dari pangkuan pria itu.Setelah suara mobil Ayana hilang di ujung jalan, barulah suasana ketegangan di ruangan itu perlahan berkurang. Mereka jelas masih syok. Terutama Arbian yang memiliki banyak pertanyaan di kepalanya."Kenapa kamu tidak bilang sama saya? Yang dibilang Kayla benar?" tanya Yudha menatap istrinya. Tiba-tiba saja Yudha teringat raut wajah terkejut dan kecewa Tari saat p
"Ulangi ucapanku Rian! Persis seperti tadi!" perintah Yudha.Sekali lagi Rian berdeham lalu berkata, "Perhatian untuk tamu yang tak diundang! Tolong sadar tempat! Rumah ini bukan tempat nongkrong, jadi tamu tahu diri. Jangan buat dapur Bukap berantakan! Isi kulkas jangan diacak-acak! Kerja yang cepat, tidak pakai ngerumpi!" Ken dan Kayla melongo. Mereka sudah bekerja keras menyiapkan makan siang, tapi begini reaksi tuan rumahnya. "Kan, aku udah bilang tadi. Mending dengar versi sortiran dari Bang Rian," keluh Ken.Keyla memicingkan curiga. "Memangnya senior kamu ini bisa hapal dengan sekali dengar?" tanyanya sangsi.Ken menggeleng, lalu berkata, "Ini bukan soal gampang hapal. Itu kalimat yang udah sering dibilang sama Kapten kalau kami datang ke sini belakang ini. Lagian Kapten pasti denger kita ngegosip dari tadi.""Nggak bisa dibiarin. Kalau udah kayak gini, mending sekalian aja acak-acak isi kul-" Kayla terdiam membisu melihat isi kulkas Tari. Semua tertata dengan rapi. Sayuran
Yudha hanya bisa melangkah mundur dan mempersilahkan papanya masuk. Arbian dan Kayla juga ikut masuk. Adiknya terkikik geli dan langsung masuk ke kamar mencari Tari."Kalian kenapa tidak ikut masuk? Kan saya yang ajak kalian ke sini?" ujar Rudi pada rekan-rekan kerja putranya. "Masuk!" perintah Yudha."Begitu cara kamu mengajak masuk tamunya Bukap?" tanya Arbian. Yudha merotasi bola matanya. Kali ini ia tidak berucap, tapi lirikan matanya memberi isyarat agar mereka ikut masuk. Saat Yudha ingin mengambil food container dari tangan Ken, si Bontot Tim Alfa itu malah mundur selangkah lalu menyembunyikan kotak itu dibelakangnya."Ini tuh dibawain buat Bukap. Bukan buat Kapten," ujar Ken."Iya saya tahu!" balas Yudha melotot.Rudi berdecak dan geleng-geleng kepala. "Papa kira kamu galaknya cuma pas latihan atau lagi tugas. Ini kamu lagi santai, ada tamu, masih aja galak. Nggak heran kalau kamu dijuluki Kapten Galak.""Gimana nggak dongkol kalau lagi mageran pengen meluk istri, tapi kalia
Tari mengerjap dan perlahan tubuhnya terasa lemas seiring pulihnya kesadarannya. Terbayang saat menyadari dirinya mengalami pendarahan. Sontak matanya membelalak dan langsung meraba perutnya.Merasakan perutnya masih membuncit, Tari merasa setumpuk beban sirna begitu saja. Calon buah hatinya, masih bersamanya. Disaat itu juga, Tari melihat sebuah lengan yang memeluk tepat di bawah perutnya. Punggungnya ikut bergerak teratur seiring deru napas suaminya. Ya, Tari tahu itu Yudha dari jam tangan pria itu. "Maafkan saya, Tari," bisik Yudha.Tari mengulum bibirnya. Diam dan sengaja menunggu pria berkarakter dingin itu mengungkapkan perasaannya. Sejujurnya ia tidak marah. Ia tahu kalau situasinya darurat."Saya tahu kamu marah," ucap Yudha sembari mengusap punggung tangan Tari dengan jempolnya."Sok tahu," batin Tari cemberut. Tanpa tahu jika Yudha mengamati ekspresi wajahnya dari pantulan kaca lemari. "Kali ini dia benar-benar marah. Biasanya diakan bilang tidak apa-apa atau tidak masala
Fokusnya kembali pada kabel semrawut yang harus ia pastikan sebelum memotongnya. Di luar sana, tampak personil lain mulai menjauh. "Anda yakin, Kapten?" tanya Serka Hilman sekali lagi. Yudha menatap pria itu sembari mengangguk. "Bom rakitan yang terakhir harus dihentikan dengan cara mengakhiri koneksi listriknya secara bersamaan. Terlalu banyak kabel pararel di sini. Jadi satu-satunya cara efektif untuk saat ini adalah memotongnya dalam waktu bersamaan. Karena konektornya tertanam di sana, maka Serka Hilman yang ke sana. Kita tetap terhubung dan hitung bersamaan saat memotong kabelnya nanti," saran Yudha. Hilman berdiri dan sekujur tubuhnya pegal bukan main. Dua jam lebih tubuhnya dalam posisi yang sama. "Baiklah, Kapten," sahutnya melangkah keluar dari kontainer. "Saya janji kamu akan bangun di pelukan saya Tari. Tolong yang kuat dan jaga anak kita," batin Yudha sambil melirik angka digital dari penunjuk waktu yang terus berkurang. Tak lama kemudian, terdengar komentar Letk