Tari merasa telinganya berdenging. Pijakan kakinya melemah seiring kalimat-kalimat yang diucapkan Komandan Pasha. Lantai tegel itu bergerak seperti permukaan air yang berombak. "Kata dokter, saat ini kondisi Kapten Yudha masih kritis," lanjut pria berpangkat bintang satu itu. "Bu Yudha!" pekik istri sang komandan saat melihat istri si Kapten Galak itu tumbang."Apa keluarga Kapten Yudha yang lain sudah dihubungi?" Sertu Rian mengangguk pada Danyon lalu menoleh melihat Tari yang dipindahkan oleh beberapa kowad ke sofa. Wanita yang tengah berbadan dua itu jelas syok mendengar kondisi suaminya. Mereka merasa begitu prihatin mendengar Tari mengigau dan terisak. Yudha sudah ingkar janji dengan mengatakan akan cepat pulang. Namun kenyataannya, pria itu pergi selama tiga bulan lamanya. Sekarang pria itu kembali dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Tari tidak ingin ditinggal sendirian lagi. Sudah cukup ia kehilangan kedua orang tuanya. Jika ia kehilangan suaminya juga, sungguh rasan
Pria tambun yang memiliki luka codet di wajahnya itu semakin geram. Sekujur tubuhnya gemetar karena darahnya mendidih. Udara malam yang tadinya dingin kini terasa hangat. "Selamat malam, Tuan Codet," sapa Yudha yang berjalan santai dari arah samping gapura. Pria yang dikenal sebagai si Codet itu tersentak. Saat ia berbalik, matanya kembali membelalak melihat tawanannya berjalan santai ke arahnya. "Sejak kapan mereka keluar dari gudang bawah tanah?" geramnya seakan ingin mencabik-cabik tubuh musuhnya."Seperti biasa, kau selalu tepat waktu. Apinya lebih besar dari yang kubayangkan," puji Mayor Ammar mengacungkan jempol pada Yudha. Yudha merogoh saku celananya dan mengeluarkan satu buah pisang. Dengan santai ia menikmati buah itu tanpa peduli tatapan nyalang dari sang pemimpin tempat persembunyian ini. Melihat buah pisang di tangan mantan tawanannya, mereka pun akhirnya bisa menebak jika penyebab ledakan tadi adalah tabung gas di dapur mereka. Pantas saja ledakannya setara dengan b
Yudha perlahan membuka matanya. Samar telinganya mendengar langkah teratur. Kembali ia memejamkan mata dan menyadari suara langkah itu semakin dekat. "Mengapa anjing penjaga di tempat ini tidak menggonggong? Bukankah seharusnya anjing-anjing itu berisik seperti semalam?" batin Yudha bertanya-tanya dan merasakan keanehan itu bukan karena kebetulan.Tak lama kemudian, Yudha mendengar suara ketukan dari arah ventilasi ruangan. Yudha bangkit dan menempelkan punggung di tembok. Ia mendongak dan melihat siluet tubuh seseorang."Sandi," ucap Yudha saat melihat sangkur yang diselipkan di sela ventilasi.Benda hitam bergagang hijau tua itu berhenti bergerak. Yudha dilanda ketegangan. Ia tetap waspada, takut jika ini adalah jebakan musuh."Jinakkan bom saja mudah, masa jinakkan Bukap susah?" celutuk seseorang yang diiringi kekehan kecil. Yudha menghela lega. Ia masih ingat jelas jika itu obrolan mereka sesaat sebelum timnya diserang. Senyumnya terbit lalu meraih sangkur itu. "Bang Hilman bare
Ken menghela napas lega setelah menyadari jika Yudha sudah kembali sadar. Bibirnya bergetar tak sanggup berucap. Kondisi Yudha begitu memprihatinkan. Sekujur tubuh kaptennya itu penuh dengan luka. Tak terhitung sudah jumlah pukulan yang diterima Yudha. Termasuk saat berusaha melindunginya. "Kapten, apa Anda mendengarku?" bisik Ken.Yudha mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Ruangan tempatnya berada terasa dingin dan gelap. Namun, cahaya masih bisa menembus lewat ventilasi kotor yang penuh debu dan lumut. "Apa mereka memukulimu lagi?" tanya Yudha."Dua kali," jawab Ken seperti anak kecil yang baru saja mengadu. Dua jarinya diacungkan membentuk huruf V lalu menunjuk pipi kirinya yang tampak lecet. Yudha mengangguk dan berusaha mengatur napasnya. Ia memang sengaja meminta Ken pura-pura pingsan agar tidak menerima banyak serangan. Cukup musuh fokus padanya saja.Bagaimanapun, Yudha tidak ingin mengambil resiko penembak jitu dalam timnya harus terluka parah. Apalagi ini
Gendang telinga Tari terasa bengkak karena sejak tadi mendengar ocehan Lusiana. Kini, rasanya gendang telinganya itu sebentar lagi akan pecah.SelingkuhTudingan itu berhasil menghantam Tari dan rasa percaya dirinya. Ia sadar sepenuhnya jika di sini tidak ada Yudha. Tidak ada yang akan membelanya. Proses bayi tabung yang dijalaninya memang bertepatan dengan waktu keberangkatan Yudha. Tidak mungkin juga ia akan hamil dalam sehari setelah prosedur itu selesai. Semua tentu butuh waktu dan proses. Bibir Tari bergetar ingin mengatakan sesuatu. Namun, lidahnya kelu. Otaknya pun berusaha menyusun kalimat yang sekiranya bisa menjadi pembelaan. Akan tetapi, semakin Tari berpikir, ia justru merasa semakin terpojokkan. Menjelaskan kenyataan tentang proses bayi tabung itu hanya akan mengundang masalah baru.Belum tentu juga Lusiana dan keluarga Giriandra akan mengerti. Kalaupun mereka menerima fakta kalau dirinya melakukan prosedur bayi tabung, maka hal ini akan menjadi sumber masalah baru bag
Pagi ini Rudi tampak begitu bersemangat. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan. Hal itu jelas mengundang rasa penasaran Lusiana. Keysa yang turut menikmati sarapan pagi pun ikut terheran-heran melihat senyum papanya tak surut. Padahal, seingat gadis itu selama beberapa waktu ini papanya selalu tampak murung. Penyebabnya tidak lain karena belum ada kabar pasti tentang Yudha. "Papa kayaknya bahagia banget?" tanya Keyla. "Iya, papa dapat kabar yang luar biasa," jawab Rudi sebelum menyesap kopinya. Lusiana menoleh lalu bertanya, "Sudah ada kabar tentang Yudha? Anak itu sudah ketemu?" "Ini memang kabar terkait Yudha. Tapi bukan kabar keberadaannya. Komandan Pasha bilang kalau hasil penelusuran tim, mereka menemukan jejak khas tim Alfa. Jadi kemungkinan besar kalau Yudha dan Ken memang masih hidup," jelas Rudi. "Terus?" Seakan belum puas dengan jawaban suaminya, Lusiana menatap penuh tuntutan. Masih dengan senyum yang terlukis di wajahnya, Rudi menjawab, "Yudha memenuhi janjiny