Yudha tersenyum puas mendengar penuturan Dokter Ayana. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Tari dinyatakan sehat untuk mengandung.
“Selamat Yud, akhirnya kamu bisa merealisasikan harapanmu selama ini,” ucap dokter cantik itu mengulurkan tangan bergantian pada Yudha dan Tari.
“Thanks,” balas Yudha singkat lalu menoleh pada Tari.
“Tari, kamu mengerti apa saja yang saya jelaskan tadi, bukan?” tanyanya dengan seulas senyum. “Selama prosesnya bayi tabungnya berlangsung sampai kamu melahirkan, saya yang akan memantau kondisi kamu.”
Tari mengangguk seraya berkata, “Iya, Dok. Saya mengerti dengan penjelasan Anda tentang proses inseminasi tadi.”
“Syukurlah. Sudah lama teman saya ini menunggu calon yang tepat. Mulai sekarang, jaga kondisi kesehatan kamu,” sarannya ramah.
“Kami pulang duluan,” pamit Yudha. Dokter kandungan itu hanya mengangguk kecil.
Sementara Yudha dan Tari berjalan dengan tergesa menuju ke parkiran. “Buru-buru mau ke mana?” tanya Yudha yang merasa masih harus bicara dengan Tari.
“Saya harus segera pulang, Tuan Muda. Adik-adik saya mau makan apa malam ini? Sekalipun di sana ada adik panti yang sudah tahu memasak, tapi besok mereka ada ujian. Mereka akan kelelahan dan tidak bisa fokus belajar,” terang Tari yang mulai membuka aplikasi jasa transportasi online.
“Pesankan saja! Saya masih mau bicara sama kamu. Ini penting, saya tidak punya banyak waktu. Besok saya ada jadwal latihan rutin dengan tim saya,” putus Yudha merampas ponsel Tari dan menarik gadis itu masuk ke mobilnya.
Tari menahan langkah, Yudha tahu gadis itu masih bingung. Namun, ia dan Tari harus membuat perjanjian hitam di atas putih.
“Jadwal operasi anak itu sudah ditentukan. Jadwalnya bahkan lebih awal daripada jadwal operasi kamu. Sekalipun kamu sudah setuju, saya ingin kita tetap membuat surat perjanjian. Agar kedepannya, baik saya maupun kamu tidak ada yang dirugikan. Ketahuilah, hal ini sangat berarti untuk hidup saya,” pungkas Yudha sunguh-sungguh.
Sepanjang perjalanan Yudha maupun Tari memilih diam. Yudha fokus mengemudi. Tari fokus mengirim pesan pada resto yang menerima layanan antar atas rekomendasi Yudha. Resto itu juga yang sedang mereka tuju, sehingga Yudha mengatakan akan membayar semua tagihannya di sana.
“Bagaimana? Makanannya sudah tiba?” tanya Yudha saat mereka memasuki area parkir.
Sejak belasan menit berlalu, Tari terus saja melamun. Mungkin gadis itu kembali merenungi keputusan nekatnya.
“Belum, tapi kata kurirnya sudah dekat. Terima kasih banyak, Tuan Muda,” ucap Tari tulus. Malam ini adik-adiknya makan dengan menu lezat bergizi yang jauh berbeda dari biasanya.
Begitu masuk, mereka langsung menuju ke lantai dua ruko itu. Karyawannya tampaknya sudah kenal baik dengan Yudha. Sambil menunggu makanan disajikan, mereka salat lebih dulu di musolah rumah makan itu.
“Bagaimana rasa makanannya?” tanya Yudha membuka obrolan.
“Enak, Tuan Muda,” jawab Tari mengangguk.
Setelah meneguk air minumnya, Yudha berkata, “Karena kamu sudah setuju untuk mengandung calon anak saya, maka saya akan menikahi kamu.”
Uhuk uhuk uhuk!!
“Me-menikah?” Tari membelalak setelah sempat merasa napasnya terputus.
Kegilaan apa lagi ini? Itu yang terpikirkan oleh Tari kala mendapati Yudha mengangguk dengan tenang.
“Apa otak Anda rusak? Setelah kegilaan yang Anda ungkapkan tadi siang untuk mengandung bayi Anda, sekarang Anda minta saya menikah dengan Anda?” ulang Tari memastikan jangan sampai gendang telinganya yang salah dengar.
“Dengar Tari, sejak awal saya tidak tertarik dengan yang namanya pernikahan. Menikah hanya membuat pikiran saya runyam. Lagipula, kalau kamu hamil tanpa suami, apa kamu siap? Kamu akan jadi gunjingan. Hal itu akan berpengaruh dengan kondisi kesehatan kamu dan janin saya nantinya. Setelah bayi itu lahir, kita akan bercerai dan kamu bebas melanjutkan hidup. Selama itu, kamu saya gaji bulanan. Setelah melahirkan pun akan saya beri pesangon atas usaha kamu setahun,” ujar Yudha menarik napas lalu menghembuskannya perlahan.
“Tapi ....”
Menahan kesal, Yudha berbisik, “Surogasi di Indonesia itu ilegal. Tadinya saya ingin bawa kamu tinggal ke luar negri saja, sampai bayi saya nanti lahir. Tapi, setelah menimbang banyak hal, saya putuskan untuk menikahi kamu dan punya anak dengan proses bayi tabung.”
“Saya bisa menganggap anak itu sebagai anak saya juga?” tanya Tari dengan mata berkaca-kaca. Ia pikir, putra atasannya itu tidak peduli sama sekali dengan perasaannya.
“Saya tidak akan menghalangi interaksi kamu dengan anak kita kelak. Dia berhak tahu siapa ibunya. Hanya saja, saya tidak bisa memaksa kamu bertahan dalam ikatan pernikahan yang sejak awal tidak ada rasa, hanya ada kesepakatan demi membawanya lahir ke dunia ini,” lanjut Yudha.
“Apa nantinya Anda ak-”
“Tenang saja, kamu mengandung tanpa harus saya sentuh,” ucap Kapten Yudha.
“Jadi, aku ini istri sewa rahim?” tanya Tari terhenyak.
Yudha mengulum bibirnya ragu kemudian mengangguk. Kurang lebih memang seperti itu. Yudha ingin mencari wanita yang baik untuk dijadikan istri, kemudian melahirkan benih yang dirahasiakannya.
Awalnya ia tidak tertarik untuk menikah. Ia bisa melakukan proses surogasi di luar negri karena di Indonesia itu ilegal. Akan tetapi, ia memikirkan nasib anak itu jika kelak ia dilahirkan. Jangan sampai anak yang diperjuangkannya itu dicap sebagai anak haram.
Tari masih diam dengan kemelut pikirannya. Yudha berdeham dan kembali berkata, “Ingat satu hal, tidak ada yang tahu dengan perjanjian kita ini. Termasuk Ibu Nilam.”
Tari mengangguk pasrah. Gadis itu hanya bisa menduga pria macho di hadapannya itu mungkin benar seorang gay. Kalau tidak, mungkin Yudha mengalami impoten. Demi mendapat keturunan, pria itu rela melakukan cara seperti ini.
“Apa ini berarti … Anda itu … gay?” cicit Tari.
“Terserah isi kepalamu saja, Nona. Kalau pikiran itu masih ada, sepertinya matamu buta,” balas Yudha dengan sindiran telak.
Bibir Tari mengerucut lalu sudut bibirnya mencebik. Aksi protesnya tertahan karena lelah berdebat. Ditambah pikirannya juga penat. Kalau memang pria berprofesi sebagai tentara itu tidak gay, lantas alasan apa yang membuatnya harus serumit ini untuk punya anak?
“Ini tawaran gila. Lama-lama aku juga bisa ikutan gila,” gumam Tari tanpa sadar.
Diam-diam Yudha mengulum senyum. Tingkah polos Tari jadi hiburan sendiri baginya. Namun, kepolosan dan kebaikan hati gadis itulah yang turut membuatnya yakin jika tidak salah memilih.
“Atau ... Anda sakit? Maksud saya ... Anda impoten?” bisik Tari yang membuat Yudha menyemburkan air yang diminumnya.
###
"Ulangi ucapanku Rian! Persis seperti tadi!" perintah Yudha.Sekali lagi Rian berdeham lalu berkata, "Perhatian untuk tamu yang tak diundang! Tolong sadar tempat! Rumah ini bukan tempat nongkrong, jadi tamu tahu diri. Jangan buat dapur Bukap berantakan! Isi kulkas jangan diacak-acak! Kerja yang cepat, tidak pakai ngerumpi!" Ken dan Kayla melongo. Mereka sudah bekerja keras menyiapkan makan siang, tapi begini reaksi tuan rumahnya. "Kan, aku udah bilang tadi. Mending dengar versi sortiran dari Bang Rian," keluh Ken.Keyla memicingkan curiga. "Memangnya senior kamu ini bisa hapal dengan sekali dengar?" tanyanya sangsi.Ken menggeleng, lalu berkata, "Ini bukan soal gampang hapal. Itu kalimat yang udah sering dibilang sama Kapten kalau kami datang ke sini belakang ini. Lagian Kapten pasti denger kita ngegosip dari tadi.""Nggak bisa dibiarin. Kalau udah kayak gini, mending sekalian aja acak-acak isi kul-" Kayla terdiam membisu melihat isi kulkas Tari. Semua tertata dengan rapi. Sayuran
Yudha hanya bisa melangkah mundur dan mempersilahkan papanya masuk. Arbian dan Kayla juga ikut masuk. Adiknya terkikik geli dan langsung masuk ke kamar mencari Tari."Kalian kenapa tidak ikut masuk? Kan saya yang ajak kalian ke sini?" ujar Rudi pada rekan-rekan kerja putranya. "Masuk!" perintah Yudha."Begitu cara kamu mengajak masuk tamunya Bukap?" tanya Arbian. Yudha merotasi bola matanya. Kali ini ia tidak berucap, tapi lirikan matanya memberi isyarat agar mereka ikut masuk. Saat Yudha ingin mengambil food container dari tangan Ken, si Bontot Tim Alfa itu malah mundur selangkah lalu menyembunyikan kotak itu dibelakangnya."Ini tuh dibawain buat Bukap. Bukan buat Kapten," ujar Ken."Iya saya tahu!" balas Yudha melotot.Rudi berdecak dan geleng-geleng kepala. "Papa kira kamu galaknya cuma pas latihan atau lagi tugas. Ini kamu lagi santai, ada tamu, masih aja galak. Nggak heran kalau kamu dijuluki Kapten Galak.""Gimana nggak dongkol kalau lagi mageran pengen meluk istri, tapi kalia
Tari mengerjap dan perlahan tubuhnya terasa lemas seiring pulihnya kesadarannya. Terbayang saat menyadari dirinya mengalami pendarahan. Sontak matanya membelalak dan langsung meraba perutnya.Merasakan perutnya masih membuncit, Tari merasa setumpuk beban sirna begitu saja. Calon buah hatinya, masih bersamanya. Disaat itu juga, Tari melihat sebuah lengan yang memeluk tepat di bawah perutnya. Punggungnya ikut bergerak teratur seiring deru napas suaminya. Ya, Tari tahu itu Yudha dari jam tangan pria itu. "Maafkan saya, Tari," bisik Yudha.Tari mengulum bibirnya. Diam dan sengaja menunggu pria berkarakter dingin itu mengungkapkan perasaannya. Sejujurnya ia tidak marah. Ia tahu kalau situasinya darurat."Saya tahu kamu marah," ucap Yudha sembari mengusap punggung tangan Tari dengan jempolnya."Sok tahu," batin Tari cemberut. Tanpa tahu jika Yudha mengamati ekspresi wajahnya dari pantulan kaca lemari. "Kali ini dia benar-benar marah. Biasanya diakan bilang tidak apa-apa atau tidak masala
Fokusnya kembali pada kabel semrawut yang harus ia pastikan sebelum memotongnya. Di luar sana, tampak personil lain mulai menjauh. "Anda yakin, Kapten?" tanya Serka Hilman sekali lagi. Yudha menatap pria itu sembari mengangguk. "Bom rakitan yang terakhir harus dihentikan dengan cara mengakhiri koneksi listriknya secara bersamaan. Terlalu banyak kabel pararel di sini. Jadi satu-satunya cara efektif untuk saat ini adalah memotongnya dalam waktu bersamaan. Karena konektornya tertanam di sana, maka Serka Hilman yang ke sana. Kita tetap terhubung dan hitung bersamaan saat memotong kabelnya nanti," saran Yudha. Hilman berdiri dan sekujur tubuhnya pegal bukan main. Dua jam lebih tubuhnya dalam posisi yang sama. "Baiklah, Kapten," sahutnya melangkah keluar dari kontainer. "Saya janji kamu akan bangun di pelukan saya Tari. Tolong yang kuat dan jaga anak kita," batin Yudha sambil melirik angka digital dari penunjuk waktu yang terus berkurang. Tak lama kemudian, terdengar komentar Letk
Pria yang berusi 40-an tahun itu menoleh ke belakang. Matanya nyaris keluar karena ada kabel lain yang ditemukan dan arahnya sama, tertuju ke area parkir. Perlahan tapi pasti, seiring personil lain membersihkan tutupan tanah dan kerikil, kabel abu-abu itu kini terlihat jelas. Sialnya, kabel itu tidak dalam posisi lurus, melainkan berbelok ke spot parkir lain. Spot yang tidak lain posisi mobil Yudha saat ini."Jangan bergerak, Mayor Ammar! Turun dari mobil sekarang juga!" perintah Letkol Guntur."Tapi Komandan, Bu Yudha harus segera dibawa ke rumah sakit," sahut Mayor Ammar yang sudah siap melajukan mobil. Tatapannya memohon. Ia juga seorang suami dan seorang ayah dari dua anak. Tidak mungkin ia menunda dan membiarkan istri rekannya dalam situasi seperti ini."Konektor kedua ada di bawah mobil ini!" ucap Letkol Guntur menoleh ke belakang mobil Yudha di mana akhir kabel kedua itu tertuju. Di balik kemudi, Mayor Ammar terhenyak dan akhirnya melepas seat belt Tari. Kalau saja ia nekat,
Tari memandang punggung suaminya yang berlari menjauh. Bergegas menuju ke arah kontainer. Menurut informasi yang didengarnya tadi dari sambungan telpon, peledaknya ada di dalam kontainer itu. Tari kembali meringis merasakan perutnya yang kram. Tubuhnya yang lemas bahkan tidak sanggup membuka pengait seatbelt. Begitu juga handle pintu mobil. Ingin berteriak, suaranya tertahan di tenggorokan. Ingin meminta tolong dengan menghubungi seseorang, tapi ponselnya ada di dalam tas. Sementara tasnya berada di jok belakang. Tari sadar jika dirinya bukan prioritas Yudha. Terlebih pada situasi seperti ini. Bukankah sejak awal, ia sudah tahu resiko menjadi istri seorang abdi negara? Bibir Tari bergetar. "Mas ...," lirihnya berharap agar Yudha meminta seseorang memeriksanya. "Kumohon ingat aku sejenak. Menolehlah, Mas! Lihat ke sini sebentar saja," batin Tari dengan harapan Yudha akan menyadari jika dirinya tidak kunjung turun dari mobil. Perasaan Tari semakin tak karuan saat merasak