"Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh, Bu Yudha!" Ceklek!Rian tersentak kaget. Ia tak menduga jika sosok yang akan membukakan pintu rumah dinas ini adalah orang lain. Gadis cantik blush coklat muda dengan motif bunga kecil dipadukan dengan rok span putih selutut. Pinggangnya yang ramping dibalut belt rajut berwarna coklat tua. Di tangan kanannya ada sebuah tas hitam dengan logo brand yang cukup terkenal. Sementara di tangan kirinya ada sepasang alas kaki dengan hak setinggi 7 cm berwarna coklat mocca. Penampilannya khas seorang pekerja kantoran. "Waalaikumusalam salam," sahut Kayla singkat.Sertu Rian mengangguk lalu mundur selangkah. Sengaja memberi ruang untuk gadis itu lewat. ""Bu Yudha?" Rian menyebut nama panggilan Tari seakan menanyakan keberadaannya."Udah siap, tapi masih dapur. Lagi packing makanan buat Kak Yudha," ujar Kayla. Sertu Rian mengangguk lalu memilih duduk di kursi beton yang mengelilingi tepi samping rumah dinas Yudha. Kayla diam-diam melirik junior d
Tari kembali mengusap air matanya sesaat setelah Arbian menekan saklar lampu. Setelah ruangan itu terang benderang, Tari dapat melihat Arbian dan Kayla menatapnya prihatin. "Duduk dulu, Mas, Kay! Aku ambilin minum dulu," ucap Tari."Tidak perlu, Tari," sergah Arbian. Pria itu justru melirik kursi ruang tamu. Sementara Kayla yang memang haus, beranjak ke dapur. Tujuannya tidak lain adalah kulkas. Perasaan Kayla mencelos kala membuka kulkas. Yang ada hanya air botol mineral dan rempah dapur yang sudah mengering. Apa sejak kakaknya dibawa pulang dan dirawat di ICU, Tari tidak memperhatikan kondisi tubuhnya sendiri?Saat ia menoleh ke meja makan, ada beberapa kantong plastik berisi buah, cemilan ibu hamil dan beberapa kotak susu khusus ibu hamil. Kayla menebak jika semua itu, Sertu Rian yang menyiapkan.Setelah membawa tiga botol air mineral, Kayla ikut duduk di samping Arbian yang sedang bicara pada seseorang dengan ponselnya. Raut wajah kakaknya terlihat serius. Dari obrolan singkat
"Saya pamit ke barak, Bu. Kalau ada apa-apa, atau butuh sesuatu, hubungi saya kapan saja," ucap Sertu Rian. Tari mengangguk pelan dan turun dari mobil. Sertu Rian pun memarkir mobil putih itu di halaman samping rumah dinas Yudha. Sementara Tari masuk ke dalam tanpa mengatakan apa-apa lagi. Begitu pintu rumah tertutup dan terkunci rapat, tubuh Tari merosot. Tubuh kecilnya bersandar di pintu dan merasakan keheningan yang mencekam. Sekedar beranjak menekan saklar saja ia merasa tidak sanggup.Kata-kata Yudha tadi, seakan membuatnya seketika menjadi seperti orang asing. Harapan untuk memeluk dan menumpahkan tangis dalam dekapan pria itu sirna begitu saja. Flashback on"Dia siapa, Mas?" ulang Yudha karena kakaknya itu justru membisu dengan mata membelalak. "Kapten lagi mencoba melucu, ya?" tanya Rian mengambil kembali pisau yang baru saja ia jatuhkan.Yudha mengernyit. "Bercanda? Sejak kapan saya suka ada wanita yang dekat-dekat dan mau cari muka sama saya? Bukannya mencegah dia masuk,
Lift berdenting dan membuyarkan lamunan Kayla. Entah kenapa hari ini ia sulit berkonsentrasi untuk bekerja. Sesulit mengubah huruf A menjadi V. Saat ini ia masih terjebak rasa bersalah karena diamnya, bertolak belakang dengan nalurinya. Kayla sudah mengerti masalah yang ada dihadapannya. Hanya saja mudah baginya mengambil sikap. Jujur saja, tatapan Sertu Rian pagi tadi tidak bisa membuatnya tenang. Begitu juga dengan ucapan Arbian yang meminta sebuah file pada laki-laki berseragam loreng itu. "Apa file yang dimaksud Kak Arbian, video yang kemarin aku lihat di ponselnya Sertu Rian? Kalau iya, tapi kenapa Kak Arbian masih diam aja?" batin Kayla yang sebelumnya menduga kakak sulungnya pasti tidak akan diam jika mengetahui hal yang dilakukan mamanya.Dua karyawan dari bagian peliputan beranjak masuk dan menekan tombol lantai unit kerja mereka berada. Salah seorang di antara kedua tiba-tiba berjongkok mencengkram rambutnya frustasi. "Kamu kenapa? Cerita sama aku," bujuk rekannya."Kaka
Yudha merasa sekujur tubuhnya lemas dan kram di beberapa titik. Kepalanya juga tidak berhenti berdenyut perih. Meski begitu, ia masih bisa menahan rasa sakitnya. "Akhirnya kamu siuman juga. Jantung saya hampir copot dengar kabar kamu kritis," komentar atasan Yudha yang memiliki beberapa luka di wajahnya. "Papi, Kapten Yudha jangan diomelin dulu, dong!" sergah sang istri melotot. Wanita itu tahu bagaimana paniknya sang suami saat mendengar kabar murid kesayangannya terluka parah. Tapi disaat seperti ini, harusnya Yudha diberi perhatian, bukan sindiran. Perwira tinggi AD itu terkekeh. "Ini pertama kalinya kamu sampai lengah begini. Sepertinya lawan kamu kali ini punya dendam kesumat sama kamu, Yudha."Yudha tersenyum tipis lalu berkata, "Bukan sama Komandan, tapi sama almarhum Kapten Dani. Dia membuat saya lengah karena mengungkit kejadian beberapa tahun lalu."Dua petinggi AD itu terdiam sejenak. Mereka sama-sama tahu bagaimana seorang Kapten Dani dalam menjalankan tugas. Termasuk
Sekujur tubuh Arbian bergetar. Setelah ia bertanya pada Rian apa yang hendak laki-laki itu bahas, Rian justru diam. Sampai kemudian ajudan adiknya itu mengulurkan ponselnya. Detik demi detik terasa mencekik bagi Arbian. Selama video singkat itu terputar, napas Arbian tercekat. Ia sulit menerima hal ini. Bagaimana bisa? Apakah ia sedang berhalusinasi? "I-ini ...." Arbian kehilangan kata-katanya. "Awalnya saya menunjukkannya pada adik Anda. Saya memintanya untuk memberitahu Anda. Tapi sampai tadi saya menyadari kalau Nona Kayla memilih diam," ujar Rian menerima kembali ponselnya. "Sejenak kemarin saya lembur di kantor. Saat saya pulang, semua orang sudah tidur. Termasuk adik saya," ucap Arbian. "Maaf, tapi di mata Kapten Yudha, saya bukan sekedar ajudannya. Dia sudah menganggap saya seperti adiknya sendiri. Bahkan, dia yang membiayai kuliah saya sampai saya jadi sarjana hukum. Saya tidak bisa diam saja membiarkan masalah ini berlalu begitu saja. Ini masalah yang cukup seriu