Suasana diskotik selalu sama. Dentuman musik, aroma aneka minuman keras, lampu warna-warni yang terus berputar mengikuti musik. Selalu saja begitu, hanya kisahnya saja yang berbeda di setiap harinya.
Terkadang ada beberapa pertengkaran, terkadang ada yang mabuk hingga tak sanggup pulang, bahkan terkadang ada korban dari perselisihan. Mereka semua memenuhi pemandangan dunia malam, tanpa berpikir bagaimana kehidupan esok hari.Aku dan Flora berjalan menuju sebuah sofa yang ada di ruang VIP. Di sanalah telah menunggu dua sosok pria, yang satu adalah kenalannya Flora. Sedangkan yang satu lagi, kami belum tahu. Baru kali ini melihatnya, tapi dari penampilannya ... sepertinya dia orang tajir melintir, kalangan orang super elit.Flora langsung disambut dengan cipika cipiki oleh orang yang biasa memberikannya job. Sedangkan orang yang di sampingnya hanya berdiri dan tersenyum sopan. Hampir tak percaya melihat masih ada orang seperti itu."Kenalkan, ini Azlan. Dia orang yang aku ceritakan tadi." Om Andre memperkenalkan pria yang sejak tadi tampak kikuk.Dengan percaya diri, Flora main nyosor saja. Dia hendak cipika cipiki ke pria tersebut, tapi dengan sigap lelaki itu menolak dengan sopan.Melihat pemandangan langka itu, aku pun tersenyum. Lalu duduk berhadapan dengan pria yang dipanggil Azlan itu."Bang Azlan ini yang pengen punya anak?" tanya Flora berterus terang."I ... iya, tapi saya perlu ....""Perlu test dulu? Ah, itu mah gampang. Di jamin langsung dung, deh ...."Mendengar ucapan Flora, Azlan justru salah tingkah."Bukan, bukan begitu. Saya mau ada tes kesehatan dulu, saya harus pastikan semua aman dan kondisi kandungan sehat.""Ooh ... oke, gue siap deh!" Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Flora menoel dagu Azlan. Sungguh agresif wanita satu itu.Ah, itu memang sudah tugas kami ... harus agresif. Hahaha ... ups! Untung dalam hati."Kapan periksanya? Sekarang aja ya."Om Andre dan Azlan auto berpandangan, begitu pun aku. Mau heran tapi kok itu Flora. Parah memang nih cewek. Nggak ada jaim-jaimnya.Om Andre tertawa geli, sedangkan Azlan menepuk jidat dan menggeleng pelan. Sikap mereka membuat Flora tampak salah tingkah, menyadari kekonyolannya, dia pun mengambil segelas wine dan mulai berakting layaknya wanita elegan.Sungguh lucu melihat sikap Flora. Entahlah, sikap cuek dia dan juga kekonyolan yang kadang dia buat seringkali membuatku tertawa."Saya mau, besok kalian berdua ikut test."Ucapan Azlan berhasil membuatku membelalakkan mata. Kenapa aku harus ikut? Bukannya hanya Flora yang dapat job tersebut?Seolah mengerti ekspresi kebingunganku, dia pun menambahkan kembali, "Saya hanya ingin rahim yang bersih dan kondisi kesehatan yang baik. Jadi, jika temanmu ini ternyata tidak bisa ... maka saya berharap bisa dapat darimu."Hah?! Kok begitu? Apa-apaan ini?"Maaf, di sini gue nggak ikut-ikutan. Karena job tersebut untuk Flora, bukan gue. Lagian ya, gue nggak mau hamil. Hamil itu hanya akan merusak aset gue!" bantahku."Saya akan bayar satu milyar, setelah itu akan saya bantu Nona untuk operasi biar sempit lagi, bagaimana?"What?!Lagi-lagi ucapan Azlan mampu membuat mataku membulat dan mulut menganga. Satu milyar memang bukan uang kecil bagiku, tapi kalau nanti ada apa-apa denganku saat melahirkan? Oh, tidak ... resiko itu juga harus dipikirkan."Boleh gue kasih penawaran?""Boleh, silahkan.""Kalau sampai besok hasilnya sesuai dengan keinginan lo, eh, Anda maksudnya. Kalau sampai hasilnya sesuai dengan apa yang Anda inginkan, so gue minta bayaran lebih.""Gila lo, Ra!" Flora menyela ucapanku, mungkin saja kaget dengan aku yang terkesan serakah dan memanfaatkan kesempatan."Sttt!!! Ini sudah aku pikirkan matang-matang, siapapun yang besok terpilih, maka akan mendapatkan mahar tersebut."Flora memiringkan kepala, matanya menyipit dan memandangku tak percaya."Begini, hamil bukan masalah uang dan aset wanita. Melainkan ada resiko lain, yaitu kematian saat melahirkan, rasa sakit saat proses kontraksi, bahkan siksaan saat ngidam."Sengaja kujeda kalimatku, kembali menyusun kalimat yang mampu membuat pria tajir itu bersedia menuruti syarat yang kuajukan."Orang hamil butuh kenyamanan, jadi sediakan rumah. Gue tidak mau tinggal di apartemen tanpa pembantu. Untuk itu, sediakan rumah beserta pembantu dan fasilitas sopir.""Nah, bener itu!" Kali ini Flora turut mengompori, aku pun tersenyum miring. Jelas, apapun yang aku sampaikan pasti akan dikabulkan dan itu akan jadi kemenangan."Yang berikutnya, gue minta bini Anda tidak memperlakukan buruk gue. Karena perlu diinget, gue bukan pelakor. Gue atau pun Flora dibayar untuk jasa memberikan keturunan pada Anda. Paham?"Azlan tersenyum mendengar penjelasan panjang lebarku. Lalu memajukan duduknya dan tepat menatap mataku."Kamu akan dapatkan apa yang kamu mau, tidak perlu khawatir. Rumah, mobil, dan fasilitas lainnya akan saya berikan semua. Dan masalah istri saya, dia yang meminta saya untuk mencari wanita yang mau meminjamkan rahimnya."Ada perasaan lega menjalar. Itu artinya semua akan berjalan aman, tanpa harus repot menghadapi kecemburuan seorang istri. Tapi sejauh ini, dalam hatiku justru berdoa agar Flora yang besok terpilih.***"Begini, Pak Azlan. Dari hasil tes dan pemeriksaan lain-lain, didapati ada masalah pada Ibu Flora. Paru-paru dia tidak bersih, mungkin karena dia perokok. Lalu, ada juga masalah pada saluran tuba falopi, ini jelas akan mengganggu sistem reproduksinya." Dokter itu menjelaskan panjang lebar.Mendengar itu semua, sontak Flora kecewa. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Mungkin karena merasa kehilangan kesempatan mendapatkan satu milyar dan banyak keuntungan lainnya."Dan untuk Bu Nara ...." Dokter obgyn cantik itu tersenyum, menyiratkan sesuatu yang membahagiakan.Ah, jangan-jangan ...."Untuk Bu Nara kondisinya sehat semua. Hanya memiliki riwayat penyakit asma. Jadi, tetap harus berhati-hati saat program hamil nanti."Antara bersyukur tapi juga sedih. Bersyukur karena kesehatanku bagus, karena selama ini aku memang tidak merokok atau pun banyak minum minuman keras. Hanya sesekali saja aku menikmati wine."Apa itu artinya Nara bisa hamil secepat mungkin, Dok?" tanya Azlan ingin meyakinkan."Iya, Pak Azlan. Saran saya, jika nanti program hamil tetap harus jaga pola makan agar bayi dalam kandungan tetap sehat."Mendengar itu semua, rasanya kepala bagai dihantam gada. Tanpa pamit, aku keluar dari ruangan. Bahkan panggilan dari Flora pun aku abaikan."Nara, please ... ini kesempatan lo lepas dari dunia hitam!" teriak Flora.Langkahku terhenti. Bagaimana bisa keluar dari dunia penuh kepalsuan dan dosa dengan cara yang sama saja hina. Menjual rahim untuk benih pria yang bukan suami, itu sama saja. Apanya yang baik?Flora merengkuh bahuku setelah dekat posisinya denganku. "Dengarkan gue, Nara. Anggap saja, setelah ini lo akan menemukan kehidupan baru meski hanya sembilan bulan.""Itu bukan jalan menuju ke kehidupan baru, itu kehidupan yang sama dengan balutan kisah yang beda.""Nara, gue punya ide.""Apa?"Flora mendekatkan bibir ke telinga, dia membisikkan rencana yang sontak membuatku terkesima. Tak percaya jika Flora memiliki ide yang di luar dugaan."Bagaimana?"Sejenak aku berpikir, menimbang, lalu mengangguk setuju.Sepulang dari rumah sakit, aku dan Flora menjalankan rencana. Sebelum deal, kami ingin menemui istrinya Azlan. Alasan Flora masuk akal, itu sebabnya aku menerima sarannya.Flora menginginkan keamanan diriku benar-benar terjamin, selain itu dia juga ingin aku mengandung benih melalui pernikahan resmi. Tentu saja demi si calon jabang bayi agar tidak berstatus anak di luar nikah.Lucu, sih ... wanita seperti kami yang biasanya tak peduli dengan aturan agama, tetiba merasa perlu melibatkan Tuhan dalam langkah ini. Apakah ini merupakan jalan menuju ke hidayah?Entahlah ....Aku memang belum deal dengan Azlan, hanya saja aku meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagaimana pun, membayangkan mengandung selama sembilan bulan cukup membuatku bergidik.Bayangan perutku akan mengembang, lalu setelah melahirkan akan bergelambir dan pasti akan banyak strech mark. Belum lagi keluarnya bayi pasti akan merobek asetku, meskipun bisa kembali tapi tetap saja akan berbeda bentuk karena jahitan. Misal me
"Wow, tampan sekali pacar kamu, Ra!" ujar wanita itu dengan ekspresi terpesona.Sungguh, itu sangat memalukan bagiku. Apalagi saat melihat kerling nakal dari sosok ibu durjana itu.Ya, walaupun aku akui Azlan memanglah tampan, bahkan tubuhnya saja tinggi dan atletis. Cara berpakaian dia pun layaknya orang kaya yang paham fashion dan style. Sudah persis artis Varel Bramastha saja kalau sekilas."Tumben banget lho, Ra, kamu nggak milih ma aki-aki." Wanita itu masih saja mengomentari hidupku tanpa berpikir siapa yang membuatku menjadi seperti ini."Tapi inget ... pastikan brondong tampan ini bisa memberimu hasil yang besar. Jangan hanya karena mabuk cinta, kamu lupa dengan duitnya."Sumpah, dadaku kian mendidih mendengar ucapannya itu. Rasanya ingin sekali menjambak dan mencekiknya."Ganteng, kapan-kapan main juga dengan Tante ya. Tenang aja, Tante masih bisa berbagai macam gaya. Kamu mau gaya apa? Doggy style, gerobak dorong, atau gaya capit kepiting?" Dengan genitnya wanita tak tahu ma
"Assalamualaikum." Azlan mengucap salam saat hendak masuk ke rumah.Seorang wanita berhijab, cantik dan sangat elegan menyambut lelaki itu. Begitu hangat, wanita itu mencium punggung tangan Azlan yang dibalas oleh Azlan dengan kecupan di dahinya.So sweet jika dilihat. Pantas saja Azlan sangat mencintai wanita itu, ternyata memang sangat layak jika Elina diperlakukan bak ratu.Sejenak pandanganku mengedar, kembali mengagumi setiap aksen rumah yang begitu mewah. Di usia 35 tahun, Azlan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Tidak kaget, sih ... karena dia memang terlahir dari keluarga hartawan.Beruntung sekali Elina bisa menikmati harta tanpa batas keluarga Azlan, segala kemewahan dia dapatkan. Seandainya saja ....Haissh! Segera kutepis pikiran itu. Aku hanya ingin fokus pada pengajuan syarat saja. Aku sudah putuskan, kali ini keuntungan yang kudapat harus sepadan dengan apa yang kukorbankan.Mungkin dengan harta yang akan kudapat nanti, aku bisa pergi jauh dari ibuku. Memulai h
Tanpa kuduga, wanita itu menangis tersedu di pelukan Azlan. Benar dugaanku, dia tengah menahan rasa cemburu. Kasihan juga sih, sebenarnya. Demi mempertahankan rumah tangga, wanita itu sampai rela menahan rasa sakitnya berbagi suami.Huff ... aku yakin, pasti berat berada di posisi Elina. Jika aku yang ada di posisinya, sudah pasti sama. Mungkin saja bisa lebih parah dan lebih rapuh. Apalagi dia sangat mencintai suaminya, pasti hancur menyaksikan pernikahan tadi. Dan sekarang ... dia malah ingin mengantarkan suaminya berbulan madu denganku.Ah, kenapa aku merasa telah jadi manusia kejam?Sebagai wanita, tentunya aku bisa turut merasakan apa yang dirasakan Elina. Ya ... walaupun belum pernah merasakan dicintai, tapi paling tidak sisi lain dari nuraniku masih ada."Nara, bisakah kamu turuti permintaan Elina?" Azlan sepertinya tak ingin membuat hati sang istri lebih terluka.Mungkin saja dengan memintaku untuk mengikuti apa perkataan istrinya, akan membuat dirinya tetap terlihat membela E
Aku heran denganmu, kamu yang memintaku tetapi sikapmu seolah aku yang merebut suamimu. Lagi pula, yang menentukan langsung bisa hamil atau tidak itu bukan aku, Nyonya Elina yang terhormat. Tuhan yang menentukan, bukan aku." Saking gemesnya, terlontar kalimat panjang lebar bernada sinis juga dari mulutku.Wanita itu makin terisak, Azlan yang mengetahui istrinya menangis langsung keluar dan merengkuhnya. Kembali drama menyedihkan terjadi. Bikin muak melihat adegan semacam itu. Kurasa Elina memang sengaja membuat Azlan tak tega meninggalkan dia, meskipun hanya sejenak untuk memadu kasih bersamaku."Kalau memang belum siap, aku sarankan ditunda. Di sini aku bukan pelakor. Silahkan bawa kembali suami Anda, Nyonya Azlan." Sengaja aku beri penekanan pada kalimat akhir, lalu tersenyum smirk.Kututup kembali pintu dan mengabaikan suara tangis yang masih terdengar. Kudengar pula Azlan yang berusaha menenangkan istrinya, seolah dia adalah wanita yang sedang berkabung kehilangan suami.Antara ka
Angin laut sore ini begitu sejuk. Pemandangan sunset di Pulau Dewata memang tak ada duanya, terlampau indah. Sudah hampir dua jam aku duduk di hamparan pasir putih, mencoba menikmati suasana yang disuguhkan alam.Camar yang hendak pulang, ia tak lagi menghiraukan ikan yang masih bermunculan di permukaan. Camar tetap memilih untuk menyudahi pengembaraan hari ini. Naluri alam mengajarkan seperti itu, namun tidak padaku.Kehidupan mengajariku banyak hal, tetapi bukan pada kebaikan. Takdir membawaku pada kehidupan yang penuh ironi. Harga diri terjual demi materi. Parahnya lagi, penyebabnya adalah wanita yang kupanggil 'ibu'.Terkadang aku ingin menangis, namun ternyata air mata saja sudah mengering. Mungkin karena terlalu capek dengan setiap luka, bukan luka di tubuh. Melainkan luka batin yang tak akan bisa hilang.Kembali helaan napas panjang menjadi pilihan, agar semua rasa yang berkecamuk sedikit berkurang. Seharusnya, di tempat wisata yang elok seperti ini, aku bisa menikmati. Namun p
Langit senja tak lagi menjadi pemandangan yang sedap untuk di pandang mata. Dituntun oleh kekesalan yang membuncah di hati, akhirnya aku melangkah tanpa arah menyusuri jalan hingga tak menyadari bahwa kaki ini tak lagi berpijak di atas pasir pantai. Keramaian manusia yang semula bisa terlihat dari setiap sudut mata entah sejak kapan telah lenyap. Berganti sepi yang hanya terisi embusan lembut angin.Sejenak aku berhenti, mengedarkan pandangan untuk mengenali sekitar. Hanya ada beberapa bangunan villa dengan jarak berjauhan. Selebihnya pepohonan layaknya hutan. Jalan beraspal yang aku lalui juga bukanlah jalan raya yang besar.Baru kusadari, kini aku tersesat. Tak tahu jalan arah menuju pulang ke hotel. Bahkan untuk tahu sekarang posisi di mana, dan sejauh mana lokasi ini dari hotel tempatku menginap pun aku tak bisa.Pandanganku menoleh ke sana kemari, mencari hal familier yang mungkin saja akan menuntunku kembali ke hotel. Namun sial bagiku, sudah mengedar pandangan, memutar otak, b
"Peter, gue pinjam charger ponsel lo, ya? Gue mau hubungi Flora, biar besok dia ke sini untuk ambilin beberapa potong pakaian dan dompet gue," ujarku saat tiba di penginapan yang Peter sewa.Pria bule itu hanya mengangguk dan menyerahkan charger ponsel dari tas kecilnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Beberapa kali mataku menangkap basah matanya yang terus saja melihatku. Beberapa kali pula dia meneguk saliva, layaknya pria yang menginginkan tubuh seorang wanita.Huff ... ternyata sama saja! gerutuku dalam hati.Pasalnya, aku pikir Peter adalah lelaki yang berbeda. Hampir saja aku lupa, dia adalah orang barat, tentu saja mainan seperti itu sudah biasa baginya. Ah, bodohnya aku. "Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" Pertanyaanku mampu membuat Peter kelabakan dan salah tingkah."Tak apa-apa, hanya ....""Hanya apa? Lo tertarik ma tubuh gue?" Tanpa basa-basi aku sengaja berucap seperti itu."No, not like that.""Then?" tanyaku semakin sewot.Peter sejenak terdiam. Mungkin saja mencoba men