Share

Nego Syarat

Author: Ammi Poe YP
last update Last Updated: 2023-08-09 03:24:07

Suasana diskotik selalu sama. Dentuman musik, aroma aneka minuman keras, lampu warna-warni yang terus berputar mengikuti musik. Selalu saja begitu, hanya kisahnya saja yang berbeda di setiap harinya.

Terkadang ada beberapa pertengkaran, terkadang ada yang mabuk hingga tak sanggup pulang, bahkan terkadang ada korban dari perselisihan. Mereka semua memenuhi pemandangan dunia malam, tanpa berpikir bagaimana kehidupan esok hari.

Aku dan Flora berjalan menuju sebuah sofa yang ada di ruang VIP. Di sanalah telah menunggu dua sosok pria, yang satu adalah kenalannya Flora. Sedangkan yang satu lagi, kami belum tahu. Baru kali ini melihatnya, tapi dari penampilannya ... sepertinya dia orang tajir melintir, kalangan orang super elit.

Flora langsung disambut dengan cipika cipiki oleh orang yang biasa memberikannya job. Sedangkan orang yang di sampingnya hanya berdiri dan tersenyum sopan. Hampir tak percaya melihat masih ada orang seperti itu.

"Kenalkan, ini Azlan. Dia orang yang aku ceritakan tadi." Om Andre memperkenalkan pria yang sejak tadi tampak kikuk.

Dengan percaya diri, Flora main nyosor saja. Dia hendak cipika cipiki ke pria tersebut, tapi dengan sigap lelaki itu menolak dengan sopan.

Melihat pemandangan langka itu, aku pun tersenyum. Lalu duduk berhadapan dengan pria yang dipanggil Azlan itu.

"Bang Azlan ini yang pengen punya anak?" tanya Flora berterus terang.

"I ... iya, tapi saya perlu ...."

"Perlu test dulu? Ah, itu mah gampang. Di jamin langsung dung, deh ...."

Mendengar ucapan Flora, Azlan justru salah tingkah.

"Bukan, bukan begitu. Saya mau ada tes kesehatan dulu, saya harus pastikan semua aman dan kondisi kandungan sehat."

"Ooh ... oke, gue siap deh!" Dengan kepercayaan diri yang tinggi, Flora menoel dagu Azlan. Sungguh agresif wanita satu itu.

Ah, itu memang sudah tugas kami ... harus agresif. Hahaha ... ups! Untung dalam hati.

"Kapan periksanya? Sekarang aja ya."

Om Andre dan Azlan auto berpandangan, begitu pun aku. Mau heran tapi kok itu Flora. Parah memang nih cewek. Nggak ada jaim-jaimnya.

Om Andre tertawa geli, sedangkan Azlan menepuk jidat dan menggeleng pelan. Sikap mereka membuat Flora tampak salah tingkah, menyadari kekonyolannya, dia pun mengambil segelas wine dan mulai berakting layaknya wanita elegan.

Sungguh lucu melihat sikap Flora. Entahlah, sikap cuek dia dan juga kekonyolan yang kadang dia buat seringkali membuatku tertawa.

"Saya mau, besok kalian berdua ikut test."

Ucapan Azlan berhasil membuatku membelalakkan mata. Kenapa aku harus ikut? Bukannya hanya Flora yang dapat job tersebut?

Seolah mengerti ekspresi kebingunganku, dia pun menambahkan kembali, "Saya hanya ingin rahim yang bersih dan kondisi kesehatan yang baik. Jadi, jika temanmu ini ternyata tidak bisa ... maka saya berharap bisa dapat darimu."

Hah?! Kok begitu? Apa-apaan ini?

"Maaf, di sini gue nggak ikut-ikutan. Karena job tersebut untuk Flora, bukan gue. Lagian ya, gue nggak mau hamil. Hamil itu hanya akan merusak aset gue!" bantahku.

"Saya akan bayar satu milyar, setelah itu akan saya bantu Nona untuk operasi biar sempit lagi, bagaimana?"

What?!

Lagi-lagi ucapan Azlan mampu membuat mataku membulat dan mulut menganga. Satu milyar memang bukan uang kecil bagiku, tapi kalau nanti ada apa-apa denganku saat melahirkan? Oh, tidak ... resiko itu juga harus dipikirkan.

"Boleh gue kasih penawaran?"

"Boleh, silahkan."

"Kalau sampai besok hasilnya sesuai dengan keinginan lo, eh, Anda maksudnya. Kalau sampai hasilnya sesuai dengan apa yang Anda inginkan, so gue minta bayaran lebih."

"Gila lo, Ra!" Flora menyela ucapanku, mungkin saja kaget dengan aku yang terkesan serakah dan memanfaatkan kesempatan.

"Sttt!!! Ini sudah aku pikirkan matang-matang, siapapun yang besok terpilih, maka akan mendapatkan mahar tersebut."

Flora memiringkan kepala, matanya menyipit dan memandangku tak percaya.

"Begini, hamil bukan masalah uang dan aset wanita. Melainkan ada resiko lain, yaitu kematian saat melahirkan, rasa sakit saat proses kontraksi, bahkan siksaan saat ngidam."

Sengaja kujeda kalimatku, kembali menyusun kalimat yang mampu membuat pria tajir itu bersedia menuruti syarat yang kuajukan.

"Orang hamil butuh kenyamanan, jadi sediakan rumah. Gue tidak mau tinggal di apartemen tanpa pembantu. Untuk itu, sediakan rumah beserta pembantu dan fasilitas sopir."

"Nah, bener itu!" Kali ini Flora turut mengompori, aku pun tersenyum miring. Jelas, apapun yang aku sampaikan pasti akan dikabulkan dan itu akan jadi kemenangan.

"Yang berikutnya, gue minta bini Anda tidak memperlakukan buruk gue. Karena perlu diinget, gue bukan pelakor. Gue atau pun Flora dibayar untuk jasa memberikan keturunan pada Anda. Paham?"

Azlan tersenyum mendengar penjelasan panjang lebarku. Lalu memajukan duduknya dan tepat menatap mataku.

"Kamu akan dapatkan apa yang kamu mau, tidak perlu khawatir. Rumah, mobil, dan fasilitas lainnya akan saya berikan semua. Dan masalah istri saya, dia yang meminta saya untuk mencari wanita yang mau meminjamkan rahimnya."

Ada perasaan lega menjalar. Itu artinya semua akan berjalan aman, tanpa harus repot menghadapi kecemburuan seorang istri. Tapi sejauh ini, dalam hatiku justru berdoa agar Flora yang besok terpilih.

***

"Begini, Pak Azlan. Dari hasil tes dan pemeriksaan lain-lain, didapati ada masalah pada Ibu Flora. Paru-paru dia tidak bersih, mungkin karena dia perokok. Lalu, ada juga masalah pada saluran tuba falopi, ini jelas akan mengganggu sistem reproduksinya." Dokter itu menjelaskan panjang lebar.

Mendengar itu semua, sontak Flora kecewa. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan. Mungkin karena merasa kehilangan kesempatan mendapatkan satu milyar dan banyak keuntungan lainnya.

"Dan untuk Bu Nara ...." Dokter obgyn cantik itu tersenyum, menyiratkan sesuatu yang membahagiakan.

Ah, jangan-jangan ....

"Untuk Bu Nara kondisinya sehat semua. Hanya memiliki riwayat penyakit asma. Jadi, tetap harus berhati-hati saat program hamil nanti."

Antara bersyukur tapi juga sedih. Bersyukur karena kesehatanku bagus, karena selama ini aku memang tidak merokok atau pun banyak minum minuman keras. Hanya sesekali saja aku menikmati wine.

"Apa itu artinya Nara bisa hamil secepat mungkin, Dok?" tanya Azlan ingin meyakinkan.

"Iya, Pak Azlan. Saran saya, jika nanti program hamil tetap harus jaga pola makan agar bayi dalam kandungan tetap sehat."

Mendengar itu semua, rasanya kepala bagai dihantam gada. Tanpa pamit, aku keluar dari ruangan. Bahkan panggilan dari Flora pun aku abaikan.

"Nara, please ... ini kesempatan lo lepas dari dunia hitam!" teriak Flora.

Langkahku terhenti. Bagaimana bisa keluar dari dunia penuh kepalsuan dan dosa dengan cara yang sama saja hina. Menjual rahim untuk benih pria yang bukan suami, itu sama saja. Apanya yang baik?

Flora merengkuh bahuku setelah dekat posisinya denganku. "Dengarkan gue, Nara. Anggap saja, setelah ini lo akan menemukan kehidupan baru meski hanya sembilan bulan."

"Itu bukan jalan menuju ke kehidupan baru, itu kehidupan yang sama dengan balutan kisah yang beda."

"Nara, gue punya ide."

"Apa?"

Flora mendekatkan bibir ke telinga, dia membisikkan rencana yang sontak membuatku terkesima. Tak percaya jika Flora memiliki ide yang di luar dugaan.

"Bagaimana?"

Sejenak aku berpikir, menimbang, lalu mengangguk setuju.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
yayang bintang
Nonton di tiktok jadi lanjut baca
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Benih Satu Milyar   Peristirahatan Terakhir

    Akhirnya aku bisa bernapas lega, Azlan mampu mengatasi kecurigaan istrinya Om Fadli. Hampir saja bertambah masalah baru, dan aku yakin kalau sampai wanita tahu, mungkin akan terjadi hal lain juga.Azlan kembali melajukan mobil menuju ke rumah kediaman keluarga Wijaya Pratama. Sepanjang jalan aku merasa seperti seekor belut yang mengantar diri untuk dijadikan sate. Namun, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang terjadi, aku siap menghadapi.Mobil memasuki area parkir depan istana mewah, jantungku semakin berdetak kencang. Umpatan dan caci maki sudah memenuhi pikiran, bahkan saat ini kedua tanganku telah menjadi dingin karena pikiran-pikiran itu.Azlan yang melihatku dilanda kecemasan, dia segera menggenggam jemariku dan memberikan penguatan. Perlahan aku turun dari mobil, kemudian melangkah menuju teras rumah. Genggaman tangan Azlan kurasakan semakin erat saat kaki kami menginjak lantai depan pintu.Baru saja hendak menekan bel, terdengar sebuah teriakan. "Aku sudah bilang, sampai ma

  • Benih Satu Milyar   Repetan Panjang

    Azlan membuntutiku hingga ke kamar. Setelah dia membersihkan diri, dia pun duduk di tepi ranjang. Tatapannya penuh tanda tanya, tetapi tak ada sirat kemarahan atas sikapku. Aku tahu, Azlan pasti paham akan kekhawatiranku."Nara, apa kamu sudah pikirkan matang-matang tindakan kamu ini?" tanya Azlan sembari menyingkirkan anak rambutku ke belakang telinga."Aku sudah pertimbangkan semuanya, Azlan. Aku tahu, Mama akan mengusirku. Aku tahu Mama akan memisahkan aku dari kamu dan anak-anak. Jika aku tidak mengantisipasi dari sekarang, justru akan semakin sulit menyelamatkan rumah tangga kita." Suaraku terdengar bergetar, menahan perihnya batin yang terhempas oleh badai kenyataan."Maafkan aku ya, Ra. Aku gagal menjaga rahasia siapa diri kamu," ucap Azlan dengan tampang sedih.Aku pun tersenyum, kemudian meraih tangannya. "Azlan ... suamiku yang paling aku cintai. Jangan pernah menyalahkan dirimu. Aku tahu, selama ini kamu telah melakukan banyak hal untukku. Kamu adalah anugerah dari Tuhan, k

  • Benih Satu Milyar   Az Khai

    Entah karena apa, pikiranku berubah. Rasanya aku belum siap untuk bicara dengan wanita yang saat ini tergolek lemah di atas brankar."Azlan, kita pergi aja!" ujarku seraya berusaha memutar kursi roda.Azlan segera mendorong kursi roda, mengikuti permintaanku.Baru saja hendak keluar, muncul gadis muda dari kamar mandi."Mas Azlan ... kamu ngapain ke sini? A ... apa ... apa ini Mbak Nara?" tanya gadis muda yang aku sendiri tak tahu siapa."Iya, ini Nara." Aku menoleh ke arah Azlan, mencoba meminta penjelasan. "Dia siapa, Azlan?""Dia Della, Ra. Sepupu kamu juga, dia yang selama ini merawat Bu Rosmala."Sejenak aku mencoba mengingat. "Apa kamu Della keponakan Ibu?""Iya, Mbak Nara.""Ooh ... iya, aku ingat. Waktu itu kamu masih kecil. Tidak menyangka bisa ketemu. Bagaimana keluarga di kampung?" tanyaku untuk basa-basi, karena sebenarnya mereka tak pernah peduli padaku."Semua baik, Mbak. Hanya saja, keadaan Budhe Ros ....""Iya, tadi aku sudah melihat. Hanya saja Ibu tidur, besok saja

  • Benih Satu Milyar   Akhir Kesombongan

    Tatapan sinis kedua lelaki itu, menandakan bahwa permusuhan belum usai. Azlan yang melihat kehadiran Ryan di ruanganku, seketika murka. Dia menarik kerah baju Ryan."Masih berani kamu ke sini? Hah?! Dasar bedebah! Tak punya malu!!!" teriak Azlan dan hampir saja melayangkan pukulan ke wajah Ryan."Azlan, cukup!" teriakku menghentikan aksi barbar Azlan.Azlan pun berhenti dan menatapku tajam, sorot penuh kemarahan."Biarkan dia pergi, Azlan. Dia ke sini hanya berpamitan. Setelah ini dia tak akan lagi mengganggu hidup kita!" ujarku agar membuat Azlan lebih tenang.Azlan menatap sejenak pada rivalnya, setelah itu mendorong keras tubuh itu hingga jatuh ke lantai."Menghilanglah dari kehidupan aku dan Nara, menjauh sejauh mungkin. Karena sekali saja aku melihatmu, tak akan ada ampun lagi bagi manusia bedebah sepertimu!"Mendengar ucapan Azlan, Ryan pun bergegas pergi dengan tatapan penuh amarah yang dia tahan. Setelah kepergian lelaki dari masa laluku itu, Azlan pun mendekat. "Jangan perna

  • Benih Satu Milyar   Cinta Tanpa Batas

    POV NaraSudah dua malam aku menginap di ruang VVIP rumah sakit ini. Ada kelegaan karena melihat anak ketiga lahir dengan selamat. Namun, di sisi lain ada pula kekhawatiran mengenai ucapan Ryan.Ya, aku takut jika sampai Azlan termakan oleh ucapan Ryan. Bahkan jika sampai test DNA itu dilakukan, aku pun benar-benar tak siap. Takut jika hasilnya tak sesuai harapanku.Itu sebabnya kenapa aku menangis saat Azlan datang menemuiku. Ada perasaan bersalah telah me menyembunyikan peristiwa malam itu dari Azlan.Hari ini, Azlan pamit untuk mengurus beberapa pekerjaan di kantor. Aku tidak bisa mencegahnya, apalagi menuntut waktunya. Kata Bu Wijaya, aku harus mandiri ketika suami pergi mencari nafkah. Bagiku, ucapan itu benar.Bu Wijaya sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Mungkin cukup ironis, ibu kandung tak bisa menyayangiku. Namun, Bu Wijaya sebagai ibu mertua justru mampu memberikan kasih sayangnya padaku.Hal tersebut yang membuat aku memilih menuruti kemauannya. Anggap saja sebagai bal

  • Benih Satu Milyar   Permohonan

    Melihat perjuangan Om Fadli, sungguh mengharukan. Siapa sangka, lelaki yang dulu sering bikin masalah justru punya hati nurani yang begitu tulus.Aku yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Mama, akhirnya turut maju ke depan dan bicara."Ma, Om Fadli ada benarnya. Mama tidak bisa bertindak semena-mena pada Nara, hanya karena sakit hati Mama pada Bu Rosmala."Mama yang mendengar ucapanku langsung menatap tajam ke arahku. "Jangan pernah lagi kamu sebut nama itu! Kamu harus ingat, Azlan ... seberapa banyak air mata yang jatuh gara-gara wanita bedebah itu?""Aku paham, Ma. Tapi tidak seharusnya Mama menghukum Nara atas perbuatan ibunya! Dia tidak tahu apa-apa, bahkan selama ini dia dibuat menderita oleh ibunya sendiri. Itu sudah lebih dari cukup, Ma!""Kalian ini kenapa sih? Kenapa kalian sulit sekali memahami perasaan ini? Kalian pikir mudah melalui semua itu?""Ma ....""Cukup, Azlan! Mama mau istirahat, Mama tidak ingin bicara apapun!" ucap Mama dengan nada kesal, kemudian berlalu d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status