Sepulang dari rumah sakit, aku dan Flora menjalankan rencana. Sebelum deal, kami ingin menemui istrinya Azlan. Alasan Flora masuk akal, itu sebabnya aku menerima sarannya.
Flora menginginkan keamanan diriku benar-benar terjamin, selain itu dia juga ingin aku mengandung benih melalui pernikahan resmi. Tentu saja demi si calon jabang bayi agar tidak berstatus anak di luar nikah.Lucu, sih ... wanita seperti kami yang biasanya tak peduli dengan aturan agama, tetiba merasa perlu melibatkan Tuhan dalam langkah ini. Apakah ini merupakan jalan menuju ke hidayah?Entahlah ....Aku memang belum deal dengan Azlan, hanya saja aku meminta waktu tiga hari untuk berpikir. Bagaimana pun, membayangkan mengandung selama sembilan bulan cukup membuatku bergidik.Bayangan perutku akan mengembang, lalu setelah melahirkan akan bergelambir dan pasti akan banyak strech mark. Belum lagi keluarnya bayi pasti akan merobek asetku, meskipun bisa kembali tapi tetap saja akan berbeda bentuk karena jahitan. Misal melahirkan melalui operasi caesar, pasti akan meninggalkan bekas jahitan.Argh!!!Semua itu hanya akan merusak diriku. Tubuhku adalah aset berhargaku, selama ini aku bisa menghasilkan uang banyak. Bahkan untuk membayar hutang ibu yang puluhan juta itu pun dengan tubuh ini."Nara, ngapain lo di balkon dari tadi? Masuk gih, udah malem banget nih." Flora mengejutkan lamunanku.Pikiranku memang kacau, hati berkecamuk tak jelas. Menyewakan rahim hanya demi harta yang melimpah, tidak pernah ada dalam list pilihan hidupku.Aku hanya menoleh sebentar saat Flora menyusul ke balkon dan berdiri di sampingku. Pandanganku kembali ke langit gelap, seulas senyum miris tersungging di sudut bibirku."Lo masih mikirin tawaran itu? Kenapa, sih, berat amat kayaknya?"Kuhela napas berat, lalu menatap Flora yang seakan belum juga paham alasan yang menjadi pertimbanganku."Flo, lo pernah hamil?""Ya belum lah, kan selama ini gue pakai pengaman dan kadang minum pil.""Kalau misal lo hamil gimana?"Flora terdiam mendengar pertanyaanku. Wajahnya menyiratkan kebingungan untuk menjawab."Lo nggak tau kan nasib lo kalau sampai hamil?""Ta tapi ini beda, Ra. Kehamilan lo itu dibayar. Lo bisa dapatin banyak keuntungan, tidak hanya duit tapi juga harta benda lainnya."Kuhembuskan napas kuat-kuat. Benar, Flora memang tidak paham dengan apa yang aku pikirkan. Dia hanya berpikir secara materi, tidak lainnya."Nara, gue yakin Azlan dan bininya bakalan bersikap baik ke lo. Lo denger sendiri, kan, kalau mereka sudah menikah delapan tahun dan belum punya anak. Pasti bininya kaga mau tuh kehilangan harta bendanya Azlan, makanya rela suaminya tanam benih ke wanita lain."Ingatanku kembali pada percakapanku dengan Azlan setelah dari rumah sakit. Dia sengaja menemuiku lagi di apartmen ketika Flora pergi menemui Om Andre.Ya, dia sangat memohon agar aku bersedia meminjamkan rahim untuk benihnya. Semua demi istri yang sangat dia cintai. Bukan karena hal lain, lelaki itu bersedia memenuhi permintaan istrinya karena terpaksa.Istrinya terkena penyakit miom yang telah merusak rahimnya, sehingga harus diangkat. Namun, semua kenyataan itu sengaja disembunyikan dari keluarga Azlan. Hal yang menjadi alasan adalah ibunya Azlan, wanita itu terus saja mendesak anaknya untuk bercerai jika istrinya Azlan tidak juga hamil."Nara, aku sangat mencintai istriku. Aku tidak bisa menceraikan dia. Tapi ... aku juga tidak mau ibuku kecewa karena garis keturunan Wijaya Pratama terputus. Aku anak tunggal, hanya aku yang menjadi harapan mereka."Cukup lama aku terdiam, mencoba berpikir yang terbaik. Sisi kepedulianku tetiba saja mendesak, rasa kasihan pada wanita yang menjadi istrinya Azlan. Ah, padahal aku sendiri saja belum pernah dicintai seperti itu."Gue pengen ketemu bini lo dulu, gue harus pastikan dan denger sendiri pernyataan bini lo. Bisa aja, kan, lo ngarang cerita.""Astaghfirullah ...." Dia mengusap wajahnya, ekspresi kesal terlihat dalam raut muka itu."Lagian, kenapa lo kaga nikah lagi, punya bini dua gitu.""No! Love is only for one heart, not shared!" Dengan tegas Azlan menampik ideku.Gila! Auto tertampar hati aku. Cinta, satu kata yang telah lama aku lupakan. Duniaku seketika berubah saat dihancurkan oleh ibuku sendiri. Tak ada cinta dalam diriku, semua hanya rasa hambar nan penuh kepalsuan. Cinta yang aku tunjukkan, semua hanya demi uang.***Baru saja aku hendak pergi, ketika bel pintu berbunyi. Bola manikku memutar malas saat mengetahui siapa yang datang."Udah cantik aja, Ra? Emang hari Minggu ada kencan?"Pertanyaan yang terdengar sebagai basa-basi memuakkan.Tanpa menjawab, aku langsung masuk ke kamar dan mengambil sebuah amplop coklat. Uang dua puluh juta yang diminta oleh ibuku, tiga hari sebelumnya dia sudah menelpon dan meminta agar aku menyiapkan uang tersebut.Parah memang, aku hanyalah mesin uang baginya.Kuletakkan uang di meja, tepat di hadapan wanita itu. Dengan senyum menyeringai, dia mengambil amplop coklat, lalu mengecek isinya.Melihat sikapnya itu sungguh membuatku muak semuak-muaknya. Namun, aku hanya bisa melipat tangan ke dada dan membuang pandangan, entah sudah berapa kali kuhela napas agar dada ini tak terasa sesak."Mantap kali kamu, Nara. Kamu memang anak yang bisa diandalkan!" pujinya sembari tertawa kecil.Pujian busuk!"Nara, duduklah sini. Ibu ingin bicara serius."Dahiku seketika mengernyit. Kesambet setan apa sampai wanita berhati iblis itu tetiba berkata lemah lembut begitu. Jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang lebih gila lagi."Duduklah ... Ibu hanya minta waktumu lima menit saja. Setelah itu kamu bisa pergi."Terpaksa aku menurut, dengan malas aku duduk dan menyandarkan kepala. Namun pandanganku tak berubah, tetap malas menatapnya."Nara, Ibu sudah mulai lelah hidup seperti ini. Ibu ingin berubah."Sontak aku menegakkan badan dan menatap wajah itu, wajah yang masih tetap cantik meskipun usianya sudah kepala empat. Sorot mata sendu terpancar, baru kali ini aku melihat ada genangan bening di pelupuk matanya.Apakah dia sedang bersandiwara? Apakah dia ingin mengelabuhi aku agar rencana dia berhasil? Huff ... prasangka buruk terus saja muncul."Nara, Ibu minta maaf sudah menyeretmu ke dunia yang tak seharusnya. Ibu bukanlah ibu yang baik untukmu. Mungkin sudah telat untuk menyadari itu semua, namun aku tetap berharap jika kita bisa keluar dari dunia kelam ini."What?! Tak salah dengarkah aku?"Ibu ingin memulai hidup baru, membuka sebuah usaha untuk menopang kehidupan kita setelah berhenti dari kerjaan ini."Membuka usaha?Haish ... feeling aku sudah nggak enak. Pasti ujung-ujungnya duit. Seketika aku mendelik, lalu membuang pandangan dan berdiri."Aku harus pergi, Bu. Flora sudah menungguku." Sengaja aku berbohong karena sebenarnya Azlan sudah menunggu di parkiran apartemen."Aku butuh tiga ratus juta," ucapnya dengan cepat.Sumpah, mendengar ucapan wanita itu membuatku terkesiap tak percaya."Lelaki mana lagi yang sedang memanfaatkan Ibu? Masih berondong ya, sampai Ibu nurut banget diminta uang ratusan juta."Plak!"Jaga ucapan kamu, Nara! Aku ini ibu kamu! Jangan kurang ajar!"Pipi kananku perih, tapi hati aku lebih sakit. Namun, senyum sinis tersungging dari bibirku. Sungguh, pada akhirnya aku hanya tertawa karena mendengar ucapan wanita di hadapanku."Ha ... hahaha ... sejak kapan Ibu menyadari kalau aku ini anakmu? Hah?! Sejak kapan, Bu? Hahaha ....""Terserah apa katamu! Pastikan minggu depan sudah ada tiga ratus juta untuk kamu berikan pada ibumu ini!" ucapnya penuh penekanan dengan telunjuk menghadap ke wajahku.Setelah mengultimatum, wanita iblis itu pun berlalu pergi.Deg!Tatapanku terpaku pada sosok pria yang hendak menyewa rahimku. Azlan, dia sudah berdiri di ambang pintu. Entah sejak kapan dia ada di sana. Ah, jangan-jangan dia mendengar semua percakapan aku dan ibu.Apakah dia akan memanfaatkan situasi ini?"Wow, tampan sekali pacar kamu, Ra!" ujar wanita itu dengan ekspresi terpesona.Sungguh, itu sangat memalukan bagiku. Apalagi saat melihat kerling nakal dari sosok ibu durjana itu.Ya, walaupun aku akui Azlan memanglah tampan, bahkan tubuhnya saja tinggi dan atletis. Cara berpakaian dia pun layaknya orang kaya yang paham fashion dan style. Sudah persis artis Varel Bramastha saja kalau sekilas."Tumben banget lho, Ra, kamu nggak milih ma aki-aki." Wanita itu masih saja mengomentari hidupku tanpa berpikir siapa yang membuatku menjadi seperti ini."Tapi inget ... pastikan brondong tampan ini bisa memberimu hasil yang besar. Jangan hanya karena mabuk cinta, kamu lupa dengan duitnya."Sumpah, dadaku kian mendidih mendengar ucapannya itu. Rasanya ingin sekali menjambak dan mencekiknya."Ganteng, kapan-kapan main juga dengan Tante ya. Tenang aja, Tante masih bisa berbagai macam gaya. Kamu mau gaya apa? Doggy style, gerobak dorong, atau gaya capit kepiting?" Dengan genitnya wanita tak tahu ma
"Assalamualaikum." Azlan mengucap salam saat hendak masuk ke rumah.Seorang wanita berhijab, cantik dan sangat elegan menyambut lelaki itu. Begitu hangat, wanita itu mencium punggung tangan Azlan yang dibalas oleh Azlan dengan kecupan di dahinya.So sweet jika dilihat. Pantas saja Azlan sangat mencintai wanita itu, ternyata memang sangat layak jika Elina diperlakukan bak ratu.Sejenak pandanganku mengedar, kembali mengagumi setiap aksen rumah yang begitu mewah. Di usia 35 tahun, Azlan telah memiliki kehidupan yang sangat mapan. Tidak kaget, sih ... karena dia memang terlahir dari keluarga hartawan.Beruntung sekali Elina bisa menikmati harta tanpa batas keluarga Azlan, segala kemewahan dia dapatkan. Seandainya saja ....Haissh! Segera kutepis pikiran itu. Aku hanya ingin fokus pada pengajuan syarat saja. Aku sudah putuskan, kali ini keuntungan yang kudapat harus sepadan dengan apa yang kukorbankan.Mungkin dengan harta yang akan kudapat nanti, aku bisa pergi jauh dari ibuku. Memulai h
Tanpa kuduga, wanita itu menangis tersedu di pelukan Azlan. Benar dugaanku, dia tengah menahan rasa cemburu. Kasihan juga sih, sebenarnya. Demi mempertahankan rumah tangga, wanita itu sampai rela menahan rasa sakitnya berbagi suami.Huff ... aku yakin, pasti berat berada di posisi Elina. Jika aku yang ada di posisinya, sudah pasti sama. Mungkin saja bisa lebih parah dan lebih rapuh. Apalagi dia sangat mencintai suaminya, pasti hancur menyaksikan pernikahan tadi. Dan sekarang ... dia malah ingin mengantarkan suaminya berbulan madu denganku.Ah, kenapa aku merasa telah jadi manusia kejam?Sebagai wanita, tentunya aku bisa turut merasakan apa yang dirasakan Elina. Ya ... walaupun belum pernah merasakan dicintai, tapi paling tidak sisi lain dari nuraniku masih ada."Nara, bisakah kamu turuti permintaan Elina?" Azlan sepertinya tak ingin membuat hati sang istri lebih terluka.Mungkin saja dengan memintaku untuk mengikuti apa perkataan istrinya, akan membuat dirinya tetap terlihat membela E
Aku heran denganmu, kamu yang memintaku tetapi sikapmu seolah aku yang merebut suamimu. Lagi pula, yang menentukan langsung bisa hamil atau tidak itu bukan aku, Nyonya Elina yang terhormat. Tuhan yang menentukan, bukan aku." Saking gemesnya, terlontar kalimat panjang lebar bernada sinis juga dari mulutku.Wanita itu makin terisak, Azlan yang mengetahui istrinya menangis langsung keluar dan merengkuhnya. Kembali drama menyedihkan terjadi. Bikin muak melihat adegan semacam itu. Kurasa Elina memang sengaja membuat Azlan tak tega meninggalkan dia, meskipun hanya sejenak untuk memadu kasih bersamaku."Kalau memang belum siap, aku sarankan ditunda. Di sini aku bukan pelakor. Silahkan bawa kembali suami Anda, Nyonya Azlan." Sengaja aku beri penekanan pada kalimat akhir, lalu tersenyum smirk.Kututup kembali pintu dan mengabaikan suara tangis yang masih terdengar. Kudengar pula Azlan yang berusaha menenangkan istrinya, seolah dia adalah wanita yang sedang berkabung kehilangan suami.Antara ka
Angin laut sore ini begitu sejuk. Pemandangan sunset di Pulau Dewata memang tak ada duanya, terlampau indah. Sudah hampir dua jam aku duduk di hamparan pasir putih, mencoba menikmati suasana yang disuguhkan alam.Camar yang hendak pulang, ia tak lagi menghiraukan ikan yang masih bermunculan di permukaan. Camar tetap memilih untuk menyudahi pengembaraan hari ini. Naluri alam mengajarkan seperti itu, namun tidak padaku.Kehidupan mengajariku banyak hal, tetapi bukan pada kebaikan. Takdir membawaku pada kehidupan yang penuh ironi. Harga diri terjual demi materi. Parahnya lagi, penyebabnya adalah wanita yang kupanggil 'ibu'.Terkadang aku ingin menangis, namun ternyata air mata saja sudah mengering. Mungkin karena terlalu capek dengan setiap luka, bukan luka di tubuh. Melainkan luka batin yang tak akan bisa hilang.Kembali helaan napas panjang menjadi pilihan, agar semua rasa yang berkecamuk sedikit berkurang. Seharusnya, di tempat wisata yang elok seperti ini, aku bisa menikmati. Namun p
Langit senja tak lagi menjadi pemandangan yang sedap untuk di pandang mata. Dituntun oleh kekesalan yang membuncah di hati, akhirnya aku melangkah tanpa arah menyusuri jalan hingga tak menyadari bahwa kaki ini tak lagi berpijak di atas pasir pantai. Keramaian manusia yang semula bisa terlihat dari setiap sudut mata entah sejak kapan telah lenyap. Berganti sepi yang hanya terisi embusan lembut angin.Sejenak aku berhenti, mengedarkan pandangan untuk mengenali sekitar. Hanya ada beberapa bangunan villa dengan jarak berjauhan. Selebihnya pepohonan layaknya hutan. Jalan beraspal yang aku lalui juga bukanlah jalan raya yang besar.Baru kusadari, kini aku tersesat. Tak tahu jalan arah menuju pulang ke hotel. Bahkan untuk tahu sekarang posisi di mana, dan sejauh mana lokasi ini dari hotel tempatku menginap pun aku tak bisa.Pandanganku menoleh ke sana kemari, mencari hal familier yang mungkin saja akan menuntunku kembali ke hotel. Namun sial bagiku, sudah mengedar pandangan, memutar otak, b
"Peter, gue pinjam charger ponsel lo, ya? Gue mau hubungi Flora, biar besok dia ke sini untuk ambilin beberapa potong pakaian dan dompet gue," ujarku saat tiba di penginapan yang Peter sewa.Pria bule itu hanya mengangguk dan menyerahkan charger ponsel dari tas kecilnya, kemudian duduk di tepi ranjang. Beberapa kali mataku menangkap basah matanya yang terus saja melihatku. Beberapa kali pula dia meneguk saliva, layaknya pria yang menginginkan tubuh seorang wanita.Huff ... ternyata sama saja! gerutuku dalam hati.Pasalnya, aku pikir Peter adalah lelaki yang berbeda. Hampir saja aku lupa, dia adalah orang barat, tentu saja mainan seperti itu sudah biasa baginya. Ah, bodohnya aku. "Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" Pertanyaanku mampu membuat Peter kelabakan dan salah tingkah."Tak apa-apa, hanya ....""Hanya apa? Lo tertarik ma tubuh gue?" Tanpa basa-basi aku sengaja berucap seperti itu."No, not like that.""Then?" tanyaku semakin sewot.Peter sejenak terdiam. Mungkin saja mencoba men
"Rencana lo apa sih, Ra? Kenapa lo nggak balik aja ke hotel, terus tidur bareng ma si Azlan, biar lo cepat hamil," cerocos Flora tanpa jeda.Aku membenahi posisi dudukku, mencari posisi nyaman untuk bicara. "Dengarkan gue, Flo. Lo tau nggak rasanya dipandang rendah ma orang kaya?""Ya taulah ... gue kan pernah rasain juga. Waktu ketahuan jadi simpenannya Om Jony. Lo tau juga kejadiannya, gue dijambak. Dihajar habis-habisan di depan umum, hancur martabat gue waktu itu."Tampak wajah Flora berubah sedih karena ingat peristiwa yang sangat memalukan waktu itu. Walaupun kami hidup dari hasil morotin kekayaan om-om, tapi tetap saja sebagai manusia normal, kami punya perasaan dan tak suka jika direndahkan.Begitulah, terkadang mereka yang beruntung dari aku dan Flora justru hanya mencela. Pandangan mereka terhadap orang sepertiku jelas merendahkan. Padahal, kami begini juga karena terpaksa. Siapa, sih, yang ingin kehidupannya jadi parasit? Jika boleh memilih, aku pun akan memilih kehidupan s