"Selamat pagi!" sapa salah seorang polisi seraya memberi hormat.
Beberapa orang tetangga yang sedang berbelanja sayur langsung menatap memperhatikan. Pasti sebentar lagi ada gosip tidak jelas menyebar. Mereka kan hobi menyebarkan berita bohong, tanpa mau mencari kebenarannya dan langsung percaya begitu saja. Dasar ibu-ibu tidak ada kerjaan.
"Apa benar ini kediamannya saudari Rafika?" tanyanya lagi.
"Iya, pak. Benar. Ada apa memangnya?" Aku balik bertanya. Penasaran.
"Saudari Rafika terjaring razia di sebuah klinik aborsi. Dia berusaha menggugurkan janin yang ada di rahimnya. Sekarang dia sedang berada di rumah sakit karena mengalami perdarahan," ucap Pak polisi lantang. Kontan, membuat para ibu yang berada di depan rumah menajamkan pendengaran.
Aku meraup wajah.
Ya Allah, Rafika. Tidak ada capek-capeknya berbuat ulah. Apa dia tidak tahu kalau aku terkena imba
Buru-buru aku berlari keluar dan meneriaki Hamzah maling. Tidak mau melepas pria itu karena dia seorang pencuri."Ada apa, Mas Azis?" tanya Pak Rt seraya menghampiri."Rumah saya kemalingan, Pak. Tadi malingnya baru saja keluar dari komplek ini. Pake motor matic merah. Ini foto malingnya!" Menunjukkan foto Hamzah kepada Pak RT."Tapi, bukannya itu putranya Pak Sulaiman ya?" Pak RT mengernyitkan dahi."Mau putranya Pak Sulaiman, Pak Hasim, saya tidak perduli. Dia itu maling. Pencuri!" sungutku kesal."Memangnya apa yang dia curi dari rumah Mas Azis?"Duh. Aku sendiri belum mengecek apa saja yang hilang, karena segera keluar meneriaki Hamzah maling.Lekas kembali masuk. Mengecek seisi kamar, dan ternyata laptop, beberapa koleksi jam tangan mewah, juga ada uang cash sebesar lima juta sudah raib digondol si Hamzah.
"Nggak usah melongo begitu. Nanti mulut busuk kamu kemasukan lalat!" sungut Pak Beni, menatap mencemooh wajahku.Hamzah yang sejak tadi duduk diam di kursi seberang terlihat mengulas senyum. Pasti dia merasa puas telah berhasil mempermalukan diriku.Sombong banget dia ini. Pura-pura miskin, padahal anak seorang konglomerat. Tahu gitu, sudah aku manfaatkan keadaan supaya aku lekas naik jabatan. Dasar Hamzah sial*n. Sepertinya dia sengaja ingin mempermainkan aku."Kenapa bengong?!" sentak Pak Beni."Nggak, Pak. Saya tadinya cuma bercanda sama Hamzah. Kami ini kan sahabat baik, Pak. Sudah sejak sekolah SMA kita berteman," kilahku, semoga saja Pak Beni percaya dan melepasku."Sahabat baik. Mungkin Hamzah selalu menganggap kamu sahabat baik. Dia juga yang menyuruh saya menerima kamu kerja di perusahaan, karena sebetulnya saya tidak suka dengan kinerja kamu. Kinerja kamu itu jele
POV Rania.Pagi ini, hatiku terasa sangat bahagia karena bisa kembali bertemu dengan Mas Azis. Aku sangat merindukannya, ingin berada di sisinya terlebih lagi saat ini sedang mengandung benih cintanya. Aku ingin dia menemani hari-hariku. Membelikan makanan yang si jabang bayi mau, mengelus perutku sebelum kami tidur.Mas Azis. Dia yang dulu selalu aku kagumi karena sifat santun juga shalihnya. Laki-laki yang mampu menyematkan cinta begitu dalam di sanubari, hingga aku tidak mampu berpaling walaupun banyak laki-laki yang datang ingin mengkhitbah, termasuk Kak Hamzah teman dekat suamiku.Padahal menurut Ayah, Kak Hamzah lebih terlihat bertanggungjawab juga shaleh. Sedangkan Mas Azis, ayah agak sedikit ragu dengan dia.Menurut Ayah kalau Mas Azis itu hanya pura-pura alim. Terbukti ketika Ayah mengajak Mas Azis shalat berjamaah serta menyuruh dia untuk menjadi imam, dia malah menolak dengan alasan tidak
Duduk di halaman rumah sakit, terus menatap lalu lalang kendaraan yang melintas. Pusing memikirkan biaya pengobatan Rafika yang terus saja membengkak, sementara dia tidak kunjung membuka mata. Benar-benar menyusahkan saja.Kalau bukan adik satu-satunya, sudah kubiarkan dokter mencabut alat-alat yang menempel di tubuhnya, membiarkan dia pergi agar tidak menjadi beban yang masih hidup.Sudah nganggur, biaya rumah sakit tidak ditanggung pemerintah, apalagi pacar Rafika yang menghamilinya. Entah seperti apa laki-laki itu."Zis, dipanggil Ibu. Fika siuman!" Mbak Zalfa menepuk kasar pundakku."Duh, akhirnya siuman juga," jawabku seraya beranjak dari kursi besi kemudian berjalan mengekor di belakang Mbak Zalfa."Kamu koma lama banget sih, Fik. sudah hampir sebulan tahu nggak kamu berada di rumah sakit. Sudah berapa banyak uang yang Mas keluarkan hanya untuk membi
Aku menepikan mobil tepat di depan Ibu berdiri. Wanita berjambul itu terkesiap, dengan kelopak mata melebar sempurna menatapaku."Ibu dari mana?" tanyaku menyelidik."Jalan-jalan sama temen. Memangnya kenapa?" Dia balik bertanya."Siapa yang tadi bersama Ibu. Tadi aku lihat Ibu turun dari mobil sedan berwarna silver. Ibu nggak ngelakuin hal yang macem-macem kan?" Menatap intens wajah perempuan yang sudah melahirkanku itu."Kamu ngomong apa sih, Zis?!" Dia membuka pintu mobil dan segera duduk di kursi sebelah kemudi, memasang sabuk pengaman kemudian sibuk memainkan ponselnya.Dasar emak-emak labil!"Bu, memangnya aku anak hasil selingkuh ya?" Iseng-iseng bertanya, teringat dengan kata-kata Hamzah tadi.Riak wajah Ibu seketika langsung berubah. Sepertinya ada yang sedang disembunyikan oleh perempuan berkulit putih tersebut dari diriku. Tapi
"Mas Azis kenapa sih, selalu saja membuat masalah. Bikin rugi aku saja!" rutuk Rafika sambil masuk ke dalam ruangan tempat dimana aku sedang ditahan."Bawel!" sahutku kesal."Mas tahu, nggak? Aku harus bayar ganti rugi lebih dari lima juta. Dan semua itu gara-gara sifat anarkisnya Mas Azis. Nyusahin aja bisanya!" sungutnya lagi, menarik kasar lengan bajuku hingga hampir robek."Baru lima juta!""Lima juta juga duit, Mas. Nyarinya susah. Capek aku!" Dia menyilang tangan di depan dada."Aku juga nyari hampir seratus juta, lebih capek lagi, Fika. Dan kamu menghabiskannya dalam waktu beberapa hari, karena ulah konyol kamu di klinik aborsi!" Aku mendebat tidak kalah sengit. Geram dengan sikapnya yang selalu semena-mena terhadapku.Tidak disangka, Rafika malah mendorong tubuhku hingga hampir terjatuh. Kalau saja dia laki-laki, sudah aku ajak berduel saat ini juga.
Ibu mengangkat tangan hendak membalas tamparanku, akan tetapi Kak Dimas dengan sigap menangkap tangan mantan mertuaku dan menepisnya dengan kasar."Dasar pezina. Jadah. Wanita mura**n!" Maki Ibu dengan suara lantang, mengalihkan perhatian para pengunjung taman."Saya sumpahin nanti lahirannya susah dan anak kamu terlahir cacat, Rania!" Lagi. Sumpah serapah terlontar dari mulut ibunya Mas Azis.Padahal dia sesama wanita. Pernah mengandung dan merasakan seperti apa rasanya melahirkan. Terlebih lagi yang dia jatuhi sumpah serapah adalah calon cucunya sendiri.Apa dia tidak berpikir jika nanti salah satu dari anak perempuannya diperlukan seperti aku sekarang ini? Difitnah, diusir dari rumah lalu diceraikan begitu saja. Sekarang malah didoakan yang buruk-buruk oleh dia."Jaga mulut anda, Nyonya.
"Loh, Ran. Kok kamu di sini?" Aku terkesiap ketika tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di belakangku."Apa mobil kamu mogok?" tanyanya lagi dengan senyum tersungging di bibir."E--enggak, Kak. Aku lagi nungguin Kak Dimas. Tadi dia masuk ke dalam bengkel. Kirain lagi ketemuan sama Kakak!" jawabku sembari melongok ke dalam."Enggak, Ran. Dimas nggak bilang apa-apa sama saya."Hufh! Aku menyentak napas kasar. Sebenarnya apa sih yang sedang dia lakukan di dalam?"Sudah sarapan?" tanya Kak Hamzah lagi."Belum, Kak. Lagi nunggu Kak Dimas keluar dulu."Lagi. Dia tersenyum sambil menatap wajahku. Aku menunduk malu juga menjadi salah tingkah karena merasa terus diperhatikan."Itu ada tukang ketoprak. Apa kamu mau?" Dia menunjuk gerobak yang terparkir di bawah pohon mangga.