"Loh, Ran. Kok kamu di sini?" Aku terkesiap ketika tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berdiri di belakangku.
"Apa mobil kamu mogok?" tanyanya lagi dengan senyum tersungging di bibir.
"E--enggak, Kak. Aku lagi nungguin Kak Dimas. Tadi dia masuk ke dalam bengkel. Kirain lagi ketemuan sama Kakak!" jawabku sembari melongok ke dalam.
"Enggak, Ran. Dimas nggak bilang apa-apa sama saya."
Hufh! Aku menyentak napas kasar. Sebenarnya apa sih yang sedang dia lakukan di dalam?
"Sudah sarapan?" tanya Kak Hamzah lagi.
"Belum, Kak. Lagi nunggu Kak Dimas keluar dulu."
Lagi. Dia tersenyum sambil menatap wajahku. Aku menunduk malu juga menjadi salah tingkah karena merasa terus diperhatikan.
"Itu ada tukang ketoprak. Apa kamu mau?" Dia menunjuk gerobak yang terparkir di bawah pohon mangga.
"Ayah kenapa, Kak?" tanyaku panik."Mas Zubair jatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri. Sekarang dia ada di rumah sakit, Ran!" terang Kak Dimas sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaket.Buru-buru kami menuju rumah sakit tempat dimana Ayah sedang dirawat, ingin tahu keadaan pria paling aku cintai itu saat ini. Aku begitu khawatir terjadi sesuatu kepada beliau."Agak cepetan bawa mobilnya, Kak!" titahku panik."Kakak nggak bisa ngebut, Ran. Soalnya bawa kamu. Kamu ini kan lagi hamil. Takut terjadi sesuatu sama calon anak kamu kalau diajak kebut-kebutan." Kaka Dimas menjawab sambil terus menatap kedepan, fokus melihat jalanan Jakarta yang kian padat merayap.Benar juga kata Kak Dimas. Ada nyawa yang begitu berharga di dalam rahim, yang juga perlu dijaga dengan super hati-hati.kuelus perut yang kian membukit, merasakan gerakan calon buah hati yang kian aktif.Ah, andai saja kehadirannya diterima oleh ayah biolog
Aku mendesis kesal. Lama-lama menyebalkan juga sikap Kak Dimas. Mentang-mentang aku selalu merepotkan dia."Mulai sekarang aku nggak mau tergantung kepada siapa pun, Kak. Mau berusaha apa-apa sendiri."Kak Dimas malah terkekeh."Memangnya bisa?"Kesal. Itu reaksiku mendengar pertanyaan tersebut. Lebih baik buru-buru pergi dari pada panjang urusannya.Berjalan sendiri menyusuri koridor rumah sakit menuju poli ibu dan anak menemui dokter Kayla, dan ketika menoleh ke belakang, ternyata Kak Dimas tidak mengikuti. Baguslah. Biar aku bisa membuktikan kalau aku juga bisa mandiri.Sesampainya di poli yang kutuju, seorang perawat menyapa dan memintaku mengisi data pasien. Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah kemudian menyuruhku menunggu karena hari ini mendapatkan giliran ke tiga.Duduk sendiri di kursi panjang. Menoleh ke kanan dan
"Kamu tahu, nggak? Itu ponsel harganya berapa?!" Berangku, menarik kasar kerah baju Dimas."Ya, harganya mahal. Bahkan lebih mahal dari harga diri kamu!" timpalnya asal bicara.Dasar manusia tidak punya akhlak. Tidak memiliki etika dan sopan santun. Enak saja kalau berucap kata!"Sampai mati pun, sampai kiamat pun, kamu tidak akan bisa membeli ponsel semahal itu, Dimas!""Cuih!!" Dia mendecih kesal."Bahkan aku mampu membeli seratus unit ponsel murahan seperti itu!" Lelaki tidak bermoral itu memasang wajah jumawa."Dengan cara memoroti perempuan-perempuan haus belaian seperti Rania?"Buk!!Kepala serta hidung berkedut nyeri setelah Dimas mendaratkan tinju begitu keras tepat mengenai hidung. Cairan hangat berwarna merah nan asin mengalir deras dari lubang hidungku, juga dari bibirku yang pecah. Sialan
#POV Sulis"Apa, Bu? Apa maksud dari perkataan Ibu. Apa benar aku bukan anak Bapak? Dan aku ini memang anak hasil selingkuh antara Ibu dan pria beristri yang pernah Hamzah katakan kepadaku?" Aku menelan saliva mendengar pertanyaan Azis putraku.Lagian si Hamzah, apa sih maksudnya bilang ke Azis kalau dia itu bukan anak kandung suami saya? Dari mana dia tahu rahasia tentang diriku. Apa jangan-jangan, Nafsiah yang menceritakan masa laluku terhadap putranya?Dasar! Wajah dan penampilannya saja sok alim. Tapi kelakuannya sama saja kaya aku yang tidak berhijab. Bahkan lebih parah. Doyan ghibah, mengungkit-ungkit masalah orang lain, membeberkan aib orang lain kepada orang-orang yang tidak tahu tentang masalah kita."Bu, kenapa diam?" tanya Azis lagi.Aku bingung harus menjawab apa. Jika jujur dan mengatakan yang sebenarnya, pasti dia akan marah dan menilai jelek diriku."Bu!" Azis menatap menghunus ke arahku."Ka--kamu nggak usah dengerin omongan Hamzah. Dia itu 'kan membenci kita. Jadi, bi
"Tapi bisa jadi memang calon bayi ibu besar, atau malah mungkin kembar, tapi belum bisa terdeteksi," imbuhnya lagi. Binar bahagia terpancar jelas di wajah jelek Mas Moko. Dia terlihat bangga karena baru lima pekan menikah, dan langsung dikaruniai momongan. Sedangkan bersama istri pertamanya dulu, dia sudah menikah selama sepuluh tahun dan dicerai oleh mantan istrinya karena tidak kunjung memberi keturunan."Terima kasih, sayang!" Mas Moko melingkarkan tangan di pinggang, mencium pipiku bertubi-tubi menunjukkan rasa cinta yang begitu dalam. Lagi. Aku melengkungkan bibir bersandiwara kalau aku juga merasa sangat bahagia. Tidak mau suami curiga, kalau anak yang sedang aku kandung bukan darah dagingnya.*Semenjak Mas Moko tahu aku sedang mengandung. Dia terlihat bertambah sayang juga selalu memanjakanku. Hal itu kugunakan untuk bermalas-malasan serta meminta apapun yang aku inginkan. Jika suami tidak menuruti, senjata andalannya adalah merajuk dan mengancam akan pergi membawa calon bua
Enaknya sulis dan anak-anaknya diapain ya gaes ... Sudah asal tuduh, ngatain Rania pezina, padahal keluarga mereka sendiri yang bobrok. Azis juga, jadi cowok klemar-klemer, tidak punya pendirian dan gampang terhasut. Penasaran dengan kelanjutan dan endingnya? Jangan sampai ketinggalan tiap bab yang sudah emak up, jangan lupa follow, dan tinggalkan jejak di kolom komentar, beri rating bintang lima supaya Mak Othor tambah semangat up bab baru. Jangan lupa baca juga karya Emak SUAMIKU TERJERAT HUBUNGAN TERLARANG di aplikasi GN ya gaes .... Kisah seorang perjuangan Mayla Yasni yang dikhianati oleh suami serta keponakannya untuk tetap mempertahankan rumah tangga yang sudah lebih dari sepuluh tahun dia bina. Apakah hubungan Mayla dan Ibnu akan tetap bertahan meski Mayla harus menahan kesakitan, ataukah justru bermuara pada perpisahan? Cusss ... silakan baca semua karya Emak, tinggalkan jejak di kolom komentar, dan juga beri rating bintang lima 😘😘😘
“Kok dimatikan lampunya, sayang?” tanya suami dengan suara bergetar seraya membelai rambutku yang basah.“Biar romantis, Mas,” bisikku mesra.Dalam keremangan aku melihat dia tersenyum hangat kepadaku. Kedua netranya menyorotkan api cinta yang berkobar-kobar juga begitu besar. Beruntung sekali bisa dicintai oleh dua orang laki-laki, walaupun tidak bisa memiliki semuanya.Semakin hari perhatian Mas Moko begitu besar. Dia selalu memanjakan diriku, menuruti semua yang aku minta apalagi setelah aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang begitu tampan serta menggemaskan. Wajah bayi yang diberi nama Azis Syafi’i itu mirip sekali dengan ayah biologisnya. Bahkan hampir semua orang mempertanyakan masalah wajah bayiku yang sama sekali tidak mirip denganku ataupun Mas Moko.“Kok anaknya nggak mirip Mas Moko ya, Mbak Sulis?”“Anaknya nggak mirip bapaknya!”“Kenapa tidak mirip Mas Moko?”Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulut-mulut rese para tetangga.Untung saja suami tid
"Mas, aku minta maaf. Tolong jangan tinggalkan aku, Mas!" meraih kedua kaki suami dan terus bersimpuh di hadapannya.Hening. Bibir Mas Moko terkatup rapat dan bergetar. Air mata yang sejak tadi aku lihat menggelayut di pelupuk pelan-pelan mulai mengular. Sakit ternyata ketika melihat dia menangis seperti itu."Silahkan kamu lanjutkan apa yang hendak kamu lakukan dengan laki-laki itu, Sulis. Mas permisi. Semoga kamu bahagia setelah kepergianku ini!" ucapnya seraya melenggang pergi tanpa lagi menoleh menatapaku.Ingin rasanya mengejar, akan tetapi keadaan tubuh yang sedang tidak berbusana membuatku tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa meratap."Dasar perempuan murahan. Sekarang kamu pergi dari ruangan saya ini!" istri Mas Hendra menjambak rambutku hingga banyak sekali rambut yang terbawa di sela-sela jari-jarinya."Dan kamu, Mas. Mulai hari ini kita pisah. Silahkan hidup dengan gundik kamu ini dan jangan pernah bawa apa pun dari rumahku. Kamu datang hanya membawa burung dan sarang