Dua orang berseragam hitam-hitam keluar dari dalam rumah pria paruh baya itu dan menarik tubuh ini. Meninju perut dan rahangku hingga terasa nyeri hingga ke ulu hati.
"Jangan macam-macam sama bos saya!" ucap salah satu bodyguard lelaki tua tersebut.
Lagi, dia mendaratkan tinju di perut hingga aku terbatuk dan hampir muntah.
"Bos saya sudah membayar Nona Fika mahal. Sudah booking perempuan itu untuk menemani dia selama satu minggu. Jadi, untuk saat ini Nona Fika masih menjadi haknya si bos. Kalau Anda mau berkencan dengan Nona Fika, Anda harus mengantri!"
Booking?
Apa selama ini adikku menjadi bookingan om-om?
Ya Tuhan. Apa kata orang jika mereka tahu selama ini Rafika bekerja sebagai wanita penghibur.
Sambil memegangi perut yang terasa sakit, kutarik Rafika masuk ke dalam mobil. Ibu harus tahu apa yang dilakukan oleh putri kesayangannya s
Mengetuk kamar Ibu, niat hati ingin menanyakan masalah uangku yang hilang. Bukannya menuduh Ibu, akan tetapi hanya dia yang biasa keluar masuk ke dalam kamarku."Bu!" Tok! Tok! Tok!Kuketuk sekali lagi. Namun, Ibu tidak juga menyahut. Apa iya jam segini dia sudah tidur? Sepertinya tidak mungkin. Sebab Ibu selalu tidur hingga larut malam. Pun dengan Mbak Zalfa. Mereka berdua selalu menonton acara televisi hingga tengah malam."Mbak Zalfa!" Menarik tangan kakakku ketika dia lewat dan seperti sengaja menghindar."Ada apa, Zis?" tanyanya dengan mimik aneh. Seperti maling ketahuan mencuri."Mbak lihat uang aku yang di laci nggak?" tanyaku tanpa basa-basi."Enggak. Mbak nggak tahu. Mbak juga nggak ngambil uang kamu yang sepuluh juta!"Alisku bertaut mendengar jawaban Mbak Zalfa. Dari mana dia tahu kalau uang yang hilang berjumlah se
Aku mengulas senyum menatap Rafika, walaupun gadis itu tidak membalas senyumanku. Tak apalah, sudah biasa dia cuek dan jutek. Apalagi sekarang, aku dan Mas Azis sedang memiliki masalah dan dia juga ikut menjadi pemicu retaknya rumah tangga kami."Sudah jangan diliatin terus. Habisin esnya. Setelah ini kita pulang." Kak Dimas mengusap lembut kepalaku, menarik hidung ini karena gemas. Sudah kebiasaan dia menarik-narik hidungku seperti itu.Ketika aku menoleh, Fika sepertinya sedang mengarahkan kamera kepadaku. Sebab, ada cahaya keperak-perakkan yang menyilaukan mata, seperti blitz kamera yang lupa dia matikan. Biarlah. Mungkin dia sengaja mengambil gambarku saat berdua dengan Kak Dimas. Dia pikir aku selingkuh, mungkin. Sebab ketika aku menikah, Kak Dimas tidak bisa menghadiri acaraku, karena saat itu dia masih berada di luar kota menjalankan tugas dari kantornya dan tidak bisa izin walaupun hanya sehari.Rafika beranjak d
"Nglamun terus!" Hamzah menepuk pelan pundakku, namun mampu membuat diri ini berjengit kagetAh, Rania. Gara-gara terus memikirkan kamu jadi sering tidak fokus. Banyak masalah yang tiba-tiba mendera membuat hidup ini tidak tenang."Mobil elo kayanya nggak bisa kelar hari ini. Mending elo tinggal saja, Zis. Elo pulang bawa motor gue. Soalnya kalau elo nunggu di sini takut kelamaan!" ucap pria bertubuh tegap itu memberi usul, dan segera kusetujui."Ya sudah. Kalau sudah kelar elo kasih kabar. Teleponnya tapi jangan ke nomer gue, ke nomer telepon rumah saja. Hape gue mokat.""Siap!" Dia mengacungkan jempolnya yang sudah berlumuran oli.Untung saja dulu setelah lulus sekolah menengah atas aku langsung kuliah. Tidak seperti Hamzah yang langsung terjun ke dunia otomotif, menjadi montir, membuka bengkel kecil-kecilan yang pendapatannya tidak seberapa.Se
Tanpa ampun Bu Sita menarik paksa Rafika ke jalanan. Hingga sela-sela jarinya dipenuhi rambut yang terbawa. Dengan membabi buta wanita berdadan rapi itu menampari pipi adikku, menghujaninya beberapa pukulan, tidak memperdulikan teriakan Rafika yang terus saja memohon ampunan."Takkan kuberi ampun kamu, wanita jal*ng. Perebut suami orang. Pela**r!" teriak Bu Sita histeris.Aku mencoba melerai. Akan tetapi justru tanganku ikut terkena cakaran, juga tendangan dari perempuan itu."Hentikan, Bu Sita. Ibu bisa dipidanakan karena kasus penganiayaan!" Pak RT yang baru saja datang berusaha ikut melerai."Saya tidak takut dipenjara. Kalau sampai dibui, dengan menjentikkan jari saya bisa langsung keluar!" icapnya angkuh.Beberapa orang tetangga akhirnya turun tangan. Menarik Rafika dari amukan Bu sita kemudian membawa gadis itu ke rumah Pak RT.Belum puas sampai disitu.
"Azis. Kamu itu bagaimana sih. Tahu adiknya pingsan bukannya perduli, malah asik-asikan mainan hape!" sungut Ibu seraya berkacak pinggang."Terus aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku. Meletakkan ponsel Rafika di atas meja sambil memijat pelipis. Pusing."Inisiatif panggil dokter, kek. Jangan cuma diam. Begitu saja kamu nggak paham, Zis. Telmi!" hardiknya lagi. Bertambah emosi."Nggak usah panggil dokter, Bu. Nanti Ibu tambah malu. Fika lagi hamil!""Kamu itu bener-bener, ya. Kalau ngomong sudah kaya orang nggak ada otak. Asal jeplak. Bagaimana bisa anak perawan hamil. Otak kamu sudah terkontaminasi racun kayanya. Kebanyakan mikirin Rania!" Wanita berdaster motif bunga-bunga itu menoyor kepalaku."Tolong sekali ini saja Ibu dengarkan aku, Bu. Fika itu pingsan karena sedang mengandung.""Memangnya kamu tahu dari mana kalau Fika sedang hamil, Zis? Janga
"Selamat pagi!" sapa salah seorang polisi seraya memberi hormat.Beberapa orang tetangga yang sedang berbelanja sayur langsung menatap memperhatikan. Pasti sebentar lagi ada gosip tidak jelas menyebar. Mereka kan hobi menyebarkan berita bohong, tanpa mau mencari kebenarannya dan langsung percaya begitu saja. Dasar ibu-ibu tidak ada kerjaan."Apa benar ini kediamannya saudari Rafika?" tanyanya lagi."Iya, pak. Benar. Ada apa memangnya?" Aku balik bertanya. Penasaran."Saudari Rafika terjaring razia di sebuah klinik aborsi. Dia berusaha menggugurkan janin yang ada di rahimnya. Sekarang dia sedang berada di rumah sakit karena mengalami perdarahan," ucap Pak polisi lantang. Kontan, membuat para ibu yang berada di depan rumah menajamkan pendengaran.Aku meraup wajah.Ya Allah, Rafika. Tidak ada capek-capeknya berbuat ulah. Apa dia tidak tahu kalau aku terkena imba
Buru-buru aku berlari keluar dan meneriaki Hamzah maling. Tidak mau melepas pria itu karena dia seorang pencuri."Ada apa, Mas Azis?" tanya Pak Rt seraya menghampiri."Rumah saya kemalingan, Pak. Tadi malingnya baru saja keluar dari komplek ini. Pake motor matic merah. Ini foto malingnya!" Menunjukkan foto Hamzah kepada Pak RT."Tapi, bukannya itu putranya Pak Sulaiman ya?" Pak RT mengernyitkan dahi."Mau putranya Pak Sulaiman, Pak Hasim, saya tidak perduli. Dia itu maling. Pencuri!" sungutku kesal."Memangnya apa yang dia curi dari rumah Mas Azis?"Duh. Aku sendiri belum mengecek apa saja yang hilang, karena segera keluar meneriaki Hamzah maling.Lekas kembali masuk. Mengecek seisi kamar, dan ternyata laptop, beberapa koleksi jam tangan mewah, juga ada uang cash sebesar lima juta sudah raib digondol si Hamzah.
"Nggak usah melongo begitu. Nanti mulut busuk kamu kemasukan lalat!" sungut Pak Beni, menatap mencemooh wajahku.Hamzah yang sejak tadi duduk diam di kursi seberang terlihat mengulas senyum. Pasti dia merasa puas telah berhasil mempermalukan diriku.Sombong banget dia ini. Pura-pura miskin, padahal anak seorang konglomerat. Tahu gitu, sudah aku manfaatkan keadaan supaya aku lekas naik jabatan. Dasar Hamzah sial*n. Sepertinya dia sengaja ingin mempermainkan aku."Kenapa bengong?!" sentak Pak Beni."Nggak, Pak. Saya tadinya cuma bercanda sama Hamzah. Kami ini kan sahabat baik, Pak. Sudah sejak sekolah SMA kita berteman," kilahku, semoga saja Pak Beni percaya dan melepasku."Sahabat baik. Mungkin Hamzah selalu menganggap kamu sahabat baik. Dia juga yang menyuruh saya menerima kamu kerja di perusahaan, karena sebetulnya saya tidak suka dengan kinerja kamu. Kinerja kamu itu jele